Selasa, 01 Juni 2010

Penyebaran HIV, Menunggu Vaksin Melindungi Diri

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 17/6-2002. Dalam kurun waktu dua dekade epidemi HIV pakar kesehatan belum menemukan vaksin HIV sehingga cara yang realistis untuk mencegah penularan HIV adalah dengan menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV.

Salah satu langkah nyata yang sudah dilakukan di banyak negara adalah dengan pemakaian kondom di lokalisasi pelacuran. Penggunaan kondom 100% di lokalisasi pelacuran di Thailand menunjukkan penurunan insiden infeksi HIV dari 143.000 di tahun 1991 menjadi 20.000 pada tahun 2000. Dampak yang nyata dapat dilihat pada kasus infeksi HIV di kalangan wanita hamil yang turun dari 2% pada pertengahan dekade 1990-an menjadi 1,5% pada saat ini.

Di Kamboja penggunaan kondom di kalangan pekerja seks menurunkan kasus infeksi HIV di kalangan pekerja seks yang berusia di bawah 20 tahun dari 40% tahun 1998 menjadi 23% tahun 2000. Penjulan kondom di negeri ini meroket dari 100.000 pada tahun 1994 menjadi 11,5 juta tahun 1998. Di saat epidemi HIV sudah masuk ke populasi, antara lain ditandai dengan infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga, anak-anak dan remaja, maka tidak ada pilihan lain selain mengedepankan pencegahan yang realistis karena sampai sekarang belum ada vaksin HIV. Hampir separuh kasus insiden infeksi HIV secara global terjadi pada rentang usia yang produktif yaitu antara 15-39 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia ini, terutama pada usia remaja, dorongan seks mereka salurkan dengan pasangan yang berganti-ganti.

Di negara-negara maju umur remaja ketika melakukan hubungan seks pertama semakin muda. Pada akhir tahun 1970-an rata-rata remaja sudah melakukan sanggama pada usia 17 tahun. Di Swiss, misalnya, pada tahun 1985 hampir 65% remaja putra dan 58% remaja putri pada tahun 1989 sudah melakukan sanggama. Kampanye pencegahan HIV yang gencar menurunkan persentase remaja yang melakukan sanggama pada usia remaja. Pada tahun 1997 remaja yang melakukan sanggama pada usia 17 tahun turun 54%. Di Amerika Serikat remaja yang melakukan sanggama pada usia 15 tahun turun dari 1/3 pada tahun 1988 menjadi ¼ pada tahun 1995. Sedangkan di beberapa negara usia rata-rata remaja melakukan sanggama pertama setelah usia 20 tahun.

Studi terhadap remaja berusia 15-19 tahun yang belum menikah di Singapura dan Sri Lanka menunjukkan 2% di antaranya sudah pernah sanggama. Di Filipina 15% remaja putra pada usia 15-19 tahun mengaku sudah tidak perjaka atau perawan. Karena remaja umumnya melakukan sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang suka berganti-ganti pasangan maka mereka berada pada posisi yang berisiko tinggi tertular HIV. Karena di beberapa negara, terutama di kawasan Asia, penggunaan kondom untuk sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti tidak dianjurkan maka remaja putra dan remaja putri yang melakukan sanggama pada usia dini sangat rentan tertular HIV dan IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klaimida, hepatitis B, dll.).

Survei di Brazil tahun 1986 menunjukkan 5% remaja menggunakan kondom pada sanggama pertama. Sekitar 87% remaja berusia 16-25 tahun mengaku selalu memakai kondom jika sanggama dengan pasangannya. Lebih dari 70% pria yang berpendidikan tinggi di negeri ini mengaku memakai kondom ketika melakukan sanggama pertama. Penjualan kondom pun meningkat dari 70 juta buah per tahun pada tahun 1993 menjadi 320 juta buah pada tahun 1999.

