Rabu, 06 Oktober 2010

Peran Media Dalam Penanggulangan AIDS

Kesehatan
Peran Media Dalam Penanggulangan AIDS


BEKASI SELATAN - Hingga saat ini masih banyak ditemukan kesalahan persepsi, stigma negatif, hingga perlakuan diskriminatif tentang HIV/AIDS dan para penderitanya.

Hal ini terungkap dalam temu media kota dan kabupaten Bekasi. Acara temu media dengan tema mencari Isu AIDS Yang Layak Liput, kemarin dilaksanakan di salah satu rumah makan di Bekasi Selatan.

Ketua LSM Info Kespro Syaiful W Harahap mengatakan, saat ini media yang memberitakan tentang penyakit AIDS tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, atau kondisi sebenarnya yang terjadi saat ini.

“Banyak media ketika mengangkat berita tentang penyakit AIDS masih salah memilih narasumber, maka dari itu ketika mencari narasumber harus sesuai dengan bidang yang dikuasai,” terangnya.

Sambil menyampaikan pengetahuan pemberitaan yang baik tentang penyakit AIDS, Syaiful pun menjelaskan mengapa kasus AIDS tercatat lebih banyak daripada yang terinfeksi HIV atau HIV positif.

“Karena kebanyakan melakukan VCT dan terdeteksi ketika sudah berada dalam stadium III HIV positif dan stadium IV yang sudah masuk ke dalam kategori AIDS. Di awal infeksi HIV tidak terjadi keluhan atau gejala yang berarti.

Biasanya gejala seperti flu saja. Berbagai keluhan akibat infeksi di stadium berikutnya pun kurang dicermati sebagai infeksi HIV,” jelas Koresponden Harian Swara Kota Manado ini.

Di sela-sela paparannya tentang data terbaru kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi, Syaiful berpesan kepada rekan-rekan wartawan yang hadir agar tidak membuat pemberitaan yang negatif, tetapi upayakan membuat berita yang lebih humanis tentang HIV/AIDS. “Apalah arti sebuah angka. Sedikit atau banyak kasus HIV/AIDS yang terjadi, tetap saja harus ditanggulangi,” kata Syaiful.

Di satu sisi, dr Pusporini mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat salah satunya dikarenakan peran jejaring pelayanan kesehatan yang belum optimal. Dia juga menegaskan bahwa selama masih ada stigma negatif tentang HIV/AIDS, maka angka HIV/AIDS tidak akan muncul.

“Jadi ketika saat ini angkanya tercatat cukup besar, bukan hanya berarti penyebarannya semakin meluas, tetapi juga sebagai indikator bahwa sosialisasi HIV/AIDS sudah diterima cukup baik masyarakat. Sehingga semakin banyak orang yang datang ke tempat-tempat pelayanan kesehatan,” paparnya.

Menyikapi peran apa yang dapat dilakukan insan pers dalam penanggulangan HIV/AIDS, Pusporini mengatakan bahwa komponen Voluntary and Counseling Testing (VCT) bukan hanya terdiri dari para konselor atau rekan-rekan di LSM yang melakukan penjangkauan dan membantu merujuk penderita ke sarana pelayanan kesehatan.

“Mengingat VCT merupakan pintu masuk ke dalam jejaring pelayanan, maka diperlukan pula pihak-pihak yang membantu mendorong masyarakat untuk melakukan VCT, dan itu dapat dilakukan rekan-rekan wartawan,” terang dokter yang akrab disapa Puspo ini.

Kedua narasumber berharap semua pihak memiliki kesamaan persepsi tentang penaggulangan HIV/AIDS dan menghindari kontroversi. Untuk itu, diperlukan keterbukaan dan komunikasi yang baik.

“Sementara berproses, bukankah lebih baik jika para pemakai narkoba suntik diberi jarum suntik yang bersih agar tidak menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Atau sementara berproses memperbaiki perilaku seksualnya, maka pria disarankan untuk menggunakan kondom. Semua ini dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS yang lebih luas lagi,”pungkas Syaiful. (mif)

URL http://radar-bekasi.com/index.php?mib=berita.detail&id=63452
[Sumber: Harian ”Radar Bekasi”, 1 Oktober 2010]