Minggu, 18 Juli 2010

Menyoal nilai (berita) infotainment

Oleh Syaiful W Harahap

HIRUK-pikuk acara gossip stasiun televisi swasta nasional yang mereka sebut sebagai infotainment sudah dilirik oleh NU sebagai acara yang lebih banyak mudharatnya. Bahkan, di penghujung tahun 2009 NU mengklassifikasikan acara infotainment sebagai tonto-nan yang haram. Sayang wacana ini tidak mendapat dukungan luas sehingga wacana itu pun tenggelam. Infotainment terus berkibar dengan menempati rating utama sehingga menjadi lahan basah bagi pengiklan karena banyak ditonton.

Karena NU ‘kalah’ duku-ngan akhirnya wacana un-tuk mengharamkan infotai-ment kandas. Belakangan muncul lagi wacana yang mempersoalkan infotain-ment sebagai kegiatan yang tidak sepadan dengan jurnalistik.

Biar pun serangan terha-dap infotainment bertubi-tubi, tapi dunia penyiaran tetap menjadikan infotainment sebagai acara ‘pendulang emas’ melalui iklan. Agaknya, acara ini dijadikan pendukung acara-acara ‘siraman rohani’ yang kering iklan sebagai penyeimbang.

FAKTA PRIVAT

Infotainment merupakan jelmaan dari dua kata yaitu information dan entertainment yang dianggap sebagai informasi yang berisi kabar, ‘kabar burung’ (tidak ada faktanya), dan ‘kabar angin’ (tidak jelas sumbernya) seputar dunia hiburan. Kabar seputar dunia hiburan ini dianggap sebagai informasi yang kemudian dikaitkan dengan berita. Memang, stasiun televisi menyiarkan berita dalam berbagai bentuk, seperti berita langsung (hard news), reportase, dll. sehingga ada kesan infotainment juga sebagai berita.

Anggapan itulah kemudian yang rancu. Bahkan, penyiar berita di televisi selalu mengatakan informasi untuk berita. Padahal, informasi tidak otomatis bisa menjadi berita karena informasi atau fakta baru bisa menjadi berita jika memenuhi unsur-unsur layak berita (Ashadi Siregar, dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Paket 4 Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982): yaitu significance (menyangkut kepentingan publik), magnitude (angka), timelines (aktualitas), proximity (kedekatan secara geografis atau psikologis), prominence (ketenaran), dan human interest (manusiawi). Selain itu ada pula kelengkapan berita yaitu 5W (what, who, when, where, why) + 1H (how).

Dalam jurnalistik yang disebut berita harus mengandung nilai (news value atau news worthy). Berita bisa disebut mempunyai nilai al. jika mengutamakan fakta, mengedepankan kebenaran, menghargai harkat dan martabat manusia, membela yang diabaikan, seimbang, dll. Jika sudah memenuhi unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita maka berita tersebut bisa menjadi agent of change. Banding-kan denan informasi dalam infotainment lebih meng-utamakan fakta privat yang tidak terkait dengan kepen-tingan publik. Informasinya lebih menonjolkan ‘kabar burung’ dan ‘kabar angin’ maka informasi yang ada di infotainment tidak mempunyai nilai sebagai berita jurnalistik.

Tapi, tidak pula pada tempatnya ada yang merendahkan harkat dan martabat manusia dari pekerjaannya. Seperti yang dilontarkan oleh Luna Maya terhadap pekerja infotain-ment dengan mengatakan derajat (pekerja) infotainment lebih hina daripada pelacur. Tapi, tunggu dulu. Apa hak seorang Luna Maya menghinakan pelacur? Maka, amat pantas kalau kemudian saudara-saudara kita yang bekeja sebagai pekerja seks di lokalisasi Peleman, Desa Sidoharjo, Kecamatan Suradadi, Slawi, Jawa Tengah (suaramerdeka.com, 22/12-009) angkat bicara memprotes pernyataan Luna Maya. Merendahkan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia adalah urusan Tuhan sebagai Penguasa Semesta Alam. Hina di hadapan manusia belum tentu hina di hadapan-Nya. Bisa saja doa tobat seorang pelacur diterima Tuhan, sementara orang-orang yang merasa dirinya bermartabat, suci, bermodal, dll. sehingga tidak hina di hadapan manusia, tapi kelak bisa hina di hadapan-Nya. Bisa jadi Tuhan murka karena menghina ummatnya.

Kabar yang dikemas infotainment sebagai informasi seputar artis mengutamakan fakta privat yang sering dikaitkan dengan ‘kabar burung’, ‘kabar angin’, rumor dan isu sebagai gossip. Fakta privat dikemas secara ‘telanjang’ sehingga merupakan pembeberan rahasia pribadi. Inilah yang dilihat NU sebagai kabar yang buruk. Pernikahan dan perceraian, misalnya, dalam Islam harus diumumkan agar diketahui khalayak. Tapi, bukan penyebab perceraian yang diumbar seperti yang dikemas infotainment. Ini disebut pergunjingan yang diharamkan dalam agama Islam.

Dalam perbincangan de-ngan seorang rekan di De-wan Pers, alm. RH Siregar, dia sangat menyesalkan ulah pekerja infotainment yang ‘camping’ di depan rumah seorang rocker cewek di Bandung. Ketika rocker tadi keluar pagar rumah pekerja infotainment mengejarnya dan memaksa bicara. “Kami sudah menunggu berhari-hari,” kata pekerja infotainment memberikan alasan sebagai desakan agar rocker tadi mau bicara. Bahkan, ada pekerja infotainment yang memukul kacara mobilnya. Itulah sebabnya PWI merangkul pekerja infotainment sebagai upaya untuk mendidik mereka agar bekerja sesuai dengan kode etik.

Kabar dalam infotainment dirancang agar memenuhi kritetia berita jurnalistik yaitu dilengkapi dengan 5W + 1H, dengan check dan recheck serta cover both side yang lebih mirip sebagai klarifikasi. Tapi, biar pun informasi atau fakta sudah memenuhi 5W + 1H itu baru sebatas berita. Sedangkan informasi atau fakta yang dikemas sebagai berita jurnalistik selain ada 5W + 1H harus mengandung unsur-unsur layak berita.

Fakta privat bisa menjadi berita jurnalistik jika dibawa ke ranah publik atau terkait dengan masalah publik dan hukum. Misalnya, informasi seputar video porno mirip artis sudah menjadi fakta publik karena menyangkut (pelanggaran) hukum. Maka, tidak ada alasan untuk menyalahkan media massa dalam pemberitaan video mesum itu selama berpijak pada fakta publik (penyidikan polisi), fakta empiris (data), dan fakta opini (pendapat yang relevan dari berbagai kalangan).

SELEBRITI

Belakangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebut infotainment sebagai berita nonfaktual. Ini membingungkan karena informasi yang dimekas infotainment juga fakta. Semua kabar yang disiarkan infotainment adalah fakta. Persoalannya adalah infotainment menyasar fakta privat. Padahal, jurnalistik mengedepankan fakta publik dan fakta empiris.

Rencana menyensor materi inforainment oleh lembaga atau badan semacam LSF (Lembaga Sensor Film) tidak akan berguna karena sensor yang dijalankan lebih condong ke arah materi yang terkait dengan (adegan) seks. Sedangkan yang dipersoalkan dalam tayangan infotainment adalah masalah pribadi yang dijadikan sebagai materi dalam cengkeraman gossip.

Di kalangan pertelevisian internasional juga dikenal infotainment sebagai pembeberan fakta seputar film dan musik beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bisa juga berupa resensi film atau musik. Yang ditampilkan adalah kabar tentang film dan tokoh yang terkait dengan film tersebut.

Di Indoensia narasumber yang diwawancarai dalam infotainment disebut sebagai selebriti. Celaka-nya, banyak nama yang ditampilkan infotainment tidak memenuhi klassifikasi selebriti karena sama sekali tidak dikenal secara luas sehingga tidak termasyhur. Ada pula sebutan public figure terhadap orang-orang yang menjadi topik pembicaraan di infotainment. Padahal, yang mereka tampilkan itu pun tidak memenuhi kriteria sebagai public figure karena mereka bukan tokoh di masyarakat. Salah satu syarat seseorang adalah mereka masyhur karena hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan bukan karena perilaku.

Memang, ada paradoks dalam dunia hiburan. Tidak sedikit orang-orang yang berkecimpung di dunia hiburan ingin populer dengan berbagai cara. Seorang pekerja infotainment pernah mengatakan bahwa ada ‘artis’ yang justru minta ‘ditelanjangi’ (dalam berbagai aspek) dengan tujuan agar bisa cepat populer.

Seseorang memenuhi kriteria sebagai selebriti jika dia dikenal secara luas. Misalnya, di sebuah keluarga kalau disebut si “A” semua mengenalnya. Tapi, selebriti yang diton-jolkan infotainment sering tidak dikenal secara luas. Selebriti yang ditonjolkan kemudian dikenal luas karena infotainment menonjolkan aspek gossip dari sisi privat, seperti perceraian, perselingkuhan, dll.

Dalam tayangan infotain-ment di Indonesia selebriti diartikan hanya dari kala-ngan artis film dan musik. Padahal, dalam dunia hiburan internasional selebriti juga mencakup kalangan jet set (orang-orang kaya yang bepergian secara rutin dengan pesawat jet ke berbagai resort dan pusat perbelanjaan dunia untuk bersenang-senang).

Jika rencana KPI yang didukung oleh Komisi I DPR untuk menyesor materi infotainment dijalankan maka tidak banyak manfaatnya karena yang muncul dari tayaangan lolos sensor itu kelak tetap hanya gossip. Infotainment memang (berita) gossip tapi tidak menonjolkan fakta privat karena membicarakan peran dalam film, dll.

Nah, kalau infotainment disensor, lalu apa materi (gossip) yang boleh disiarkan? Kalau hanya menonjolkan kegiatan ‘moral’ selebriti tentulah bukan infotainment lagi namanya, tapi moraltainment. Belakangan ini muncul acara-acara yang mengedepankan moral tapi dengan cara menampilkan kegiatan secara fisik. Padahal, untuk menggugah yang diperlukan adalah ‘bujukan’ tanpa menonjolkan ritual melalui alur cerita yang komprehensif.

Sudah saatnya kita mengubah paradigma dalam menghadapi siaran televisi. Bukan dengan melarang dan menyensor materi infotainment, tapi mendorong masyarakat untuk memilih acara televisi melalui pendidikan media. Masyarakat didorong agar bisa memilih siaran televisi dengan muatan asas manfaat.(penulis adalah koresponden khusus SKH. Swara Kita di Jakarta)

URL: http://www.swarakita-manado.com/index.php/berita/berita-utama/14671-menyoal-nilai-berita-infotainment.html
[Sumber: Haian “Swara Kita”, Manado, 19 Juli 2010]

Sabtu, 17 Juli 2010

Menyikapi Pelecehan Seks

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 18/7-2010. Kasus-kasus pelecehan seks terus terjadi di negeri yang selalu menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama ini. Bandingkan dengan negara-negara yang yang tidak berkoar-koar sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tapi pelecehan seks jarang terjadi.

“Apakah Anda tidak takut memakai pakaian minim begini?” Itulah pertanyaan saya kepada seorang cewek di jeepney (angkutan khas di Manila, Filipina) yang memakai rok mini sehingga CD-nya kelihatan. Soalnya, waktu itu jam menunjukkan pukul 03.30.

“Tidak. Ini ‘kan negara hukum!” Jawaban cewek itu membuat saya malu karena di negara saya yang berkoar-koar sebagai negara hukum tapi pelecehan (seks) terhadap perempuan menjadi ‘budaya’.

Celakanya, di Indonesia selalu perempuan yang disalahkan. Simak pendapat Agung, seorang mahasiwa di Jakarta, yang diwawancarai TVOne (18/7). Dengan membusungkan dada dia mengatakan bahwa pelecehan bisa terjadi karena perempuan memakai pakaian yang seksi. Waduh, orang ini rabun?

Korban pelecehan di bus Transjakarta (14/7) memakai jilbab dan celana panjang. Auratnya tertutup rapat. Di beberapa daerah ada korban perkosaan (disebut pencabulan, ini membuat tuntutan jadi ringan) justru memakai pakaian yang menutup aurat. Bagaiman ini Bung Agung?

Lagi pula kalau pun ada seorang perempuan yang mamakai pakaian yang seksi, apakah ada UU yang membenarkan seorang pria mencoleknya? Saya teringat kepada kasus yang menimpa beberapa pegawai sebuah instansi penegak hukum yang sedang kuliah di sebuah universitas di AS. Mereka terpaksa berurusan dengan penegak hukum di sana karena pengaduan seorang perempuan karyawan universitas itu yang merasa dilecehkan dengan kata-kata.

Ya, di Indonesia hal itu lumarah dan menjadi ‘budaya’. Bahkan, colek-mencolek pun menjadi pemandangan yang biasa. Lihat saja kondektur bus kota. Mereka dengan ringan tangan akan memegang bahu atau pundak perempuan yang akan naik. Mengapa mereka tidak membantu penumpang laki-laki?

Di terminal-terminal bus kondektur dan calo selalu menarik tangan dan mendekatkan mukanya ke wajah penumpang cewek. Bagi mereka hal itu lumrah, tapi dari aspek norma, moral, agama dan hukum hal itu merupakan pelanggaran. Di terminal yang daerahnya mengedepankan syariat agama pun terjadi pelecehan terhadap calon penumpang cewek.

Pelaku pelecehan di bus Transjakarta hanya dijerat dengan KUHP, yaitu Pasal 282 tentang pelecehan seksual dan Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pelecehan seks merupakan perbuatan yang tergolong extra ordinary crime karena meninggalkan beban fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Tapi, di negeri agaknya pelecehan seks dan perkosaan hanya sebagai kejahatan umum atau biasa.

Jika tetap memakai KUHP ada baiknya kalau hukuman terhadap pelaku pelecehan seks dan perkosaan dilakukan dengan akumulasi. Semua pasal yang dituduhkan dijumlahkan agar hukumannya berat.

Terkait dengan pelecehan di bus Transjakarta hal itu terjadi karena beberapa kondisi.

Pertama, jika hendak masuk atau keluar dari bus penumpang kesulitan karena ada jarak antara lantai bus dengan peron shelter antara 15 – 50 cm. Penumpang berhenti sejenak ketika hendak melangkah. Di belakang penumpang mendorong dengan, maaf, bagian depan badannya. Apakah pengelola Transjakarta tidak mempunyai teknologi yang bisa membuat jembatan antara lantai bus dengan peron shelter?

Kedua, setiap bus tidak ada ketentuan jumlah penumpang yang boleh naik. Ada kondektur yang langsung menghambat calon penumpang. “Yang berikutnya.” Itulah perintah kondektur. Padahal, bus masih kosong sehingga calon penumpang menumpuk di peron shelter.

Ketiga, bus mempunyai dua pintu yaitu depan dan belakang. Tapi, tidak semua koridor memakai dua pintu. Jika pintu depan untuk naik (masuk) dan pintu belakang untuk turun (keluar) tentulah akan nyaman karena penumpang yang turun tidak berhadapan dengan penumpang yang naik.

Sudah saatnya kita sebagai bangsa yang selalu menyebut diri berbudaya luhur dan bergama mengubah cara berpikir dalam menghadapi perempuan dengan pakaian minim di tempat umum. Laki-laki tidak lagi menyalahkan perempuan tapi mengekang diri dan syahwat. Kalau mengaku sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tentulah bisa mengatasi godaan setan atau iblis. Lho, kalau melihat aurat tempat umum saja ada laki-laki yang kelenger, ya, koq bisa? Bagi orang yang berbudaya dan beragama tentulah bisa mengendalikan diri menghadapi godaan.

Di sebuah provinsi ada peraturan daerah (Perda) yang melarang perempuan keluar malam. Bayangkan, kalau seorang perempuan harus membawa anaknya ke dokter atau rumah sakit atau membeli obat. Rupanya, perda itu dipakai sabagai ‘alat’ untuk menjerat pekerja seks.

Tapi, tunggu dulu. Perzinaan bisa terjadi kalau ada laki-laki. Nah, mengapa laki-laki tidak dilarang keluar malam? Bisa saja laki-laki ‘hidung belang’ yang mendatangi perempuan.

Kalau saja perancang dan pembuat perda itu sensitif jender dan memakai perspektif dalam membuat aturan maka perda itu justru menjami keamanan perempuan jika keluar malam.

Beberapa daerah di Indonesia sudah menelurkan perda anti pelacuran dan anti maksiat. Sayang, tidak ada yang menyinggung pelecehan (seks) terhadap perempuan. Ada perda hanya ingin menjerat perempuan yang dianggap sebagai pelacur berdasarkan cirri-ciri fisik. Tentu saja ini menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara ciri-ciri fisik dengan pelacur.

Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa langganannya ada yang memakai pakaian yang menutup aurat ketika keluar dari rumah. Tapi, di taksi perempuan itu menukar pakaiannya. Perempuan itu turun di hotel dengan pakaian yang minim. (Penulis aktivis di LSM “InfoKespro” Jakarta)

Jumat, 16 Juli 2010

Tanya-Jawab AIDS - 2

Tanya: Apakah penyakit HIV/AIDS hanya dapat tertular melalui hubungan intin (sanggama)?

Rhosyid, Jakarta

Jawab: HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus. AIDS adalah kondisi seseorang yang sudah tertular HIV antara 5-15 tahun. Yang menular adalah HIV yaitu melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sudah mengidap HIV. Bisa juga melalui transfusi darah, jarum suntik, dan alat-alat kesehatan yang mengandung HIV. Bisa pula melalui air susu ibu (ASI) perempuang yang sudah mengidap HIV melalui proses menyusui.

Minggu, 11 Juli 2010

Tanggapan terhadap Berita di okezone.com

Fakta Tidak Dibawa ke Realitas Sosial

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 11/7-2010. “Setiap Bulan, Puluhan PSK di Bali Berobat AIDS.” Ini judul berita di okezone.com (14/6-2010). Fakta ini tidak dibawa ke realitas sosial dengan perspektif epidemiologi HIV sehingga tidak ada maknanya bagi masyarakat karena hanya bersifat informasi. Dalam jurnalistik berita harus mengandung makna yang bisa menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap epidemi HIV.

Berita ini pun tidak akurat. Misalnya, disebutkan yang berkonsultasi ke dokter di RSUP Sanglah Denpasar, “ .... mereka kerap berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual ....” Berganti-ganti pasangan seks memang perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV jika mereka tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Ini fakta. Tapi, pernyataan dalam berita itu tidak faktual sehingga menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV.

