Sabtu, 29 Mei 2010

Sia-sia, Tes HIV sebelum Menikah

Tanggapan terhadap berita LKBN ”ANTARA”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita ”KUA Lebak dukung Surat HIV/AIDS” yang dilansir LKBN ”ANTARA” (8/6-2009) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Tes HIV bagi calon pengantin akan sia-sia karena tes bukan vaksin. Hasil tes juga bisa salah kalau dilakukan pada masa jendela. Wacana ini sudah lama muncul. Jika tetap dilakukan maka itu bagaikan ’menggantang asap’ atau pekerjaan yang sia-sia.

Dalam berita disebutkan Kepala KUA Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, Didin Baimuizin, mengatakan: ”Saya sangat setuju jika pernikahan itu dilengkapi surat bebas HIV/AIDS." Jika tes HIV diwajibkan bagi semua calon pasangan pengantin maka kita sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Cara ini pun sudah menyamaratakan perilaku semua orang yang merupakan prasangka buruk (suuzan) karena tidak semua orang berisiko tertular HIV.

Masa Jendela

Siapa, sih, yang berisiko tertular HIV? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang. Yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami, lajang atau duda. Lalu, kalan ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang mengencaninya kemudian berisiko pula tertular HIV.

Untuk itulah jika tetap ingin menerapkan tes HIV sebelum menikah dilakukan dulu konseling berupa bimbingan kepada calon pengantin tentang HIV/AIDS: cara-cara penularan, pencegahan dan perilaku berisiko. Jika ada dugaan, berdasarkan konseling, ada di antara mereka yang perilakunya berisiko maka dianjurkan untuk tes HIV dengan memperhatikan masa jendela (lihat gambar).

Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV. Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi. Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi.

Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Banten, di luar Banten atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Banten, di luar Banten atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Tes HIV secara massal tanpa konseling menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap calon pengantin yang masih perjaka dan perawan hasilnya positif? Positif di sini adalah positif palsu karena mereka tidak tertular HIV. Itulah sebabnya tes HIV selalu harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, kalau tes pertama dengan ELISA maka contoh darah yang sama harus dites lagi dengan Western blot.

Langkah Konkret

Dengan mewajibkan semua calon pengantin menjalani tes HIV hal itu mengesankan bahwa HIV sudah menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Skirining HIV terhadap darah donor di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: ”Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.
Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu ”Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.

Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Banten khususnya dan di Indonesia dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV di Banten, luar Banten atau luar negeri. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar