Kamis, 17 Juni 2010

Tanggapan terhadap Berita 'Ariel-Luna Maya Harus Tes HIV-AIDS'

Anjuran Tes Karena Sanggama Tidak Memakai Kondom dengan Pasangan yang Bergante-ganti.

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita 'Ariel-Luna Maya Harus Tes HIV-AIDS' di INILAH.COM, Jakarta, 12/06/2010 lagi-lagi membawa kita ke alam mitos. Sampai Sekarang banyak yang tetap mengait-ngaitkan penularan HIV secara langsung dengan norma, moral dan agama. Kondisi ini menempatkan masyarakat pada situasi yang tidak realistis terkait penularan dan pencegahan HIV yang faktual.

Dalam berita disebutkan: " .... Agar pelakunya harus tes kesehatan, sebab ini sudah bicara seks bebas. Kalo terus dibiarkan maka menjadi virus yang tersebar luas," ungkap kuasa hukum Hajar Indonesia, Farhat Abbas.

Entah siapa yang memulai tapi sampai sekarang ’seks bebas’ menjadi terminologi ’resmi’ di negeri ini. Mulai dari pejabat tinggi sampai rakyat kebanyakan dengan mudah menyebut ’seks bebas’. Padahal, ’seks bebas’ adalah terminologi yang ngawur karena tidak jelas makna dan artinya dengan akurat.

Kemungkinan besar ’seks bebas’ adalah terjemahan bebas dari free sex. Celakanya, dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada lema (entry) free sex sebagai kata majemuk. Istilah free sex berkembang di awal tahun 1970-an yang dikait-kaitkan dengan perlaku kalangan hippies. Ini menunjukkan free sex tidak terkait dengan perilaku masyarakat Barat karena itu hanya perilaku orang per orang di kalangan tertentu. Dalam beberapa kamus Bahasa Inggris yang ada adalah free love yaitu hubungan seks yang dilakukan di luar pernikahan.

Nah, kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seks (sanggama) di luar pernikahan maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Soalnya, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (sifat hubungan seks) bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seks). Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif (kondisi hubungan seks) melakukan sanggama secara ’seks bebas’ (sifat hubungan seks) maka tidak ada risiko penularan HIV.

Maka, risiko penularan HIV terjadi berdasarkan kondisi hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks, seperti ’seks bebas’.

Di bagian lain disebutkan: ”Dalam video tersebut si pelaku tidak menggunakan kondom. Apalagi ini dalam jumlah yang banyak. Jika HIV itu terbukti maka bisa di bilang tergolong melakukan pembunuhan berencana." Nah, ini baru terkait dengan epidemi HIV.

Dalam berita disebutkan: “ ….. pelaku tidak menggunakan kondom.” Kemudian ada lagi pernyataan “ …. dalam jumlah yang banyak … “, maksudnya melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti. Dua fakta ini erat kaitannya dengan risiko menularkan dan tertular HIV.

Pertama, melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti tanpa memakai kondom adalah merupakan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Soalnya, ada kemungkinan salah satu dari pasangan tersebut (dalam hal ini perempuan) ada yang HIV-positif sehingga laki-laki berisiko tertular HIV.

Kedua, kalau ada di antara perempuan yang menjadi pasangan seorang laki-laki HIV-positif maka laki-laki tadi berisiko tertular HIV. Jika laki-laki tadi tertular HIV maka perempuan-perempuan yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki tadi tanpa kondom berisiko pula tertular HIV.

Ketiga, kalau ada di antara perempuan-perempuan yang menjadi pasangan seks laki-laki yang tertular tadi maka perempuan-perempuan itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang bersuami akan menularkan HIV kepada suaminya. Sedangkan yang belum menikah akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau suaminya kelak.

Semua terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, ciri atau gejal yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular). Tapi, biar pun tidak ad tanda pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seks, transfusi darah, jarum suntik, alat-alat kesehatan.

Ada lagi pernyataan dari Farhat: "Bahkan jika perlu si pelaku harus dikarantina. Karena kalau tidak dikarantina bisa menyebarkan virus HIV ….” Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Yang menjadi persoalan besar bukan laki-laki yang menjadi pasangan beberapa perempuan tadi karena yang menjadi persoalan besar justru perempuan-perempuan yang tertular dari laki-laki. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di masyarakat melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, transfusi darah, dan jarum suntik.

Kita selalu mendengung-dengungkan diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tapi fakta menunjukkan kita justru lebih ’biadab’ dari masyarakat yang kita tuding tidak berbudaya dan tidak beragama. Di negara-negara itu pelecehan seks dan perkosaan dihukum berat bahkan ada negara yang menerapkan hukuman mati.

Nah, di negeri ini peleceghan seks dan perkosaan hanya sebagai perkara kriminal biasa (ordinary crime) dengan ancaman hukuman yang rendah dan vonis penjara sering hanya seumur jagung.

Begitu juga dengan video porno. Beberapa video yang diproduksi Majalah Playboy yang dicaci-maki di negeri ini sebagai produk ’bangsa biadab’ ternyata gambar-gambarnya tidak seperti video ’mirip artis’ yang beredar di negeri yang berbudaya dan beragama ini. Tidak ada gambar penis masuk ke vagina. Di vedio ’produk anak bangsa yang berbudaya dan beragama’ justru ada gambar penis masuk ke vagina. Inikah gambaran budaya dan agama yang kita dengung-dengungkan ke dunia? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Perbandingan Kasus AIDS Antara Indonesia dan Malaysia

Oleh Syaiful W. Harahap*

Ketika Kementerian Kesehatan RI (d/h. Depkes) mengeluarkan data kasus AIDS terbaru tertanggal 3 Juni 2010 yang melaporkan jumlah kasus AIDS sampai 31 Maret 2010 angka mulai melampaui 20.000 yaitu 20.564.

Dengan angka dua puluh ribuan itu sudah banyak yang kaget. Tapi, tunggu dulu. Angka itu merupakan hasil deteksi di negeri yang berpenduduk 240-an juta. Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20-an juta sudah mendeteksi 87,710 kasus HIV/AIDS (Utusan Malaysia, Kuala Lumpur, 19/03/2010).
.
Mengapa kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di Malaysia jika dibandingkan dengan di Indonesia?

Apakah memang perilaku penduduk Indonesia lebih ‘sufi’ daripada penduduk Malaysia sehingga jumlah kasus berbeda jauh?

Kalau dicermati pertanyaan kedua tentulah hanya bertolak dari sudut pandang (angle) penduduk Indonesia. Kita sering menganggap lebih berbudaya dan lebih beragama dari bangsa-bangsa lain di dunia ini. Buknya, kita selalu mendengung-dengungkan diri sebagia bangsa yang berbudaya dan beragama. Padahal;, realitas menunjukkan banyak kejadian yang merupakan perilaku penduduk Indonesia yang sama sekali tidak menggambarkan perlaku orang yang berbudaya dan beragama.

Rupanya, Malaysia menjalankan survailans tes HIV dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia.

Sedangkan di Indonesia, ya lagi-lagi, menjalankan survailans tes HIV dengan patokan moral. Yang menjadi ‘sasaran tembak’ adalah orang-orang yang dianggap ‘tidak mempunyai susila’, seperti pekerja seks, waria, pekerja panti pijat, dll. Kegiatan pun tidak berjalan sistematis dan rutin. Hanya dilakuklan secara sporadis.

Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian yaitu yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan waria justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai ‘orang yang mempunyai susila”. Mereka itu ada yang menjadi suami, pacar, selingkuhan, dll. yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, rampok, dll.

Tapi, karena kita menganggap diri sebagai orang yang bermoral karena tidak termasuk ‘sasaran tembak’ maka semua fakta yang terkait dengan penularan HIV kita abaikan dan lebih senang mencari kambing hitam.

Biar pun epidemi HIV berkaitan dengan fenomena gunung es, tapi kita malah bangga dengan angka yang kecil dan membanding-bandingkannya dengan negara tetangga. Ketika banyak negara mulai bisa meredam kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa di negeri ini justru sebaliknya. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia dengan percepatan kasus yang cepat. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Rabu, 09 Juni 2010

Debat AIDS yang Tak Berujung

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 10 Juni 2010. Di awal tahun 2007 saya menerima e-mail dari “khairulratta” yang berisi tentang pengobatan AIDS. Sebagai pemerhati masalah HIV/AIDS saya membalas e-mail tersebut. Beberapa kali terjadi perdebatan, tapi sejak e-mail saya terakhir tidak ada lagi jawaban.

Untuk mendapatkan gambaran ril tentang materi debat, berikut ini saya kutip isi e-mail (alamat e-mail “khairulratta” saya hapus).


20 February, 2007 1:08:36 AM
Selamat bergabung
From: khairulratta
To: infokespro

Ass.

Kami sangat menyambut baik kehadiran FMPA,semoga apa yang telah kerjakan mendapat ridho Allah Swt. Amin. Melalui ini pula disampaikan bahwa kami bergerak pada penyembuhan bagi ODHA, yang Alhamdullah sudah ada yang terbukti sebuh baik di Medan SUMUT, Pekanbaru RIAU, dan Malang JATIM dengan metode Totok Darah PS.

Walet Puti. Jika teman berminat untuk menjalin kerjasama dalam penyembuhan ODHA kami sangat berterimakasih.

Selamat berjuang.
Wss.


Tue, 20 February, 2007 8:11:43 AM
Re: Selamat bergabung
From: infokespro
To: khairulratta

Sahabat Yth.,

Maaf, sebagai seorang muslim saya percaya kemurahan Tuhan. Tapi, dalam kaitan HIV/AIDS ada yang perlu diperhatikan:

Pertama, seseorang disebut tertular HIV jika dia sudah menjalani tes HIV. Hasil tes HIV pertama (bisa dengan ELISA atau rapid test) dikonfirmasi (dibuktikan) dengan tes Western Blot (ini hanya ada di RSCM Jakarta).

Kedua, apakah orang yang Anda sembuhkan sudah menjalani kedua tes di atas sebelum diobati?

Ketiga, kalau Anda mengatakan bisa menyembuhkan Odha, apakah setelah Anda obati mereka menjalani tes HIV dengan prosedur di atas?

Keempat, AIDS bukan penyakit sehingga tidak bisa diobati.

Kelima, obat yang ada sekarang yaitu obat antiretroviral (ARV) hanya untuk menahan laju perkembangan HIV di dalam tubuh (darah).

Keenam, tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 - 10 tahun
setelah tertular).Maka, jika Anda mengatakan bisa menyembuhkan HIV/AIDS perlu dibuktikan dengan cara:

a. Sebelum diobati mereka menjalani tes HIV dulu sesuai dengan standar operasi tes HIV yang baku yaitu hasil tes pertama dikonfirmasi dengan tes Western Blot.

b. Setelah diobati dan dinyatakan sembuh mereka juga menjalani tes HIV seperti di atas.

Saya sependapat dengan Marina Mahatir, putri mantan PM Malaysia, yang mengatakan kita tidak boleh memberikan angin sorga kepada orang-orang yang sakit tanpa bukti
medis.

Salam takzim,
Syaiful W. Harahap
Direktur Eksekutif LSM "InfoKespro"
Jl. Pisangan Lama III RT 009/011 No. 1-B
Jakarta 13230 - Tlp/Fax (021) 4704261/4704265



Wed, 21 February, 2007 2:21:35 AM
Balasan: Re: Selamat bergabung
From: khairulratta
To: infokespro

Ass.
Trims atas respon Rekan2 terhadap Pengobatan kami.
1. Dalam pengobatan Totok Darah PS.Walet Puti khusus penyembuhan bagi ODHA, memakai sitem pemeriksaan yang dimaksud baik sebelum dan sesudahnya walaupun sebatas tes ELISA (berdasarkan kesepakatan).

2. Kami tetap menjunjung tinggi hak pasien untuk bersedia atau tidak dipublikasikan/informasikan data tes awal dan akhir serta biodata pasien.(kerahasiaan terjamin).

3. Tolong diinformasikan kepada kami yang dimaksud dengan: "AIDS bukan penyakit sehingga tidak bisa diobati".

4. Untuk saat ini kami masih merawat penderita ODHA di Kab Malang. Dalam satu bulan perawatan telah menunjukan perubahan yang signifikan.(fhoto terlampir).

5. Kami sangat senang jika rekan2 dapat meluangkan waktu untuk menyaksikan secara langsung kepada pasien yang sedang dalam perawatan.

6. Sekretariat Pengobatan Tradisional Totok Darah PS. Walet Puti Cabang Malang. Jl.Kendalsari Gg 5 No 2 Tulusrejo Lowokwaru, Malang, Telp 0341-6311299/081375567896


Thu, 22 February, 2007 2:13:11 PM
Re: Balasan: Re: Selamat bergabung
From: infokespro
To: khairulratta

Dht,
Sehubungan dengan pertanyaan Anda: 3. Tolong diinformasikan kepada kami yang dimaksud dengan: "AIDS bukan penyakit sehingga tidak bisa diobati".

Ya, AIDS disebut sebagai penyakit hanya terminology yang mengacu ke kondisi tubuh seseorang yang sudah tertular HIV yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit yang disebut infeksi oportunistik.

Jika seseorang tertular HIV maka pada kurun waktu antara 5 - 10 tahun akan mencapai masa AIDS karena sel-sel darah putihnya sudah banyak yang rusak. Sel-sel darah putih adalah sistem kekebalan tubuh yang menangkal berbagai penyakit.

Maka, seseorang yang sudah mencapai masa AIDS akan mudah sakit. Penyakit yang datang pada masa AIDS itulah yang bisa mematikan.

Yang mematikan Odha bukan HIV atau AIDS tapi infeksi oportunistik.

HIV adalah virus. Sampai sekarang belum ada yang bisa membunuh semua jenis virus, seperti flu, hepatitis, dll. di dalam tubuh manusia.

Maka, kalau ada yang mengatakan bisa menyembuhkan Odha itu jelas tidak benar karena jika seorang Odha dinyatakan sembuh dari HIV/AIDS maka di darahnya tidak ada lagi HIV yang dibuktikan dengan tes ELISA dan dikonfirmasi dengan tes Western Blot.

Maaf, kalau pasien-pasien Anda yang Anda sebut sebagai Odha hanya menjalani tes ELISA maka itu tidak akurat karena tes ELISA juga mendeteksi hepatitis A. Bisa saja mereka bukan tertular HIV tapi hanya tertular virus hepatitis.

Seseorang didiagnosis HIV-positif jika hasil tes ELISA diuji lagi dengan tes Western Blot (tes ini hanya ada di RSCM Jakarta dengan biaya Rp 875.000).

Nah, karena AIDS bukan penyakit tentu saja tidak bisa diobati.

Yang diobati pada Odha adalah menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga sel-sel darah putih tetap banyak dan bisa menghalau penyakit.

Lagi-lagi, maaf, kalau Anda menyebut bisa menyembuhkan AIDS jelas keliru karena AIDS bukan penyakit. Lalu, kalau Anda menyebut menyembuhkan Odha silakan darahnya dites dengan ELISA dan Western Blot.

Saya sudah menulis dua buku tentang HIV/AIDS. Jika berminat silakan kirim uang Rp 50.000 ke LSM "InfoKespro", PO Box 1244/JAT, Jakarta 13230.


Salam takzim,
Syaiful W. Harahap


Tue, 27 February, 2007 2:21:28 AM
Balasan: Re: Balasan: Re: Selamat bergabung
From: khairulratta
To: infokespro

Ass.
sebelumnya kami ucapkan trimakasih atas penjelasan yang diberikan, kami berupaya untuk memahaminya. Klihatannya kita memiliki sedikit berbeda pandangan tentang apakah bisa atau tidak pengidap HIV/AIDS disebuhkan. Walaupun kami kurang memahami tentang apa itu penyakit atau tidak (HIV/AIDS), tapi kami punya keyaqinan bahwa : Setiap penyakit yang diturunkan pasti ada obatnya.

Jika rekan-rekan bisa mencarikan donatur untuk mengadakan uji kelayakan tentang engobatan kami sebagai sampel 5 orang pengidap HIV/AIDS kami bersedia untuk itu. Dana yang dibutuhkan untuk perawatan 5 bulan Rp. 67.000.000/ orang.

Sebelum dan sesudahnya bisa kita tes ELISA/Westrem Blot. jika diperlukan setiap bulannya kita tes kembali.

"TIDAK ADA KATA TIDAK MUNGKIN JIKA ALLAH BERKEHENDAK"

Trims Shobat
Wss.


Wed, 28 February, 2007 12:50:32 PM
Re: Balasan: Re: Balasan: Re: Selamat bergabung
From: infokespro
To: khairulratta

Dht,

Anda mengatakan "Setiap penyakit yang diturunkan pasti ada obatnya".

Baik, saya bertanya: Apakah sekarang sudah ada obat, artinya bisa menyembuhkan sedara total, penyakit darah tinggi, diabetes (kencing manis), demam berdarah, dan
flu burung?

Salam,
Syaiful W. Harahap

Ini e-mail terakhir. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi menerima balasan berupa e-mail dari ” khairulratta”.


* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Jumat, 04 Juni 2010

Tidak Semua Prajurit Harus Tes HIV

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Radar Tarakan”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 3 Juni 2010. Berita ”Mulai Perwira hingga Petugas Posal Cek Darah. Upaya Lanal Nunukan Cegah Penularan HIV/AIDS” di Harian “Radar Tarakan” edisi 1 Juni 2010 lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap epidemi HIV sebagai fakta medis.

Dalam berita disebutkan” ”Upaya Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Nunukan agar jajarannya terhindar dari penyakit mematikan-Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), diwujudkan melalui kegiatan pemeriksaan darah ....” Dalam pernyataan ini saja sudah terjadi beberapa kesalahan.

Pertama, HIV dan AIDS bukan penyakit yang mematikan. Bahkan, HIV bukan penyakit karena HIV adalah virus. AIDS pun bukan penyakit karena AIDS adalah kondisi seseorang yang sudah tertular HIV setelah melewati waktu antara 5 – 15 tahun. Yang mematikan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah penyakit-penyakit yang menyerang setelah mencapai masa AIDS, disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TB, dll. Pada orang-orang yang tidak terinfeksi HIV penyakit ini mudah disembuhkan, tapi pada Odha sangat sulit sembuh karena sistem kekebalan tubuh mereka sudah rapuh dirusak HIV.

Kedua, pemeriksaan darah tidak bida menghindarkan seseorang dari risiko tertular HIV karena penularan HIV erat kaitannya dengan perilaku yang dikenal sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Perilaku berisiko adalah: (1) Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (2) Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di laur nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, waria, dll.; (3) Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; dan (4) Memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Ketiga, dalam tes HIV dikenal masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular sampai tiga bulan. Jika seseorang dites pada masa jendela maka hasil tes bisa positif palsu (hasil tes reaktif tapi sebenarnya tidak ada HIV di dalam darahnya) atau negatif palsu (hasil tes nonreaktif tapi sebenarnya di dalam darahnya sudah ada HIV). Bayangkan, seorang perwira hasil tesnya reaktif. Apa yang akan terjadi? Sebaliknya, orang yang terdeteksi nonreaktif dianggap murni HIV-negatif, padahal hasil itu negatif palsu karena di dalam darahnya sudah ada HIV. Itulah sebabnya dalam tes HIV ada tes konfirmasi. Setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, tes pertama dengan ELISA maka contoh darah yang sama dites lagi dengan Western blot. Atau dites dengan ELISA tiga kali tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda.

Keempat, disebutkan pula: ".... pemeriksaan darah rutin dilaksanakan setiap 6 bulan sekali.” Biar pun tes dilakukan tiap hari tetap saja akan ketemu dengan masa jendela. Maka, jika hendak tes HIV yang perlu ditanya adalah: Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko? Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka ybs. tidak perlu dites karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu.

Tes HIV dengan rapid test atau ELISA adalah mencari antibodi HIV di dalam darah. Sistem pertahanan tubuh akan memproduksi antibodi terhadap kuman, bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Ketika HIV masuk maka tubuh memproduksi antibodi HIV yang baru bisa dideteksi setelah tiga bulan. Maka, tes terhadap orang yang berada pada masa jendela tidak efektif.

Lagi pula biar pun hari ini hasil tes negatif itu bukan jaminan bahwa ybs. selamanya akan HIV-negatif karena bisa saja ybs. melakukan perilaku berisiko sehingga ada kemungkinan tertular HIV.

Di bagian lain disebutkan pula: ”.... penyakit yang sampai saat ini belum ada obatnya.” Karena AIDS bukan penyakit tentulah tidak ada obatnya. Selain itu perlu diperhatikan bahwa ada penyakit yang juga tidak ada obatnya (contohnya, demam berdarah). Ada penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan (contohnya, darah tinggi dan diabetes). Terkait dengan HIV sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yaitu obat yang dapat menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Obat ini gratis karena ada bantuan dari donor asing.

Ada lagi pernyataan: ”Selain cek darah, pembinaan secara personal juga dilakukan, salah satunya imbauan agar menghindari tempat-tempat hiburan terlarang.” Ini yang disebut mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan tempat-tempat hiburan. Penularan HIV melalui hubugnan seks bisa terjadi dalam atau di luar nikah jika salah satu atau keduanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Melakukan hubungan seks dengan pekerja seks langsung atau pekerja seks tidak langsung berisiko tertular HIV jika tidak memakai kondom. Ini fakta.

Epidemi HIV menjadi persoalan besar karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 15 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) cangkok organ tubuh yang tidak diskring HIV, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akupunktur dan alat-alat kesehatan yang dipakai bergantian, dan (e) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Salah satu cara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap HIV adalah memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV bukan dengan norma, moral, dan agama yang justru menyuburkan mitos. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tanggapan terhadap Pernyataan Evis Listyoningsih dan Esih Juntasih di “Surat Pembaca” Harian “Lampung Post”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Dua surat yang dimuat Harian “Lampung Post” di rubrik “Surat Pembaca” yaitu "Selamat Tinggal HIV/AIDS” (4 Desember 2009) yang dikirim oleh Evis Listyoningsih, Mahasiswa Mahasiswa FKIP Universitas Lampung dan dan “'Free Sex, Free Condom'” (5 Desember 2009) dikirim oleh Esih Juntasih, Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab IAIN Raden Intan Lampung dan pelajar Hizbut Tahrir Indonesia, menunjukkan pemahaman yang jungkir balik terhadap HIV.

Sangat disayangkan kedua mahasiswi ini menanggapi HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, pemahaman terhadap HIV/AIDS pun tidak akurat.

Evis Listyoningsih menulis: “Inilah akibat gaya hidup bebas yang berkedok HAM dan demokrasi karena berlandaskan sekuler-kapitalis dalam memandang kehidupan ini. Munculnya HIV/AIDS ini tidak lepas dari peringatan Allah swt. karena kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia ....” Tidak ada kaitan langsung antara ‘gaya hidup bebas yang berkedok HAM dan demokrasi karena berlandaskan sekuler-kapitalis’ dengan penularan HIV.

Di negara-negara yang menerapkan kita suci sebagai UUD sehingga tidak ada industri seks dan hiburan malam tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Ini saya kutip langsung dari blog seorang penulis Arab: “The Saudi government reported that in 2008 the number of AIDS patients in Saudi Arabia was 13,926 with 3,538 Saudis. An estimated 505 were Saudi females and 769 non-Saudi women. About 80 percent got the virus through sexual activity, 15 percent through blood transfusions and 5 percent unknown. Most AIDS victims are between the ages of 15 and 49, which is a disaster in a young country like ours.” [Sumber: http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html]

Lagi pula penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, melacur, homoseksual, dll. Ini fakta (medis).

Begitu pula dengan Esih Juntasih yang mengatakan: ”Free sex, free condom. Inilah slogan-slogan yang telah ditawarkan pemerintah kita, yang telah nyata terbukti gagal dan bobrok dalam menanggulangi HIV AIDS dengan cara menggunakan kondom malah menumbuhsuburkan wabah penyakit HIV AIDS” jelas hanya opini. Pemerintah tidak pernah menyebarluaskan slogan itu.

Yang dikampanyekan (pemerintah) adalah penggunaan kondom pada hubungan seks berisko yaitu hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Selain itu program ‘wajib kondom’ pun ditujukan kepada laki-laki ‘hidung belang’ karena tidak mungkin mengawasi perilaku (seks) setiap orang. Maka, yang dilakukan adalah memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu melindungi diri pada hubungan seks yang berisiko.

Sebagai mahasiswi Anda menyampaikan pendapat tanpa fakta. Anda mengatakan: “ …. yang telah nyata terbukti gagal dan bobrok dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan cara menggunakan kondom ….” Apakah ada penelitian bahwa semua laki-laki yang melakukan hubungan seks berisiko memakai kondom tetap tertular HIV? Biar pun kondom dikampanyekan belum tentu ‘hidung belang’ mau memakainya. Ini persoalannya! Bukan pada kondom tapi pada perilaku laki-laki ‘hidung belang’.

Dalam suratnya Esih Juntasih mengatakan: “Seharusnya kita kembali kepada aturan-aturan Sang Pencipta yang lebih tahu akan kebutuhan hamba-hambanya, coba pemerintah mengadakan larangan seks bebas (pezinaan), kemaksiatan, dan khamr (termasuk narkoba), dan segala jenis atau bentuk industri seks bebas dan narkoba harus diberantas habis, inilah cara jika pemerintah memang benar-benar ingin memberantas virus HIV AIDS, dan kembali menerapkan aturan-aturan Allah (syariah Islam) dalam seluruh aspek kehidupan agar keberkahan dan kebersihan hidup tanpa HIV AIDS segera kita rasakan.”

Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ atau perzinaan dengan penularan HIV. Kalau HIV menular karena ‘seks bebas’ atau zina maka sudah banyak orang yang tertular HIV karena banyak orang yang pernah dan sering melakukan ‘seks bebas’. Nah, Suadar-saudara yang pernah melakukan ‘seks bebas’, menurut Esih Juntasih, Anda sudah tertular HIV!

Maka, pernyatan Evis Listyoningsih: “Karena itu, untuk menyelamatkan generasi dari ancaman HIV/AIDS dan liberalisasi seks adalah dengan menegakkan solusi terbaik yang berasal dari Allah swt., yakni dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan termasuk mengatur pergaulan antara pria dan wanita. Dengan syariat Islam, selamat tinggal HIV/AIDS” hanya asumsi.

Penanggulangan epidemi HIV tidak bisa dilakukan dengan asumsi karena HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyikapi Kasus AIDS yang Kecil di Kawasan Tapanuli bagian Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 3 Juni 2010. Dalam laporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara tentang data kasus AIDS menunjukkan kasus yang dilaporkan dari Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli Selatan (termasuk Kab. Padang Lawas dan Kab. Padang Lawas Utara) adalah 3 (tiga). Angka ini hanya yang dilaporkan dari Kab. Tapanuli Selatan yaitu masing-masing satu kasus pada tahun 2001, 2002 dan 2005.

Sayang, dalam laporan tidak disebutkan bagaimana ketiga kasus itu terdeteksi, apa faktor risikonya (kemungkinan cara tertular, seperti hubungan seks, jarum suntik, transfusi darah, dll.), jenis kelamin, pekerjaan, dan usia.

Angka yang sangat kecil itu mengundang serangkaian pertanyaan karena tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penyebab angka yang kecil itu.

Perilaku Berisiko

Pertama, survailans tes HIV (tes HIV yang dilakukan terhadap kalangan dan kurun waktu tertentu) untuk memperoleh prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif) tidak dilakukan secara sistematis. Apakah di kelima darah itu dilakukan tes survailans secara konsisten? Kalau jawabannya ya, maka, kita bersyukur penduduk di wilayah itu tidak melakukan perilaku berisiko.

Perilaku berisiko adalah: (1) Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (2) Melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di laur nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, waria, dll.; (3) Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; dan (4) Memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Tapi, kalau jawabannya tidak maka ada ancaman besar yang mengintai masyarakat di kawasan itu karena orang-orang yang sudah tertular HIV yaitu orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melalukan perilaku berisiko akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri atau bersuami maka mereka akan menularkan HIV kepada istri atau suaminya atau pasangan seks mereka yang lain. Sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks. Orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS antara 5 – 15 tahun yang akan datang.

Kedua, sarana dan prasarana untuk tes HIV dengan konseling, dikenal sebagai Klinik VCT, tidak ada di kawasan ini. Kondisi ini membuat orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggu tertular HIV tidak terdorong untuk melakukan tes HIV. Apakah ada jaminan bahwa penduduk kawasan ini, terutama laki-laki, tidak akan melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV di luar kawasan? Seperti kita ketahui mobilitas penduduk kawasan ini sangat tinggi, terutama yang bekerja di sektor transportasi dan perdagangan antar pulau. Di beberapa daerah tujuan trayek dan perdagangan dari kawasan ini terdapat lokasi atau lokalisasi pelacuran. Laporan dari daerah-daerah itu menunjukkan ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Ketiga, ada kemungkinan dokter yang mendeteksi kasus HIV/AIDS tidak melaporkannya ke dinas kesehatan setempat. Bisa juga terjadi ada yang melakukan tes HIV di luar kawasan sehingga kasusnya terdaftar di tempat tes. Ini banyak terjadi. Beberapa daerah di Indonesia sesumbar tidak ada kasus di daerahnya, padahal ada penduduk daerah itu yang terdeteksi di Jakarta. Banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Jakarta bukan penduduk Jakarta. Soalnya, di Jakarta banyak yang manawarkan tes HIV gratis. Selain itu ada pula sanggar (rumah singgah) yang dikelola LSM untuk menampung orang-orang yang terdeteksi HIV-positif.

Jika pemerintahan di empat daerah yaitu Kota Padangsidimpuan, Kab. Madina, Kab. Padang Lawas dan Kab. Padang Lawas Utara merasa bangga dengan kasus NOL maka itu awal dari malapetaka. Angka-angka yang kecil atau nol adalah puncak dari sebuah gunung es karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanyalah bagian kecil yang muncul ke permukaan. Sedangkan kasus yang sebenarnya jauh lebih besar.

Tanpa Gejala

Malaysia jauh lebih maju daripada Indonesia. Itulah sebabnya kasus yang dilaporkan di neger jiran itu mendekati angka ril. Dengan penduduk 20-an juta sudah dilaporkan lebih dari 40.000 ribu kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 240-an juta hanya mendeksi belasan ribu kasus HIV/AIDS. Perkiraan kalangan ahli epidemiologi kasus AIDS di Indonesia angara 90.000 – 120.000.

Malaysia menjalakan survailans tes HIV dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll. ), pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, pasien TBC dan perempuan hamil. Survailans inilah yang banyak mendeteksi kasus HIV di masyarakat. Khusus terhadap perempuan hamil penemuan kasus HIV akan bisa mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi semasa dalam kandungan, saat persalinan, dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum akupunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) pada hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di luar nikah yang tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.
Karena epidemi HIV tidak mengenal batas wilayah maka sudah saatnya pemerintah di lima daerah tadi menjalankan survailans tes HIV dengan sistematis. Penemuan kasus HIV akan sangat berarti dalam upaya memutus mata rantai penyebaran HIV. Soalnya, penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu ini sudah bisa terjadi penularan melalui cara-cara di atas.

Belakangan ada ’kelatahan’ di beberapa daerah yaitu membuat peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan AIDS. Sudah ada 33 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda AIDS. Tapi, hasilnya nol besar!

Perda Pengekor

Mengapa? Ya, karena perda-perda itu hanya mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand. Yang diatur dalam perda-perda itu adalah ’penggunaan kondom’. Dalam penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand ’program wajib kondom 100 persen’ diberlakukan di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’ sehingga tidak ada kekuatan hukum dalam menerapkan program itu. Lagi pula Thailand menjalankan lima program secara bersama-sama dengan simultan yaitu dimulai dengan penyebar luasan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa sampai ’wajib kondom’.

Nah, penanggulangan AIDS di Indonesia mengambil ekor program Thailand. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian muncul penolakan besar-besaran karena masyarakat tidak memahami rangkaian program secara komprehensif. Celakanya lagi berita HIV/AIDS di media massa pun banyak yang mengandung mitos (anggapan yang salah). Begitu pula dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dari berbagai kalangan selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bida dicegah dengan teknologi kedokteran.

Selain itu dalam perda-perda AIDS itu pun pasal-pasal penanggulangan tidak ada yang akurat sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Semua perda mengedepankan norma, moral, dan agama. Karena penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral dan agama maka perda-perda itu pun bagaikan ’macan kertas’ dengan program yang ’menggantang asap’.

Apakah kita harus menunggu seperti di Thailand baru tergerak melakukan penanggulagan yang konkret? Awal tahun 1990-an Thailand sudah diperingatkan oleh ahli-ahli epidemiologi agar menanggulangi HIV/AIDS dengan serius karena kalau tidak ditanggulangi maka aan terjadi ledakan AIDS. Tapi, pemerintah Negeri Gajah Putih itu manampik karena mereka merasa sebagai orang-orang yang berbudaya dan beragama sehingga bisa membendung HIV/AIDS.

Padahal, nun di Arab Saudi yang menjadikan kitab suci sebagai UUD sehingga secara de jure dan de facto tidak ada lokalisasi pelacuran dan hiburan malam tetap saja banyak kasus HIV/AIDS. ”The Saudi government reported that in 2008 the number of AIDS patients in Saudi Arabia was 13,926 with 3,538 Saudis. An estimated 505 were Saudi females and 769 non-Saudi women. About 80 percent got the virus through sexual activity, 15 percent through blood transfusions and 5 percent unknown. Most AIDS victims are between the ages of 15 and 49, which is a disaster in a young country like ours.” (http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html).

Tapi, apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian di Thailand? Kasus HIV/AIDS mendekati angka satu juta. Penderita AIDS bergelimpangan di koridor rumah sakit. Devisa yang diperoleh negeri itu dari sektor pariwisata hanya bisa menutupi dua pertiga dari dana penanggulangan HIV/AIDS. Untunglah para bhiksu turun tangan dan menampung mereka di vihara. Usaha ini membuahkan hadiah Magsaysay bagi vihara di Thailand.

Nah, kalau hal itu terjadi di Indonesia, khususnya di kawasan Tapanuli bagian Selatan, apakah ada kalangan yang rela dengan sukacita menyingsingkan lengan baju menampung pendeita AIDS? Soalnya, sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia menghadapi epidemi HIV sekarang ini sama seperti yang dilakukan Thailand dahulu. Mengapa kita tidak belajar dari pengalaman Thailand?

Yang jelas sampai sekarang stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) merupakan gambaran nyata sikap masyarakat Indonesia terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Kamis, 03 Juni 2010

Statistik Kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan s/d Maret 2010

Sumber: Ditjen PPM & PL Depkes RI

591 kasus AIDS tambahan dilaporkan dalam triwulan Januari s.d. Maret 2010

591 kasus AIDS dilaporkan 1 Januari s.d. 31 Maret 2010

2.0564 kasus AIDS dengan 3936 kematian dilaporkan secara kumulatif antara 1 Januari 1987 s.d. 31 Maret 2010

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin AIDS AIDS/IDU
Laki-laki 15.168 7.430
Perempuan 5.306 611
Tak Diketahui 90 49
Jumlah 20.564 8.090

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko
Faktor Risiko AIDS
Heteroseksual 10.335
Homo-Biseksual 679
Penasun 8.091
Transfusi Darah 20
Transmisi Perinatal 534
Tak Diketahui 905

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
Golongan Umur AIDS AIDS/IDU
<1 206 0
1 - 4 247 0
5 - 14 123 8
15 - 19 637 138
20 - 29 10015 5.186
30 - 39 6231 2.192
40 - 49 1830 283
49 - 59 514 49
>60 103 8
Tak Diketahui 658 226

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Provinsi
No. Provinsi AIDS AIDS/IDU Mati
1 Jawa Barat 3.599 2.629 634
2 Jawa Timur 3.540 1.090 732
3 Papua 2.858 2 373
4 DKI Jakarta 2.828 2.002 426
5 Bali 1.725 268 307
6 Kalimantan Barat 794 132 107
7 Jawa Tengah 752 155 251
8 Sulawesi Selatan 591 210 62
9 Sumatera Utara 485 209 93
10 Riau 476 135 132
11 Sumatera Barat 382 261 94
12 Kepulauan Riau 334 30 130
13 Banten 318 199 55
14 DI Yogyakarta 290 132 81
15 Sumatera Selatan 219 104 38
16 Maluku 192 79 70
17 Sulawesi Utara 173 40 62
18 Jambi 165 96 50
19 Lampung 144 112 42
20 Nusa Tenggara Timur 139 12 25
21 Nusa Tenggara Barat 133 50 66
22 Bangka Belitung 117 40 18
23 Bengkulu 91 47 21
24 Papua Barat 58 5 19
25 NAD 44 17 11
26 Kalimantan Tengah 30 9 2
27 Kalimantan Selatan 27 9 5
28 Sulawesi Tenggara 21 1 5
29 Maluku Utara 13 3 8
30 Sulawesi Tengah 12 6 6
31 Kalimantan Timur 11 4 10
32 Gorontalo 3 2 1
33 Sulawesi Barat 0 0 0
Jumlah 20.564 8.090 3.936

Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk Berdasarkan Provinsi
No. Provinsi Prevalensi
1 Papua 135.44
2 Bali 48.55
3 DKI Jakarta 31.67
4 Kepulauan Riau 22.29
5 Kalimantan Barat 16.91
6 Maluku 14.21
7 Bangka Belitung 11.36
8 Jawa Timur 9.80
9 Papua Barat 8.93
10 Jawa Barat 8.60
11 Riau 8.51
12 DI Yogyakarta 8.51
13 Sumatera Barat 8.50
14 Sulawesi Utara 7.69
15 Sulawesi Selatan 6.65
16 Jambi 5.77
17 Bengkulu 5.20
18 Sumatera Utara 3.71
19 Nusatenggara Timur 3.19
20 Banten 3.06
21 Sumatera Selatan 3.04
22 Nusatenggara Barat 2.87
23 Jawa Tengah 2.33
24 Lampung 1.86
25 Maluku Utara 1.36
26 Kalimantan Tengah 1.26
27 NAD 1.07
28 Sulawesi Tenggara 0.91
29 Kalimantan Selatan 0.78
30 Sulawesi Tengah 0.46
31 Kalimantan Timur 0.35
32 Gorontalo 0.33
33 Sulawesi Barat 0.00
Nasional 8.92

Jumlah Kasus Baru AIDS Berdasarkan Tahun Pelaporan
Tahun AIDS AIDS/IDU
1987 5 0
1988 2 0
1989 5 0
1990 5 0
1991 15 0
1992 13 0
1993 24 1
1994 20 0
1995 23 1
1996 42 1
1997 44 0
1998 60 0
1999 94 10
2000 255 65
2001 219 62
2002 345 97
2003 316 122
2004 1.195 822
2005 2.638 1.420
2006 2.873 1.517
2007 2.947 1.437
2008 4.969 1.255
2009 3.863 1.156
2010 s.d. Maret 591 124

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI
Edit terakhir: 3 Juni 2010

Selasa, 01 Juni 2010

Surat Terbuka untuk Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Depkes (Bagian IV)

AIDS dan Hidup Bebas

Oleh Syaiful W. Harahap

Sebagai fakta medis kalangan pakar sudah menemukan cara-cara penularan HIV sesuai dengan teknologi kedokteran setelah virus penyebab AIDS dapat diidentifikasi tahun 1983. Tetapi, karena selama ini masalah HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan agama dan moral maka fakta yang objektif seputar HIV/AIDS pun hilang sehingga yang muncul kemudian justru mitos (anggapan yang keliru).

Hal di atas dapat disimak pada buku Pedoman Penyuluhan AIDS Menurut Agama Islam yang diterbitkan Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan (Cetakan III 1996/1997) melalui pernyataan "Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa musibah berupa penyakit AIDS, boleh jadi sebagai peringatan, kutukan dan adzab Allah terhadap manusia yang hidup serba bebas (huruf tebal dari penulis-Red.), mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama" (halaman 31). Karena virus merupakan jasad renik yang ada di alam semesta tentulah virus tidak khusus diciptakan Yang Maha Kuasa untuk mengutuk umatnya. HIV sama saja dengan bakteri, basil atau virus lain yang juga merupakan jasad renik.

Dalam hal ini tim penulis buku sudah membawa pembaca ke alam mitos karena hanya AIDS yang dikaitkan dengan peringatan, kutukan dan adzab. Karena penyakit lain pun, seperti TB, hepatitis B dan lain-lain juga disebabkan basil, virus dan lain-lain tentulah penyakit itu juga merupakan peringatan, kutukan dan adzab Tuhan.

Jika penyebaran AIDS dikaitkan dengan hidup yang serba bebas yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama maka orang-orang yang tidak hidup serba bebas dan yang tidak mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama tentu saja tidak akan mungkin tertular HIV. Ini logikanya. Tetapi, penulis buku ini rupanya melencengkan logika. Astagafirullah. Pengabaian logika dikemukakan melalui pernyataan "Dari situlah (maksudnya hidup bebas yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama-pen.) kemudian penyakit AIDS tersebar lebih meluas, tidak saja pada orang-orang yang melakukan penyimpangan dalam hubungan seksual seperti zina, homoseks ataupun penyimpangan lainnya, tetapi pada orang lain yang mungkin tidak melakukan penyimpangan hubungan seksual itu."

Pada beberapa bagian dalam buku logika jalan, seperti keterangan mengenai cara-cara penularan. Tetapi, pada bagian lain logika kembali dijungkirbalikkan sehingga fakta medis diabaikan. Pada halaman 31 disebutkan penularan melalui transfusi darah dan alat suntik dapat diatasi secara medis, namun pada bagian lain disebutkan "Tetapi cara penularan yang pertama, yaitu melalui hubungan seksual mengalami kesulitan dalam mengatasinya karena menyangkut sikap hidup dan perilaku manusia." Pernyataan ini sudah mengabaikan teknologi kedokteran yang dapat mencegah penularan HIV dan penyakit lain, seperti PMS dan hepatitis B, melalui hubungan seks.

Secara teoritis pencegahan melalui hubungan seks justru jauh lebih mudah daripada pencegahan melalui transfusi darah karena pada hubungan seks seseorang dapat melindungi dirinya sendiri dan pasangannya secara aktif. Sedangkan melalui transfusi darah seseorang yang menerima transfusi tidak dapat melindungi dirinya sendiri secara aktif. Dalam hubungan seks yang perlu dihindarkan adalah kontak darah, sperma dan cairan vagina antara seseorang yang HIV-positif dengan orang lain yang HIV-negatif. Kontak ini dapat dicegah dengan menggunakan kondom lateks saat melakukan hubungan seks di dalam maupun di luar nikah, baik seks vagina, anal dan oral.

Pencegahan infeksi HIV melalui hubungan seks dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat realistis, yaitu dengan memakai kondom ketika melakukan hubungan seks terutama dengan pasangan yang berganti-ganti baik di dalam maupun di luar nikah. Karena pencegahan melalui hubungan seks dikategorikan dalam buku ini sulit, maka "Pada segi inilah pendekatan agama multak diperlukan." Namun, tidak dijelaskan bagaimana (pendekatan) agama dapat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks.

Sebagai virus, HIV tidak (bisa) menyerang karena virus ini hanya bisa hidup dalam darah, sperma dan cairan vagina. Karena virus ini pun tidak bisa meninggalkan cairan-cairan tersebut maka ketika sperma ditampung dalam kondom, HIV pun terperangkap pula dalam kondom tersebut. Namun, di halaman 31 disebutkan AIDS menyerang.

Dari aspek medis dibuktikan penularan HIV terjadi karena ada kontak cairan tubuh yang mengandung HIV, antara lain melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom). Jadi, biar pun hubungan seks dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah tetap saja akan terjadi penularan HIV jika salah satu pasangan tersebut HIV-positif. Jadi, pencegahan secara khusus yang disebutkan dalam buku ini yaitu "hubungan seksual hanya dengan istri sendiri, dan menghindarkan hubungan seksual di luar nikah" tidak realistis.

Soalnya, penularan terjadi bukan karena hubungan seks dilakukan dengan yang bukan istri atau di luar nikah tetapi salah satu pasangan itu sudah HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom. Ini faktanya. Selain itu apa pun jenis hubungan seks (heteroseks atau homoseks) dan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tetap tidak akan terjadi penularan HIV jika kedua pasangan itu HIV-negatif. Sebaliknya, jika salah satu pasangan HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom maka kemungkinan tertular tetap ada. Hal ini sudah terbukti melalui penemuan kasus infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Tentu saja mereka (hanya) melakukan hubungan seks dengan suaminya karena mereka terikat dalam perkawinan yang sah.

Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan penyalahgunaan narkoba. Maka, anjuran untuk mencegah penularan HIV "Hindarkan penyalahgunaan narkotika, lebih-lebih bila menggunakan suntikan" (halaman 34) tidak realistis. Penularan terjadi jika pengguna narkoba memakai jarum dan semprit yang sudah tercemar HIV. Kalau jarum dan semprit tidak tercemar HIV maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun dipakai untuk menyuntikkan narkoba. Apalagi penggunaan narkoba secara oral jelas tidak akan menimbulkan infeksi HIV. (Bersambung)

[Sumber: Newsletter ”HindarAIDS”, Nomor 59, 18 Desember 2000]

Tidak Ada Kaitan Langsung Antara Jalur Transportasi dengan Penularan HIV

Tanggapan terhadap Berita Harian ”Sinar Harapan”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 25 Mei 2010. Berita berjudul ”Hanya Dua Kabupaten di Sumsel Bebas HIV/AIDS” di Harian ”Sinar Harapan edisi 16 April 2010 menggelitik untuk ditanggapi karena tidak akurat. Ini menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah.

Misalnya, dalam berita disebutkan: ”Dari 14 kabupaten/kota di Sumatera Selatan (Sumsel), hanya dua yang di¬nyatakan bersih dari penderita HIV/AIDS.” Pernyataan ini menyesatkan karena tidak ada daerah di muka bumi ini yang ’bersih dari HIV/AIDS’. Ada bebarapa hal yang terkait dengan pernyataan yang menyesatkan ini.

Pertama, bagaimana cara yang dilakukan oleh Pemprov. Sumsel untuk menyatakan bahwa dua daerah tersebut yaitu Kab. Empat Lawang dan OKU Selatan ’bersih dari penderita HIV/AIDS’? Untuk mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum adalah melalui tes HIV dengan konfirmasi. Artinya, hasil tes pertama diuji lagi dengan tes lain yaitu contoh darah dites lagi. Jika tes pertama dilakukan dengan rapid test atau ELISA, maka konfirmasi dilakukan dengan tes Western blot. Kalau tes pertama dilakukan dengan ELISA maka tes konfirmasi dilakukan dua kali tes lagi dengan ELISA tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda. Apakah hal ini sudah dilakukan Pemprov. Sumsel terhadap semua penduduk di kedua kecamatan itu? Kalau belum maka pernyataan itu tidak benar.

Kedua, biar pun semua penduduk kedua kecamatan itu sudah dites dan hasilnya HIV-negatif, ini pun tidak jaminan karena setelah tes bisa saja ada yang tertular HIV karena tes HIV bukan vaksin. Artinya, setelah tes HIV ada penduduk yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Ketiga, hasil tes HIV bisa akurat jika yang dites sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan. Rentang waktu antara tertular HIV sampai tiga bulan disebut masa jendela. Pada kurun waktu ini hasil tes bisa positif palsu atau negatif palsu karena tubuh belum memproduksi antibodi HIV sehingga tidak bisa dideteksi oleh rapid test atau ELISA. Kalau ada di antara penduduk kedua kecamatan itu yang menjalani tes HIV pada masa jendela maka bisa saja hasilnya positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi ahsil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi).

Bertolak dari tiga hal di atas maka pernyataan Aidit Aziz, Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumsel, tidak akurat dan menyesatkan. Ini menunjukkan pejabat pun tidak memahami epidemi HIV. Dengan kondisi ini tentulah upaya penanggulangan pun tidak akan realistis.

Secara nasional Prov. Sumsel ada di peringkat ke-15 dari 33 provinsi se-Indonesia dalam jumlah kasus AIDS. Tapi, tunggu dulu. Peringkat ini tidak menggambarkan kondisi kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Soalnya, jumlah kasus yang rendah bisa terjadi karena tidak ada cara-cara pendeteksian kasus HIV dan AIDS yang sistematis. Tingkat penyuluhan pun rendah sehingga penduduk yang sudah tertular tidak tergerak hatinya untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Selain itu ada kemungkinan fasilitas berupa sarana kesehatan yang menyediakan tes HIV dengan konseling tidak merata di semua dareah di Sumsel.

Apakah Klinik VCT (tempat tes HIV dengan konseling) sudah merata di Sumsel? Kalau belum maka sangat wajar angka kasus yang terdeteksi sangat rendah. Tapi, jangan membusungkan dada dulu dengan angka yang kecil karena kasus-kasus HIV dan di masyarakat yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di Sumsel.
Dalam berita diisebutkan: ” .... secara kumulatif mulai 1995-2009 di Sumsel tercatat 491 pengidap HIV dengan 13 orang meninggal, sementara dalam kasus AIDS sebanyak 248 penderita dan 44 orang meninggal.” Ini rancu. AIDS adalah masa ketika infeksi HIV sudah mencapai waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Maka, penderita AIDS sudah pasti penderita HIV. Sebaliknya, penderita HIV belum masuk ke masa AIDS. Yang meninggal adalah penderita AIDS.

Ada pula pernyataan: ” .... sosialisasi di jalur transportasi yang disinyalir berpotensi besar menyebarkan HIV/AIDS.” Dilanjutkan dengan pernyataan: “Tingginya penderita HIV/AIDS di Sumsel disebabkan jalur transportasi Sumsel yang lengkap. Kondisi tersebut memungkinkan semua penderita masuk dari berbagai jalur. Apabila penderita berhubungan badan dengan seseorang, orang tersebut akan tertular,” ujar Aidit.

Pernyataan di atas lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif. Tidak ada kaitan langsung antara jalur transportasi dengan penularan HIV. Penularan HIV bisa terjadi kalau ada penduduk Sumsel yang melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Mobilitas dan perilaku seks penduduk Sumsel yang menentukan tingkat penularan HIV. Penduduk Sumsel yang tertular HIV di Sumsel, luar Sumsel atau di luar negeri akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk melalui hubungan seks (di dalam dan di luar nikah), transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan jarum suntik yang dipakai bersama-sama dengan bergiliran. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Mengait-ngaitkan Narkoba dengan Aborsi dan Seks Bebas Menyuburkan Mitos

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”SIB”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap fakta empiris pada realitas sosial.

Tema seminar “Narkoba, Aborsi dan Seks Bebas”, misalnya, sudah mengundang pertanyaan yang sangat mendasar.

Pertama, apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Kalau ‘seks bebas’ merupakan terjemahan bebas dari free sex maka terminologi ini ngawur karena dalam kamus-kamus bahasa Inggris tidak ada entry free sex.

Kedua, kalau ‘seks bebas’ hanya diartikan sebagai hubungan seks pra nikah atau di luar nikah maka ini pun tidak adil karena hanya memojokkan remaja.

Kalau ‘seks bebas’ dikaitkan dengan penularan HIV juga tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan narkoba.

Penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif biar pun hubungan seks dilakukan di dalam nikah dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun mereka melakukan ‘seks bebas’, zina, melacur atau gay.

Ketiga, dalam berita disebutkan “ …. barang haram narkoba ….”. Pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada zat yang haram (misalnya, menurut Islam) dalam narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Dalam berbagai ceramah tentang narkoba ada fakta yang digelapkan. Ini menyesatkan. Yang dijauhi atau dihindari adalah penyalahgunaan narkoba bukan menjauhkan atau menghindari narkoba karena di dunia kedokteran narkoba sangat diperlukan, seperti morfin. Dalam kegiatan operasi (bedah) morfin dipakai sebagai obat anestesi (bius). Tanpa narkoba maka akan puluhan, ratusan bahkan ribuan orang yang mati di meja operasi karena tidak kuat menahan sakit.

Keempat, tidak ada kaitan langsung antara religius dengan penyalahgunaan narkoba karena penyalanggunaan narkoba erat kaitannya dengan kondisi psikologis orang per orang. Di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun tetap ada kasus penyalahgunaan narkoba, bahkan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi.

Kelima, saya khawatir ada pemahaman yang salah terhadap aborsi. Selama ini pengertian aborsi dipahami masyarakat dari berita di media massa. Celakanya, informasi tentang aborsi di media massa tidak akurat dan banyak yang ngawur. Dari aspek medis abrosi adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Nah, kalau ada kasus janin yang sudah berwujud manusia dikeluarkan secara paksa dari rahim maka ini bukan aborsi tapi infanticide (pembunuhan) yang tidak dikenal dalam dunia medis. Dalam UU Kesehatan tindakan aborsi dibenarkan jika ada indikasi medis untuk menyelematkan jiwa si ibu. Banyak negara, termasuk negara-negara Islam, yang membolehkan (regulasi) aborsi, seperti karena incest (hubungan seks antar saudara) atau perkosaan.

Keenam, ada salah kaprah yang sangat besar di negeri ini. Banyak orang, mulai dari pejabat, pakar dan tokoh yang mengatakan bahwa kasus aborsi paling banyak dilakukan remaja. Ini salah. Karena dari beberapa penelitian fakta menunjukkan justru perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah lebih banyak melakukan aborsi. Tapi, karena yang berbicara orang dewasa maka mereka memojokkan remaja. Ini salah satu bentuk kemunafikan.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS, narkoba dan seks tidak disampaikan dengan akurat maka penularan HIV, penyalahgunaan narkoba dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) akan terus terjadi.

* * Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS

Salah Kaprah Terkait Suvailans Tes HIV

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 15/9-2003. “Belum Dijumpai Kasus AIDS Di Bantul”. Ini judul berita di Harian “BERNAS”, Yogyakarta, edisi 14/9-2003. Kesimpulan ini tidak berlaku umum untuk wilayah Kabupaten Bantul karena tidak semua penduduk dites. Yang dilakukan hanya survailans pada kalangan tertentu.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hokum dan melanggar hak asasi manusia (HAM)

Dalam berita itu dikutip pernyataan pejabat setempat yang mengatakan “ …. Sejauh pengamatan kami di Bantul sama sekali belum ditemukan atau dijumpai penyakit AIDS.” Kesimpulan ini sangat naïf karena AIDS tidak bisa dilihat dengan mata telanjang karena tidak ada gejala-gejala klinis yang khas AIDS. Mungkin benar tidak ada kasus AIDS yaitu orang HIV-positif yang sudah mencapai masa AIDS yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi oportunistik. Tapi, kalau bicara tentang infeksi HIV maka tidak bisa dipastikan apakah satu daerah, kota, wilayah atau negara ‘bebas HIV/AIDS’ karena penularan HIV tidak bisa dibendung dengan batas administratif atau benteng

Perilaku Berisiko

Secara nasional kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 September 2003 sudah tercatat 3.924 sedangkan secara global sampai akhir 2001 kasus HIV/AIDS tercatat 41 juta. Kasus ini terdapat di semua negara.

Beberapa tahun yang lalu ada beberapa provinsi yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS, tapi kenyataannya ada penduduk dari daerah itu yang HIV-positif di sebuah LSM yang menangani HIV/AIDS di Jakarta. Hal ini sangat wajar karena di daerah belum ada tes HIV dengan konseling dan kerahasiaan sehingga mereka memilih Jakarta. Lagi pula di Jakarta ada beberapa LSM yang mendukung Odha.

Pernyataan aparat Bantul itu bisa menjadi bumerang yang pada gilirannya menohok diri sendiri. Soalnya, penularan HIV tidak hanya bisa terjadi di Bantul tapi bisa dialami penduduk Bantul di luar Bantul karena seseorang berisiko tertular HIV jika yang bersangkutan melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Jadi, terkait dengan epidemi HIV yang menjadi kunci adalah “Apakah ada di antara penduduk yang melakukan perilaku berisiko?” Jika ada yang menjawaban “ya” maka penduduk tadi berisiko tertular HIV. Kalau ybs. tertular HIV dan hal itu tidak disadarinya karena tidak ada gejala klinis yang khas maka penduduk tadi menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Jika dia sudah beristri maka kalau istrinya tertular akan terjadi pula penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi. Sedangkan bagi yang belum beristri maka orang tersebut akan menularkannya kepada pasangan seksnya atau kepada pekerja seks.

Deteksi Dini

Survailans tes HIV terhadap pekerja seks, pramuria panti pijat, dll. tidak banyak artinya bagi upaya memutus mata rantai penyebaran HIV karena yang mempunyai potensi besar untuk menyebarkan HIV justru penduduk yang tidak terjamah survailans, terutama pelanggan pekerja seks. Survailans sendiri hanyalah ‘alat’ untuk memperoleh gambaran perbandingan antara yang HIV-negatif dan HIV-positif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Jadi, hasil survailans tes pada hari ini akan berbeda dengan hasil survailans besok. Begitu seterusnya.

Ada salah kaprah tentang survailans. Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi melalui survailans maka ada anggapan persoalan sudah selesai karena, maaf, ‘biangnya’ sudah diketahui. Anggapan ini salah besar karena yang menjadi persoalan justru penduduk yang menjadi pelanggan pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif tadi.

Kalau ada penduduk yang melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks tadi maka sudah ada kemungkinan tertular. Biar pun tidak ada gejala klinis tapi penduduk tadi sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual yang tidak aman (tidak pakai kondom). Yang bersangkutan memang tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala klinis yang khas.

Jika pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif tadi melayani dua laki-laki setiap malam sebelum terdeteksi maka setiap bulan ada 40 laki-laki yang melakukan kegiatan berisiko. Probabilitas (kemungkinan) tertular melalui hubungan seksual yang tidak aman memang kecil (di bawah satu persen), tapi karena sering dilakukan maka kemungkinan tertular pun besar pula.

Monitoring PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seksual yang tidak aman, seperti GO, sifilis, dll.) di puskesmas dapat menjadi ajang pemantauan epidemi HIV. Dengan konseling yang benar penduduk yang terdeteksi tertular PMS dianjurkan untuk menjalani tes HIV sukarela dengan konseling. Yang perlu diingat adalah tes HIV dilakukan setelah ybs. memberikan informed consent (pernyataan kesediaan setelah ybs. benar-benar memahami HIV/AIDS) dan tes dilakukan secara anonim.

Di Malaysia perempuan hamil dianjurkan untuk menjalani tes HIV. Hal ini sangat bermanfaat karena kalau seorang perempuan terdeteksi HIV-positif maka penanganan medis bisa menekan penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi. Melalui cara ini dapat pula diketahui bahwa suami perempuan itu sudah tertular HIV.

Deteksi dini kasus infeksi HIV, misalnya melalui tes sukarela dengan konseling dan asas anonimitas, dapat memutus mata rantai penyebaran HIV karena melalui konseling yang komprehensif ybs.dianjurkan agar tidak melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Memutus Mata Rantai Penularan HIV antar Penduduk di Tangerang

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Radar Baten”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita tentang kasus HIV/AIDS di Tangerang dalam “Survei Diintensifkan, Penyuluhan Pun Digiatkan” di harian “Radar Banten” edisi 10 Mei 2006 menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS.

Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengait-ngaitkan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria dan gay. Padahal, sebagai fakta medis tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria dan gay.

Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, seks di luar nikah, seks pranikah, jajan, selingkuh, waria dan gay.

Mendeteksi Kasus

Penularan HIV secara horizontal antar penduduk pun terus terjadi secara diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun). Tapi, yang bersangkutan sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan ala-alat kesehatan, (e) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Dalam berita itu disebutkan “ …. salah satu upaya pencegahan ini adalah menjauhi perilaku seks bebas serta penggunaan narkoba”. Pernytaan ini tidak akurat karena kalau yang dimaksud sebagai ‘seks bebas’ adalah zina atau melacur maka tidak ada kaitan langsung antara zina atau melacur dengan penularan HIV. Biar pun ‘seks bebas’ kalau dua-duanya HIV-negatif tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Penggunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) diperlukan di dunia medis, seperti obat anestesi (bius), pada bedah (operasi). Tanpa narkoba setiap hari puluhan bahkan ratusan orang akan mati di meja operasi. Lalu, apa kaitan narkoba dengan HIV/AIDS? Penularan HIV bisa terjadi di antara penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik kalau jarum suntik dan semprit dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif.

Biar pun kasus HIV terbanyak di kalangan naarapidana (napi) tapi mereka itu bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat melalui (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan. Penyebaran ini juga terjadi secara diam-diam.

Kasus HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarya di masyarakat. Maka, peningkatan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena ada tes wajib terhadap pengguna narkoba jika hendak masuk pusat rehabilitasi, survailans terhadap pekerja seks komersial (PSK) dan napi.

Ada kesan jika kasus HIV/AIDS kian banyak ditemukan merupakan gambaran negatif. Pendapat atau pandangan ini salah karena dengan menemukan kasus HIV/AIDS maka mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dapat diputus. Orang-orang yang terdeteksi HIV-poistif diajak untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. Maka, makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

Bom Waktu

Teks foto pada berita itu juga menunjukkan ada pemahaman yang tidak akurat. Disebutkan “PSK sangat rentan terinfeksi virus HIV”. Penularan HIV terhadap PSK dilakukan oleh laki-laki yang menjadi pasangan seks PSK. Laki-laki ini adalah penduduk yang bisa jadi mempunyai istri, simpanan, selingkuhan, dll. Nah, kalau ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang berkencan dengan PSK tadi pun berisiko pula tertular HIV. Kalau ada laki-laki yang tertular maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bisa ke istrinya, pacarnya atau PSK lain.

Razia yang dilakukan terhadap PSK ‘jalanan’ di malam hari pun menunjukkan pemahanan terhadap epidemi HV yang tidak akurat. Praktek ‘pelacuran’ dalam berbagai bentuk juga terjadi di siang hari, di rumah, di apartemen, di hotel, di ladang, dll. Bahkan, banyak ‘pelacur’ yang tidak bisa dikenali dengan pakaian, dandanan dan gayanya.

Lagi pula risiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada hubungan seks dengan PSK, tapi dalam berbagai bentuk hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang tidak aman yaitu laki-laki tidak memakai kondom dan dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti. Soalnya, bisa jadi salah satu dari pasangan itu HIV-positif sehingga ada risiko penularan HIV.

Selama materi KIE tentang HIV/AIDS tetap dibumbui dnegan moral dan agama maka pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS tetap hanya sebatas mitos. Kalau ini yang terjadi maka penularan HIV antar penduduk akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan epidemi HIV.

Apakah kita harus menunggu ledakan dulu baru kita bertindak menanggulangi epidemi HIV dengan akal sehat? Kalau ini yang dipilih maka kita sudah terlambat. Pada saat itu yang harus dilakukan adalah menangani penduduk yang sudah menunjukkan (penyakit) AIDS. Ini memerlukan biaya yang besar. Di sisi lain terjadi penurunan sumber daya manusia. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Penyebaran HIV, Menunggu Vaksin Melindungi Diri

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 17/6-2002. Dalam kurun waktu dua dekade epidemi HIV pakar kesehatan belum menemukan vaksin HIV sehingga cara yang realistis untuk mencegah penularan HIV adalah dengan menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV.

Salah satu langkah nyata yang sudah dilakukan di banyak negara adalah dengan pemakaian kondom di lokalisasi pelacuran. Penggunaan kondom 100% di lokalisasi pelacuran di Thailand menunjukkan penurunan insiden infeksi HIV dari 143.000 di tahun 1991 menjadi 20.000 pada tahun 2000. Dampak yang nyata dapat dilihat pada kasus infeksi HIV di kalangan wanita hamil yang turun dari 2% pada pertengahan dekade 1990-an menjadi 1,5% pada saat ini.

Di Kamboja penggunaan kondom di kalangan pekerja seks menurunkan kasus infeksi HIV di kalangan pekerja seks yang berusia di bawah 20 tahun dari 40% tahun 1998 menjadi 23% tahun 2000. Penjulan kondom di negeri ini meroket dari 100.000 pada tahun 1994 menjadi 11,5 juta tahun 1998. Di saat epidemi HIV sudah masuk ke populasi, antara lain ditandai dengan infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga, anak-anak dan remaja, maka tidak ada pilihan lain selain mengedepankan pencegahan yang realistis karena sampai sekarang belum ada vaksin HIV. Hampir separuh kasus insiden infeksi HIV secara global terjadi pada rentang usia yang produktif yaitu antara 15-39 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia ini, terutama pada usia remaja, dorongan seks mereka salurkan dengan pasangan yang berganti-ganti.

Di negara-negara maju umur remaja ketika melakukan hubungan seks pertama semakin muda. Pada akhir tahun 1970-an rata-rata remaja sudah melakukan sanggama pada usia 17 tahun. Di Swiss, misalnya, pada tahun 1985 hampir 65% remaja putra dan 58% remaja putri pada tahun 1989 sudah melakukan sanggama. Kampanye pencegahan HIV yang gencar menurunkan persentase remaja yang melakukan sanggama pada usia remaja. Pada tahun 1997 remaja yang melakukan sanggama pada usia 17 tahun turun 54%. Di Amerika Serikat remaja yang melakukan sanggama pada usia 15 tahun turun dari 1/3 pada tahun 1988 menjadi ¼ pada tahun 1995. Sedangkan di beberapa negara usia rata-rata remaja melakukan sanggama pertama setelah usia 20 tahun.

Studi terhadap remaja berusia 15-19 tahun yang belum menikah di Singapura dan Sri Lanka menunjukkan 2% di antaranya sudah pernah sanggama. Di Filipina 15% remaja putra pada usia 15-19 tahun mengaku sudah tidak perjaka atau perawan. Karena remaja umumnya melakukan sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang suka berganti-ganti pasangan maka mereka berada pada posisi yang berisiko tinggi tertular HIV. Karena di beberapa negara, terutama di kawasan Asia, penggunaan kondom untuk sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti tidak dianjurkan maka remaja putra dan remaja putri yang melakukan sanggama pada usia dini sangat rentan tertular HIV dan IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klaimida, hepatitis B, dll.).

Survei di Brazil tahun 1986 menunjukkan 5% remaja menggunakan kondom pada sanggama pertama. Sekitar 87% remaja berusia 16-25 tahun mengaku selalu memakai kondom jika sanggama dengan pasangannya. Lebih dari 70% pria yang berpendidikan tinggi di negeri ini mengaku memakai kondom ketika melakukan sanggama pertama. Penjualan kondom pun meningkat dari 70 juta buah per tahun pada tahun 1993 menjadi 320 juta buah pada tahun 1999.

Studi terhadap pelajar SLTA dan mahasiswa di Meksiko menunjukkan 42% remaja putra dan 36% remaja putri mengatakan memakai kondom pada sanggama pertama. Kampanye pencegahan HIV dan penggunaan kondom yang gencar di Karibia membuat penduduk yang melakukan sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti selalu memakai kondom. Kalau sebelum ada kampanye di tahun 1991 pemakaian kondom 35% maka setelah kampanye naik menjadi 55% di tahun 1994 dan 71% pada tahun 1997.

Di beberapa negara di Eropa Barat lebih dari 60% remaja dilaporkan selalu memakai kondom pada sanggama pertama. Di Swiss hampir 80% penduduk berusia 17-30 tahun antara tahun 1987-1997 yang tidak beristri mengaku selalu memakai kondom. Angka ini naik 20% dari satu dekade sebelumnya. Di Afrika justru sebaliknya. Di Uganda, umpamanya, persentase remaja putri yang tidak memakai kondom antara tahun 1994-1997 meningkat tiga kali lipat. Studi di Kenya bagian barat menunjukkan 63% pria dan wanita yang tidak beristri yang melakukan sanggama setahun yang lalu tidak memakai kondom, hanya 18% yang mengatakan memakai kondom.

Studi terhadap pekerja seks di Kisumu, Kenya, menunjukkan hanya separuh yang memakai kondom, 1/3 tidak pernah memakai kondom. Karena pemakaian kondom yang rendah ini maka prevalensi HIV di kalangan pekerja seks sangat tinggi yaitu
¾ dari pekerja seks (75%) dilaporkan HIV-positif.

Selain melalui sanggama yang tidak aman penularan HIV pun terjadi melalui penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran pada pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU). Epidemi HIV dipicu oleh IDU sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan yang realistis. Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di kalangan IDU diperkenalkan program pertukaran jarum suntik (needle-exchange program) sebagai upaya untuk mengurangi dampak yang lebih buruk (harm reduction).

Di Indonesia, misalnya, sepuluh tahun belakangan ini kasus penularan HIV di
kalangan IDU terus bertambah. Data terakhir menunjukkan 415 dari 2.150 kasus HIV/AIDS nasional terjadi pada kalangan IDU (19%). Pertengahan 1999 sudah 114 negara yang melaporkan kasus HIV pada IDU. Jumlah ini meningkat dari 52 negara tujuh tahun sebelumnya. Penularan melalui IDU jauh lebih besar kemungkinannya daripada melalui hubungan seks.

Di St. Petersburg, Rusia, menunjukkan 12% dari IDU HIV-positif. Di Poltava, Ukraina, hampir 40% IDU tertular HIV. Kalau di tahun 1994 infeksi HIV di kalangan IDU nol maka dua tahun kemudian naik menjadi 31-57 persen. Di Moskow kasus HIV di kalangan IDU pada tahun 1999 dilaporkan naik tiga kali lipat. Prevalensi HIV di kalangan IDU antara 30-70 persen di Argentina, Brazil, India, Spanyol, Thailand dan Puerto Riko. Ini terjadi karena 1/3 IDU di Brazil, 2/3 di Thailand, ¾ di Argentina menggunakan jarum secara bersama-sama dengan bergantian.

Umur pertama kali memakai norkoba suntikan di banyak negara juga menunjukkan semakin muda. Di Slovakia 2% dari remaja berusia 15-16 tahun mengaku sudah memakai narkoba suntikan. Lebih dari 40% IDU di St. Petersburg yang menjalani terapi pada tahun 1999 berusia muda, meningkat dari 13% dua tahun sebelumnya. Sebuah studi di Thailand menunjukkan gadis di sana sudah menyuntikkan narboka sebelum berusia 16 tahun, angka ini rata-rata dua tahun lebih muda dari remaja putra.

Selain risiko tertular melalui semprit dan jarum suntik, IDU pun berisiko pula menularkan dan tertular HIV melalui sanggama karena ketika sanggama mereka dalam keadaan dipengaruhi narkoba sehingga tidak menarapkan seks aman. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Penyangkalan Mendorong Laju Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 1/12-2005. Penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi antara lain didorong oleh pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS sehingga muncul penyangkalan terhadap cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis. Kasus HIV/AIDS terus bertambah. Tapi, angka-angka yang dilaporkan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS di semua kalangan masyarakat. Selama ini yang sering menjadi sasaran hanyalah pekerja seks, waria dan wanita penghibur. Padahal, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks.

Namun, biar pun kasus HIV/AIDS secara nasional rendah tapi kita tidak bisa melihat epidemi HIV/AIDS kota per kota, daerah per daerah atau negara per negara karena epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas kota, daerah atau negara. Epidemi HIV/AIDS kita lihat secara global karena tidak ada satu tempat pun di muka bumi ini yang bebas HIV/AIDS. Maka, di mana pun kita berada kita bisa tertular HIV kalau kita melakukan perilaku yang dapat menempatkan kita pada posisi perilaku yang berisiko tinggi.

Salah satu perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV adalah melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis masuk ke vagina) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks perempuan, pelaku kawin-cerai, pekerja seks waria, wanita penghibur, dll.) karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Epidemi HIV/AIDS kian runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular). Tapi, biar pun ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV dia sudah bisa menularkannya HIV kepada orang lain melalui (a) hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, serta (d) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Satu hal yang perlu diingat adalah HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah. HIV/AIDS adalah fakta medis. Disebut fakta medis karena HIV/AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, cara-cara penularan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis dengan teknologi kedokteran.

Namun, pemahaman yang tidak akurat tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS dari aspek medis membuat banyak orang mengabaikan bahkan menyangkal cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dari aspek medis. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, hubungan seks di luar nikah, pelacuran, waria dan gay.

Padahal, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hal-hal yang disebutkan di atas karena penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan yang melakukan hubungan seks kedua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun dilakukan di luar nikah.

Penyangkalan terhadap cara-cara penularan dari aspek medis itulah salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk. Di negara-negara yang terjadi penyangkalah terhadap cara-cara penularan dan pencegahan dari aspek medis terjadi lonjakan kasus HIV/AIDS. Lagi-lagi hal ini terjadi karena pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis.

UNAIDS, badan PBB yang menangani HIV/AIDS, sudah lama mengingatkan agar Indonesia memperhatikan penyebaran HIV/AIDS yang dinilai sangat tinggi. Tapi, lagi-lagi Indonesia menepis peringatan itu. Akibatnya, saat ini Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS yang tinggi. Penyebaran HIV/AIDS dipicu oleh penyangkalan terhadap cara-cara penularan dan pencegahan dari aspek medis serta penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.

Salah satu cara untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan menghindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina, antara lain dengan memakai kondom. Soalnya, HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan antara lain terdapat pada air mani dan cairan vagina. Maka, kalau air mani tumpah di vagina maka ada risiko penularan HIV kepada perempuan kalau air mani mengandung HIV. Begitu pula sebaliknya kalau penis bersentuhan dengan vagina maka ada risiko penularan HIV dari perempuan ke laki-laki kalau cairan vagina mengandung HIV.

Selama kita terus-menerus menyangkal cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis dari aspek medis maka kasus HIV/AIDS akan terus bertambah. Apakah kita harus menunggu kondisi seperti di Afrika, ketika banyak negara yang terpuruk karena penduduknya nyaris punah, baru kita tergerak untuk menerima fakta medis tentang HIV/AIDS?

Fakta menunjukkan di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia kasus infeksi HIV di kalangan penduduk dewasa sudah menunjukkan grafik yang mendatar. Mengapa hal ini terjadi? Ya, karena penduduk di sana menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis antara lain menghindari hubungan seks yang berisiko tinggi menularkan HIV. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Penularan HIV Tergantung Perilaku Seks Penduduk Lokal

Tanggapan terhadap Berita di Harian “Padang Ekspres”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 25/10-2003. “Transit, Sumbar Rentan HIV/AIDS”. Ini berita di Harian “Padang Ekspres” edisi 23/10-2003. Dalam berita ini dijelaskan posisi Sumatera Barat (Sumbar) sebagai daerah transit (persinggahan) dan tujuan wisata membuat Sumbar rentan terhadap penularan HIV/AIDS.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sejak HIV/AIDS dipublikasikan tahun 1981 banyak muncul mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena HIV/AIDS dibahas dari aspek moral dan agama. Misalnya, disebutkan HIV/AIDS penyakit bule, HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran, HIV/AIDS menular melalui zina, dll. Padahal, HIV/AIDS merupakan fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi medis) yang sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan bule, zina dan pelacuran.

Data yang dipublikasikan UNAIDS (badan PBB untuk urusan HIV/AIDS) menunjukkan sampai akhir 2001 tercatat 41 juta kasus HIV/AIDS di seluruh dunia. Tidak ada satu pun negara yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS di negaranya. Di Indonesia sendiri sampai 30 September 2003 tercatat 3.924 kasus HIV/AIDS.

Sebagai virus HIV hanya dapat menular melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Gejala Klinis

Jadi, biar pun Sumbar merupakan daerah persinggahan dan tujuan wisata tidak bisa disebut sebagai daerah rawan atau rentan karena HIV tidak menulari daerah. Yang menjadi persoalan adalah kalau ada penduduk Sumbar melakukan kegiatan berisiko tinggi tertular HIV baik di Sumbar maupun di luar Sumbar. Jika ada penduduk Sumbar yang tertular HIV maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Menulari istrinya bagi yang sudah beristri atau menulari pasangan seksnya bagi yang belum beristri. Kalau si istri tertular maka akan terjadi penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi.

Persoalan kian runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas HIV/AIDS. Seseorang bisa diketahui HIV-positif melalui tes HIV. Tes HIV dilakukan kepada seseorang yang mengalami gejala-gejala klinis yang tidak dapat didiagnosis atau kepada seseorang yang pernah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.

Kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah
1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Dalam berita itu juga disebutkan di Sumbar tercatat 31 kasus HIV/AIDS. Sayang, tidak dijelaskan apakah semua kasus merupakan hasil diagnosis karena bisa saja terjadi ada di antara kasus itu yang merupakan hasil survailans tes HIV. Soalnya, kalau hasil survailans maka status HIV-positif bisa saja ‘positif palsu’. Untuk memastikan status HIV-positif maka hasil tes HIV pertama, dengan dipstick atau ELISA, harus dikonfirmasi lagi dengan tes Western blot.

Namun, angka itu pun bisa tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena secara epidemiologi kasus HIV/AIDS yang terdeteksi merupakan puncak dari fenomena gunung es. Jadi, bisa saja terjadi angka yang sebenarnya yang tidak terdeteksi jauh lebih banyak daripada angka yang terdeteksi. Di beberapa negara, seperti Malaysia, ada survailans rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil sehingga angka yang diperoleh akan menggambarkan kasus yang sebenarnya. Di Indonesia survailans hanya sporadis dan hanya dilakukan terhadap pekerja seks.

Survailans HIV

Padahal, yang paling perlu diperhatikan adalah laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks karena mereka telah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. Maka, biar pun kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Sumbar bukan penduduk lokal tapi kemungkinan penduduk lokal tertular HIV sangat besar karena pendatang yang terdeteksi HIV-positif itu pekerja seks. Tentu saja pelanggannya penduduk lokal.

Kalau ada survailans terhadap kalangan tertentu di luar pekerja seks maka akan dapat dilihat situasi epidemi HIV di Sumbar. Misalnya, survailans rutin dan sistematis terhadap perempuan hamil, mahasiswa, polisi, dll. maka ada gambaran ril epidemi HIV.

Dalam berita juga disebutkan ada 10 orang yang dipantau karena terdeteksi HIV-poisitif. Jika yang dipantau itu pekerja seks maka hal itu tidak ada manfaatnya karena yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang menjadi langganan mereka. Karena pekerja seks itu sudah terdeteksi HIV-positif maka laki-laki yang melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks tadi sudah berisiko tertular HIV. Memang, probabiltas (kemungkinan) tertular di bawah satu persen. Tapi, karena hubungan seks sering dilakukan maka kemungkinan tertular pun besar pula.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Sumbar adalah dengan menganjurkan laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks menjalani tes HIV sukarela. Dengan mengetahui status HIV maka seseorang dapat diajak agar tidak melakukan perilaku berisiko. Selain itu ybs. pun dapat pula ditangani secara medis.***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Editorial

27 Jun 2008

Media Watch

Mengikuti mailing-list aids-ina untuk beberapa terakhir ini, cukup diramaikan oleh posting yang merespons sebuah e-mail dari Bung Syaiful W Harahap, yang menunjukkan hasil telisiknya terhadap berbagai media informasi mengenai HIV dan AIDS dan yang menggegerkan kahyangan aktivis AIDS, karena penggunaaan kata 'menyesatkan' untuk media informasi itu.

Apa yang terjadi, Bung Syaiful menjadi cukup repot untuk menjawab berbagai e-mail yang mestinya tidak pada tempatnya untuk dimintai pertanggungjawaban. Sebagai seorang jurnalis yang kritis, apa yang dilakukan oleh Bung Syaiful sesungguhnya sedang menunjukkan perannya sebagai pemantau media (media watch). Karenanya, Bung Syaiful tidak harus dituntut untuk sampai memberikan pelurusan-pelurusan terhadap kritik yang disampaikannya. Kita semua harus mengambil pelajaran penting dari apa yang disampaikan Bung Syaiful.

Setidaknya ada dua hal yang bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama. Pertama, para pembuat atau penyebar media informasi tidak selalu kritis terhadap produksi medianya manakala hendak mengadopsi atau mempertimbangkan nilai-nilai lokal, membungkus dengan sekian teks yang sesuai dengan cara pandang lokal, yang kemudian disebut Bung Syaiful justru menjadi menyesatkan. Kedua, tampak adanya ketidakpedulian antar berbagai pihak terhadap media informasi yang dibuat oleh pihak yang lain. Kita setujui dengan Bung Syaiful, manakala hendak melakukan saling kontrol untuk saling mengingatkan, tidak harus diartikan sebagai sebuah upaya penyeragaman.

Akhirnya, kita memang harus secara detail dan jelas bisa memisahkan mana saja bagian informasi yang bisa dikembangkan dengan bahasa lokal, penyesuaian dengan nilai lokal dan mana yang memang harus dijelaskan dengan tanpa mengakomodasi bahasa-bahasa lokal. Titik ini yang oleh Bung Syaiful disebut sebagai fakta media, yang harus disampaikan apa adanya.

[Sumber: http://www.pkbi-diy.info/index.php?lang=id&cid=5&id=175]

Pengguna Narkoba Suntikan Mendorong Epidemi HIV di Indonesia

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 28/11-2003. Laporan UNAIDS (Badan PBB Urusan AIDS) dalam AIDS Epidemic Update December 2003 yang dirilis akhir November 2003 kembali mengingatkan epidemi HIV di Indonesia. Padahal, dua tahun lalu Direktur Eksekutif UNAIDS, Dr. Peter Piot, sudah menyoroti epidemi HIV yang dipicu oleh pengguna narkoba suntikan di Indonesia pada pembukaan Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik (ICAAP) VI di Melbourne, Australia (Suara Pembaruan, 6/10-2001).

UNAIDS melaporkan di negara-negara yang selama ini tidak terdeteksi kasus HIV/AIDS atau kasus HIV/AIDS yang terdeteksi rendah, seperti di Cina, Indonesia dan Vietnam (dengan penduduk lebih dari 1,5 miliar) menunjukkan kasus HIV sudah menyebar ke berbagai kawasan pedesaan dan perkotaan.

Perlakuan-perlakuan buruk yang dialami oleh Odha (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) menyulitkan penangangan HIV/AIDS. Untuk itulah melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap Odha karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jembatan Penularan

Di saat penemuan kasus baru pada penduduk dewasa di kawasan Amerika Utara, Australia, Eropa Barat dan Afrika mulai menunjukkan grafik yang mendatar, tapi di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya. Kasus baru di kalangan penduduk dewasa meroket. Estimasi UNAIDS menunjukkan pada tahun 2003 sekitar lebih dari 1 juta penduduk di kawasan Asia Pasifik tertular HIV, sehingga di kawasan ini diperkirakan 7,4 juta penduduk hidup dengan HIV/AIDS. Tahun ini diperkirakan 500.000 di antara 7,4 juta itu akan meninggal.

Sorotan UNAIDS dua tahun lalu mulai menunjukkan bukti. Sampai 30/9-2003 laporan kasus HIV/AIDS dari kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) suntikan terus meroket. Penularan HIV di kalangan pengguna narkoba tercatat 846 yang terdiri atas 543 HIV-positif dan 303 AIDS. Jumlah ini berarti 21,56 persen dari kasus nasional (3.924). Pengguna narkoba suntikan berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV karena mereka memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian dan bergiliran.

Karena jarum disuntikkan ke dalam urat nadi maka ada kemungkinan darah akan masuk melalui jarum suntik ke semprit. Pemakai berikutnya akan berisiko tertular HIV karena darah yang ada di dalam jarum dan semprit akan terdorong ke aliran darah ketika narkoba disuntikkan. Selain sebagai mata rantai penyebaran HIV di kalangan sesama pengguna narkoba suntikan seorang pengguna narkoba yang HIV-positif juga menjadi ‘jembatan’ penularan HIV dari kalangan pengguna narkoba ke populasi melalui hubungan seks yang tidak aman. Mereka menulari istrinya bagi yang sudah beristri atau menular pasangan seksnya bagi yang berlum beristri. Bisa juga menularkannya kepada pekerja seks yang pada gilirannya laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks berisiko pula tertular HIV.

Peringatan UNAIDS dua tahun lalu hanya bagaikan angin lalu bagi pemerintah. Buktinya, selama dua tahun ini tidak ada kegiatan yang berarti untuk mengurangi dampak buruk (penularan HIV) antar pengguna narkoba suntikan. Dalam laporan UNAIDS disebutkan lebih dari 90 persen pengguna narkoba suntikan di tiga kota besar di Indonesia memakai jarum suntik dan semprit yang tidak steril. Di salah satu kota dari tiga kota itu pengguna narkoba suntikan melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak pakai kondom) dengan pekerja seks. Kondisi ini akan memicu penyebaran HIV secara horizontal.

Pengurangan dampak buruk merupakan salah satu usaha yang sangat berarti di kalangan pengguna narkoba suntikan sehingga penyebaran HIV di antara mereka dan penyebaran secara horizontal ke masyarakat dapat dicegah. Pengurangan dampak buruk adalah upaya untuk mengajak pengguna narkoba suntikan memakai jarum suntik dan semprit yang steril dan mereka pun diminta agar tidak memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Yang dilakukan di Indonesia justru pembangunan lembaga pemasyarakatan (LP) khusus narkoba yang sudah lama ditinggalkan di banyak negara di dunia, seperti di Amerika Serikat, karena tidak bermanfaat dalam mengurangi dampak buruk. Biaya yang diperlukan untuk LP sangat besar sedangkan yang dibutuhkan pengguna narkoba adalah rehabilitasi. Dalam UU Narkotika juga disebutkan bahwa pengguna narkoba sebagai korban berhak mendapatkan rehabilitasi.

Selain didorong oleh pengguna narkoba epidemi HIV di Indonesia pun terkait dengan pekerja seks. Kasus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di beberapa daerah di Indonesia juga menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Di Sorong, Papua, misalnya, tahun 2002 prevalensi HIV di kalangan pekerja seks mencapai 17 persen. Prevalensi HIV di kalangan pekerja seks di wilayah-wilayah pedesaan di Kalimantan dan Papua, serta di kawasan industri seperti di Riau, juga menunjukkan peningkatan besar. Celakanya, penggunaan kondom secara konsisten pada hubungan seks dengan pekerja seks sangat rendah. Dari 7-10 juta penduduk Indonesia yang sering melakukan hubungan seks dengan pekerja seks hanya di bawah 10 persen yang selalu memakai kondom.

Tes HIV Sukarela

Pemasaran sosial kondom dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS melalui KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tidak berjalan mulus karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan kondom bisa ditembus HIV. Ini ngawur karena HIV tidak bisa melepaskan diri dari air mani. Jika air mani bisa ditampung di dalam kondom ketika hubungan seks maka HIV juga tertampung di kondom. Ada maha guru yang selalu mengatakan kondom berpori. Padahal, uji laboratorim menunjukkan kondom yang terbuat dari lateks (getah pohon karet) tidak berpori-pori.

Begitu pula dengan penularan HIV disebut-sebut terkait dengan zina, hubungan seks di luar nikah, pelacuran, dll. Padahal, tidak ada hubungan langsung antara zina, seks di luar nikah dan pelacuran dengan penularan HIV. Di negara-negara yang tidak ada (lokalisasi) pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Sebagai virus, HIV hanya menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Jadi, jelas tidak ada kaitan moral dan agama dengan penularan HIV. Persoalan yang mendasar adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV melalui perilaku berisiko (melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks atau memakai jarum suntik secara bersama-sama pada penggunaan narkoba). Hal ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala klinis yang khas terkait dengan HIV/AIDS. Gejala yang ditandai dengan infeksi oportunistik, seperti diare, TB, jamur, dll. baru muncul setelah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun).

Tapi, biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah bisa menularkan virus ke orang lain melalui cara-cara penularan di atas.

Untuk itulah diperlukan materi KIE yang objektif agar masyarakat dapat menimbang-nimbang perilakunya: berisiko atau tidak. Bagi yang pernah melakukan perilaku berisiko dianjurkan untuk menjalani tes HIV sukarela sesuai dengan standar prosesur operasi tes HIV yang baku (ada konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent, serta dengan asas anonimitas dan konfidensialitas).

Deteksi dini status HIV dapat memutus mata rantai penyebaran HIV dengan menganjurkan kepada yang terdeteksi HIV-positif agar tidak menulari orang lain. Selain itu dapat pula dilakukan penangangan medis, seperti pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) serta dukungan psikologis.***

* Penulis adalah Direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media (media watch) berita HIV/AIDS di media massa nasional.