Disebutkan pula “ .... telah divonis mengidap penyakit HIV/AIDS.” Ini menyesatkan karena seseorang disebutkan tertular HIV berdasarkan tes darah di laboratorium bukan vonis dokter atau hakim di pengadilan. Lagi pula, siapa, sih, yang mendapat mandat untuk memberikan vonis kepada seseorang bahwa dia tertular HIV?

Faktor yang mendorong peningkatan jumlah orang yang konsultasi tentang HIV/AIDS tidak dijelaskan dalam berita itu. Akibatnya, pembaca tidak memahami mengapa banyak yang konsultasi HIV/AIDS? Wartawan yang menulis berita itu tidak mencari fakta empiris terkait dengan peningkatan jumlah yang konsultasi.

Ada lagi kutipan pernyataan Kepala Seksi Rawat Inap Penyakit Menular RUSP Sanglah, Denpasar Ida Ayu Miswaryati “ .... dari konsultasi yang dilakukan terhadap mereka memang diketahui selama ini menjalani kehidupan seks menyimpang atau heteroseksual dengan berganti-ganti pasangan atau berhubungan lebih dari satu pasangan.”

Kalau ini pernyataan yang merupakan kutipan maka sangat disayangkan karena ‘kehidupan seks menyimpang’ merupakan sudut pandang moral yang sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV sebagai fakta medis. Seks sebagai dorongan biologis tidak mengenal penyimpangan. Seks disebutkan menyimpang adalah pandangan dari sudut norma, moral dan agama yang juga tidak terkait langsung dengan penularan HIV.

Ada fakta “Jika dilihat jenis kelamin para penderita HIV/AIDS, didominasi kaum pria ....” Sayang wartawan yang menulis berita ini tidak membawa fakta ini ke realitas sosial. Dalam kehidupan pria-pria itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seks lain atau pekerja seks. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacara, pasangan seks atau pekerja seks. Semua ini terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada dirinya.

Ada pula pernyataan “Sebagai pulau tujuan pariwisata, Bali umumnya memang rentan terhadap praktek seks bebas baik di generasi muda hingga orang tua.” Ya, lagi-lagi mitos.

Pertama, tidak ada kaitan perilaku seks secara langsung dengan pariwisata. Di daerah atau negara yang tidak menjadi tujuan pariwasata pun tetap saja terjadai perilaku seks yang berisiko. Bahkan, di negara-negara yang menjadikan agama sebagai hukum pun tetap ada kasus AIDS biar pun di sana tidak ada lokalisasi pelacuran, hiburan malam, dll.

Kedua, kata ‘seks bebas’ adalah rancu karena tidak jelas apa maksudnya. Kalau ’seks bebas’ dalam berita ini dimaksudkan sebagai hubungan seks di luar nikah maka lagi-lagi kita dibawa ke alam kengawuran. Soalnya, tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar pernikahan.

Tidak ada pula penjelasan mengapa “Kota Denpasar menempati ranking tertinggi warganya yang mengidap HIV/AIDS ....” Karena tidak ada penjelasan maka pernyataan ini pun mendorong orang untuk mengait-ngaitkannya dengan pariwisata.

Upaya pemerintah untuk menanggulangi epidemi HIV memang patut didukung. Misalnya, melalui upaya pendeteksian penduduk yang sudah tertular HIV, misalnya, melalui klinik VCT. Celakanya, informasi terkait dengan VCT tidak komprehensif.

Disebutkan ”Melihat tingginya angka risiko penularan penyakit berbahaya tersebut, ....” Ini tidak akurat karena semua penyakit berbahaya jika tidak diobati. Bahkan, diare dan demam berdarah bisa merenggung nyawa dalam hitungan hari jika tidak diobati. Sedangkan HIV/AIDS membutuhkan waktu antara 5-15 tahun untuk mendekati ajal.

Contohnya dalam berita disebutkan ”Miswaryati meminta masyarakat untuk membuka diri dan melakukan tindakan pencegahan seperti memeriksakan diri sejak dini kepada dokter atau melakukan konseling sehingga bisa dilakukan penanganan.” Ini sudah menyamaratakan perilaku semau orang.

Padahal, yang diminta untuk membuka diri, lebih tepat disebutkan untuk mengkaji perilaku seks masing-masing, bukan semua orang karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV. Pekerja seks pun bisa tidak berisiko kalau dia hanya mau melayani laki-laki yang memakai kondom jika sanggama.

Siapa, dong, yang dianjurkan untuk tes? Ya, mereka adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan.

Ada pula pernyataan ”Ia juga berharap masyarakat usia produktif lebih bisa menjaga pergaulan mereka menghindari dari pergaulan seks bebas atau berganti ganti pasangan (heteroskesual) karena sangat berpotensi terkena penyakit mematikan tersebut.” Ini memojokkan remaja yang mengesankan hanya remaja yang berisiko tertular HIV melalui ’pergaulan seks bebas’.

Apakah kalangan dewasa tidak ada yang melalukan ’pergaulan seks bebas”? Kalau saja Pak Wartawan yang menulis berita ini mau meringankan langkah melihat realitas sosial terkait dengan perilaku seks tentulah pernyataan itu tidak akan ada karena kalangan dewasa pun tidak kalah banyak yang melakukan ’pergaulan seks bebas’.

Selama informasi tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula fakta HIV/AIDS tidak bisa ditangkap masyarakat sehingga merempatkan diri mereka pada siatusi yang rentan tertular HIV. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tanggapan terhadap Acara “Mamah & Aa” di INDOSIAR

Jakarta, 11/7-2010. Seorang pemirsa acara “Mamah & Aa” yang disiarkan stasiun televisi ”INDOSIAR” tanggal 11/7-2010 pukul 05.00 menelepon untuk ’curhat’. Inti ‘curhat’-nya adalah “ …. suaminya selingkuh dengan laki-laki.”

Mamah yang menjadi pembicaa pada acara itu memberikan penjelasan yang sangat umum dan hanya berdasarkan asumsi. Disebutkan Mamah suami perempuan tadi ‘selingkuh dengan laki-laki sebagai gay’ karena salah pergaulan, pernah dielus-elus laki-laki, dll.

Acara itu merupakan siaran agama (Islam) maka jalan keluar yang ditawarkan oleh Mamah pun hanya asumsi pula. Misalnya, menganjurkan penelepon tadi untuk mencari tahun penyebab mengapa suaminya selingkuh dengan laki-laki. Kemudian anjuran untuk mendengar acara-acara siraman rohoani, mengikuti pengajian, dll.

Yang dihadapi penelepon tadi tidak berkaitan langsung dengan agama karena hal itu lebih condong kepada masalah biologis (orientasi seks) dan psikologis. Pengamatan menunjukkan acara-acara keagamaan di televisi hanya bertolak dari sudut pandang agama dalam menyelesaikan masalah.

Padahal, ada persoalan yang dikemukakan justru terkait langsung dengan hukum. Misalnya, seorang perempuan ’curhat’ tentang suaminya yang sudah lebih dari enam bulan meninggalknya. Saran yang disampaikan untuk menyelesaikan masalah adalah sabar, tawakkal, dll. Ini tidak realistis. Akan lebih baik kalau dianjurkan agar perempuan tadi mencari suaminya melalui keluarga suami. Selain itu jika sudah ditinggalkan lebih dari enam bulan tentulah sudah urusan hukum sehingga dianjurkan agar ibu konsultasi ke pengadilan agama setempat.

Terkait dengan ’curhat’ istri yang suaminya ’selingkuh dengan laki-laki’ adalah realitas sosial. Ada studi dan penelitian yang menunjukkan pelanggan waria justru lebih banyak suami yang secara harfiah merupakan heteroseksual. Penelitian Dr Dede Oetomo, GAYa Nusantara, Surabaya, menunjukkan laki-laki heteroseksual jika ’main’ dengan waria justru menjadi ’perempuan’.

Kita sering menutup mata terhadap realitas sosial karena memakai kaca mata moral dan membawanya ke ranah agama. Ada kesan seolah-olah agama bisa menyelesaikan semua masalah. Agama yang dimaksud di sini adalah agama yang diakui pemerintah.

Pertanyannya kemudian adalah bagaiman dengan oang-orang yang tidak memuluk agama yang diakui pemerintah? Mereka tetap bertuhan dengan cara mereka sendiri. Apakah orang-orang yang tidak memeluk agama yang diakui pemerintah otomatis tidak bisa mengatasi masalah?

Hal yang sama terjadi pada penanggulangan HIV/AIDS. Beberapa kalangan, terutama ormas Islam, selalu menyebutkan bahwa penerapan hukum Islam bisa mengatasi AIDS. Mereka tidak melihat realitas sosial. Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD pn tetap saja melaporkan kasus AIDS. Sampai awal tahun sudah dilaporkan 13,926 kasus AIDS, 3,538 di antaranya orang Arab Saudi asli (http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html).

Kalau ditarik analogi cara pandang ormas-ormas itu pun membawa kita ke alam naif karena mengesankan orang-orang yang tidak beragama akan tertular HIV. Lagi-lagi kita terperangkap dalam kehampaan nalar.

- Syaiful W. Harahap

Kamis, 08 Juli 2010

Menyikapi Berita Kematian Terkait AIDS di Mataram

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 9/7-2010. “31 Orang Meninggal karena AIDS di Mataram, NTB, Hinggu Juni 2010’. Itulah isi newsticker di MetroTV (9/7-2010).

Informasi itu seakan-akan tidak bermakna. Ya, hanya berita kematian. Tapi, kalau ditililk dari aspek epidemiologi HIV maka informasi itu justru merupakan ‘lampu kuning’ bahkan bisa sebagai ‘lampu merah’.

Selama ini kematian penduduk terkait dengan AIDS selalu diabaikan. Padahal, kematian seseorang karena penyakit yang terkait dengan AIDS menyisakan persoalan.

Kematian pada seseorang yang terkait AIDS secara statistik terjadi setelah ybs. tertular HIV antara 5- 15 tahun. Pada kurun waktu itu banyak oang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV.

Akibatnya, orang-orang yang sudah tertular HIV itu (bisa) menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks penetrasi tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik dan cangkok organ tubuh, (d) air susu ibu (ASI). Semua terjadi tanpa disadari.

Kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) harus disikapi dari aspek epidemilogi HIV. Orang-orang yang terkait secara seksual dengan Odha yang meninggal berisiko tertular HIV.

Kalau Odha yang meninggal laki-laki maka istrinya berisiko tertular HIV (horizontal). Selanjutnya anak yang dikandung istrinya pun berisiko pula tertular HIV (vertikal). Begitu pula dengan perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya, seperti selingkuhan, pacar gelap, dan pekerja seks.

Jika Odha yang meninggal perempuan maka dia pun bisa menularkan HIV kepada orang lain.

Celakanya, kita tidak mempunyai mekanisme yang bisa ‘menjaring’ perempuan yang berisiko tertular HIV. Di Malaysia ada survailans tes HIV secara rutin terhadap perempuan hamil. Ini realistis karena perempuan yang hamil sudah pernah melakukan hubungan seks, dalam atau di luar nikah, dengan laki-laki tanpa kondom.

Selama ini survailans tes HIV di Indonesia hanya menyasar pekerja seks sebagai ‘sasaran tembak’ yang empuk karena ditopang oleh pandangan moral. Padahal, yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa kelihatan sebagai ‘orang atau suami baik-baik’.

Jika 31 oang yang meninggal di Mataram itu semua laki-laki maka ada risiko tertular HIV pada 31 oang perempuan. Angka ini akan bertambah kalau ada di antara laki-laki itu yang mempunyai isrti atau pasangan seks lebih dari satu orang. Angka-angka ini pun bisa menjadi deret ukur karena yang sudah tertular tidak menyadari dirinya sehingga tanpa disadarinya dia pun menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Jika Pemkot Mataram, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Mataram dan KPA Kota Mataram, mau ‘memutar otak’ maka angka kematian terkait AIDS itu harus disikapi dengan kaca mata epidemiologi HIV.

Artinya, harus ada upaya mendeteksi HIV di masyarakat melalui cara-cara yang objektif karena sudah ada 31 penduduk yang mengidap HIV.

Salah satu cara adalah menggencarkan penyuluhan dengan informasi yang akurat dengan mengedepankan fakta terkait dengan kematian 31 Odha. Selain itu bisa juga meniru Malaysia yaitu melakukan survailans tes HIV terhadap perempuan hamil.

Sayangnya, selama ini kematian Odha tidak disikapi dari aspek epidemilogi, tapi lebih banyak ditanggapi dari sudh moral. Kematian Odha sering dijadikan sebagai ‘contoh’ karena perbuatan yang amoral. Padahal, kematian karena kecelakaan lalu lintas yang juga trkait langsung dengan moral justru jauh lebih besar. ***

* Penulis adalah pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

Menyoal Pernyataan ‘Mohon Maaf’

Jakarta, 9/7-2010. Kita sering mendengar pernyataan ‘mohon maaf’, ‘mohon maaf yang sebesar-besarnya’, dll. Ini menggambarkan seseorang meminta maaf.

Seperti halnya yang dilakukan Cut Tari (8/7-2010). Dia merasa perlu meminta maaf kepada presiden, kapolri, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta orang tua karena pemberitaan tentang dirinya terkait dengan peredaran ‘video mesum’ yang melibatkan perempuan ‘mirip dirinya’ telah menggemparkan masyarakat.

Berbagai komentar yang objektif dan subjektif tentang dirinya mengalir bagaikan air bah di media massa nasional dan internasional.

Tapi, selama ini kita tidak melihat pernyataan ‘mohon maaf’dari makna.. Permintaan maaaf merupakan permohonan dari orang yang merasa perlu dimaaafkan karena berbagai hal.

Maka, yang diharapkan oleh orang yang ‘mohon maaf’ adalah orang lain memaafkan dirinya. ‘Mohon maaf’ hanya ucapan orang yang merasa perlu meminta maaf.

Untuk itu yang tepat adalah ‘mohon dimaafkan’. Ini permintataan secara langsung kepada orang lain untuk memaafkan perbuagtannya.

- Syaiful W. Harahap

Minggu, 04 Juli 2010

Konsultasi HIV/AIDS 1-Jul 10

Khawatir karena Hasil Tes HIV Reaktif

Pertanyaan. Salam Persaudaraan. Beberapa minggu yang lalu saya melakukan VCT. Hasil dari tes adalah reaktif. Saya tidak tahu spesipikasi tes yang dilakukan kepada saya.

Dari paparan di artikel “Debat AIDS yang Tak Berujung” di blog ini bahwa tes konfirmasi yaitu Western blot hanya ada di RSCM Jakarta. (1) Apakah tes yang saya lakukan di puskesmas rujukan dapat diyakini hasil tesnya?

Saya sangat khawatir dengan kondisi saya walaupun tanpa gejala. (2) Mungkinkah seorang Odha hidup tanpa terapi ARV dengan pola hidup sehat? (3) Mungkinkah CD4 Odha akan terus tinggi untuk mengantisipasi infeksi oportunistik (IO)? (4) Apa yg harus saya lakukan untuk memepertahankan kesehatan saya?

Terima kasih, Saya mohon tanggapan.

Anomim

Jawab. Dalam e-mail Anda tidak disebutkan apa alasan Anda untuk menjalani tes HIV di klinik VCT di Puskesmas. Anda mengatakan “Saya sangat khawatir dengan kondisi saya walaupun tanpa gejala.” Mengapa Anda kahwatir? Apa yang Anda khawatirkan?

Infeksi HIV memang tidak semerta menunjukkan gajela yang khas AIDS pada fisik Anda. Gejala baru muncul setelah 5-15 tahun kemudian.

(1) Tes HIV Anda menunjukkan hasil yang reaktif. Pertama, apakah sebelum tes Anda menjalani konseling? Kalau jawabannya YA, maka tes yang Anda lakukan beralasan karena konselor menemukan alasan yang kuat untuk melakukan tes HIV. Ini erat kaitannya dengan perilaku Anda. Jika Anda pernah atau sering melakukan salah satu ata beberapa dari perilaku ini maka Anda berada pada posisi yang rentan tertular HIV.

Perilaku berisiko adalah: (a). Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (b). Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK; (c). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (d) Memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Kedua, hasil tes dengan ELISA bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi terdeteksi) atau negatif palsu (HIV ada dalam darah tapi tidak terdeteksi). Hasil tes Anda yang reaktif akan akurat kalau Anda melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko di atas tiga bulan ketika Anda menjalani tes HIV. Soalnya, tes yang dilakukan adalah mencari antibodi HIV bukan virus (HIV). Antibodi HIV ini baru bisa terdeteksi di dalam darah orang yang sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan. Tes yang dilakukan di VCT sesuai standar prosedur operasi tanpa harus dilakukan konfirmasi dengan Western blot.

(2), (3) dan (4). Akan lebih baik kalau Anda konsultasi dengan dokter di puskesmas tempat Anda menjalani tes HIV. Sebagai gambaran sejak HIV masuk ke dalam darah maka sepanjang hidup HIV akan terus menggandakan diri di sel-sel darah putih. Akibatnya, banyak sel-sel darah putih yang rusak karena dipakai sebagai pabrik penggandaan oleh HIV. Sebaliknya, HIV kian banyak di dalam darah. Tanpa intervensi obat, dalam hal ini ARV, maka penggandaan HIV akan terus berlanjut. Dengan pengobatan ARV maka penggandaan HIV dapat ditekan.

Dalam e-mail Anda menyebutkan ’Anda sangat khawatir dengan kondisi Anda walaupun tanpa gejala’. Ya, mengapa Anda khawatir? Yang jelas biar pun hasil tes HIV di klinik VCT reaktif, tapi kalau Anda tidak pernah melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko maka Anda tidak perlu khawatir. Sebaliknya, kalau Anda pernah melakukan sekali atau beberapa kali dari salah satu atau beberapa perilaku berisko maka biar pun tidak ada gejala Anda wajar khawatir karena ada kemungkinan HIV sudah ada di dalam darah Anda. Apalagi hasil tes HIV yang Anda lakukan reaktif.

Jika memang Anda pernah melakukan sekali atau sering perilaku berisiko maka hasil tes HIV Anda merupakan kenyataan. Untuk itu Anda akan lebih baik melanjutkan hubungan dengan klinik VCT di Puskesmas tempat Anda menjalani tes HIV agar bsia ditangani secara medis.

Ingat, sampai sekarang tidak ada cara, metode atau obat yang bisa menyembuhkan AIDS! Jangan tergoda dengan iklan atau iming-iming yang mengatakan bisa menyembuhkan AIDS. Untuk memupus kekhawatiran Anda akan kondisi Anda segera hubungi konselor di Puskesmas tempat Anda menjalani tes HIV.***