Rabu, 06 Oktober 2010

Peran Media Dalam Penanggulangan AIDS

Kesehatan
Peran Media Dalam Penanggulangan AIDS


BEKASI SELATAN - Hingga saat ini masih banyak ditemukan kesalahan persepsi, stigma negatif, hingga perlakuan diskriminatif tentang HIV/AIDS dan para penderitanya.

Hal ini terungkap dalam temu media kota dan kabupaten Bekasi. Acara temu media dengan tema mencari Isu AIDS Yang Layak Liput, kemarin dilaksanakan di salah satu rumah makan di Bekasi Selatan.

Ketua LSM Info Kespro Syaiful W Harahap mengatakan, saat ini media yang memberitakan tentang penyakit AIDS tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, atau kondisi sebenarnya yang terjadi saat ini.

“Banyak media ketika mengangkat berita tentang penyakit AIDS masih salah memilih narasumber, maka dari itu ketika mencari narasumber harus sesuai dengan bidang yang dikuasai,” terangnya.

Sambil menyampaikan pengetahuan pemberitaan yang baik tentang penyakit AIDS, Syaiful pun menjelaskan mengapa kasus AIDS tercatat lebih banyak daripada yang terinfeksi HIV atau HIV positif.

“Karena kebanyakan melakukan VCT dan terdeteksi ketika sudah berada dalam stadium III HIV positif dan stadium IV yang sudah masuk ke dalam kategori AIDS. Di awal infeksi HIV tidak terjadi keluhan atau gejala yang berarti.

Biasanya gejala seperti flu saja. Berbagai keluhan akibat infeksi di stadium berikutnya pun kurang dicermati sebagai infeksi HIV,” jelas Koresponden Harian Swara Kota Manado ini.

Di sela-sela paparannya tentang data terbaru kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi, Syaiful berpesan kepada rekan-rekan wartawan yang hadir agar tidak membuat pemberitaan yang negatif, tetapi upayakan membuat berita yang lebih humanis tentang HIV/AIDS. “Apalah arti sebuah angka. Sedikit atau banyak kasus HIV/AIDS yang terjadi, tetap saja harus ditanggulangi,” kata Syaiful.

Di satu sisi, dr Pusporini mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat salah satunya dikarenakan peran jejaring pelayanan kesehatan yang belum optimal. Dia juga menegaskan bahwa selama masih ada stigma negatif tentang HIV/AIDS, maka angka HIV/AIDS tidak akan muncul.

“Jadi ketika saat ini angkanya tercatat cukup besar, bukan hanya berarti penyebarannya semakin meluas, tetapi juga sebagai indikator bahwa sosialisasi HIV/AIDS sudah diterima cukup baik masyarakat. Sehingga semakin banyak orang yang datang ke tempat-tempat pelayanan kesehatan,” paparnya.

Menyikapi peran apa yang dapat dilakukan insan pers dalam penanggulangan HIV/AIDS, Pusporini mengatakan bahwa komponen Voluntary and Counseling Testing (VCT) bukan hanya terdiri dari para konselor atau rekan-rekan di LSM yang melakukan penjangkauan dan membantu merujuk penderita ke sarana pelayanan kesehatan.

“Mengingat VCT merupakan pintu masuk ke dalam jejaring pelayanan, maka diperlukan pula pihak-pihak yang membantu mendorong masyarakat untuk melakukan VCT, dan itu dapat dilakukan rekan-rekan wartawan,” terang dokter yang akrab disapa Puspo ini.

Kedua narasumber berharap semua pihak memiliki kesamaan persepsi tentang penaggulangan HIV/AIDS dan menghindari kontroversi. Untuk itu, diperlukan keterbukaan dan komunikasi yang baik.

“Sementara berproses, bukankah lebih baik jika para pemakai narkoba suntik diberi jarum suntik yang bersih agar tidak menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Atau sementara berproses memperbaiki perilaku seksualnya, maka pria disarankan untuk menggunakan kondom. Semua ini dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS yang lebih luas lagi,”pungkas Syaiful. (mif)

URL http://radar-bekasi.com/index.php?mib=berita.detail&id=63452
[Sumber: Harian ”Radar Bekasi”, 1 Oktober 2010]

Senin, 13 September 2010

Laporan Terbaru Kasus Kumulatif AIDS di Indonesia

Oleh Syaiful W. Harahap*

Statistik kasus AIDS nasional yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Kemenkes RI tanggal 6/8-2010 menunjukkan tambahan kasus dari beberapa daerah. Kasus AIDS yang dilaporkan pada priode April – Juni 2010 mencapai 1.206. Secara kumulatif kasus AIDS sejak ditemukan pertama kali (1987) sampai 30 Juni 2010 adalah 21.770 dengan 4.128 kematian.

Daerah yang melaporkan kasus AIDS pada priode April – Juni 2010 adalah:
Aceh 4
Sumatera Barat 28
Kepulauan Riau 7
Riau 1
Jambi 1
Bangka Belitung 3
DKI Jakarta 912
Banten 5
Jawa Barat 111
Jawa Tengah 67
Bali 22
Nusa Tenggara Barat 9
Nusa Tenggara Timur 1
Kalimantan Tengah 10
Sulawesi Tenggara 1
Maluku Utara 3.

Berdasarkan laporan terbaru tersebut maka gambaran kasus kumulatif AIDS di Indonesia adalah sbb.:

No Provinsi AIDS AIDS/IDU Mati
1 DKI Jakarta 3.740 2.611 552
2 Jawa Barat 3.710 2.695 663
3 Jawa Timur 3.540 1.090 732
4 Papua 2.858 2 373
5 Bali 1.747 269 311
6 Jawa Tengah 819 158 265
7 Kalimantan Barat 794 132 107
8 Sulawesi Selatan 591 210 62
9 Sumatera Utara 485 209 93
10 Riau 477 135 132
11 Sumatera Barat 410 268 99
12 Kepulauan Riau 341 30 133
13 Banten 323 200 56
14 DI Yogyakarta 290 132 81
15 Sumatera Selatan 219 104 38
16 Maluku 192 79 70
17 Sulawesi Utara 173 40 62
18 Jambi 166 96 50
19 Lampung 144 112 42
20 Nusa Tenggara Barat 142 50 69
21 Nusa Tenggara Timur 139 12 25
22 Bangka Belitung 120 41 18
23 Bengkulu 113 55 26
24 Papua Barat 58 5 19
25 Aceh 48 16 11
26 Kalimantan Tengah 40 11 4
27 Kalimantan Selatan 27 9 5
28 Sulawesi Tenggara 22 1 5
29 Maluku Utara 16 5 8
30 Sulawesi Tengah 12 6 6
31 Kalimantan Timur 11 4 10
32 Gorontalo 3 2 1
33 Sulawesi Barat 0 0 0
Jumlah 2.1770 8.789 4.128

Jumlah kumulatif kasus AIDS berdasarkan jenis kelamin, sbb.:

Jenis Kelamin AIDS AIDS/IDU
Laki-laki 16.093 8.050
Perempuan 5.578 681
Tidak diketahui 99 58
Jumlah 21.770 8.789


Jumlah kasus kumulatif AIDS berdasarkan faktor risiko, sbb.:

Faktor Risiko AIDS
Heteroseksual 10.722
Homoseksual 718
IDU 8.786
Tansfusi darah 20
Transmisi perinatal 587
Tidak diketahui 937



Kasus kumulatif AIDS berdasarkan golongan umur, sbb.:

Golongan umur AIDS AIDS/IDU
1 - 4 218 0
5 - 14 261 0
15 - 19 152 9
20 - 29 631 141
30 – 39 10.471 5.634
40 – 49 6.727 2.382
50 – 59 1.981 308
60 – 69 544 61
> 70 109 9
Tidak diketahui 676 245

Ada fakta yang sering luput terkait dengan jumlah kasus AIDS menurut golongan umur ini yaitu kasus AIDS tsb. banyak terdeteksi pada golongan umur tsb. adalah di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Mereka diwajibkan tes HIV jika hendak menjalani rehabilitasi.

Sebaliknya, kasus penularan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang dapat ‘menggiring’ orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.

Mereka itu adalah penduduk, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks langsung atau tidak langsung (karyawan bar, ‘cewek kampus’, ‘anak sekolah’, PIL (pria idaman lain) dan WIL (wanita idaman lain) serta pelaku kawin-cerai.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyikapi Kegagalan Perda AIDS Buleleng

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Kawasan Wajib Kondom Akan Diberlakukan.” Ini judul berita ANTARA (25/7-2010). Pernyataan ini muncul karena sudah terdeteksi 880 kasus sampai Juli 2010. Ini hanya kasus yang terdeteksi sedangkan kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan (kasus yang terdeteksi) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (kasus yang tidak terdeteksi)

Disebutkan: “Wakil Bupati Buleleng Made Arga Pinatih merekomendasikan imbauan WHO untuk menekan laju penyebaran virus HIV/AIDS yaitu dengan memberlakukan kawasan wajib kondom.” Program ‘wajib kondom 100 persen’ adalah upaya yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa.

Program itu bisa jalan karena dilakukan dengan cara-cara dan sanksi yang konkret. Program dijalankan dengan skala nasional di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Pemantauan dilakukan dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) tehadap pekerja seks komersial (PSK). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Pengelola atau germo tempat kerja PSK itu diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.

Nah, apakah di Buleleng ada germo yang mengantongi izin usaha lebal dari Pemkab? Kalau jawabannya TIDAK maka program kondom tidak akan bisa diterapkan.

Wakil Bupati mengatakan: "Sistem ini menjadi evaluasi sistem dari yang selama ini diterapkan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kabupaten Buleleng yang dinilai masih belum mencapai hasil maksimal untuk menekan laju pertumbuhan penderita HIV/AIDS." Sayang dalam berita tidak dijelaskan cara yang diterapkan KPAD Buleleng dalam menanggulangi AIDS dengan kondom.

Dalam Perda Kab. Buleleng No 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada pasal yang menyebutkan pencegahan dengan kondom. Yang ada hanya di bagian penjelasan pasal 7. Pasal 7 berbunyi: “Setiap oang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan pencegahan.” Dalam penjelasan pasal 7 disebutkan: “Upaya pencegahan antara lain dengan cara: tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia) atau dengan memakai kondom atau tidak melakukan hubungan seksual yang penetratif.”

Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Penularan HIV pun lebih dari 90 persen terjadi tanpa disadari. Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Dalam kaitan ini laki-laki menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Pertama, laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang sudah mengidap HIV menularkan HIV kepada PSK, istrinya atau pasangan seksnya yang lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kedua, PSK yang sudah tertular HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Semua terjadi tanpa disadari karena laki-laki yang sudah mengidap HIV tadi tidak menyadarinya.

Kapan, sih, seseorang berisiko tertular HIV? Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang berisiko tinggi tertular HIV jika pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sepreti PSK langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (karyawati bar, panti pijat, ’cewek anak sekolahan’, ’cewek kampus’, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai. Ini disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.“ Pasal ini normatif karena memakai kata-kata yang konotatif. Apa yang dimaksud dengan pencegahan? Sedangkan hubungan seksual berisiko dalam penjelasan disebutkan sebagai ’setiap hubungan seksual yang dilakukan antar orang dalam kelompok rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular.’

Penjelasan ini tidak akurat karena resiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada kelompok rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular. Penularan HIV bisa terjadi pada setiap orang yang melakukan perilaku berisiko kapan saja, dan di mana saja.

Wakil Bupati juga mengatakan: “ .... jika sistem lama sudah tidak maksimal, tentunya harus segera dicari sistem yang baru.“ Lagi-lagi dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaiman sistem lama dan bagaimana pula sistem baru.

Lebih lanjut Wakil Bupati menjelaskan: “ .... pihaknya akan membahas penerapan wajib kondom tersebut dengan pihak kementtrian agama yang ada di Buleleng terkait dengan pertimbangan moral dan hal lainnya.“ Ini membuktikan bahwa HIV/AIDS sebagai fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) ditanggulangi dengan moral. Ya, tidak nyambung.

Selain itu di mana dan bagaimana kelak penerapan wajib kondom kalau di Buleleng tidak ada germo yang memegang izin usaha pelacuran dan rumah bordir? Lagi-lagi pembicaraan di awang-awang sehingga hasilnya pun kelak bak ’menggantang asap’. Sia-sia.

Ada lagi pernyataan Wakil Bupati: "Namun, sistem yang lama bukan berarti tidak lagi dilakukan. Karena semuanya harus diadopsi dan disaring, mana yang paling baik untuk kondisi masyarakat Buleleng. Termasuk penekanan ceramah-ceramah keagamaan agar bisa membentengi para generasi muda kita." Ya, dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaiman sistem lama. Kalau mengacu ke Perda maka sama sekali tidak ada cara-cara pencegahan yang konkret.

Di bagian peran serta masyarakat pada pasal 20 disebutkan: ”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.” Ini juga normatif dan moralistis karena ayat a dan b justru tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Pasal ini akan mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Ini juga pernyataan Wakil Bupati: ”Masyarakat pada umumnya masih menganggap kondom sebagai sebuah hal yang tabu dan malu untuk diucapkan apalagi untuk dipraktekan penggunaannya.” Apakah betul masyarakat atau segelintir orang yang memakai moralitas dirinya sendiri yang menganggap kondom sebagai hal yang tabu? Jangan mengatasnamakan masyarakat untuk pembenaran sikap pribadi atau kelompok.

Menurut Wakil Bupati pandangan itu terjadi: “ .... dibentuk karena kuatnya adat timur selaku orang Indonesia dan Bali pada khususnya.” Ini slogan kosong yang menjadi bumerang bagi Bangsa ini. Apa yang dimaksud dengan budaya timur? Apakah Papua Niugini, Malaysia, Filipina, Australia, dll. yang berada di wilayah timur tidak mempunyak budaya (timur)? Mengapa hanya kita yang menganggap diri sebagai bangsa yang mempunyai budaya?

Budaya adalah pikiran dan akal budi. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi manusia), seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Apakah hanya (bangsa) Indonesia yang memiliki kebudayaan di muka Bumi ini?

Lagi-lagi kita berlindung di balik slogan yang tidak membumi hanya untuk menutupi realitas sosial terkait perilaku seks. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Senin, 23 Agustus 2010

Menyibak Peran Perda AIDS Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Peraturan Daerah (Perda) Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) No 4/2010 tanggal 13/04/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-38 di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur (2009. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi penyebaran HIV di Sulsel?

Perda AIDS ini tidak mencantumkan kata kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Padahal, ’perlombaan’ membuat perda AIDS di Indonesia justru berkaca ke Thailand yang dikabarkan berhasil menurunkan kasus infeksi baru HIV di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.



Risiko tertular HIV melalui hubngan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau hubungan seks penetrasi dilakukan dengan orang yang sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi penis bersentuhan dengan vagina. Soalnya, dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan vagina sehingga ada risiko penularan pada saat terjadi gesekan penis dengan vagina.

Lalu, apa yang ditawarkan perda ini sebagai cara mencegah penularan HIV? Di pasal 1 ayat 9 disebutkan: ”Pencegahan adalah upaya-upaya agar penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan terkonsentrasi di mayarakat melalui berbagai intervensi perilaku pada penjaja seks dan pelanggan dengan penggunaan alat pencegah, .....” Apa yang dimaksud alat pencegah dalam perda ini? Di pasal 1 ayat 32 disebutkan: ”Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau pada perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.”

Ketika di era Orba banyak cerita terkait penjelasan KB, misalnya, penceramah mencontohkan penggunaan kondom dengan memakai jari tangan. Ada laki-laki yang memasang kondom di jarinya ketika sanggama dengan istrinya. Begitu pula dengan sarung karet. Bisa menimbulkan berbaga macam penafsiran karena sarung karet bukan kata yang denotatif (..........). Entah apa alasan perancang perda ini sehingga ’mengharamkan’ kata kondom.

Memang, selama ini ada anggapan yang keliru tentang kondom Banyak orang yang menganggap kondom mendorong orang untuk berzina. Ini salah besar karena banyak penelitian menunjukkan laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom dengan berbagai macam alasan. Sayang, penggagas dan perancang perda itu tidak melihat realitas ini sebagai fakta dan memilih anggapan sebagai kebenaran semu.

Sampai Desember 2009 dilaporkan 3.105 kasus HIV/AIDS, 2.330 HIV-positif dan 775 AIDS. Dengan data ini tentulah sudah saatnya Pemprov Sulesl melakukan upaya penanggulangan yang konkret tidak lagi sekedar retorika, seperti pembuatan perda. Di Tanah Papua ada delapan perda AIDS, apakah perda-perda itu bisa bekerja? Tidak. Mengapa? Ya, karena yang diatur dalam perda bukan cara-cara pencegahan yang akurat.

Banyak anggapan yang salah terhadap HIV/AIDS. Misalnya, ada kesan bahwa pekerja sekslah yang menyebarkan HIV. Ini keliru karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan seorang penduduk. Dalam kehidupa sehari-hari penduduk yang menularkan HIV kepada pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, perampok, dll. Kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks yang sudah ditulari penduduk. Inilah mata rantai penyebaran HIV.

Pencegahan yang Faktual

Dalam perda ini di pasal 8 ayat e disebutkan: mendorong dan melaksanakan tes dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi kunci.” Pada pasal 1 disebutkan: “Populasi kunci adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu wanita penjaja seks komersial, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalanan.”

Pembatasan populasi kunci di atas akan membuat banyak orang berkelit karena dia bukan pelanggan (tetap) pekerja seks. Ketika mengasuh rubrik “Kosultasi HIV/AIDS” di Harian “Pare Pos’ seorang pejabat di Sulsel bertanya apakah dia berisiko tertular HIV karena dia hanya melakukan hubungan seks dengan cewek cantik dan mulus yang bukan pekerja seks di hotel berbintang di Jakarta dan Surabaya. Tentu saja berisiko karena cewek tadi sering berganti pasangan seks. Bisa saja salah seorang laki-laki yang mengencaninya HIV-positif sheingga dia tertular HIV. Laki-laki yang kemudian mengencaninya, seperti pejabat tadi, tentu saja berisiko tertular HIV.

Ada persoalan besar pada epidemi HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari. Dalam kaitan inilah pasal yang diperlukan berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Perda ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (pasal 16 ayat 1). Cara yang ditawarkan perda adalah: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Cara-cara yang ditawarkan ini pun tidak faktual karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan hidup keluarga. Cara-cara ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang sudah tertular HIV.

Untuk menanggulangi epidemi HIV di Sulsel khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada cara lain selain menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual kepada masyarakat luas. ***

Menyibak Langkah Perda AIDS Kota Cirebon

Oleh Syaiful W. Harahap*

Setelah Kabupaten Tasikmalaya (2007) dan Kota Tasikmalaya (2008) kini Kota Cirebon, yang menelurkan perda penanggulangan AIDS di Prov. Jawa Barat. Melalui Perda No 1/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Pemkot Cirebon akan menanggulangi epidemi HIV di ‘Kota Udang’ ini. Sampai Mei 2010 sudah terdeteksi 435 kasus HIV/AIDS. Akankah perda ini bisa menanggulangi penyebaran HIV di Kota Cirebon?

Perda AIDS Kota Cirebon ini merupakan perda ke-37 dari 38 perda mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang sudah dibuat di Indonesia. Kalau saja Pemkot Cirebon dan DPRD Kota Cirebon mencermati perda-perda AIDS yang sudah ada tentulah perda yang dihasilkan tidak hanya bersifat copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

‘Perlombaan’ membuat perda didorong oleh publikasi keberhasilan Thailand menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang dijalankan adalah ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, perda-perda AIDS nasional pun mengadopsi program Thailnad itu.

Mata Rantai

Perda AIDS Kota Cirebon, misalnya, pencegahan dikaitkan dengan pemutusan mata rantai penularan. Pada pasal 17 ayat 2 yaitu: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV–AIDS wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan dengan menggunakan kondom.

Pasal ini tidak jalan akan bisa dijalankan karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Itulah sebabnya lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari.

Di pasal 20 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan hubungan seksual beresiko. Dalam ketentuan umum di pasal 1 ayat 32 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Tidak jelas apakah hubungan seksual beresiko sama dengan perilaku seksual tidak aman.

Terkait dengan upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dalam perda ini dilakukan melalui pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Beberapa pasal yang terkait dengan upaya ini tidak akan jalan karena tidak menyentuh akar persoalan yaitu penyebaran HIV secara horizontal yang terjadi tanpa disadari. Risiko tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Yang mendorong penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat adalah perilaku berisiko tinggi yaitu: (a). melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk (baca: laki-laki ‘hidung belang’) ke pekerja seks dan sebaliknya dari pekerja seks kepada laki-laki ’hidung belang’ maka perlu ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Untuk ‘menjaring’ orang-orang yang sudah tetular HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Biar pun sudah terdeteksi 435 kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampai di permukaan yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang tersembunyi. Kasus-kasus yang tersembunyi itulah yang bisa menjadi bumerang karena merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan menjadi ledakan AIDS. Soalnya, kasus-kasus yang tersembunyi itu menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.

Tempat Hiburan

Di pasal 25 tentang perawatan dan dukungan di sebutkan: Perawatan dan dukungan terhadap ODHA (yang benar adalah Odha karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke orang yang hidup dengan HIV/AIDS-pen.) dilakukan melalui pendekatan: (a) medis; (b) agama; (c) psikologis; (d) sosial dan ekonomi. Urut-urutan dukungan ini menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS dilakukan dengan kaca mata moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara yang konkret dengan teknologi kedokteran.

Seorang Odha akan memerlukan pertolongan medis untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV). Jika sudah mencapai masa AIDS maka diperlukan pula pengobatan penyakit-penyakit yang muncul yang dikenal sebagai infeksi oportunistik. Maka langkah kedua yang diperlukan adalah dukungan ekonomi untuk membeli obat-obatan dan biaya perawatan. Pendekatan norma, moral dan agama seyogyanya dilakukan sebelum seseorang tertular HIV yaitu melalui penyuluhan.

Seperti yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa adalah dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, lokalisasi dan rumah bordir tidak ada di Cirebon sehingga program itu tidak bisa dijalankan.

Dalam perda ini justru ada pasal yang terkait dengan tempat hiburan. Sayang, dalam ketentuan umum tidak ada penjelasan tentang tempat hiburan. Karena tidak ada penjelasan maka tempat hiburan akan mendapat stitma karena dianggap sebagai biang keladi penyebaran HIV. Apalagi di pasal 34 disebutkan: Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disedikan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh SKPD.

Tidak ada kaitan langsung antara tempat hiburan dengan penularan HIV. Tidak semua tempat hiburan menyediakan pekerja seks dan tempat untuk hubungan seks. Risiko tertular HIV bukan karena tempat tapi karena perilaku seks orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak berisiko jika dia hanya mau meladeni laki-laki pelanggan, suami atau pacarnya yang selalu memakai kondom jika sanggama.

Apakah Perda AIDS Kota Cirebon ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan perda-perda AIDS yang sudah ada hanya berperan sebagai ‘macan kertas’? Kita tunggu saja. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Rabu, 18 Agustus 2010

Tidak Ada Kaitan Penularan HIV dan Pasangan di Luar Nikah

Oleh Syaiful W. Harahap*

“56 Pasangan di Luar Nikah Bebas HIV.” Ini judul berita di Harian “Sumut Pos” (4/8-2010). Judul ini merupakan gambaran pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Memang, selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang tumbuh subur di masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, hubungan seks di luar nikah, hubungan seks pranikah, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara zina, hubungan seks di luar nikah, hubungan seks pranikah, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual. Fakta ini hilang karena ditindih mitos.

Disebutkan dalam berita: “Sebanyak 56 pasangan yang terjaring dalam operasi cipta kondisi, akhir pekan silam, dinyatakan bersih dari virus HIV/AIDS. Kabid Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Deli Serdang Drg Ridha Sondang Hutajulu mengatakan, satu per satu pasangan itu diperiksa dari penularan penyakit.” Tidak dijelaskan reagent yang dipakai untuk melakukan tes HIV kepada pasangan yang terjaring itu. Selain itu bisa saja ada yang tertular tapi baru pada masa jendela maka hasilnya bisa negative (palsu).

Mitos kian kental dalam berita ini melalui kutipan pernyataan Kabid P2P Dineks Deli Serdang: ”Setelah dilakukan uji laboratorium terhadap darah pasangan yang bukan suami istri itu, dihasilkan kesimpulan tidak ada yang terjangkit HIV/AIDS.” Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan pasangan yang bukan suami istri karena penularan HIV tidak terjadi karena sifat hubungan seks (di luar nikah) tapi karena kndisi saat hubungan seks (tidak memakai kondom, salah satu atau dua-duanya HIV-positif).

Jika kita terus mengumbar mitos dalam memberikan informasi kepada masyarakat maka selama itu pula masyarakat tidak akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Jika ini yang terjadi maka kita tinggal menunggu ledakan AIDS karena kasus-kasus penularan yang ada di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak Ada Benteng untuk Membendung Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/08-2010. “Aceh ‘benteng’ HIV/AIDS Indonesia bisa jebol.” Ini judul berita di Harian “WASPADA”, Medan (25/06-2010).

Dalam berita disebutkan: “Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan provinsi Aceh yang diharapkan bisa menjadi "benteng" penahan penularan HIV/AIDS di Indonesia, namun kini bisa "jebol" menyusul ditemukan sebanyak 47 kasus penyakit tersebut.” Tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai ‘benteng’ terhadap HIV/AIDS. Kalau ‘benteng’ yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam di Prov. Aceh maka hal itu tidak akurat karena penularan HIV tidak kasat mata.

Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD juga ’jebol’ (meminjam istilah Wagub Aceh-pen.). Data terahir menunjukkan kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 13,926. Dari jumlah ini terdapat 3,538 penduduk asli Arab Saudi.

Secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam di Arab Saudi. Tapi, mengapa ada penduduknya yang tertular HIV? Ya, mereka tertular di luar Arab Saudi. Ketika mereka kembali ke negaranya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Ada lagi pernyataan: “Wagub memperkirakan masih ada ratusan warga tertular penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh itu dan pada akhirnya bisa mengakibatkan kematian bagi penderitanya. HIV/AIDS tertular akibat seks bebas dan penggunaan jarum suntik narkoba.” Lagi-lagi penularan HIV dikaitkan dengan ‘seks bebas’.

Kalau ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina, maka ini mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.

Sedangkan penularan HIV pada penyalahguna bisa terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV. Tidak ada risiko penularan HIV kalau penyalahguna narkoba memakai sendiri atau bersama-sama tapi dengan jarum suntik dan tabung yang steril atau baru.

Di bagian lain disebutkan: “Saya perkirakan masih ada ratusan warga daerah ini yang tertular, namun tidak berani melaporkan kepada petugas kesehatan atau merasa malu jika diketahui mengidap penyakit tersebut." Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Begitu pula dengan orang-orang yang sudah tertular mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Mereka bukan ‘tidak berani melapor’, tapi mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Disebutkan pula: "Kami telah melakukan tindakan pencegahan melalui pemberian pemahaman tentang bahaya penyakit tersebut. Kegiatan sosialiasasi bahaya penyakit ini sering diberikan kepada masyarakat dan pelajar di Provinsi Aceh," Pertanyaannya adalah: Apakah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disosialisasikan akurat?

Kalau jawabannya YA, maka masyarakat akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV secara benar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka masyarakat hanya menangkap mitos terkait dengan penularan dan pencegahan HIV. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari.

Yang bisa dilihat kelak hanyalah ledakan kasus AIDS karena infeksi HIV pada penduduk yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyoal ‘Pembelian’ Darah di PMI

Oleh Syaiful W. Harahap*

“PMI Kekurangan 1,5 Juta Kantong Darah.” Ini informasi di newsticker TVOne (18/8-2010). Ini merupakan ironi karena secara teoritis persediaan darah di unit-unit transfusi darah (UTD) PMI tidak akan habis kalau filosofi transfusi diberlakukan secara konsekuen.

Darah diganti dengan darah. Itulah landasan transfusi. Artinya, kalau ada yang mengambil darah ke PMI maka dia harus menggantinya dengan darah. Bisa darah anggota keluarga atau kerabat. Misalnya, seseorang mengambil tiga kantong darah maka dia harus membawa tiga donor untuk mengganti darah yang diambil.

Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Darah diganti dengan uang. Ini tentu saja jual darah. Tapi, PMI berkelit: ” .... pengenaan biaya selama ini hanya untuk mengganti ongkos produksi pengolahan darah.” Ini pernyataan Ketua PMI Cabang Makassar, Syamsu Rizal (FAJAR, 3/8-2010).

Yang mengambil darah di PMI membayar biaya produksi, tapi tidak menganti darah yang dia ’beli’. Di Makassar, misalnya, ongkos produksi Rp 250.000/kantong darah. Jika bertolak dari pernyataan tadi maka uang ini habis untuk biaya produksi, seperti pembelian kantong, uji saring, dll.

Jika PMI menerapkan filosofi transfusi maka tidak ada kemungkinan persediaan darah habis atau menipis di PMI. Ya, karena darah diganti uang maka persediaan darah pun bisa habis. Apalagi di bulan puasa donor berkurang.

Memang, terkadang yang datang ke PMI untuk ’membeli’ darah dipaksa membawa donor. Tapi, apakah ini diberlakuka secara adil terhadap semua yang mengambil darah ke PMI?

Kalau jawabannya YA, maka pernyataan JK tidak masuk akal. Maka, pernyataan JK yang disiarkan TVOne itu menunjukkan keharusan darah diganti darah tidak berlaku umum di PMI.

Sudah rahasia umum rumah-rumah sakit swasta hanya menyuruh kurir mengambil darah ke PMI dengan membawa ongkos produksi.

Himbauan untuk menjadi donor sukarela terus berkumandang, tapi pengambilan darah dengan imbalan ’ongkos produksi’ terus berlangsung.

Menurut Ketua PMI Makassar ’biaya produksi’ yang harus dibayar masyarakat bisa berkurang jika ada bantuan dan dana sosial yang dikumpulkan melalui ’bulan dana’. Biar pun ada bantuan dana dan dana sosial jika darah diganti darah diterapkan maka persediaan darah di UTD PMI akan terjaga.

Dana yang ada dipakai untuk meningkatkan mutu uji saring darah terutama terhadap HIV karena skrining HIV yang dilakukan PMI sangat lemah. Reagent ELISA tidak efektif mendeteksi antibody HIV jika donor menyumbangkan darahnya pada masa jendela. Kalau ada donor yang tertular HIV di bawah tiga bulan ketika dia mendonorkan darahnya maka hasil tes HIV dengan ELISA bisa negatif palsu atau positif palsu.

Kalau darah hasil skrining di PMI positif maka tidak ada persoalan karena darah itu tidak dipakai. Tapi, kalau hasilnya negatif palsu maka ini yang membuat celaka. Hasil tes negatif tapi HIV sudah ada di dalam darah.

Kalau saja PMI mau menerapkan tes awal kepada calon donor maka masa jendala bisa dihindari. Dalam formulir isian harus ada pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berhganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan? Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ditolak karena hasil skrining bisa negatif atau positif palsu.

Sayang, yang ditanya PMI ke calon donor adalah: Kapan Anda terakhir ke luar negeri? Kalau pertanyaan ini masih ada di formulir isian calon donor maka PMI sudah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) yang mengesankan semua penyakit, khususnya HIV/AIDS, berasal dari luar negeri.

Pemerintah Malaysia terpaksa membayar dengan RM 100 juta kepada seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi di rumah sakit kerajaan. Untuk menghindari kejadian serupa Malaysia menerapkan standar ISO untuk laboratorium transfusi. Apakah PMI sudah mempunyak standar baku sekelas ISO?

Ternyata untuk urusan kemanusiaan pun kita tidak bisa konsekuen dan konsisten. Kewajiban darah diganti darah tidak berlaku umum. Ini salah satu bentuk diskriminasi.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Selasa, 17 Agustus 2010

Menanggapi Berita di voa-islam.com tentang AIDS di Prajurit Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Gawat!! Ratusan Tentara TNI Mengidap AIDS Akibat Nakal Seks.” Ini adalah judul berita di voa-islam.com (11/08/2010). Judul ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Disebutkan: “Sebagian besar tentara Kodam XVII Cenderawasih itu positif terjangkit HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Pernyataan ini mengandung hal-hal yang tidak faktual.

‘Seks bebas’ adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Seseorang tertular HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah karena pasangannya sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama.

Kalau ‘seks bebas’ (baca: zina) menjadi penyebab seseorang tertular HIV maka sudah tak terhitung penduduk Indonesia yang sudah tertular HIV. Soalnya, kalau penularan HIV terjadi karena ‘seks bebas’ maka analoginya adalah setiap orang yang pernah berzina maka dia sudah tertular HIV.

Begitu pula berganti-ganti pasangan. Tidak ada kaitan langsung antara ganti-ganti pasangan dengan penularan HIV. Penularan HIV bukan karena ganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan seks di dalam dan di luar nikah merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasnagan itu HIV-positif.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV hanya terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi, jarum suntik, alat-alat keseahtan yang bisa menyimpan darah, dan transplantasi organ tubuh. Penularan melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi jika air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika penis dan vagina bersentuhan langsung. Sedangkan penularan melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui proses menyusui.

Di bagian lain disebutkan: ”Angka tersebut langsung mengukuhkan Kodam XVII Cenderawasih sebagai daerah militer yang memiliki prosentase terbesar di seluruh Indonesia, yang Anggota TNInya mengidap HIV/AIDS.” Ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap angka-angka terkait HIV/AIDS.

Ada pertanyaan yang sangat mendasar terkait dengan 144 kasus AIDS di prajurit Kodam Cenderawasih. Apakah cara yang dilakukan oleh Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi prajurit yang tertular HIV juga dilakukan di kodam-kodam lain? Kalau jawabannya TIDAK, maka angka di Kodam Papua itu belum tentu lebih tinggi dari angka kasus di kodam-kodam lain. Tapi, kalau jawabannya YA, maka angka itu menenpati peringkat pertama di lingkungan kodam.

Ada pula pernyataan: “ .... terinfeksi penyakit mematikan HIV/AIDS.” HIV dan AIDS tidak mematikan. HIV adalah virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tiba pada masa AIDS. Ini terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS itulah muncul bermacam-macam penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariasan, TB, dll. yang sangat sulit disembuhkan. Penyakit-penyakit inilah kemudian yang menyebabkan kematian pada Odha (orang dengan HIV/AIDS).

Ada lagi pernyataan: “Hotma mengatakan, prajurit yang terinfeksi penyakit mematikan itu punya kebiasaan hidup nakal. Mereka acap melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan.” Ini pernyataan moralitas yang justru mengaburkan fakta HIV/AIDS. Tertular HIV melalui hubungan seks bukan karena nakal yaitu ’melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan’, tapi karena pasangannya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama. ’Melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan’ adalah perilaku berisko tertular HIV. Risiko bisa ditekan jika laki-laki memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.

Disebutkan bahwa prajurit yang terdeteksi HIV-positif akan menerima ”bimbingan rohani dan penyuluhan agar para penderita HIV/AIDS ini tidak menularkan penyakit tersebut ke orang lain.” Jika prosedur tes HIV yang dilakukan terhadap prajurit Kodam Cenderawasih sesuai dengan asas tes HIV yang baku maka tidak perlu ada bimbingan untuk meminta mereka agara tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Standar prosedur operasi tes HIV yang baku secara internasional adalah ada konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes. Dalam konseling sebelum tes diberikan informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS termasuk yang harus dilakukannya jika hasil tes negatif atau positif. Pertanyaannya adalah: Apakah Kodam Cenderawasih menerapkan asas yang baku ketika mendeteksi HIV di kalangan prajurit? Setiap orang yang akan menjalani tes HIV secara sukarela harus memberikan pesetujuan (informed consent). Ini juga berlaku untuk semua jenis tes terkait penyakit di laboratorium. Persetujuan untuk tes bisa lama karena tergantung kesiapan seseorang untuk menerima hasil tes.

Di sebutkan pula: “ ..... para anggota pengidap HIV/AIDS dirangkul dan diberi dukungan semangat oleh teman-temannya untuk dapat sembuh dari penyakit mematikan itu.” Ini sikap yang terpuji sebagai makhluk Tuhan karena melakukan stigma dan diskriminasi dilarang agama (baca: Tuhan). Tapi, celakanya justru umat dan sarana kesehatan yang sering melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha.

Pernyatan yang menyebutkan: ” .... untuk dapat sembuh dari penyakit mematikan itu” tidak akurat karena HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan. HIV sebagai virus tidak bisa dibasmi di dalam tubuh. Bukan hanya HIV tapi virus tidak bisa dibunuh di dalam tubuh manusia. Yang sudah ada adalah obat antiretroviral (ARV) yang dapat menekan laju perkmbangan HIV di dalam darah sehingga bisa memperlambat masa AIDS dan menjaga stamina Odha. Cuma, pemberian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV. Ada aturan baku untuk pemberian ARV.

Sedangkan AIDS jelas tidak bisa diobat atau disembuhkan karena AIDS bukan penyakit. AIDS adalah istilah yang disepakati secara internasional yang merujuk ke kondisi seseorang yang sudah tertular HIV yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi opoetunistik. Bukan hanya AIDS yang tidak ada obatnya. Ada penyakit yang juga tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan, yaitu darah tinggi dan diabetes.

Pihak Kodam memberikan sosialisasi. “Sosialisasi dilakukan agar penyebaran penyakit mematikan ini tidak terus bertambah di lingkungan TNI yang bertugas di Papua.” Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS yang disosialisasikan faktual? Soalnya, selama ini materi penyuluhan HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis hilang. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Inilah yang membuat banyak orang yang lalai sehingga tertular HIV karena mereka tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Ketika HIV/AIDS sudah ada di pelupuk mata kita masih saja ’debat kusir’ tentang cara-cara pencegahan yang akurat. Pada saat kita ’debat kusir’ penyebaran HIV terus terjadi tanpa kita sadari. Kita tinggal menunggu waktu ledakan AIDS karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat merupakan ’bom waktu’. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyibak Peran Perda AIDS Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Perda Kab. Luwu Timur No 7/2009 tanggal 10/08/2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-33 dari 38 perda penanggulangan AIDS di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur, kemudian diikuti oleh Pemprov. Sulsel yang menerbitkan Perda No. 4/2010 tanggal 13/4/2010. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi AIDS?

‘Birahi’ menerbitkan perda penanggulangan AIDS di Indonesia muncul setelah Thailand mengumbar keberhasilan mereka dalam menurunkan kasus baru infeksi HIV di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Di mulai di Kab. Nabire, Papua, tahun 2003 sampai sekarang sudah ada 37 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan perda AIDS.

Keberhasilan Thailand dilakukan melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Di beberapa perda ada pasal yang mewajibkan pemakaian kondom. Tapi, pasal ini tidak akan bisa diterapkan karena beberapa faktor, al. di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumajh bordir yang ‘resmi’ sehingga program itu tidak bisa diterapkan.

Karena tidak ada lokalisasi dan rumah bordir maka upaya untuk memantau program itu tidak bisa dilakukan. Thailand memantau program melalui survailans terhadap pekerja seks yang ada di lokalisasi dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, klamidia, dll.) maka ini bukti bahwa ada pekerja seks yang meladeni pelanggan yang tidak memakai kondom ketika sanggama. Germo atau pengelola rumah bordir diberikan sanksi secara bertingkat sampai pada penutupan usahanya.

Di Indonesia pemantauan tidak bisa dilakukan sehingga pasal yang mewajibkan pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko tidak efektif. Selain itu gelombang penolakan cari berbagai kalangan terhadap kondom sangat kuat sehingga sosialisasi kondom terhambat.

Pada pasal 4 ayat b perda ini misalnya disebutkan: Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui: peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan Sex berisiko. Tidak ada penjelasan yang rinci tentang hubungan seks berisiko. Yang mendukung pasal ini ada pasal 1 ayat 20 disebutkan: Perilaku pasangan sexsual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan sexsual tanpa menggunakan kondom. Tapi, tetap saja tidak jelas sasarannya.

Dalam epidemi HIV yang dimaksud dengan perilaku seks yang berisiko tertular dan menularkan HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (b) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Persoalannya kemudian adalah banyak daerah yang menepuk dada karena di daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran. Bahkan, ada daerah yang membuat perda anti maksiat atau perda anti pelacuran yang mereka jadikan sebagai pembenaran bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran. Padahal, praktek pelacuran terjadi di mana saja dan kapan saja di setiap daerah. Praktek pelacuran yang tidak bisa dikontrol ini justru salah satu ladang persemaian epidemi HIV.

Salah satu persoalan besar dalam epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenal orang-orang yang sudah tertular melalui penampilan fisiknya. Soalnya, tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu inilah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari.

Dua pasal tadi tidak bisa dipakai sebagai alat untuk mencegah penularan dan penyebaran HIV di Kab. Luwu Timur karena tidak jelas objeknya.

Pada bab kewajiban di pasal 8 ayat 5 disebuktan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi orang lain dengan melakukan upaya pencegahan. Pada ayat 6: Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom. Sedangkan pada bab larangn di pasal 9 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal secara kasat mata. Kita pun tidak bisa menduga-duga siapa saja yang sudah tertular HIV. Pasal ini mubazir karena tidak akurat. Jika ingin menanggulangi penyebaran HIV secara komprehensif maka harus ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Upaya penanggulangan HIV/AIDS dalam perda ini pada pasal 3 ayat a disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan penularan HIV. Orang yang sehat walafiat pun bisa tertular HIV kalau dia terpapar dengan cairan-cairan yang mengandung HIV, seperti air mani, cairan vagina, darah, dan air susu ibu (ASI). Lagu pual pasal ini mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi HIV-positif karena dianggap tidak hidup bersih dan sehat.

Penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini lagi-lagi tidak komprehensif. Pada pasal 9 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada gejala yang khas pada tubuhnya. Darah yang mengadung HIV bisa diseleksi di unit-unit transfusi darah PMI. Darah donor diskrining terhadap HIV dan penyakit lain. Yang bisa didonorkan bukan cairan mani, tapi sperma. Dalam sperma tidak ada HIV.

Pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Tapi, dalam perda ini yang ditawarkan lagi-lagi tidak faktual terkait langsung dengan epidemi HIV.

Pada pasal 11 disebutkan: Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga. Seperti apa, sih, perilaku hidup sehat yang terkait dengan penularan HIV? Begitu pula dengan ketahanan keluarga, seperti apa konkretnya ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV?

Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan tingkat ketahanan keluarga. Ya, lagi-lagi upaya penanggulangan epidemi HIV dengan perda yang tidak realistif. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Minggu, 15 Agustus 2010

Menanggapi Pernyataan Anggota DPR F-PDIP Tubagus Hasanuddin terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

”PDIP Minta Panglima TNI Pecat Prajurit Kena AIDS.” Ini judul berita di inilah.com (12/08/2010). Dalam berita disebutkan: “Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta kepada Panglima TNI Djoko Santoso untuk memecat 144 prajurit TNI yang terkena AIDS di Papua.” Alasan yang disampaikan anggota DPR ini adalah: “ .... karena tidak akan efektif dalam melakukan tugasnya sebagai prajurit.”

Ada fakta yang tidak muncul dalam berita di media massa terkait dengan kasus AIDS di kalangan prajurit Kodam Cenderawasih, Papua yaitu tidak dijelaskan berapa kasus HIV-positif dan AIDS.

Prajurit yang baru tahap HIV-positif tetap bisa efektif bertugas karena belum ada akibat terhadap kesehatan. Sedangkan yang sudah masuk tahap AIDS (sudah tertular antara 5 – 15 tahun) tetap bisa bekerja produktif. Apalagi sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah sehingga meningkatkan kekebalan tubuh. Langkah yang diambil TNI-AD terhadap prajurit yang terdeteksi HIV dan AIDS dengan menempatkan mereka pada bagian administrasi.

Kita perlu angkat topi mengapresiasi kebijakan yang manusia dan bermoral ini. Bandingkan dengan instansi, institusi atau perusahan yang memecat pegawai atau karyawan yang terdeteksi HIV justru melakukan tindakan yang amoral dan diskriminatif. Soalnya, penularan hepatitis B persis sama dengan penularan HIV, tapi pegawai attau karyawan yang terdeteksi mengidap virus hepatitis B tidak dipecat dan mendapat biaya pengobatan.

Di bagian lain disebutkan: Ia menduga, adanya prajurit TNI yang terkena HIV/AIDS itu bisa disebabkan dua hal. Pertama, kata, Hasanuddin disebabkan karena prajurit TNI yang ada di Papua itu adalah putra daerah. Kemungkinan kedua, tambahnya, adanya prajurit TNI yang terkena itu dikarenakan prajurit yang diperbantukan, yang datang dari luar Papua, seperti Jawa.

Pertanyaan pertama itu merupakan stigma (cap buruk) dan tidak objektif karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV (di Kodam Cenderawasih) dengan asal prajurit. Ini juga bisa memicu kebencian karena di Tanah Papua ada isu besar yang menuding kasus HIV/AIDS sebagai genosida.

Sedangkan pernyataan kedua juga tidak akurat karena tidak ada tes HIV terhadap prajurit yang akan bertugas di Papua. Memang, prajurit yang terdeteksi HIV-positif bisa saja tertular di Papua atau di luar Papua. Bisa juga mereka tertular sebelum masuk TNI-AD karena ketika mereka tes masuk berada pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) sehingga hasil tes HIV bisa negatif palsu. HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi.

Dalam berita itu ada pernyataan yang membingungkan, yaitu: "Setiap tahun, TNI melakukan medical cek up terhadap prajurit TNI. Kalau selama dalam medical cek up tidak terdeteksi, maka kemungkinan menderita sebelum masuk menjadi prajurit TNI.” Kalau prajurit itu tertular sebelum diterima tentulah antibody HIV akan terdeteksi jika setiap tahun dilakukan pemeriksaan kesehatan. Namun, apakah dalam medical check up juga ada tes HIV?

Ada pula pernyataan: ”Kepala rumah sakit tersebut Dr Yenny Purnama mengemukakan di Jayapura, Kamis, dari 144 prajurit TNI yang positif mengidap HIV/AIDS itu empat diantaranya telah meninggal sedangkan yang lainnya masih menjalani perawatan dan sudah diserahkan ke Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua.” Pernyataan ini mengesankan semua prajurit yang terdeteksi HIV-positif dirawat.

Pernyataan itu menyesatkan karena seseorang terdeteksi HIV tidak otomatis harus dirawat. Yang diperlukan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif, seperti prajurit Kodam Cenderawasih, memerlukan pendampingan untuk membimbing mereka agar mau memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Pendampingan menjadi bagian dari tes HIV. Persoalannya, adalah apakah tes HIV yang dilakukan terhadap prajurit itu sesuai dengan standar baku tes HIV? Kalau ya maka sebelum dan sesudah tes mereka berhak mendapatkan konseling. Tes HIV bisa dilakukan jika ada pesetujuan dari prajurit. Mereka memberikan persetujuan setelah mengetahui HIV/AIDS secara benar dan menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Pendampingan terhadap prajurit yang terdeteksi HIV merupakan hak mereka sebagai konseling sesudah tes sesuai dengan standar baku tes HIV.

Kesan-kesan buruk dan negatif yang muncul dari berita tentang AIDS di kalangan prajurit TNI-AD di Kodam Cenderawasih terjadi karena informasi beredar luas tidak komprehensif. Ini bisa terjadi karena sumber berita tidak menjelaskan secara rinci, tapi bisa juga terjadi wartawan tidak memahami cara-cara penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif dan empati. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menanggapi Pernyataan Wakil Ketua DPR RI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

”DPR Minta Panglima TNI Koreksi Pembinaan Mental Prajurit.” Itulah judul berita detiknews.com (12/08/2010). Dalam berita disebutkan: “Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta Panglima TNI dan Menhan mengoreksi pembinaan mental dan spritual para prajurit yang bertugas di pedalaman.”

Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual. Padahal, sebagai virus HIV bisa menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, jika salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom seitap kali sanggama. Sebaliknya, jika satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan cara zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual tanpa kondom.

Disebutkan pula: “…. segera mengoreksi kembali pembinaan mental, tidak hanya fisik, tapi kerohanian ….” Yang perlu dikoreksi adalah materi KIE yang disampaikan kepada para prajut terkait dengan epidemi HIV. Selama materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula prajurit tidak memahami cara-cara yang akurat dalam melindingi diri agar tidak tertular HIV.

Ada pula pernyataan: “Priyo mengakui hal tersebut sangat mencengangkan publik.” Ada fakta yang tidak muncul dalam pemberitaan kasus AIDS pada prajurit TNI di Papua itu.

Tidak ada penjelasan yang rinci tentang cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit. Kalau Kodam Cenderawasih melakkan satu langah tertentu untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya, maka apakah hal yang sama dilakukan di kodam lain? Kalau jawabannya YA, maka kasus AIDS di Kodam Cenderawasih (bisa) mencegangkan tapi dibandingkan dengan kodam lain. Kalau jawabannya TIDAK, maka ada kemungkinan di kodam lain kasus AIDS jurtru lebih tinggi.

Ditilik dari aspek epidemiologi penemuan kasus HIV/AIDS merupakan satu langkah yang sangat berarti dalam memutus mata rantai penyebaran HIV. Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Ini yang terjadi di Kodam Cenderawasih, sedangkan di kodam lain yang tidak menjalankan survailans tes HIV maka kasus HIV/AIDS yang ada di prajurit akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Penemuan kasus HIV/AIDS di berbagai kalangan di Indonesia tidak mencengangkan karena perilaku seks sebagai orang sangat rentan tertular HIV karena mereka enggan memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai. Seandainya dilakukan survailans di berbagai kalangan, seperti pegawai, karyawan, polisi, mahasiswa, dll. maka bisa saja hasilnya pun mencegangkan.

Di bagian lain disebutkan: "Prajurit jangan diisolasi, karena bagaimanapun mereka berjuang untuk republik." Ini benar karena yang lebih berbahaya justru prajurit yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Prajurit ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Sedangkan prajurit yang sudah terdeteksi merupakan ujung tombak dalam memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka.

Sudah saatnya kita berpaling ke Malaysia yang menerapkan beberapa jenis survailans tes HIV untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Malaysia menjalankan survailans rutin dan sistematis terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai Maret 2010 Depkes mencatat 20.564 kasus AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah melewati angka 40.000. Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Kasus-kasus yang tersembunyi itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa kita sadari yang pada gilirannya akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di negeri ini. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menanggapi Pernyataan Panglima TNI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “Panglima TNI Yakin 144 Anggota TNI Pengidap HIV/AIDS Bisa Sembuh” di “detiknews.com” (13/08/2010) menimbulkan pernyataan yang sangat mendasar karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit AIDS.

Dalam berita disebutkan “Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso yakin 144 anggota Kodam XVII Cendrawasih yang positif mengidap HIV/AIDS bisa sembuh.” Ada pula kutipan pernyataan panglima: “ …. Orang yang menderita HIV/AIDS bisa disembuhkan.”

AIDS bukan penyakit, tapi istilah yang disepakati yang merujuk ke kondisi seseorang terkait dengan infeksi HIV, sehingga tidak bisa disembuhkan. AIDS adalah kondisi pada fisik dan kesehatan seseorang yang sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun. Kondisi ini ditandai oleh lebih dari 70 macam penyakit, disebut sebagai infeksi oportunistik.

Perrlu diingat bahwa dari 144 prajurit TNI di Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV tentu ada yang baru tahap HIV-positif dan sebagian lagi sudah mencapai masa AIDS. Kondisi ini tidak muncul dalam pemberitaan media massa sehingga ada kesan semua sudah masuk masa AIDS. Pengobatan yang ada sekarang adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Pemakaian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV, tapi ada ketentuan lain yaitu CD4 (CD4 adalah gambaran sistem kekebalan tubuh seorang Odha yang diperiksa di dalam darah melalui laboratorium) ybs. Sudah di bawah 300. Sedangkan pranykit-penyakit yang muncul setelah masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, sepreti diare, TB, sariawan, dll. bisa diobati.

Dalam berita juga tidak disebutkan bagaimana cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya. Jika kasus-kasus ditemukan melalui survailans tes HIV maka kasus yang terdeteksi bisa positif palsu (tidak ada HIV di dalam darahnya) atau negatif palsu (ada HIV di dalam darah tapi tidak terdeteksi). Survailanas tes HIV yang memakai reagen ELISA, misalnya, tidak bisa mendeteksi antibody HIV di dalam darah secara akurat pada masa jendela (di bawah tiga bulan setelah tertular HIV) sehingga hasilnya bisa positif palsu atau negatif palsu.

Jika Kodam Cenderawasih mendeteksi HIV di kalangan prajurit melalui survailans maka kasus-kasus negatif harus menjadi perhatian karena bisa jadi ketika mereka dites pada masa jendela. Mereka dianjurkan untuk menjalani tes tiga bulan berikutnya dengan catatan mereka pernah atau sering terpapar dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai.

Untuk meningkatkan efektivitas survailans perlu dilakukan konseling sebelum dan sesudah tes. Pada konseling sebelum tes mereka diberikan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Satu hal yang perlu ditanya adalah: Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko? Kalau di bawah tiga bulan maka tidak perlu menjalani tes karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu. Begitu pula dengan di unit-unit transfusi darah PMI tidak ada pertanyaan “Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko?” sehingga ada kemungkinan donor berada pada masa jendela.

Di bagian lain disebutkan: Djoko menuturkan, TNI menyusun rencana 5 tahun untuk penanggulangan HIV/AIDS. Kegiatan itu yakni penyuluhan, komunikasi dan edukasi. Informasi yang akurat tentang HIV/AIDS merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan epidemi HIV. Dengan catatan materi yang disampaikan adalah fakta medis tentang HIV/AIDS. Soalnya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Indonesia selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

HIV adalah fakta medis. Artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Tapi, pencegahan yang dikedepankan di Indonesia adalah moral dan agama sehingga penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari banyak orang.

Disebutkan pula: “144 Anggota Kodam XVII Cenderawasih positif mengidap HIV/AIDS karena sebagian besar terjangkit melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Ini salah satu bentuk mitos yang sudah melekat sebagai jargon di negeri ini. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ (jika ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina) dengan penularan HIV. Prajut-prajurit itu tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah mengidap HIV. Ini fakta. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap H IV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau slatu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan zina dan tanpa kondom. Ini juga fakta.

‘Berganti-ganti pasangan’ bukan penyebab tertular HIV tapi merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkiinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika sanggama dengan pekerja seks karena mereka mempunyai ‘pelanggan tetap’. Mereka menganggap tidak bersiiko karena tidak berganti-ganti. Tapi, mereka khilaf karena pasangan mereka itu, pekerja seks, berganti-ganti pasangan. Sayang, fakta ini tidak muncul dalam materi KIE sehinga banyak orang yang tidak memahami risiko terular HIV.

Selama para prajurit hanya diberikan wejangan dan materi KIE yang dibalut norma, moral dan agama maka selama itu pula akan (terus) terjadi penyebaran HIV. ***
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Jumat, 13 Agustus 2010

Menyikapi Kasus AIDS di Kalangan Prajurit Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Beberapa hari teakhir ini media massa nasional ramai memberitakan kasus 144 prajurit di Kodam XVII Cenderawasih, Tanah Papua, yang tedeteksi HIV/AIDS. Ini menunjukkan kita tetap melihat epidemi HIV dengan sebelah mata karena beberapa tahun yang lalu juga sudah ramai diberitakan perihal AIDS di kalangan prajurit TNI dan Polri di Tanah Papua. Bahkan, 20 pendaftar di Polda Papua terdeteksi HIV-positif. Apa sebenarnya yang terjadi (di sana)?

Kasus HIV/AIDS juga terdeteksi pada prajurit TNI Kontingen Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja. Ada 11 anggota terdeteksi HIV-positif. Fakta ini sudah dipaparkan pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina (Oktober 1997), tapi ketika itu tidak ada berita karena di zaman Orba. Penulis yang menjadi peserta pada kongres itu mencari data lain, tapi dr. Hadi M. Abednego, ketika itu Dirjen PPM&PLP Depkes, menolak mengomentari masalah infeksi HIV di kalangan tentara seperti yang dipaparkan di kongres. Bahkan, ada fakta lain yang muncul di kongres itu yaitu salah satu prajurit TNI yang dikirim ke Kamboja ternyata HIV-positif. Maka, seorang peserta dari Kamboja, seorang dokter, angkat bicara: “Saya khawatir justru tentara Anda yang menularkan HIV kepada rakyat kami.”

Mitos AIDS

Kabar tentang AIDS di kalangan prajurit TNI yang bertugas di Kamboja diberitakan Majalah “GATRA” (5/8/2005): ”AIDS. Risiko Jauh Keluarga”. Tapi, tunggu dulu. Mengapa tentara Belanda yang bersama Indonesia di Kamboja tidak ada yang terdeteksi HIV-positif? Tentara Belanda dibekali dengan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Selain membawa bedil tentara Belanda juga dibekali dengan ‘senjata’ untuk ‘si buyung’.

Apakah bekal seperti itu juga diberikan kepada prajurit TNI? Yang dikhawatirkan pasukan kita hanya dibekali ‘kekuatan’ moral, seperti wejangan dan panji-panji kesatuan. Misalnya, “Jangan pergi ke lokalisasi pelacuran!” Memang, mereka tidak melacur dengan pekerja seks di lokalisasi. Mereka melakukannya dengan ’cewek bar’ atau perempuan yang mereka kenal di luar lokalisasi. Tapi, mereka tidak dibelaki fakta tentang prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dengna yang HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) di beberapa kalangan di Kamboja. Ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks antara 21-64 peresen. Artinya, dari 100 pekerja seks ada 21-64 yang HIV-positif. Maka, probabilitas (kemungkinan) ’bertemu’ dengan pekerja seks yang HIV-positif sangat besar. Sedangkan di kalangan ’cewek bar’ (dikenal sebagai pekerja seks tidak langsung) prevalensi HIV berkisar antara 6-34 persen. Artinya, prevalensi HIV di kalangan pekerja seks, cewek bar, dan perempuan yang dijumpai sebagai pekerja seks tidak langsung ketika itu sangat tinggi.

Desember 2005 ada berita tentang kematian 12 dari 48 anggota TNI-AD di jajaran Kodam XVII/Trikora yang diduga tertular HIV. Dsebutkan prajurit-prajurit itu tertular HIV “akibat melakukan hubungan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan.” (MIOL, 6/12-2005). Ini mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang sampai sekarang terus menjadi ’jargon nasional’. Kalau ’seks bebas’ yang dimaksud adalah hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ’seks bebas’. Hubungan seks yang memungkinkan menjadi media penularan HIV adalah hubungan seks yang tidak aman yaitu hubungan seks yang tidak mamakai kondom yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu ada kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Terkait dengan kasus itu, Panglima Mayjen TNI George Toisula, menurut Kapendam, pada setiap kesempatan juga menyampaikan ajakan pada para prajurit untuk membiasakan hidup sehat dan selalu memperhatikan kaidah-kaidah agama agar mereka terhindar dari kemungkinan tertular HIV/AIDS. (MIOL, 6/12-2005). Lagi-lagi wejangan yang tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara hidup sehat dan (kaidah) agama dengan penularan HIV.

Kasus HIV/AIDS juta terdeteksi di kalangan polisi. Sebuah berita menyebutkan sebanyak 12 orang anggota Polda Papua terjangkit virus HIV/AIDS. Empat di antaranya meninggal dunia.(MIOL, 10/12-005). Menyikapi kasus ini Mabes Polri membekali anggotanya dengan informasi seputar HIV/AIDS di Mapolres Jayawijaya (Agustus, 2008). Materi informasi HIV/AIDS selama ini selalu mengedepankan norma, moral dan agama sehingga fakta tentang HIV/AIDS hilang. Akibatnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Ternyata pembelakan yang diberikan Mabes Polri kepada anggotanya di Jayawijaya juga mitos. Seorang penyuluh mengatakan: ” .... agar tidak terjangkit virus HIV/AIDS itu hal yang paling utama diketahui oleh personil Polri adalah meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah dan menjauhi semua perbuatan yang berbau maksiat.” (Cenderawasih Pos, 4/8-2008). HIV juga terdeteksi pada 20 pemuda calon tantama Polri yang menjalani tes di Polda Papua.

Kambing Hitam

Ada pula kabar tentang kasus HIV/AIDS di kalangan pejabat dan agamawan di Papua. Penemuan kasus demi kasus seakan bagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV di daerah ’Kepala Burung’ itu. Yang muncul justru isu miring yaitu mengaitkan epidemi HIV dengan genocide (pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) dan menyalahkan pekerja seks dai luar Tanah Papua yang ’menyerbu’ daerah itu.

Pemerintah-pemerintah daerah di Tanah Papua pun setengah hati menangani lokalisasi pelacuran. Padahal, dalam delapan perda penanggulangan AIDS di Tanah Papua semua menyiratkan program ’wajib kondom’ yang mengadopsi program Thailand. Program ini jalan jika lokalisasi pelacuran dibina untuk mengefektifkan program itu. Seorang pekerja seks di lokalisasi pelacuran ’55’ Maruni, Manokwari, Papua Barat, mengeluh, ”Cewek (maksudnya pekerja seks, pen.) .... (dia menyebutkan nama sebuah kota di Sulawesi-pen.) boleh mangkal di hotel.” Pekerja seks yang tidak dilokalisir tidak bisa diawasi dalam penerapan program pemakaian kondom.

Ada pula isu HIV/AIDS di Tanah Papua ditularkan oleh nelayan Thailand. Ini juga membuat seorang remaja putri dari Thailand marah dan menanggapi makalah peserta Indonesia, dalam hal ini disampaikan oleh dr Abednego: ”Apakah penduduk Papua tidak ada yang keluar dari daerahnya?” Di luar ruangan gadis itu masih marah-marah ketika saya wawanacarai.

Biar pun HIV/AIDS adalah fakta medis, tapi tetap saja tanggapan selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama. Misalnya, ada bupati dan gubernur di Papua yang mengatakan untuk meredam HIV/AIDS di wilayah mereka dilakukan dengan cara tobat massal. Ini ngawur karena siapa yang harus bertobat dan apa pula kaitannya dengan epidemi HIV.

Data HIV/AIDS di Tanah Papua juga sering ‘mengejutkan’. Tapi, perlu diingat ini terjadi al. karena penyuluhan yang gencar di Tanah Papua sehingga mendorong banyak orang yang menjalani tes HIV dan sarana kesehatan di sana sudah disiapkan untuk menangani kasus terkait HIV/AIDS. Setelah HIV terdetesi di kalangan tentara, polisi, agamawan dan pejabat belakangan diketahui pula kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga jauh lebih besar daripada di kalangan pekerja seks.

Tanggapan terhadap kasus HIV/AIDS di Tanah Papua terus bergulir. Tapi sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Tanggapan terhadap kasus 144 prajurit Kodam Cenderawaih yang terdeteksi HIV-positif datang dari Senayan. ”DPR minta Panglima TNI dan Menhan koreksi pembinaan mental dan spritual prajurit.” (Newsticker, RCTI, 13/8-2010).

Terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI di Papua yang diperlukan adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang akurat. Selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga prajurit tidak mengetahui fakta tentang penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Jika materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula prajurit TNI dan Polri tidak akan memahami cara-cara yang akurat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Akibatnya, mereka rentan tertular HIV.

Mandatory Test

Judul berita dan acara talk show di TVOne (13/8 dan 14/8), misalnya, juga menunjukkan balutan moral: HIV-AIDS Serang TNI. Kodam Sosialisasikan Bahaya Seks Bebas. Sebagai virus HIV tidak menyerang tapi menular melalui cara-cara yang sangat spesifik. Terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seks (’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, dll.) tapi terkait langsung dengan kondisi hubungan seks (salah satu atau dua-duanya HIV-positif, dan laki-laki tidak memakai kondom).

Pangdam XVII Mayjen Hotma Marbun: Dari seluruh Kodam prajurit penderita HIV/AIDS terbanyak dari jajaran Kodam Cenderawasih. (Newsticker, RCTI, 13/8-2010). Terkait dengan pernyataan pangdam ini perlu dipertanyakan: mengapa banyak kasus AIDS terdeteksi dan bagaimana cara yang dilakukan Kodam mendeteksi kasus HIV di kalangan prajurit? Ada informasi yang tidak muncul terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri yang terdeteksi di Tanah Papua yaitu tidak ada keterangan tentang bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri terdeteksi.

Jika upaya untuk mendeteksi kasus HIV terhadap siapa saja dilakukan dengan cara mandatory test (tes wajib) maka ini perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Pertanyaan berikutnya: Apakah diberikan konseling sebelum dan sesudah mandatory test? Kalau jawabannya TIDAK maka hal ini melanggar standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Konseling ini penting agar yang menjalani tes bisa menerima hasilnya dan mau memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Selanjutnya: Apakah di semua kodam di Indonesia dilakukan hal yang sama dengan di Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV di kalangan prajurit? Kalau jawabannya YA, maka fakta yang disampaikan pangdam itu benar adanya. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka fakta yang disampaikan pangdam itu tidak menggambarkan kondisi HV/AIDS di semua kodam di Indonesia.

Pangdam Cenderawasih tidak perlu gundah-gulana karena penemuan kasus (yang banyak) di satu sisi justru jauh lebih baik daripada tidak menemukan kasus atau mendeteksi sedikit kasus. Di kodam atau polda lain kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di kalangan prajurit kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Bahkan, bisa lebih buruk karena prajurit-prajurit yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.

Sedangkan prajurit Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV merupakan pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Mereka pun bisa ditangani secara medis sehingga tingkat produktivitas mereka sebagai prajurit tetap terjaga. Yang sudah memungkinkan menerima pengobatan bisa dilakukan dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang bisa menahan laju perkembangan HIV di dalam darah.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Tanah Papua khususnya dan di Indonesia umumnya sudah saatnya kita jujur dengan menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual. Tapi, apakah kita mempunyai nyali untuk menyampaikan fakta? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Rabu, 11 Agustus 2010

Tanggapan terhadap Berita “300 warga Aceh diduga kena AIDS”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “300 warga Aceh diduga kena AIDS” di Harian “WASPADA”, Medan, edisi 21/7-2010 lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat di banyak kalangan.

Dalam berita disebutkan: “Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh memperkirakan sekitar 300 warga daerah itu terinfeksi penyakit AIDS dan sebagaian besar dari mereka tidak terdata karena enggan melapor.”

Pertama, yang menginfeksi atau yang menular bukan AIDS karena AIDS bukan penyakit bukan pula virus. Yang menular adalah HIV sebagai virus.

Kedua, perkiraan yang disampaikan oleh KPAP Aceh ternyata berpatokan pada fenomena gunung es pada epidemi HIV. Ini tidak akurat karena ‘rumus’ yang dikaitkan dengan fenomena gunung es yaitu 1:100 tidak bisa dipakai secara telanjang dengan memukul rata. Ada beberapa faktor yang harus ada agar ‘rumus’ itu bisa dipakai. Tapi, perlu diingat ‘rumus’ itu bukan untuk menentukan jumlah kasus HIV/AIDS tapi hanya untuk keperluan epidemiologis, seperti merancang pola penanggulangan, dll. Faktor-faktor yang bisa mendukung ‘rumus’ itu al. adalah: (a) tingkat pelacuran tinggi, (b) tingkat pemakaian kondom sangat rendah, dan (c) penyangkalan sangat tinggi, dll.

Ketiga, disebutkan “ …. sebagaian besar dari mereka tidak terdata karena enggan melapor”. Ini tidak akurat karena yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Maka, jumlah penduduk yang diduga tertular HIV dapat disimak dari risiko tertular HIV.

Mereka yang sudah tertular HIV melalui hubungan seks tapi tidak terdeteksi (bukan tidak melapor) adalah: (1) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), (2) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, pelaku kawin-cerai, waria pekerja seks, dll. (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif).

Sekarang terpulang kepada KPAP Aceh, seberapa besar kemungkinan penduduk Aceh melakukan dua hal yang berisiko tertular HIV di atas? Kalau jawabannya tinggi maka ’rumus’ tadi bisa dipakai untuk perkiraan. Celakanya, di Indonesia ada penolakan terhadap perilaku hubungan seks berganti-ganti pasangan dengan alasan tidak ada lokalisasi pelacuran. Ini merupakan bumerang karena hubungan seks berisiko tertular HIV tidak hanya terjadi dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran karena perilaku ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Keempat, disebutkan ”Jadi, kalau tidak ditangani secara serius dan benar, bukan tidak mungkin serangan HIV dan AIDS ini bisa endemis”. Sebagai virus HIV tidak bisa menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehingga epidemi HIV bukan wabah. Penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan orang yang sudah tertular HIV, menerima transfusi darah yang mengandung HIV, memakai jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang mengadnung HIV.

Tidak hanya HIV/AIDS, tapi semua penyakit harus ditangani secara serius dan benar. Terkait dengan HIV/AIDS penanganan tidak serius dan benar karena dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran seingga penanggulangannya, termasuk pencegahan, dapat dilakukan secara medis.

Tapi, yang terjadi selama ini adalah mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ mencegah penyebaran HIV. Celakanya, penyebaran HIV justru tidak terkait langsung dengan norma, moral dan agama.

Kelima, disebutkan pula ” .... kendala dalam menanggulangi HIV dan AIDS sekarang adalah masih adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita penyakit ini”. Terkait dengan masalah ini terjadi ironi karena yang paling banyak melakukan stigma justru di kalangan medis, terutama di sarana kesehatan, seperti rumah sakit. Sikap masyarakat itu muncul karena selama ini mereka mendapatkan informasi HIV/AIDS dari bebagai sumber, seperti pejabat dan pakar (termasuk dari bidang kesehatan), pemuka agama, dll. tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual. Padahal, sama sekali tidak kaitan penularan HIV secara langsung dengan zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi dalam atau di luar nikah pada satu pasangan jika salah satu atau dua-duanya HV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-dunya HIV-negatif maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan cara zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Yang perlu digalakkan KPAP Aceh adalah menyebarkan informasi HIV/AIDS yang akurat seingga orang-orang yang pernah melakukan hubungan seks yang berisiko tertular HIV agar menjalani tes HIV secara sukarela.

Soalnya, kalau orang-orang yang sudah tertular HIV tidak terdeteksi maka penyebaran HIVakan terus terjadi di masyarakat tanpa mereka sadari. Ini akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Apakah KPAP Aceh dan Pemprov. Aceh harus menunggu dulu ‘ledakan’ AIDS baru mau menangani epidemi HIV secara benar? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tanggpan terhadap Berita “11 Warga Positif HIV/AIDS” di Enrekang, Sulsel

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 10/08/2010. Berita “11 Warga Positif HIV/AIDS” di Harian “FAJAR”, Makassar, edisi 5/8-2010 lagi-lagi tidak memberikan pencerahan yang akurat kepada masyarakat. Judul berita tidak akurat karena yang positif adalah HIV bukan AIDS. Maka, yang tepat adalah positif HIV.

Dalam berita disebutkan ” .... sekarang jumlah penderita HIV/AIDS di daerahnya mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding 2005 lalu.” Kasus meningkat dari lima (2005) menjadi delapan (2006) dan sekarang 11. Ada yang luput dari perhatian terkait dengan pelaporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Yang dipakai adalah laporan kumulatif. Artinya, kasus baru ditambahkan ke kasus lama. Dari laporan ini menunjukkan tahun 2006 terdeteksi tiga kasus dan sekarang terdeteksi tiga.

Persoalan (besar) justru di balik angka-angka itu. Penemuan kasus yang kecil bisa dilihat dari dua kemungkinan.

Pertama, kasus kecil karena tidak ada mekanisme untuk ’menjaring’ penduduk yang sudah tertular HIV. Di Indonesia tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Coba simak yang dilakukan di Malaysia ini. Negeri jiran itu menerapkan survailans rutin (tes HIV anonim dengan standar yang baku terhadap perempuan hamil, polisi, narapidana, pasien TBC, pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.). Maka, dengan peduduk 20-an juta Malaysia sudah ’menjarin’ ....kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 240 juta hanya malorkan 20.000 kasus AIDS.

Kedua, kasus kecil karena tidak semua kasus yang terdeteksi dilaporkan. Misalnya, ada dokter atau rumah sakit yang tidak melaporkan kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi karena terikat perjanjian dengan pasien. Ada pula penduduk Enrekang yang terdeteksi di luar darah tapi tidak melaporkannya.

Ketiga, jumlah penduduk yang tertular HIV memang sedikit. Tapi, tunggu dulu. Inibisa menjadi bumerang karena yang menjadi patokan semu yaitu: a. di daerah itu tidak ada lokalisasi pelacuran (padahal, penduduk bisa melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri), dan b. masyarakatnya bemoral, berbudaya dan beragama (di Arab Saudi yang memakai Alquran sebagai UUD sudah dilaporkan lebih dari 12.000 kasus AIDS), serta alasan-alasan normatif lain yang sama sekali tidak terkait langsung dengan penularan dan pencegahan HIV.

Ada pula pernyataan ” kita perlu memberikan pemahaman pada masyarakat, terutama remaja tentang pentingnya pencegahan.” Ini merupakan stigmatisaasi terhadap remaja. Ada fakta yang luput dari perhatian terkait dengan proporsi kasus HIV dan AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan remaja. Ini terjadi di kalangan remaja penyalahguna narkoba. Remaja yang akan menjalani rehabilitasi wajib tes HIV sehingga banyak yang terdeteksi. Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa.

Pertanyaannya, adalah: Apakah tingkat penyalahguna narkoba dan hubungan seks berisiko tidak ada di kalangan dewasa? Kasus HIV dan AIDS di kalangan dewasa akan menjadi bom waktu ledakan AIDS. Kalangan dewasa yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istirnya, selingkuhannya atau istrinya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertjular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).

Ada lagi pernyataan ” .... sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS.” Ini tidak akurat karena bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Diabetes dan darah tinggi tidak bisa disembuhkan. Sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah.

Disebutkan pula ”Nurhasan yang juga Wakil Bupati (Wabup) Enrekang itu meminta tokoh agama, tokoh adat, serta masyarakat untuk terlibat dalam sosialisasi pencegahan penyebaran HIV/AIDS tersebut.” Ini anjuran yang baik. Tapi, celakanya yang dikedepankan hanya mitos dan upaya pencegahan pun mengedepankan norma, moral dan agama. Akibatnya, cara-cara pencegahan yang realitistis justru tidak muncul.

Di Indonesia sudah ada 36 perda tingkat provinsi, kabupaten dan kota tentang penanggulangan AIDS. Tapi, hanya ’macan kertas’ karena tidak mengatur fakta. Perda-perda itu justru menyuburkan mitos, stigma dan diskriminasi.

Misalnya, cara pencegahan yang diwajibkan perda-perda itu adalah meningkatkan iman dan taqwa, hibup bersih, dll. Akibatnya, hal ini mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV tidak beriman, tidak bertakwa dan tidak hidup bersih. Ini mendorong stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS.

Tampaknya, kita tidak bisa belajar dari sejarah dan pengalaman negara lain. Di Afrika, Amerika, Australia dan Eropa Barat kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yan mendatar. Ini terjadi karena penduduk di sana sudah mengetahui cara-cara pencegahan HIV dengan benar.

Di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru sebaliknya. Kasus infeksi HIV di kalangan dewasa meroket. Indonesia termasuk satu dari tiga negara dengan peningkatan kasus infeksi HIV yang besar setelah Cina, dan India.

Apakah kita harus menunggu ledakan AIDS baru mau menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat? Agaknya, kita lebih senang mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan aurat!

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tanggapan terhadap Berita AIDS di Kab Grobogan, Jawa Tengah

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “AIDS Menyebar di 18 Kecamatan, Diperlukan Pemeriksaan Darah WPS” di suaramedeka,com edisi 2/8/2010 menunjukkan pemahman yang tidak komprehensif terhadap epidemi HIV.

Dalam berita disebutkan: “ .... telah menyebar di 18 dari 19 kecamatan di Kabupaten Grobogan. Kecamatan Geyer merupakan satu-satunya kecamatan yang belum ditemukan adanya penyebaran virus ini.” Dalam berita tidak ada penjelasan bagaimana cara yang dilakukan mendeteksi HIV/AIDS. Yang disebutkan hanya peningkatan kasus terjadi setelah ada Klinik Voluntary Consulling and Testing (VCT) atau klinik konsultasi dan pemeriksaan sukarela di RS Panti Rahayu Yakkum Purwodadi.

Bisa saja terjadi penduduk di Kec. Geyer tidak ada yang ke VCT. Belum ditemukan kasus HIV/AIDS bukan berarti Kec. Geyer bebas HIV/AIDS karena semua penduduk belum menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di Kec. Geyer bisa menjadi bumerang karena penduduk yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Kondisi ini bisa menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.

Apakah semua penduduk dewasa di Kec. Geyer tidak pernah melakukan hubungan seks yang berisiko tertular HIV? Hubungan seks yang berisiko tertular HIV adalah: (1) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), dan (2) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, pelaku kawin-cerai, waria pekerja seks, dll. (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif).

Kalau jawabannya YA berarti tidak ada kasus HIV/AIDS. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka penduduk Kec. Geyer sudah ada yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Hasilnya? Banyak kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat yang pada saatnya kelak akan menjadi ledakan AIDS.

Ada lagi pernyataan ” .... mengenai identitas penderita HIV AIDS sesuai kesepakatan internasional adalah unlink anonymous atau bersifat rahasia, sehingga merupakan hak pasien untuk tidak diketahui identitasnya oleh orang lain, dan hanya boleh diketahui petugas tertentu untuk kepentingan keperawatan.” Pernyataan ini kurang pas karena akan menimbulkan praduga bahwa kasus HIV/AIDS diistimewakan. Dalam dunia madis semua keterangan (identitas, nama penyakit, tindakan yang sudah dilakukan, dll.) terkait dengan semua penyakit merupakan catatan medis (medical record) yang merupakan rahasia jabatan dokter. Pembeberan catatan medis merupakan perbuatan yan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Ada lagi pernyataan ” .... daerah rawan HIV AIDS.” Ini ngawur karena yang rawan terkait HIV/AIDS adalah perilaku oang per orang, terutama perilaku seks. Seorang pekerja seks pun bisa tidak rawan tertular HIV kalau dia hanya mau meladeni laki-laki, termasuk suami atau pacarnya, yang memakai kondom. Sebaliknya, seorang ibu rumah tangga rawan tertular HIV kalau suaminya tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganyi-ganti pasangan.

Disebutkan pula "Kami juga memasang spanduk kampanye pencegahan HIV/AIDS di 19 kecamatan. Tujuannya supaya masyarakat mengetahui bahwa saat ini penyebaran utama virus ini adalah melalui perilaku seks berisiko.”

Spanduk ini tidak akan bermanfaat kalau informasi yang disampaikan dibalut dengan norma, moral, dan agama karena yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat sehingga penyebaran terus terjadi tanpa disadari. Kepanikan baru akan terjadi jika kelak terjadi ledakan kasus AIDS.

Sub judul berita menyebutkan ”Diperlukan Pemeriksaan Darah WPS”. Ini juga ’menyesatkan’ karena ada fakta yang luput. Penularan HIV terhadap pekerja seks dilakukan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajcar, penganggur, pemulung, tukang becak, petani, nalayan, perampok, dll.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks merupakan mata rantai penyebaran HIV dalam masyarakat (horizontal). Begitu juga dengan laki-laki yang tertular dari pekerja seks akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran HIV.

Selama penanggulangan HIV/AIDS tetap dilakukan dengan mengedepankan norma, moral dan agama maka selama itu pula penyebaran HIV akan terjadi. Ini terjadi karena masyarakat tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).