Studi terhadap pelajar SLTA dan mahasiswa di Meksiko menunjukkan 42% remaja putra dan 36% remaja putri mengatakan memakai kondom pada sanggama pertama. Kampanye pencegahan HIV dan penggunaan kondom yang gencar di Karibia membuat penduduk yang melakukan sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti selalu memakai kondom. Kalau sebelum ada kampanye di tahun 1991 pemakaian kondom 35% maka setelah kampanye naik menjadi 55% di tahun 1994 dan 71% pada tahun 1997.

Di beberapa negara di Eropa Barat lebih dari 60% remaja dilaporkan selalu memakai kondom pada sanggama pertama. Di Swiss hampir 80% penduduk berusia 17-30 tahun antara tahun 1987-1997 yang tidak beristri mengaku selalu memakai kondom. Angka ini naik 20% dari satu dekade sebelumnya. Di Afrika justru sebaliknya. Di Uganda, umpamanya, persentase remaja putri yang tidak memakai kondom antara tahun 1994-1997 meningkat tiga kali lipat. Studi di Kenya bagian barat menunjukkan 63% pria dan wanita yang tidak beristri yang melakukan sanggama setahun yang lalu tidak memakai kondom, hanya 18% yang mengatakan memakai kondom.

Studi terhadap pekerja seks di Kisumu, Kenya, menunjukkan hanya separuh yang memakai kondom, 1/3 tidak pernah memakai kondom. Karena pemakaian kondom yang rendah ini maka prevalensi HIV di kalangan pekerja seks sangat tinggi yaitu
¾ dari pekerja seks (75%) dilaporkan HIV-positif.

Selain melalui sanggama yang tidak aman penularan HIV pun terjadi melalui penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran pada pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU). Epidemi HIV dipicu oleh IDU sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan yang realistis. Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di kalangan IDU diperkenalkan program pertukaran jarum suntik (needle-exchange program) sebagai upaya untuk mengurangi dampak yang lebih buruk (harm reduction).

Di Indonesia, misalnya, sepuluh tahun belakangan ini kasus penularan HIV di
kalangan IDU terus bertambah. Data terakhir menunjukkan 415 dari 2.150 kasus HIV/AIDS nasional terjadi pada kalangan IDU (19%). Pertengahan 1999 sudah 114 negara yang melaporkan kasus HIV pada IDU. Jumlah ini meningkat dari 52 negara tujuh tahun sebelumnya. Penularan melalui IDU jauh lebih besar kemungkinannya daripada melalui hubungan seks.

Di St. Petersburg, Rusia, menunjukkan 12% dari IDU HIV-positif. Di Poltava, Ukraina, hampir 40% IDU tertular HIV. Kalau di tahun 1994 infeksi HIV di kalangan IDU nol maka dua tahun kemudian naik menjadi 31-57 persen. Di Moskow kasus HIV di kalangan IDU pada tahun 1999 dilaporkan naik tiga kali lipat. Prevalensi HIV di kalangan IDU antara 30-70 persen di Argentina, Brazil, India, Spanyol, Thailand dan Puerto Riko. Ini terjadi karena 1/3 IDU di Brazil, 2/3 di Thailand, ¾ di Argentina menggunakan jarum secara bersama-sama dengan bergantian.

Umur pertama kali memakai norkoba suntikan di banyak negara juga menunjukkan semakin muda. Di Slovakia 2% dari remaja berusia 15-16 tahun mengaku sudah memakai narkoba suntikan. Lebih dari 40% IDU di St. Petersburg yang menjalani terapi pada tahun 1999 berusia muda, meningkat dari 13% dua tahun sebelumnya. Sebuah studi di Thailand menunjukkan gadis di sana sudah menyuntikkan narboka sebelum berusia 16 tahun, angka ini rata-rata dua tahun lebih muda dari remaja putra.

Selain risiko tertular melalui semprit dan jarum suntik, IDU pun berisiko pula menularkan dan tertular HIV melalui sanggama karena ketika sanggama mereka dalam keadaan dipengaruhi narkoba sehingga tidak menarapkan seks aman. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar