Senin, 23 Agustus 2010

Menyibak Peran Perda AIDS Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Peraturan Daerah (Perda) Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) No 4/2010 tanggal 13/04/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-38 di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur (2009. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi penyebaran HIV di Sulsel?

Perda AIDS ini tidak mencantumkan kata kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Padahal, ’perlombaan’ membuat perda AIDS di Indonesia justru berkaca ke Thailand yang dikabarkan berhasil menurunkan kasus infeksi baru HIV di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.



Risiko tertular HIV melalui hubngan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau hubungan seks penetrasi dilakukan dengan orang yang sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi penis bersentuhan dengan vagina. Soalnya, dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan vagina sehingga ada risiko penularan pada saat terjadi gesekan penis dengan vagina.

Lalu, apa yang ditawarkan perda ini sebagai cara mencegah penularan HIV? Di pasal 1 ayat 9 disebutkan: ”Pencegahan adalah upaya-upaya agar penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan terkonsentrasi di mayarakat melalui berbagai intervensi perilaku pada penjaja seks dan pelanggan dengan penggunaan alat pencegah, .....” Apa yang dimaksud alat pencegah dalam perda ini? Di pasal 1 ayat 32 disebutkan: ”Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau pada perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.”

Ketika di era Orba banyak cerita terkait penjelasan KB, misalnya, penceramah mencontohkan penggunaan kondom dengan memakai jari tangan. Ada laki-laki yang memasang kondom di jarinya ketika sanggama dengan istrinya. Begitu pula dengan sarung karet. Bisa menimbulkan berbaga macam penafsiran karena sarung karet bukan kata yang denotatif (..........). Entah apa alasan perancang perda ini sehingga ’mengharamkan’ kata kondom.

Memang, selama ini ada anggapan yang keliru tentang kondom Banyak orang yang menganggap kondom mendorong orang untuk berzina. Ini salah besar karena banyak penelitian menunjukkan laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom dengan berbagai macam alasan. Sayang, penggagas dan perancang perda itu tidak melihat realitas ini sebagai fakta dan memilih anggapan sebagai kebenaran semu.

Sampai Desember 2009 dilaporkan 3.105 kasus HIV/AIDS, 2.330 HIV-positif dan 775 AIDS. Dengan data ini tentulah sudah saatnya Pemprov Sulesl melakukan upaya penanggulangan yang konkret tidak lagi sekedar retorika, seperti pembuatan perda. Di Tanah Papua ada delapan perda AIDS, apakah perda-perda itu bisa bekerja? Tidak. Mengapa? Ya, karena yang diatur dalam perda bukan cara-cara pencegahan yang akurat.

Banyak anggapan yang salah terhadap HIV/AIDS. Misalnya, ada kesan bahwa pekerja sekslah yang menyebarkan HIV. Ini keliru karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan seorang penduduk. Dalam kehidupa sehari-hari penduduk yang menularkan HIV kepada pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, perampok, dll. Kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks yang sudah ditulari penduduk. Inilah mata rantai penyebaran HIV.

Pencegahan yang Faktual

Dalam perda ini di pasal 8 ayat e disebutkan: mendorong dan melaksanakan tes dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi kunci.” Pada pasal 1 disebutkan: “Populasi kunci adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu wanita penjaja seks komersial, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalanan.”

Pembatasan populasi kunci di atas akan membuat banyak orang berkelit karena dia bukan pelanggan (tetap) pekerja seks. Ketika mengasuh rubrik “Kosultasi HIV/AIDS” di Harian “Pare Pos’ seorang pejabat di Sulsel bertanya apakah dia berisiko tertular HIV karena dia hanya melakukan hubungan seks dengan cewek cantik dan mulus yang bukan pekerja seks di hotel berbintang di Jakarta dan Surabaya. Tentu saja berisiko karena cewek tadi sering berganti pasangan seks. Bisa saja salah seorang laki-laki yang mengencaninya HIV-positif sheingga dia tertular HIV. Laki-laki yang kemudian mengencaninya, seperti pejabat tadi, tentu saja berisiko tertular HIV.

Ada persoalan besar pada epidemi HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari. Dalam kaitan inilah pasal yang diperlukan berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Perda ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (pasal 16 ayat 1). Cara yang ditawarkan perda adalah: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Cara-cara yang ditawarkan ini pun tidak faktual karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan hidup keluarga. Cara-cara ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang sudah tertular HIV.

Untuk menanggulangi epidemi HIV di Sulsel khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada cara lain selain menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual kepada masyarakat luas. ***

Menyibak Langkah Perda AIDS Kota Cirebon

Oleh Syaiful W. Harahap*

Setelah Kabupaten Tasikmalaya (2007) dan Kota Tasikmalaya (2008) kini Kota Cirebon, yang menelurkan perda penanggulangan AIDS di Prov. Jawa Barat. Melalui Perda No 1/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Pemkot Cirebon akan menanggulangi epidemi HIV di ‘Kota Udang’ ini. Sampai Mei 2010 sudah terdeteksi 435 kasus HIV/AIDS. Akankah perda ini bisa menanggulangi penyebaran HIV di Kota Cirebon?

Perda AIDS Kota Cirebon ini merupakan perda ke-37 dari 38 perda mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang sudah dibuat di Indonesia. Kalau saja Pemkot Cirebon dan DPRD Kota Cirebon mencermati perda-perda AIDS yang sudah ada tentulah perda yang dihasilkan tidak hanya bersifat copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

‘Perlombaan’ membuat perda didorong oleh publikasi keberhasilan Thailand menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang dijalankan adalah ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, perda-perda AIDS nasional pun mengadopsi program Thailnad itu.

Mata Rantai

Perda AIDS Kota Cirebon, misalnya, pencegahan dikaitkan dengan pemutusan mata rantai penularan. Pada pasal 17 ayat 2 yaitu: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV–AIDS wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan dengan menggunakan kondom.

Pasal ini tidak jalan akan bisa dijalankan karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Itulah sebabnya lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari.

Di pasal 20 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan hubungan seksual beresiko. Dalam ketentuan umum di pasal 1 ayat 32 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Tidak jelas apakah hubungan seksual beresiko sama dengan perilaku seksual tidak aman.

Terkait dengan upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dalam perda ini dilakukan melalui pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Beberapa pasal yang terkait dengan upaya ini tidak akan jalan karena tidak menyentuh akar persoalan yaitu penyebaran HIV secara horizontal yang terjadi tanpa disadari. Risiko tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Yang mendorong penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat adalah perilaku berisiko tinggi yaitu: (a). melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk (baca: laki-laki ‘hidung belang’) ke pekerja seks dan sebaliknya dari pekerja seks kepada laki-laki ’hidung belang’ maka perlu ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Untuk ‘menjaring’ orang-orang yang sudah tetular HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Biar pun sudah terdeteksi 435 kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampai di permukaan yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang tersembunyi. Kasus-kasus yang tersembunyi itulah yang bisa menjadi bumerang karena merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan menjadi ledakan AIDS. Soalnya, kasus-kasus yang tersembunyi itu menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.

Tempat Hiburan

Di pasal 25 tentang perawatan dan dukungan di sebutkan: Perawatan dan dukungan terhadap ODHA (yang benar adalah Odha karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke orang yang hidup dengan HIV/AIDS-pen.) dilakukan melalui pendekatan: (a) medis; (b) agama; (c) psikologis; (d) sosial dan ekonomi. Urut-urutan dukungan ini menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS dilakukan dengan kaca mata moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara yang konkret dengan teknologi kedokteran.

Seorang Odha akan memerlukan pertolongan medis untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV). Jika sudah mencapai masa AIDS maka diperlukan pula pengobatan penyakit-penyakit yang muncul yang dikenal sebagai infeksi oportunistik. Maka langkah kedua yang diperlukan adalah dukungan ekonomi untuk membeli obat-obatan dan biaya perawatan. Pendekatan norma, moral dan agama seyogyanya dilakukan sebelum seseorang tertular HIV yaitu melalui penyuluhan.

Seperti yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa adalah dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, lokalisasi dan rumah bordir tidak ada di Cirebon sehingga program itu tidak bisa dijalankan.

Dalam perda ini justru ada pasal yang terkait dengan tempat hiburan. Sayang, dalam ketentuan umum tidak ada penjelasan tentang tempat hiburan. Karena tidak ada penjelasan maka tempat hiburan akan mendapat stitma karena dianggap sebagai biang keladi penyebaran HIV. Apalagi di pasal 34 disebutkan: Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disedikan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh SKPD.

Tidak ada kaitan langsung antara tempat hiburan dengan penularan HIV. Tidak semua tempat hiburan menyediakan pekerja seks dan tempat untuk hubungan seks. Risiko tertular HIV bukan karena tempat tapi karena perilaku seks orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak berisiko jika dia hanya mau meladeni laki-laki pelanggan, suami atau pacarnya yang selalu memakai kondom jika sanggama.

Apakah Perda AIDS Kota Cirebon ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan perda-perda AIDS yang sudah ada hanya berperan sebagai ‘macan kertas’? Kita tunggu saja. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Rabu, 18 Agustus 2010

Tidak Ada Kaitan Penularan HIV dan Pasangan di Luar Nikah

Oleh Syaiful W. Harahap*

“56 Pasangan di Luar Nikah Bebas HIV.” Ini judul berita di Harian “Sumut Pos” (4/8-2010). Judul ini merupakan gambaran pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Memang, selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang tumbuh subur di masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, hubungan seks di luar nikah, hubungan seks pranikah, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara zina, hubungan seks di luar nikah, hubungan seks pranikah, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual. Fakta ini hilang karena ditindih mitos.

Disebutkan dalam berita: “Sebanyak 56 pasangan yang terjaring dalam operasi cipta kondisi, akhir pekan silam, dinyatakan bersih dari virus HIV/AIDS. Kabid Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Deli Serdang Drg Ridha Sondang Hutajulu mengatakan, satu per satu pasangan itu diperiksa dari penularan penyakit.” Tidak dijelaskan reagent yang dipakai untuk melakukan tes HIV kepada pasangan yang terjaring itu. Selain itu bisa saja ada yang tertular tapi baru pada masa jendela maka hasilnya bisa negative (palsu).

Mitos kian kental dalam berita ini melalui kutipan pernyataan Kabid P2P Dineks Deli Serdang: ”Setelah dilakukan uji laboratorium terhadap darah pasangan yang bukan suami istri itu, dihasilkan kesimpulan tidak ada yang terjangkit HIV/AIDS.” Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan pasangan yang bukan suami istri karena penularan HIV tidak terjadi karena sifat hubungan seks (di luar nikah) tapi karena kndisi saat hubungan seks (tidak memakai kondom, salah satu atau dua-duanya HIV-positif).

Jika kita terus mengumbar mitos dalam memberikan informasi kepada masyarakat maka selama itu pula masyarakat tidak akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Jika ini yang terjadi maka kita tinggal menunggu ledakan AIDS karena kasus-kasus penularan yang ada di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak Ada Benteng untuk Membendung Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/08-2010. “Aceh ‘benteng’ HIV/AIDS Indonesia bisa jebol.” Ini judul berita di Harian “WASPADA”, Medan (25/06-2010).

Dalam berita disebutkan: “Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan provinsi Aceh yang diharapkan bisa menjadi "benteng" penahan penularan HIV/AIDS di Indonesia, namun kini bisa "jebol" menyusul ditemukan sebanyak 47 kasus penyakit tersebut.” Tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai ‘benteng’ terhadap HIV/AIDS. Kalau ‘benteng’ yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam di Prov. Aceh maka hal itu tidak akurat karena penularan HIV tidak kasat mata.

Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD juga ’jebol’ (meminjam istilah Wagub Aceh-pen.). Data terahir menunjukkan kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 13,926. Dari jumlah ini terdapat 3,538 penduduk asli Arab Saudi.

Secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam di Arab Saudi. Tapi, mengapa ada penduduknya yang tertular HIV? Ya, mereka tertular di luar Arab Saudi. Ketika mereka kembali ke negaranya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Ada lagi pernyataan: “Wagub memperkirakan masih ada ratusan warga tertular penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh itu dan pada akhirnya bisa mengakibatkan kematian bagi penderitanya. HIV/AIDS tertular akibat seks bebas dan penggunaan jarum suntik narkoba.” Lagi-lagi penularan HIV dikaitkan dengan ‘seks bebas’.

Kalau ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina, maka ini mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.

Sedangkan penularan HIV pada penyalahguna bisa terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV. Tidak ada risiko penularan HIV kalau penyalahguna narkoba memakai sendiri atau bersama-sama tapi dengan jarum suntik dan tabung yang steril atau baru.

Di bagian lain disebutkan: “Saya perkirakan masih ada ratusan warga daerah ini yang tertular, namun tidak berani melaporkan kepada petugas kesehatan atau merasa malu jika diketahui mengidap penyakit tersebut." Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Begitu pula dengan orang-orang yang sudah tertular mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Mereka bukan ‘tidak berani melapor’, tapi mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Disebutkan pula: "Kami telah melakukan tindakan pencegahan melalui pemberian pemahaman tentang bahaya penyakit tersebut. Kegiatan sosialiasasi bahaya penyakit ini sering diberikan kepada masyarakat dan pelajar di Provinsi Aceh," Pertanyaannya adalah: Apakah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disosialisasikan akurat?

Kalau jawabannya YA, maka masyarakat akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV secara benar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka masyarakat hanya menangkap mitos terkait dengan penularan dan pencegahan HIV. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari.

Yang bisa dilihat kelak hanyalah ledakan kasus AIDS karena infeksi HIV pada penduduk yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyoal ‘Pembelian’ Darah di PMI

Oleh Syaiful W. Harahap*

“PMI Kekurangan 1,5 Juta Kantong Darah.” Ini informasi di newsticker TVOne (18/8-2010). Ini merupakan ironi karena secara teoritis persediaan darah di unit-unit transfusi darah (UTD) PMI tidak akan habis kalau filosofi transfusi diberlakukan secara konsekuen.

Darah diganti dengan darah. Itulah landasan transfusi. Artinya, kalau ada yang mengambil darah ke PMI maka dia harus menggantinya dengan darah. Bisa darah anggota keluarga atau kerabat. Misalnya, seseorang mengambil tiga kantong darah maka dia harus membawa tiga donor untuk mengganti darah yang diambil.

Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Darah diganti dengan uang. Ini tentu saja jual darah. Tapi, PMI berkelit: ” .... pengenaan biaya selama ini hanya untuk mengganti ongkos produksi pengolahan darah.” Ini pernyataan Ketua PMI Cabang Makassar, Syamsu Rizal (FAJAR, 3/8-2010).

Yang mengambil darah di PMI membayar biaya produksi, tapi tidak menganti darah yang dia ’beli’. Di Makassar, misalnya, ongkos produksi Rp 250.000/kantong darah. Jika bertolak dari pernyataan tadi maka uang ini habis untuk biaya produksi, seperti pembelian kantong, uji saring, dll.

Jika PMI menerapkan filosofi transfusi maka tidak ada kemungkinan persediaan darah habis atau menipis di PMI. Ya, karena darah diganti uang maka persediaan darah pun bisa habis. Apalagi di bulan puasa donor berkurang.

Memang, terkadang yang datang ke PMI untuk ’membeli’ darah dipaksa membawa donor. Tapi, apakah ini diberlakuka secara adil terhadap semua yang mengambil darah ke PMI?

Kalau jawabannya YA, maka pernyataan JK tidak masuk akal. Maka, pernyataan JK yang disiarkan TVOne itu menunjukkan keharusan darah diganti darah tidak berlaku umum di PMI.

Sudah rahasia umum rumah-rumah sakit swasta hanya menyuruh kurir mengambil darah ke PMI dengan membawa ongkos produksi.

Himbauan untuk menjadi donor sukarela terus berkumandang, tapi pengambilan darah dengan imbalan ’ongkos produksi’ terus berlangsung.

Menurut Ketua PMI Makassar ’biaya produksi’ yang harus dibayar masyarakat bisa berkurang jika ada bantuan dan dana sosial yang dikumpulkan melalui ’bulan dana’. Biar pun ada bantuan dana dan dana sosial jika darah diganti darah diterapkan maka persediaan darah di UTD PMI akan terjaga.

Dana yang ada dipakai untuk meningkatkan mutu uji saring darah terutama terhadap HIV karena skrining HIV yang dilakukan PMI sangat lemah. Reagent ELISA tidak efektif mendeteksi antibody HIV jika donor menyumbangkan darahnya pada masa jendela. Kalau ada donor yang tertular HIV di bawah tiga bulan ketika dia mendonorkan darahnya maka hasil tes HIV dengan ELISA bisa negatif palsu atau positif palsu.

Kalau darah hasil skrining di PMI positif maka tidak ada persoalan karena darah itu tidak dipakai. Tapi, kalau hasilnya negatif palsu maka ini yang membuat celaka. Hasil tes negatif tapi HIV sudah ada di dalam darah.

Kalau saja PMI mau menerapkan tes awal kepada calon donor maka masa jendala bisa dihindari. Dalam formulir isian harus ada pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berhganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan? Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ditolak karena hasil skrining bisa negatif atau positif palsu.

Sayang, yang ditanya PMI ke calon donor adalah: Kapan Anda terakhir ke luar negeri? Kalau pertanyaan ini masih ada di formulir isian calon donor maka PMI sudah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) yang mengesankan semua penyakit, khususnya HIV/AIDS, berasal dari luar negeri.

Pemerintah Malaysia terpaksa membayar dengan RM 100 juta kepada seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi di rumah sakit kerajaan. Untuk menghindari kejadian serupa Malaysia menerapkan standar ISO untuk laboratorium transfusi. Apakah PMI sudah mempunyak standar baku sekelas ISO?

Ternyata untuk urusan kemanusiaan pun kita tidak bisa konsekuen dan konsisten. Kewajiban darah diganti darah tidak berlaku umum. Ini salah satu bentuk diskriminasi.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Selasa, 17 Agustus 2010

Menanggapi Berita di voa-islam.com tentang AIDS di Prajurit Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Gawat!! Ratusan Tentara TNI Mengidap AIDS Akibat Nakal Seks.” Ini adalah judul berita di voa-islam.com (11/08/2010). Judul ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Disebutkan: “Sebagian besar tentara Kodam XVII Cenderawasih itu positif terjangkit HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Pernyataan ini mengandung hal-hal yang tidak faktual.

‘Seks bebas’ adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Seseorang tertular HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah karena pasangannya sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama.

Kalau ‘seks bebas’ (baca: zina) menjadi penyebab seseorang tertular HIV maka sudah tak terhitung penduduk Indonesia yang sudah tertular HIV. Soalnya, kalau penularan HIV terjadi karena ‘seks bebas’ maka analoginya adalah setiap orang yang pernah berzina maka dia sudah tertular HIV.

Begitu pula berganti-ganti pasangan. Tidak ada kaitan langsung antara ganti-ganti pasangan dengan penularan HIV. Penularan HIV bukan karena ganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan seks di dalam dan di luar nikah merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasnagan itu HIV-positif.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV hanya terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi, jarum suntik, alat-alat keseahtan yang bisa menyimpan darah, dan transplantasi organ tubuh. Penularan melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi jika air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika penis dan vagina bersentuhan langsung. Sedangkan penularan melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui proses menyusui.

Di bagian lain disebutkan: ”Angka tersebut langsung mengukuhkan Kodam XVII Cenderawasih sebagai daerah militer yang memiliki prosentase terbesar di seluruh Indonesia, yang Anggota TNInya mengidap HIV/AIDS.” Ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap angka-angka terkait HIV/AIDS.

Ada pertanyaan yang sangat mendasar terkait dengan 144 kasus AIDS di prajurit Kodam Cenderawasih. Apakah cara yang dilakukan oleh Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi prajurit yang tertular HIV juga dilakukan di kodam-kodam lain? Kalau jawabannya TIDAK, maka angka di Kodam Papua itu belum tentu lebih tinggi dari angka kasus di kodam-kodam lain. Tapi, kalau jawabannya YA, maka angka itu menenpati peringkat pertama di lingkungan kodam.

Ada pula pernyataan: “ .... terinfeksi penyakit mematikan HIV/AIDS.” HIV dan AIDS tidak mematikan. HIV adalah virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tiba pada masa AIDS. Ini terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS itulah muncul bermacam-macam penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariasan, TB, dll. yang sangat sulit disembuhkan. Penyakit-penyakit inilah kemudian yang menyebabkan kematian pada Odha (orang dengan HIV/AIDS).

Ada lagi pernyataan: “Hotma mengatakan, prajurit yang terinfeksi penyakit mematikan itu punya kebiasaan hidup nakal. Mereka acap melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan.” Ini pernyataan moralitas yang justru mengaburkan fakta HIV/AIDS. Tertular HIV melalui hubungan seks bukan karena nakal yaitu ’melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan’, tapi karena pasangannya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama. ’Melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan’ adalah perilaku berisko tertular HIV. Risiko bisa ditekan jika laki-laki memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.

Disebutkan bahwa prajurit yang terdeteksi HIV-positif akan menerima ”bimbingan rohani dan penyuluhan agar para penderita HIV/AIDS ini tidak menularkan penyakit tersebut ke orang lain.” Jika prosedur tes HIV yang dilakukan terhadap prajurit Kodam Cenderawasih sesuai dengan asas tes HIV yang baku maka tidak perlu ada bimbingan untuk meminta mereka agara tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Standar prosedur operasi tes HIV yang baku secara internasional adalah ada konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes. Dalam konseling sebelum tes diberikan informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS termasuk yang harus dilakukannya jika hasil tes negatif atau positif. Pertanyaannya adalah: Apakah Kodam Cenderawasih menerapkan asas yang baku ketika mendeteksi HIV di kalangan prajurit? Setiap orang yang akan menjalani tes HIV secara sukarela harus memberikan pesetujuan (informed consent). Ini juga berlaku untuk semua jenis tes terkait penyakit di laboratorium. Persetujuan untuk tes bisa lama karena tergantung kesiapan seseorang untuk menerima hasil tes.

Di sebutkan pula: “ ..... para anggota pengidap HIV/AIDS dirangkul dan diberi dukungan semangat oleh teman-temannya untuk dapat sembuh dari penyakit mematikan itu.” Ini sikap yang terpuji sebagai makhluk Tuhan karena melakukan stigma dan diskriminasi dilarang agama (baca: Tuhan). Tapi, celakanya justru umat dan sarana kesehatan yang sering melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha.

Pernyatan yang menyebutkan: ” .... untuk dapat sembuh dari penyakit mematikan itu” tidak akurat karena HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan. HIV sebagai virus tidak bisa dibasmi di dalam tubuh. Bukan hanya HIV tapi virus tidak bisa dibunuh di dalam tubuh manusia. Yang sudah ada adalah obat antiretroviral (ARV) yang dapat menekan laju perkmbangan HIV di dalam darah sehingga bisa memperlambat masa AIDS dan menjaga stamina Odha. Cuma, pemberian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV. Ada aturan baku untuk pemberian ARV.

Sedangkan AIDS jelas tidak bisa diobat atau disembuhkan karena AIDS bukan penyakit. AIDS adalah istilah yang disepakati secara internasional yang merujuk ke kondisi seseorang yang sudah tertular HIV yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi opoetunistik. Bukan hanya AIDS yang tidak ada obatnya. Ada penyakit yang juga tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan, yaitu darah tinggi dan diabetes.

Pihak Kodam memberikan sosialisasi. “Sosialisasi dilakukan agar penyebaran penyakit mematikan ini tidak terus bertambah di lingkungan TNI yang bertugas di Papua.” Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS yang disosialisasikan faktual? Soalnya, selama ini materi penyuluhan HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis hilang. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Inilah yang membuat banyak orang yang lalai sehingga tertular HIV karena mereka tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Ketika HIV/AIDS sudah ada di pelupuk mata kita masih saja ’debat kusir’ tentang cara-cara pencegahan yang akurat. Pada saat kita ’debat kusir’ penyebaran HIV terus terjadi tanpa kita sadari. Kita tinggal menunggu waktu ledakan AIDS karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat merupakan ’bom waktu’. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyibak Peran Perda AIDS Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Perda Kab. Luwu Timur No 7/2009 tanggal 10/08/2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-33 dari 38 perda penanggulangan AIDS di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur, kemudian diikuti oleh Pemprov. Sulsel yang menerbitkan Perda No. 4/2010 tanggal 13/4/2010. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi AIDS?

‘Birahi’ menerbitkan perda penanggulangan AIDS di Indonesia muncul setelah Thailand mengumbar keberhasilan mereka dalam menurunkan kasus baru infeksi HIV di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Di mulai di Kab. Nabire, Papua, tahun 2003 sampai sekarang sudah ada 37 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan perda AIDS.

Keberhasilan Thailand dilakukan melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Di beberapa perda ada pasal yang mewajibkan pemakaian kondom. Tapi, pasal ini tidak akan bisa diterapkan karena beberapa faktor, al. di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumajh bordir yang ‘resmi’ sehingga program itu tidak bisa diterapkan.

Karena tidak ada lokalisasi dan rumah bordir maka upaya untuk memantau program itu tidak bisa dilakukan. Thailand memantau program melalui survailans terhadap pekerja seks yang ada di lokalisasi dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, klamidia, dll.) maka ini bukti bahwa ada pekerja seks yang meladeni pelanggan yang tidak memakai kondom ketika sanggama. Germo atau pengelola rumah bordir diberikan sanksi secara bertingkat sampai pada penutupan usahanya.

Di Indonesia pemantauan tidak bisa dilakukan sehingga pasal yang mewajibkan pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko tidak efektif. Selain itu gelombang penolakan cari berbagai kalangan terhadap kondom sangat kuat sehingga sosialisasi kondom terhambat.

Pada pasal 4 ayat b perda ini misalnya disebutkan: Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui: peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan Sex berisiko. Tidak ada penjelasan yang rinci tentang hubungan seks berisiko. Yang mendukung pasal ini ada pasal 1 ayat 20 disebutkan: Perilaku pasangan sexsual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan sexsual tanpa menggunakan kondom. Tapi, tetap saja tidak jelas sasarannya.

Dalam epidemi HIV yang dimaksud dengan perilaku seks yang berisiko tertular dan menularkan HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (b) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Persoalannya kemudian adalah banyak daerah yang menepuk dada karena di daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran. Bahkan, ada daerah yang membuat perda anti maksiat atau perda anti pelacuran yang mereka jadikan sebagai pembenaran bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran. Padahal, praktek pelacuran terjadi di mana saja dan kapan saja di setiap daerah. Praktek pelacuran yang tidak bisa dikontrol ini justru salah satu ladang persemaian epidemi HIV.

Salah satu persoalan besar dalam epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenal orang-orang yang sudah tertular melalui penampilan fisiknya. Soalnya, tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu inilah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari.

Dua pasal tadi tidak bisa dipakai sebagai alat untuk mencegah penularan dan penyebaran HIV di Kab. Luwu Timur karena tidak jelas objeknya.

Pada bab kewajiban di pasal 8 ayat 5 disebuktan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi orang lain dengan melakukan upaya pencegahan. Pada ayat 6: Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom. Sedangkan pada bab larangn di pasal 9 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal secara kasat mata. Kita pun tidak bisa menduga-duga siapa saja yang sudah tertular HIV. Pasal ini mubazir karena tidak akurat. Jika ingin menanggulangi penyebaran HIV secara komprehensif maka harus ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Upaya penanggulangan HIV/AIDS dalam perda ini pada pasal 3 ayat a disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan penularan HIV. Orang yang sehat walafiat pun bisa tertular HIV kalau dia terpapar dengan cairan-cairan yang mengandung HIV, seperti air mani, cairan vagina, darah, dan air susu ibu (ASI). Lagu pual pasal ini mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi HIV-positif karena dianggap tidak hidup bersih dan sehat.

Penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini lagi-lagi tidak komprehensif. Pada pasal 9 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada gejala yang khas pada tubuhnya. Darah yang mengadung HIV bisa diseleksi di unit-unit transfusi darah PMI. Darah donor diskrining terhadap HIV dan penyakit lain. Yang bisa didonorkan bukan cairan mani, tapi sperma. Dalam sperma tidak ada HIV.

Pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Tapi, dalam perda ini yang ditawarkan lagi-lagi tidak faktual terkait langsung dengan epidemi HIV.

Pada pasal 11 disebutkan: Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga. Seperti apa, sih, perilaku hidup sehat yang terkait dengan penularan HIV? Begitu pula dengan ketahanan keluarga, seperti apa konkretnya ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV?

Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan tingkat ketahanan keluarga. Ya, lagi-lagi upaya penanggulangan epidemi HIV dengan perda yang tidak realistif. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Minggu, 15 Agustus 2010

Menanggapi Pernyataan Anggota DPR F-PDIP Tubagus Hasanuddin terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

”PDIP Minta Panglima TNI Pecat Prajurit Kena AIDS.” Ini judul berita di inilah.com (12/08/2010). Dalam berita disebutkan: “Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta kepada Panglima TNI Djoko Santoso untuk memecat 144 prajurit TNI yang terkena AIDS di Papua.” Alasan yang disampaikan anggota DPR ini adalah: “ .... karena tidak akan efektif dalam melakukan tugasnya sebagai prajurit.”

Ada fakta yang tidak muncul dalam berita di media massa terkait dengan kasus AIDS di kalangan prajurit Kodam Cenderawasih, Papua yaitu tidak dijelaskan berapa kasus HIV-positif dan AIDS.

Prajurit yang baru tahap HIV-positif tetap bisa efektif bertugas karena belum ada akibat terhadap kesehatan. Sedangkan yang sudah masuk tahap AIDS (sudah tertular antara 5 – 15 tahun) tetap bisa bekerja produktif. Apalagi sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah sehingga meningkatkan kekebalan tubuh. Langkah yang diambil TNI-AD terhadap prajurit yang terdeteksi HIV dan AIDS dengan menempatkan mereka pada bagian administrasi.

Kita perlu angkat topi mengapresiasi kebijakan yang manusia dan bermoral ini. Bandingkan dengan instansi, institusi atau perusahan yang memecat pegawai atau karyawan yang terdeteksi HIV justru melakukan tindakan yang amoral dan diskriminatif. Soalnya, penularan hepatitis B persis sama dengan penularan HIV, tapi pegawai attau karyawan yang terdeteksi mengidap virus hepatitis B tidak dipecat dan mendapat biaya pengobatan.

Di bagian lain disebutkan: Ia menduga, adanya prajurit TNI yang terkena HIV/AIDS itu bisa disebabkan dua hal. Pertama, kata, Hasanuddin disebabkan karena prajurit TNI yang ada di Papua itu adalah putra daerah. Kemungkinan kedua, tambahnya, adanya prajurit TNI yang terkena itu dikarenakan prajurit yang diperbantukan, yang datang dari luar Papua, seperti Jawa.

Pertanyaan pertama itu merupakan stigma (cap buruk) dan tidak objektif karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV (di Kodam Cenderawasih) dengan asal prajurit. Ini juga bisa memicu kebencian karena di Tanah Papua ada isu besar yang menuding kasus HIV/AIDS sebagai genosida.

Sedangkan pernyataan kedua juga tidak akurat karena tidak ada tes HIV terhadap prajurit yang akan bertugas di Papua. Memang, prajurit yang terdeteksi HIV-positif bisa saja tertular di Papua atau di luar Papua. Bisa juga mereka tertular sebelum masuk TNI-AD karena ketika mereka tes masuk berada pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) sehingga hasil tes HIV bisa negatif palsu. HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi.

Dalam berita itu ada pernyataan yang membingungkan, yaitu: "Setiap tahun, TNI melakukan medical cek up terhadap prajurit TNI. Kalau selama dalam medical cek up tidak terdeteksi, maka kemungkinan menderita sebelum masuk menjadi prajurit TNI.” Kalau prajurit itu tertular sebelum diterima tentulah antibody HIV akan terdeteksi jika setiap tahun dilakukan pemeriksaan kesehatan. Namun, apakah dalam medical check up juga ada tes HIV?

Ada pula pernyataan: ”Kepala rumah sakit tersebut Dr Yenny Purnama mengemukakan di Jayapura, Kamis, dari 144 prajurit TNI yang positif mengidap HIV/AIDS itu empat diantaranya telah meninggal sedangkan yang lainnya masih menjalani perawatan dan sudah diserahkan ke Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua.” Pernyataan ini mengesankan semua prajurit yang terdeteksi HIV-positif dirawat.

Pernyataan itu menyesatkan karena seseorang terdeteksi HIV tidak otomatis harus dirawat. Yang diperlukan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif, seperti prajurit Kodam Cenderawasih, memerlukan pendampingan untuk membimbing mereka agar mau memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Pendampingan menjadi bagian dari tes HIV. Persoalannya, adalah apakah tes HIV yang dilakukan terhadap prajurit itu sesuai dengan standar baku tes HIV? Kalau ya maka sebelum dan sesudah tes mereka berhak mendapatkan konseling. Tes HIV bisa dilakukan jika ada pesetujuan dari prajurit. Mereka memberikan persetujuan setelah mengetahui HIV/AIDS secara benar dan menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Pendampingan terhadap prajurit yang terdeteksi HIV merupakan hak mereka sebagai konseling sesudah tes sesuai dengan standar baku tes HIV.

Kesan-kesan buruk dan negatif yang muncul dari berita tentang AIDS di kalangan prajurit TNI-AD di Kodam Cenderawasih terjadi karena informasi beredar luas tidak komprehensif. Ini bisa terjadi karena sumber berita tidak menjelaskan secara rinci, tapi bisa juga terjadi wartawan tidak memahami cara-cara penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif dan empati. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menanggapi Pernyataan Wakil Ketua DPR RI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

”DPR Minta Panglima TNI Koreksi Pembinaan Mental Prajurit.” Itulah judul berita detiknews.com (12/08/2010). Dalam berita disebutkan: “Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta Panglima TNI dan Menhan mengoreksi pembinaan mental dan spritual para prajurit yang bertugas di pedalaman.”

Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual. Padahal, sebagai virus HIV bisa menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, jika salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom seitap kali sanggama. Sebaliknya, jika satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan cara zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual tanpa kondom.

Disebutkan pula: “…. segera mengoreksi kembali pembinaan mental, tidak hanya fisik, tapi kerohanian ….” Yang perlu dikoreksi adalah materi KIE yang disampaikan kepada para prajut terkait dengan epidemi HIV. Selama materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula prajurit tidak memahami cara-cara yang akurat dalam melindingi diri agar tidak tertular HIV.

Ada pula pernyataan: “Priyo mengakui hal tersebut sangat mencengangkan publik.” Ada fakta yang tidak muncul dalam pemberitaan kasus AIDS pada prajurit TNI di Papua itu.

Tidak ada penjelasan yang rinci tentang cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit. Kalau Kodam Cenderawasih melakkan satu langah tertentu untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya, maka apakah hal yang sama dilakukan di kodam lain? Kalau jawabannya YA, maka kasus AIDS di Kodam Cenderawasih (bisa) mencegangkan tapi dibandingkan dengan kodam lain. Kalau jawabannya TIDAK, maka ada kemungkinan di kodam lain kasus AIDS jurtru lebih tinggi.

Ditilik dari aspek epidemiologi penemuan kasus HIV/AIDS merupakan satu langkah yang sangat berarti dalam memutus mata rantai penyebaran HIV. Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Ini yang terjadi di Kodam Cenderawasih, sedangkan di kodam lain yang tidak menjalankan survailans tes HIV maka kasus HIV/AIDS yang ada di prajurit akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Penemuan kasus HIV/AIDS di berbagai kalangan di Indonesia tidak mencengangkan karena perilaku seks sebagai orang sangat rentan tertular HIV karena mereka enggan memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai. Seandainya dilakukan survailans di berbagai kalangan, seperti pegawai, karyawan, polisi, mahasiswa, dll. maka bisa saja hasilnya pun mencegangkan.

Di bagian lain disebutkan: "Prajurit jangan diisolasi, karena bagaimanapun mereka berjuang untuk republik." Ini benar karena yang lebih berbahaya justru prajurit yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Prajurit ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Sedangkan prajurit yang sudah terdeteksi merupakan ujung tombak dalam memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka.

Sudah saatnya kita berpaling ke Malaysia yang menerapkan beberapa jenis survailans tes HIV untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Malaysia menjalankan survailans rutin dan sistematis terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai Maret 2010 Depkes mencatat 20.564 kasus AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah melewati angka 40.000. Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Kasus-kasus yang tersembunyi itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa kita sadari yang pada gilirannya akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di negeri ini. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menanggapi Pernyataan Panglima TNI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “Panglima TNI Yakin 144 Anggota TNI Pengidap HIV/AIDS Bisa Sembuh” di “detiknews.com” (13/08/2010) menimbulkan pernyataan yang sangat mendasar karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit AIDS.

Dalam berita disebutkan “Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso yakin 144 anggota Kodam XVII Cendrawasih yang positif mengidap HIV/AIDS bisa sembuh.” Ada pula kutipan pernyataan panglima: “ …. Orang yang menderita HIV/AIDS bisa disembuhkan.”

AIDS bukan penyakit, tapi istilah yang disepakati yang merujuk ke kondisi seseorang terkait dengan infeksi HIV, sehingga tidak bisa disembuhkan. AIDS adalah kondisi pada fisik dan kesehatan seseorang yang sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun. Kondisi ini ditandai oleh lebih dari 70 macam penyakit, disebut sebagai infeksi oportunistik.

Perrlu diingat bahwa dari 144 prajurit TNI di Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV tentu ada yang baru tahap HIV-positif dan sebagian lagi sudah mencapai masa AIDS. Kondisi ini tidak muncul dalam pemberitaan media massa sehingga ada kesan semua sudah masuk masa AIDS. Pengobatan yang ada sekarang adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Pemakaian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV, tapi ada ketentuan lain yaitu CD4 (CD4 adalah gambaran sistem kekebalan tubuh seorang Odha yang diperiksa di dalam darah melalui laboratorium) ybs. Sudah di bawah 300. Sedangkan pranykit-penyakit yang muncul setelah masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, sepreti diare, TB, sariawan, dll. bisa diobati.

Dalam berita juga tidak disebutkan bagaimana cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya. Jika kasus-kasus ditemukan melalui survailans tes HIV maka kasus yang terdeteksi bisa positif palsu (tidak ada HIV di dalam darahnya) atau negatif palsu (ada HIV di dalam darah tapi tidak terdeteksi). Survailanas tes HIV yang memakai reagen ELISA, misalnya, tidak bisa mendeteksi antibody HIV di dalam darah secara akurat pada masa jendela (di bawah tiga bulan setelah tertular HIV) sehingga hasilnya bisa positif palsu atau negatif palsu.

Jika Kodam Cenderawasih mendeteksi HIV di kalangan prajurit melalui survailans maka kasus-kasus negatif harus menjadi perhatian karena bisa jadi ketika mereka dites pada masa jendela. Mereka dianjurkan untuk menjalani tes tiga bulan berikutnya dengan catatan mereka pernah atau sering terpapar dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai.

Untuk meningkatkan efektivitas survailans perlu dilakukan konseling sebelum dan sesudah tes. Pada konseling sebelum tes mereka diberikan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Satu hal yang perlu ditanya adalah: Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko? Kalau di bawah tiga bulan maka tidak perlu menjalani tes karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu. Begitu pula dengan di unit-unit transfusi darah PMI tidak ada pertanyaan “Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko?” sehingga ada kemungkinan donor berada pada masa jendela.

Di bagian lain disebutkan: Djoko menuturkan, TNI menyusun rencana 5 tahun untuk penanggulangan HIV/AIDS. Kegiatan itu yakni penyuluhan, komunikasi dan edukasi. Informasi yang akurat tentang HIV/AIDS merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan epidemi HIV. Dengan catatan materi yang disampaikan adalah fakta medis tentang HIV/AIDS. Soalnya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Indonesia selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

HIV adalah fakta medis. Artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Tapi, pencegahan yang dikedepankan di Indonesia adalah moral dan agama sehingga penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari banyak orang.

Disebutkan pula: “144 Anggota Kodam XVII Cenderawasih positif mengidap HIV/AIDS karena sebagian besar terjangkit melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Ini salah satu bentuk mitos yang sudah melekat sebagai jargon di negeri ini. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ (jika ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina) dengan penularan HIV. Prajut-prajurit itu tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah mengidap HIV. Ini fakta. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap H IV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau slatu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan zina dan tanpa kondom. Ini juga fakta.

‘Berganti-ganti pasangan’ bukan penyebab tertular HIV tapi merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkiinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika sanggama dengan pekerja seks karena mereka mempunyai ‘pelanggan tetap’. Mereka menganggap tidak bersiiko karena tidak berganti-ganti. Tapi, mereka khilaf karena pasangan mereka itu, pekerja seks, berganti-ganti pasangan. Sayang, fakta ini tidak muncul dalam materi KIE sehinga banyak orang yang tidak memahami risiko terular HIV.

Selama para prajurit hanya diberikan wejangan dan materi KIE yang dibalut norma, moral dan agama maka selama itu pula akan (terus) terjadi penyebaran HIV. ***
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Jumat, 13 Agustus 2010

Menyikapi Kasus AIDS di Kalangan Prajurit Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Beberapa hari teakhir ini media massa nasional ramai memberitakan kasus 144 prajurit di Kodam XVII Cenderawasih, Tanah Papua, yang tedeteksi HIV/AIDS. Ini menunjukkan kita tetap melihat epidemi HIV dengan sebelah mata karena beberapa tahun yang lalu juga sudah ramai diberitakan perihal AIDS di kalangan prajurit TNI dan Polri di Tanah Papua. Bahkan, 20 pendaftar di Polda Papua terdeteksi HIV-positif. Apa sebenarnya yang terjadi (di sana)?

Kasus HIV/AIDS juga terdeteksi pada prajurit TNI Kontingen Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja. Ada 11 anggota terdeteksi HIV-positif. Fakta ini sudah dipaparkan pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina (Oktober 1997), tapi ketika itu tidak ada berita karena di zaman Orba. Penulis yang menjadi peserta pada kongres itu mencari data lain, tapi dr. Hadi M. Abednego, ketika itu Dirjen PPM&PLP Depkes, menolak mengomentari masalah infeksi HIV di kalangan tentara seperti yang dipaparkan di kongres. Bahkan, ada fakta lain yang muncul di kongres itu yaitu salah satu prajurit TNI yang dikirim ke Kamboja ternyata HIV-positif. Maka, seorang peserta dari Kamboja, seorang dokter, angkat bicara: “Saya khawatir justru tentara Anda yang menularkan HIV kepada rakyat kami.”

Mitos AIDS

Kabar tentang AIDS di kalangan prajurit TNI yang bertugas di Kamboja diberitakan Majalah “GATRA” (5/8/2005): ”AIDS. Risiko Jauh Keluarga”. Tapi, tunggu dulu. Mengapa tentara Belanda yang bersama Indonesia di Kamboja tidak ada yang terdeteksi HIV-positif? Tentara Belanda dibekali dengan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Selain membawa bedil tentara Belanda juga dibekali dengan ‘senjata’ untuk ‘si buyung’.

Apakah bekal seperti itu juga diberikan kepada prajurit TNI? Yang dikhawatirkan pasukan kita hanya dibekali ‘kekuatan’ moral, seperti wejangan dan panji-panji kesatuan. Misalnya, “Jangan pergi ke lokalisasi pelacuran!” Memang, mereka tidak melacur dengan pekerja seks di lokalisasi. Mereka melakukannya dengan ’cewek bar’ atau perempuan yang mereka kenal di luar lokalisasi. Tapi, mereka tidak dibelaki fakta tentang prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dengna yang HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) di beberapa kalangan di Kamboja. Ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks antara 21-64 peresen. Artinya, dari 100 pekerja seks ada 21-64 yang HIV-positif. Maka, probabilitas (kemungkinan) ’bertemu’ dengan pekerja seks yang HIV-positif sangat besar. Sedangkan di kalangan ’cewek bar’ (dikenal sebagai pekerja seks tidak langsung) prevalensi HIV berkisar antara 6-34 persen. Artinya, prevalensi HIV di kalangan pekerja seks, cewek bar, dan perempuan yang dijumpai sebagai pekerja seks tidak langsung ketika itu sangat tinggi.

Desember 2005 ada berita tentang kematian 12 dari 48 anggota TNI-AD di jajaran Kodam XVII/Trikora yang diduga tertular HIV. Dsebutkan prajurit-prajurit itu tertular HIV “akibat melakukan hubungan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan.” (MIOL, 6/12-2005). Ini mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang sampai sekarang terus menjadi ’jargon nasional’. Kalau ’seks bebas’ yang dimaksud adalah hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ’seks bebas’. Hubungan seks yang memungkinkan menjadi media penularan HIV adalah hubungan seks yang tidak aman yaitu hubungan seks yang tidak mamakai kondom yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu ada kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Terkait dengan kasus itu, Panglima Mayjen TNI George Toisula, menurut Kapendam, pada setiap kesempatan juga menyampaikan ajakan pada para prajurit untuk membiasakan hidup sehat dan selalu memperhatikan kaidah-kaidah agama agar mereka terhindar dari kemungkinan tertular HIV/AIDS. (MIOL, 6/12-2005). Lagi-lagi wejangan yang tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara hidup sehat dan (kaidah) agama dengan penularan HIV.

Kasus HIV/AIDS juta terdeteksi di kalangan polisi. Sebuah berita menyebutkan sebanyak 12 orang anggota Polda Papua terjangkit virus HIV/AIDS. Empat di antaranya meninggal dunia.(MIOL, 10/12-005). Menyikapi kasus ini Mabes Polri membekali anggotanya dengan informasi seputar HIV/AIDS di Mapolres Jayawijaya (Agustus, 2008). Materi informasi HIV/AIDS selama ini selalu mengedepankan norma, moral dan agama sehingga fakta tentang HIV/AIDS hilang. Akibatnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Ternyata pembelakan yang diberikan Mabes Polri kepada anggotanya di Jayawijaya juga mitos. Seorang penyuluh mengatakan: ” .... agar tidak terjangkit virus HIV/AIDS itu hal yang paling utama diketahui oleh personil Polri adalah meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah dan menjauhi semua perbuatan yang berbau maksiat.” (Cenderawasih Pos, 4/8-2008). HIV juga terdeteksi pada 20 pemuda calon tantama Polri yang menjalani tes di Polda Papua.

Kambing Hitam

Ada pula kabar tentang kasus HIV/AIDS di kalangan pejabat dan agamawan di Papua. Penemuan kasus demi kasus seakan bagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV di daerah ’Kepala Burung’ itu. Yang muncul justru isu miring yaitu mengaitkan epidemi HIV dengan genocide (pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) dan menyalahkan pekerja seks dai luar Tanah Papua yang ’menyerbu’ daerah itu.

Pemerintah-pemerintah daerah di Tanah Papua pun setengah hati menangani lokalisasi pelacuran. Padahal, dalam delapan perda penanggulangan AIDS di Tanah Papua semua menyiratkan program ’wajib kondom’ yang mengadopsi program Thailand. Program ini jalan jika lokalisasi pelacuran dibina untuk mengefektifkan program itu. Seorang pekerja seks di lokalisasi pelacuran ’55’ Maruni, Manokwari, Papua Barat, mengeluh, ”Cewek (maksudnya pekerja seks, pen.) .... (dia menyebutkan nama sebuah kota di Sulawesi-pen.) boleh mangkal di hotel.” Pekerja seks yang tidak dilokalisir tidak bisa diawasi dalam penerapan program pemakaian kondom.

Ada pula isu HIV/AIDS di Tanah Papua ditularkan oleh nelayan Thailand. Ini juga membuat seorang remaja putri dari Thailand marah dan menanggapi makalah peserta Indonesia, dalam hal ini disampaikan oleh dr Abednego: ”Apakah penduduk Papua tidak ada yang keluar dari daerahnya?” Di luar ruangan gadis itu masih marah-marah ketika saya wawanacarai.

Biar pun HIV/AIDS adalah fakta medis, tapi tetap saja tanggapan selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama. Misalnya, ada bupati dan gubernur di Papua yang mengatakan untuk meredam HIV/AIDS di wilayah mereka dilakukan dengan cara tobat massal. Ini ngawur karena siapa yang harus bertobat dan apa pula kaitannya dengan epidemi HIV.

Data HIV/AIDS di Tanah Papua juga sering ‘mengejutkan’. Tapi, perlu diingat ini terjadi al. karena penyuluhan yang gencar di Tanah Papua sehingga mendorong banyak orang yang menjalani tes HIV dan sarana kesehatan di sana sudah disiapkan untuk menangani kasus terkait HIV/AIDS. Setelah HIV terdetesi di kalangan tentara, polisi, agamawan dan pejabat belakangan diketahui pula kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga jauh lebih besar daripada di kalangan pekerja seks.

Tanggapan terhadap kasus HIV/AIDS di Tanah Papua terus bergulir. Tapi sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Tanggapan terhadap kasus 144 prajurit Kodam Cenderawaih yang terdeteksi HIV-positif datang dari Senayan. ”DPR minta Panglima TNI dan Menhan koreksi pembinaan mental dan spritual prajurit.” (Newsticker, RCTI, 13/8-2010).

Terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI di Papua yang diperlukan adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang akurat. Selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga prajurit tidak mengetahui fakta tentang penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Jika materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula prajurit TNI dan Polri tidak akan memahami cara-cara yang akurat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Akibatnya, mereka rentan tertular HIV.

Mandatory Test

Judul berita dan acara talk show di TVOne (13/8 dan 14/8), misalnya, juga menunjukkan balutan moral: HIV-AIDS Serang TNI. Kodam Sosialisasikan Bahaya Seks Bebas. Sebagai virus HIV tidak menyerang tapi menular melalui cara-cara yang sangat spesifik. Terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seks (’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, dll.) tapi terkait langsung dengan kondisi hubungan seks (salah satu atau dua-duanya HIV-positif, dan laki-laki tidak memakai kondom).

Pangdam XVII Mayjen Hotma Marbun: Dari seluruh Kodam prajurit penderita HIV/AIDS terbanyak dari jajaran Kodam Cenderawasih. (Newsticker, RCTI, 13/8-2010). Terkait dengan pernyataan pangdam ini perlu dipertanyakan: mengapa banyak kasus AIDS terdeteksi dan bagaimana cara yang dilakukan Kodam mendeteksi kasus HIV di kalangan prajurit? Ada informasi yang tidak muncul terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri yang terdeteksi di Tanah Papua yaitu tidak ada keterangan tentang bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri terdeteksi.

Jika upaya untuk mendeteksi kasus HIV terhadap siapa saja dilakukan dengan cara mandatory test (tes wajib) maka ini perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Pertanyaan berikutnya: Apakah diberikan konseling sebelum dan sesudah mandatory test? Kalau jawabannya TIDAK maka hal ini melanggar standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Konseling ini penting agar yang menjalani tes bisa menerima hasilnya dan mau memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Selanjutnya: Apakah di semua kodam di Indonesia dilakukan hal yang sama dengan di Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV di kalangan prajurit? Kalau jawabannya YA, maka fakta yang disampaikan pangdam itu benar adanya. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka fakta yang disampaikan pangdam itu tidak menggambarkan kondisi HV/AIDS di semua kodam di Indonesia.

Pangdam Cenderawasih tidak perlu gundah-gulana karena penemuan kasus (yang banyak) di satu sisi justru jauh lebih baik daripada tidak menemukan kasus atau mendeteksi sedikit kasus. Di kodam atau polda lain kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di kalangan prajurit kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Bahkan, bisa lebih buruk karena prajurit-prajurit yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.

Sedangkan prajurit Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV merupakan pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Mereka pun bisa ditangani secara medis sehingga tingkat produktivitas mereka sebagai prajurit tetap terjaga. Yang sudah memungkinkan menerima pengobatan bisa dilakukan dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang bisa menahan laju perkembangan HIV di dalam darah.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Tanah Papua khususnya dan di Indonesia umumnya sudah saatnya kita jujur dengan menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual. Tapi, apakah kita mempunyai nyali untuk menyampaikan fakta? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Rabu, 11 Agustus 2010

Tanggapan terhadap Berita “300 warga Aceh diduga kena AIDS”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “300 warga Aceh diduga kena AIDS” di Harian “WASPADA”, Medan, edisi 21/7-2010 lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat di banyak kalangan.

Dalam berita disebutkan: “Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh memperkirakan sekitar 300 warga daerah itu terinfeksi penyakit AIDS dan sebagaian besar dari mereka tidak terdata karena enggan melapor.”

Pertama, yang menginfeksi atau yang menular bukan AIDS karena AIDS bukan penyakit bukan pula virus. Yang menular adalah HIV sebagai virus.

Kedua, perkiraan yang disampaikan oleh KPAP Aceh ternyata berpatokan pada fenomena gunung es pada epidemi HIV. Ini tidak akurat karena ‘rumus’ yang dikaitkan dengan fenomena gunung es yaitu 1:100 tidak bisa dipakai secara telanjang dengan memukul rata. Ada beberapa faktor yang harus ada agar ‘rumus’ itu bisa dipakai. Tapi, perlu diingat ‘rumus’ itu bukan untuk menentukan jumlah kasus HIV/AIDS tapi hanya untuk keperluan epidemiologis, seperti merancang pola penanggulangan, dll. Faktor-faktor yang bisa mendukung ‘rumus’ itu al. adalah: (a) tingkat pelacuran tinggi, (b) tingkat pemakaian kondom sangat rendah, dan (c) penyangkalan sangat tinggi, dll.

Ketiga, disebutkan “ …. sebagaian besar dari mereka tidak terdata karena enggan melapor”. Ini tidak akurat karena yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Maka, jumlah penduduk yang diduga tertular HIV dapat disimak dari risiko tertular HIV.

Mereka yang sudah tertular HIV melalui hubungan seks tapi tidak terdeteksi (bukan tidak melapor) adalah: (1) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), (2) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, pelaku kawin-cerai, waria pekerja seks, dll. (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif).

Sekarang terpulang kepada KPAP Aceh, seberapa besar kemungkinan penduduk Aceh melakukan dua hal yang berisiko tertular HIV di atas? Kalau jawabannya tinggi maka ’rumus’ tadi bisa dipakai untuk perkiraan. Celakanya, di Indonesia ada penolakan terhadap perilaku hubungan seks berganti-ganti pasangan dengan alasan tidak ada lokalisasi pelacuran. Ini merupakan bumerang karena hubungan seks berisiko tertular HIV tidak hanya terjadi dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran karena perilaku ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Keempat, disebutkan ”Jadi, kalau tidak ditangani secara serius dan benar, bukan tidak mungkin serangan HIV dan AIDS ini bisa endemis”. Sebagai virus HIV tidak bisa menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehingga epidemi HIV bukan wabah. Penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan orang yang sudah tertular HIV, menerima transfusi darah yang mengandung HIV, memakai jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang mengadnung HIV.

Tidak hanya HIV/AIDS, tapi semua penyakit harus ditangani secara serius dan benar. Terkait dengan HIV/AIDS penanganan tidak serius dan benar karena dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran seingga penanggulangannya, termasuk pencegahan, dapat dilakukan secara medis.

Tapi, yang terjadi selama ini adalah mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ mencegah penyebaran HIV. Celakanya, penyebaran HIV justru tidak terkait langsung dengan norma, moral dan agama.

Kelima, disebutkan pula ” .... kendala dalam menanggulangi HIV dan AIDS sekarang adalah masih adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita penyakit ini”. Terkait dengan masalah ini terjadi ironi karena yang paling banyak melakukan stigma justru di kalangan medis, terutama di sarana kesehatan, seperti rumah sakit. Sikap masyarakat itu muncul karena selama ini mereka mendapatkan informasi HIV/AIDS dari bebagai sumber, seperti pejabat dan pakar (termasuk dari bidang kesehatan), pemuka agama, dll. tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual. Padahal, sama sekali tidak kaitan penularan HIV secara langsung dengan zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi dalam atau di luar nikah pada satu pasangan jika salah satu atau dua-duanya HV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-dunya HIV-negatif maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan cara zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Yang perlu digalakkan KPAP Aceh adalah menyebarkan informasi HIV/AIDS yang akurat seingga orang-orang yang pernah melakukan hubungan seks yang berisiko tertular HIV agar menjalani tes HIV secara sukarela.

Soalnya, kalau orang-orang yang sudah tertular HIV tidak terdeteksi maka penyebaran HIVakan terus terjadi di masyarakat tanpa mereka sadari. Ini akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Apakah KPAP Aceh dan Pemprov. Aceh harus menunggu dulu ‘ledakan’ AIDS baru mau menangani epidemi HIV secara benar? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tanggpan terhadap Berita “11 Warga Positif HIV/AIDS” di Enrekang, Sulsel

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 10/08/2010. Berita “11 Warga Positif HIV/AIDS” di Harian “FAJAR”, Makassar, edisi 5/8-2010 lagi-lagi tidak memberikan pencerahan yang akurat kepada masyarakat. Judul berita tidak akurat karena yang positif adalah HIV bukan AIDS. Maka, yang tepat adalah positif HIV.

Dalam berita disebutkan ” .... sekarang jumlah penderita HIV/AIDS di daerahnya mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding 2005 lalu.” Kasus meningkat dari lima (2005) menjadi delapan (2006) dan sekarang 11. Ada yang luput dari perhatian terkait dengan pelaporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Yang dipakai adalah laporan kumulatif. Artinya, kasus baru ditambahkan ke kasus lama. Dari laporan ini menunjukkan tahun 2006 terdeteksi tiga kasus dan sekarang terdeteksi tiga.

Persoalan (besar) justru di balik angka-angka itu. Penemuan kasus yang kecil bisa dilihat dari dua kemungkinan.

Pertama, kasus kecil karena tidak ada mekanisme untuk ’menjaring’ penduduk yang sudah tertular HIV. Di Indonesia tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Coba simak yang dilakukan di Malaysia ini. Negeri jiran itu menerapkan survailans rutin (tes HIV anonim dengan standar yang baku terhadap perempuan hamil, polisi, narapidana, pasien TBC, pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.). Maka, dengan peduduk 20-an juta Malaysia sudah ’menjarin’ ....kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 240 juta hanya malorkan 20.000 kasus AIDS.

Kedua, kasus kecil karena tidak semua kasus yang terdeteksi dilaporkan. Misalnya, ada dokter atau rumah sakit yang tidak melaporkan kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi karena terikat perjanjian dengan pasien. Ada pula penduduk Enrekang yang terdeteksi di luar darah tapi tidak melaporkannya.

Ketiga, jumlah penduduk yang tertular HIV memang sedikit. Tapi, tunggu dulu. Inibisa menjadi bumerang karena yang menjadi patokan semu yaitu: a. di daerah itu tidak ada lokalisasi pelacuran (padahal, penduduk bisa melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri), dan b. masyarakatnya bemoral, berbudaya dan beragama (di Arab Saudi yang memakai Alquran sebagai UUD sudah dilaporkan lebih dari 12.000 kasus AIDS), serta alasan-alasan normatif lain yang sama sekali tidak terkait langsung dengan penularan dan pencegahan HIV.

Ada pula pernyataan ” kita perlu memberikan pemahaman pada masyarakat, terutama remaja tentang pentingnya pencegahan.” Ini merupakan stigmatisaasi terhadap remaja. Ada fakta yang luput dari perhatian terkait dengan proporsi kasus HIV dan AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan remaja. Ini terjadi di kalangan remaja penyalahguna narkoba. Remaja yang akan menjalani rehabilitasi wajib tes HIV sehingga banyak yang terdeteksi. Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa.

Pertanyaannya, adalah: Apakah tingkat penyalahguna narkoba dan hubungan seks berisiko tidak ada di kalangan dewasa? Kasus HIV dan AIDS di kalangan dewasa akan menjadi bom waktu ledakan AIDS. Kalangan dewasa yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istirnya, selingkuhannya atau istrinya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertjular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).

Ada lagi pernyataan ” .... sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS.” Ini tidak akurat karena bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Diabetes dan darah tinggi tidak bisa disembuhkan. Sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah.

Disebutkan pula ”Nurhasan yang juga Wakil Bupati (Wabup) Enrekang itu meminta tokoh agama, tokoh adat, serta masyarakat untuk terlibat dalam sosialisasi pencegahan penyebaran HIV/AIDS tersebut.” Ini anjuran yang baik. Tapi, celakanya yang dikedepankan hanya mitos dan upaya pencegahan pun mengedepankan norma, moral dan agama. Akibatnya, cara-cara pencegahan yang realitistis justru tidak muncul.

Di Indonesia sudah ada 36 perda tingkat provinsi, kabupaten dan kota tentang penanggulangan AIDS. Tapi, hanya ’macan kertas’ karena tidak mengatur fakta. Perda-perda itu justru menyuburkan mitos, stigma dan diskriminasi.

Misalnya, cara pencegahan yang diwajibkan perda-perda itu adalah meningkatkan iman dan taqwa, hibup bersih, dll. Akibatnya, hal ini mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV tidak beriman, tidak bertakwa dan tidak hidup bersih. Ini mendorong stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS.

Tampaknya, kita tidak bisa belajar dari sejarah dan pengalaman negara lain. Di Afrika, Amerika, Australia dan Eropa Barat kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yan mendatar. Ini terjadi karena penduduk di sana sudah mengetahui cara-cara pencegahan HIV dengan benar.

Di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru sebaliknya. Kasus infeksi HIV di kalangan dewasa meroket. Indonesia termasuk satu dari tiga negara dengan peningkatan kasus infeksi HIV yang besar setelah Cina, dan India.

Apakah kita harus menunggu ledakan AIDS baru mau menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat? Agaknya, kita lebih senang mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan aurat!

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tanggapan terhadap Berita AIDS di Kab Grobogan, Jawa Tengah

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “AIDS Menyebar di 18 Kecamatan, Diperlukan Pemeriksaan Darah WPS” di suaramedeka,com edisi 2/8/2010 menunjukkan pemahman yang tidak komprehensif terhadap epidemi HIV.

Dalam berita disebutkan: “ .... telah menyebar di 18 dari 19 kecamatan di Kabupaten Grobogan. Kecamatan Geyer merupakan satu-satunya kecamatan yang belum ditemukan adanya penyebaran virus ini.” Dalam berita tidak ada penjelasan bagaimana cara yang dilakukan mendeteksi HIV/AIDS. Yang disebutkan hanya peningkatan kasus terjadi setelah ada Klinik Voluntary Consulling and Testing (VCT) atau klinik konsultasi dan pemeriksaan sukarela di RS Panti Rahayu Yakkum Purwodadi.

Bisa saja terjadi penduduk di Kec. Geyer tidak ada yang ke VCT. Belum ditemukan kasus HIV/AIDS bukan berarti Kec. Geyer bebas HIV/AIDS karena semua penduduk belum menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di Kec. Geyer bisa menjadi bumerang karena penduduk yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Kondisi ini bisa menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.

Apakah semua penduduk dewasa di Kec. Geyer tidak pernah melakukan hubungan seks yang berisiko tertular HIV? Hubungan seks yang berisiko tertular HIV adalah: (1) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), dan (2) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, pelaku kawin-cerai, waria pekerja seks, dll. (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif).

Kalau jawabannya YA berarti tidak ada kasus HIV/AIDS. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka penduduk Kec. Geyer sudah ada yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Hasilnya? Banyak kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat yang pada saatnya kelak akan menjadi ledakan AIDS.

Ada lagi pernyataan ” .... mengenai identitas penderita HIV AIDS sesuai kesepakatan internasional adalah unlink anonymous atau bersifat rahasia, sehingga merupakan hak pasien untuk tidak diketahui identitasnya oleh orang lain, dan hanya boleh diketahui petugas tertentu untuk kepentingan keperawatan.” Pernyataan ini kurang pas karena akan menimbulkan praduga bahwa kasus HIV/AIDS diistimewakan. Dalam dunia madis semua keterangan (identitas, nama penyakit, tindakan yang sudah dilakukan, dll.) terkait dengan semua penyakit merupakan catatan medis (medical record) yang merupakan rahasia jabatan dokter. Pembeberan catatan medis merupakan perbuatan yan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Ada lagi pernyataan ” .... daerah rawan HIV AIDS.” Ini ngawur karena yang rawan terkait HIV/AIDS adalah perilaku oang per orang, terutama perilaku seks. Seorang pekerja seks pun bisa tidak rawan tertular HIV kalau dia hanya mau meladeni laki-laki, termasuk suami atau pacarnya, yang memakai kondom. Sebaliknya, seorang ibu rumah tangga rawan tertular HIV kalau suaminya tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganyi-ganti pasangan.

Disebutkan pula "Kami juga memasang spanduk kampanye pencegahan HIV/AIDS di 19 kecamatan. Tujuannya supaya masyarakat mengetahui bahwa saat ini penyebaran utama virus ini adalah melalui perilaku seks berisiko.”

Spanduk ini tidak akan bermanfaat kalau informasi yang disampaikan dibalut dengan norma, moral, dan agama karena yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat sehingga penyebaran terus terjadi tanpa disadari. Kepanikan baru akan terjadi jika kelak terjadi ledakan kasus AIDS.

Sub judul berita menyebutkan ”Diperlukan Pemeriksaan Darah WPS”. Ini juga ’menyesatkan’ karena ada fakta yang luput. Penularan HIV terhadap pekerja seks dilakukan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajcar, penganggur, pemulung, tukang becak, petani, nalayan, perampok, dll.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks merupakan mata rantai penyebaran HIV dalam masyarakat (horizontal). Begitu juga dengan laki-laki yang tertular dari pekerja seks akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran HIV.

Selama penanggulangan HIV/AIDS tetap dilakukan dengan mengedepankan norma, moral dan agama maka selama itu pula penyebaran HIV akan terjadi. Ini terjadi karena masyarakat tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

UU Anti Pornogarafi Ternyata Tidak Bisa Menjerat Pelaku Zina

Oleh Syaiful W. Harahap*

Hiruk-pikuk unjuk rasa anti dan pro RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) tahun 2006 hampir saja memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Bahkan, ada tokoh salah satu ormas kesukuan yang dengan lantang mengatakan bahwa “para wanita yang ikut pawai menentang RUU APP sebagai perempuan bejat, iblis, dan tak bermoral.”

Ketika itu beberapa elemen masyarakat unjuk rasa menentang RUU APP. Yang menolak RUU APP keberatan karena mereka berpendapat tidak perlu ada campur tangan negara dalam penegakan moral dan agama. Ada pula yang melihat UU itu kelak akan mengganggu aspek-aspek kebudayaan khas daerah. Cacian terhadap kalangan yang menolak RUU APP menilainya sebagai suatu bentuk pelecehan dan penghinaan kepada perempuan.

Aksi-aksi yang menolak pengesahan RUU APP pun ditanggapi oleh Ketua Pansus, ketika itu, Balkan Kaplale, bahwa gelombang penolakan didukung oleh kelompok mantan presiden yang ingin memanfaatkan situasi untuk kembali bekuasa, dan bantuan asing, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk menghancurkan moral bangsa. Balkan membuat kesimpulan ini karena menurut dia LSM yang memotori aksi penolakan dibiayai oleh AS. Ini keliru karena yang menjadi donor untuk LSM di Indonesia di AS dan Eropa Barat bukan negara tapi badan-badan donor swasta yang independen.

Selain itu, sangat disayangkan Pak Balkan lupa bahwa di AS hukuman bagi pemerkosa adalah hukum mati. Ini menunjukkan perlindungan terhadap perempuan dalam konteks norma, moral dan agama. Bandingkan dengan di Indonesia. Ancaman hukuman memang 12 tahun penjara, tapi harus ada saksi mata dan korban melakukan perlawanan. Di Malaysia hukuman bagi pemerkosa minimal empat tahun di bui.

Bahkan, ketika diperiksa polisi (kabarnya sekarang tidak ada lagi pertanyaan ini) ada pertanyaan: Apakah Anda bergoyang ketika diperkosa? Masya Allah. Ini pertanyaan apa. Nah, kalau korban meronta, apaka itu diartikan sebagai goyangan? Bagaimana seorang perempuan bisa melawan kalau dibekap beberapa laki-laki? Bagaimana seorang perempuan bisa melawan jika dia dibius sebelum diperkosa? Bagaimana seorang perempuan bisa melawan di bawah ancaman senjata tajam atau senjata api ketika diperkosa?

Tangkisan dari Senayan pun terus bergema. Bahkan, Pak Balkan mengatakan "Undang-undang ini berlaku untuk negara yang ber-Tuhan.” Semua bangsa dan negara di muka bumi ini mempunyai Tuhan (dalam kaitan ini Tuhan adalah kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa). Dan, tidak ada satu negara pun yang melegalisasi pornografi dan pornoaksi.

Ada salah kaprah yang sangat fatal di Indonesia. Banyak orang yang menilai moral sebuah bangsa atau negara, khususnya AS, dari film, dalam hal ini film produksi Hollywood. Mereka lupa kalau film dibuat untuk hiburan dengan tujuan bisnis memperoleh keuntungan. Yang membuat dan mendanainya pun bukan negara atau pemerintah. Ada pula kesan kehidupan di AS persis seperti di film. Dalam sebuah wawancara di televisi AS pemeran Harry Potter mengatakan bahwa sama sekali dia tidak bisa meresapi atau menikmati adegan ciuman karena di selilingnya ada puluhan orang yang menyaksikan, mulai dari sutradara, penata kamera, penata rias, dll.

Biar pun gelombang penolakan kian besar, tapi Senayan tidak surut. Bahkan, suara dari Senayan menyebutkan perbandingan yang setuju dengan tidak setuju 90:10. Memang, di negara demokrasi yang banyak yang menang. Tapi, perlu diingat tidak selamanya yang banyak yang benar. Menjadikan angka perbandingan sebagai pembenaran bisa berujung celaka.

Agaknya, itulah yang terjadi. Buktinya, setelah RUU disahkan menjadi UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ternyata tetap tidak bisa menjerat pelaku yang ‘bejat, iblis, dan tak bermoral’. Bahkan, pelaku yang berbuat sebagai ajakan setan atau iblis, seperti dipercayai oleh pendukung RUU APP, dan sudah tersebar luas ternyata lolos dari jeratan UU yang sudah mengutik sendi-sendi kehidupan bangsa yang bhinneka ini.

Lagi pula soal pornografi yang disebut sebagai kesusilaan, moral, dan kesopanan sudah diatur di empat undang-undang, yaitu KUHP, UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Film. Tapi, Balkan berkelit dalam KUHP pornografi dan pornoaksi tidak diatur secara spesifik.

Semula yang diharapkan dari RUU semacam APP itu adalah paradigma dengan perspektif perempuan. Selama ini perempuan menjadi korban terkait dengan berbagai aspek, seperti pelacuran, dunia hiburan, perdagangan manusia, dll. Untuk itulah perlu UU yang bisa menjerat dan mendera pelaku yang menjadikan perempuan sebagai korban.

Terkait dengan pelacuran, misalnya, yang dihukum berat bukan pekerja seks (perempuan), tapi orang yang menguasai, memanfaatkan, atau yang mempedagangkan perempuan pekerja seks itu. Sayang, paradigma ini tidak mampir ke Senayan sehingga dalam UU APP yang dihukum justru perempuan yang justru menjadi korban.

Kini, UU No. 44/2008 sedang diuji ketajamananya terkait dengan video yang berisi gambar laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seks yang bersifat zina. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan: ”Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Selanjut di pasal 3 ayat a UU ini disebutkan: ”Undang-undang ini bertujuan mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan asyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.”

Sayang, tujuan UU ini ternyata tidak kesampaian karena tidak bisa menjerat perempuan yang terlibat dalam hubungan seks bersifat zina di video ’mirip artis’ tersebut. Salah satu perempuan yang ada di video itu malah sudah mengakui bahwa dialah perempuan yang sebelumnya disebut ’mirip artis’. Tapi, tidak ada satu pasal pun dalam UU Antipornografi yang bisa menjeratnya. Polisi hanya bisa memakai KUHP untuk membawa perkara itu ke kejaksaan.

Dari tiga tersangka hanya satu yang bisa dijerat dengan UU APP yaitu laki-laki. Namun, bukan karena perbuatan zina tapi karena tersangka merekam perzinaan itu. Untuk perbuatan zina hanya bisa dijerat dengan KUHP.

Perzinaan hanya bisa dijerat dengan KUHP. Lalu, untuk apa memaksakan pengesahan RUU APP yang sudah memecah belah kebhinnekaan bangsa ini kalau ternyata tidak bisa menjerat pelaku zina? Ya, kolonial ternyata lebih jeli menjerat pelaku yang melanggar asas norma, moral dan agama. Dua perempuan yang menjadi tersangka kasus video tadi tidak ditahan karena ancaman hukuman pada KUHP hanya sembilan bulan. Misalnya, pelaku dihukum sembilan bulan tapi dampak buruk video itu berjalan sepanjang masa.

Dengan ancaman hukuman enam bulan sudah bisa ditebak vonis. Hukuman bisa di bawah enam bulan atau bebas karena, al. tidak ada saksi pelapor dan saksi mata. Salah satu faktor yang tidak mendukung adalah tidak ada pihak, dalam kaitan ini suami atau istri, dari para tersangka yang mengadukan perzinaan itu. Ini penting karena KUHP menyaratkan harus ada pengaduan, saksi dan bukti-bukti lain.

Bertolak dari fakta di KUHP tentang harus ada pengaduan dari istri atau suami terkait dengan perzinaan suami atau istri mereka, maka patut dipertanyakan keabsahan razia yang selama ini dilakukan oleh Polri dan Sat Pol PP di berbagai daerah ke losmen dan hotel melati. Soalnya, tidak ada pengaduan. Lagi pula polisi dan Sat Pol PP hanya berani menggrebeg losmen dan hotel kelas melati. Apakah di apartemen dan hotel berbintang tidak ada perzinaan?

RUU yang sudah mendorong orang menghakimi saudara-sauara kita yang menentang sebagai iblis, sekarang ketika sudah menjadi UU ternyata UU itu tidak bisa menjerat perbuatan amoral yang ’ditunggangi’ iblis. ***

* Penulis aktivis di LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Minggu, 01 Agustus 2010

Debat Kandidat Cagub/Cawagub Sulut

Tidak ada yang menawarkan konsep sebagai langkah konkret

Oleh Syaiful W Harahap

MATERI yang menjadi isu debat calon Gubernur dan Wakil Gubernur (cagub/cawagub) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang disiarkan MetroTV secara langsung Jumat (30/7) malam pekan lalu tidak memunculkan rencana tindakan nyata dari keempat cagub/cawagub jika kelak terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur di Sulut. Debat itu juga menunjukkan ketidakmampuan banyak orang membuat pertanyaan.

Dua panelis pun yaitu Dr Aviliani SE MSi, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dan Dr Yong Ohoi Timur, pakar etika dan filsuf dosen Institut Seminari Pineleng, lebih banyak membuang waktu memberikan pernya-taan sebelum menyam-paikan pertanyaan. Akibatnya, waktu banyak dihabiskan oleh panelis.

Begitu juga dengan keempat kandidaat yaitu 1 Ramoy Markus Lun-tungan-Hamdi Papu-tungan, 2 Stefanus Vreeke Runtu-Marlina Moha Siahaan, 3 Elly Engelbert Lasut-Henny Wullur, dan 4 Sinyo Harry Sarundajang-Djauhari Kansil juga tidak bisa memberikan pertanyaan ketika diberi kesempatan bertanya kepada kandidat lain.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Tapi, dalam acara yang disebut debat itu yang muncul hanya retrorika dengan materi yang tidak mengakar. Padahal, masyarakat sebagai pemilih dalam Pemilu Kada Gubernur dan Wakil Gubernu yang akan dilangsungkan tanggal 4 Agustus 2010 mengharapkan rencana konkret dalam memajukan Sulut.

Pertanyaan sekitar upaya untuk menjaga kerukunan di Sulut keempat calon sama sekali tidak menyebutkan tindakan konkret yang kelak akan mereka lakukan. Bahkan, ada calon yang mengatakan akan kerja sama dengan polisi. Ini ngambang karena di mana pun di dunia ini tanpa diminta polisi akan menjadi pilar dalam menegakkan keamanan.

MENJAGA KEDAMAIAN

Suatu hari saya mengirim pesan singkat (SMS) ke Hendra Zoenardjy, Pemred harian ini. “Hendra, apakah kerusuhan di .... karena agama?” Pertanyaan ini saya sampaikan karena hanya ada dua provinsi di negeri ini yang tidak pernah ribut karena suku dan agama yaitu Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. “Tenang, Bang. Tidak ada kaitannya dengan SARA.” Balasan Hendra itu melegakan saya.

Seorang teman yang memakai pakaian yang menutup aurat tercegang ketika melihat ada masjid dan gereja berdekatan di Bunaken. Selama ini bayangannya tentang Sulut sangat negatif. Perempuan itu kembalil tercegang ketika melihat orang-orang yang keluar dari gerja bersalaman dengan orang-orang yang keluar dari masjid. Ketika itu ada acara lembaga saya di Manado yang bertepatan dengan hari Paskah. Jika terjadi kerusahan karena SARA tentulah pemandangan yang penuh dengan kedamaian itu lenyap. Beban berat ada di pundak para pemimpin, eksekutif, legislatif dan pemuka masyarakat serta tokoh agama di Sulut untuk menjaga kedamaian di Sulut.

Sama sekali tidak ada langkah konkret yang disampaikan keempat pasangan kandidat dalam menjaga kedamaian di Sulut. Salah satu pasangan menyebut ’campur tangan Tuhan’ dalam menjaga kedamaian di Sulut. Ini tidak relevan karena semua daerah dijaga Tuhan, tapi manusianya yang berbuat onar. Saya sangat khawatir mendengar jawaban keempat pasangan kandidat cagub/cawagub Sulut dalam menjaga kedaiaman di Sulut. Tanpa langkah yang konkret kedaiaman di Sulut bisa pecah biar pun ada kandidat yang mengatakan ’Sulut sulit disulut’ karena rongrongan terhadap kedamaian beragama di negeri ini sangat kuat. Kalau hanya ’mengandalkan’ Tuhan tentu tidak realistis.

HIV/AIDS

Ada isu yang luput dari debat itu yaitu upaya penanggulangan epidemi HIV. Di banyak negara di Afrika AIDS memorak-morandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara. Di Asia juga Thailand kelabakan menghadapi epdiemi HIV.

Indonesia lebih beruntung karena ada donor asing yang mendukung penanggulangan AIDS. Misalnya, sekarang obat antiretroviral (ARV) dan tes HIV gratis, serta dana penang-gulangan dari program Global Fund. Tapi, jika kelak tidak ada donor maka pembelian ARV, tes HIV dan biaya penang-gulangan akan didanai dari APBD.

Di Sumut seorang penderita HIV/AIDS menghabiskan dana Rp 3,6/bulan. Ini belum termasuk biaya perawatan dan obat-obatan jika dirawat di rumah sakit. Dengan 444 kasus Pemprov Sulut mengeluarkan dana Rp 19,2 milar/tahun. Bagaiman dengan Sulut? Dengan 619 kasus AIDS di Sulut saat ini diperlukan dana Rp 4,5 miliar/tahun hanya untuk membeli ARV. Biaya tes HIV, perawatan dan penanggulangan juga tidak sedikit yang akan menguras APBD. Kalau epidemi HIV tidak ditangani dengan langkah-langkah yang konkret maka kasus AIDS akan merebak di Bumi Nyiur Melambai ini sehingga menjadi beban berat di masa yang akan datang.

PARIWISATA

Selain itu debat pun sama sekali tidak menyinggung potenti pariwisata Sulut. Padahal, fakta menunjukkan sektor pariwisata tidak terpengaruh resesi dunia. Beberapa negara yang menjadi tujuan wisata di dunia meraup dolar di saat krisis ekonomi melanda dunia. Tingkat kunjungan wisatawan ke Sulut diperkirakan berkisar 1 juta/tahun. Ini sangat kecil jika dilihat dari potensi wisaya Sulut. Tentu saja hanya langkah yang konkret yang bisa meningkatkan devisa dari sektor pariwisata.

Salah satu objek wisata Sulut yang sudah mendunia adalah Bunaken. Ini pun bisa selamat berkat ’tangan dingin’ alm. Loky Herlambang yang kemudian memberikan Kalapataru (1985). Kepada penulis Loky menuturkan usahanya mengajak nelayan menjaga terumbu karanag dengan tindakan yang konkret yaitu menjadikan mereka berperan dalam sektor pariwisata sehingga penghasilan mereka tidak hilang biar pun tidak menjual karang.

Mata pencaharian utama di Sulut adalah sektor pertanian dan perikanan. Tapi, keempat kandidat sama sekali tidak membeberkan langkah konkret yang akan mereka jalankan jika kelak terpilih. Ini terkait pula dengan pertanyaan untuk mengenyaskan kemiskinan. Ada calon yang justru menempatkan dirinya sebagai ’sinterkelas’ dengan membagi-bagikan uang kepada rakyat miskin.

Cara itu jelas tidak akan berhasil karena sama sekali tidak membuka peluang untuk rakyat miskin meningkakan penghasilan. Padahal, pemberdayaan rakyat justru bisa dilakukan melalui sektor pariwisata, pertanian, dan perikanan. Sektor pertanian dan perikanan akan lebih berdayaguna jika dikaitkan dengan pengembangkan industri.

Bahan mentah yang dihasilkan sektor pertanian dan perikanan ditingkatkan nilainya melalui industri. Ini membuka lapangan kerja yang besar dan meningkatkan nilai jual dan daya saing di pasar lokal dan internasional. Sayang keempat kandidat tidak bisa memaparkan langkah konkret yang akan mereka jalankan kelak jika terpilih.

Jika kita berkaca dari debat itu, seperti juga debat kandidat di daerah lain, maka kita tidak bisa berharap banyak kepada mereka jika kelak terpilih karena tidak mempunyai konsep yang konkret. Ini menjadi catatan bagi KPU agar di masa yang akan datang debat kandidat menyampaikan konsep yang realistis dalam bentuk tulisan.(Penulis adalah koresponden khusus Harian Swara Kita di Jakarta)

URL: http://www.swarakita-manado.com/index.php/berita/berita-utama/15515-debat-kandidat-cagubcawagub-sulut.html
[Sumber: Harian ”Swara Kita” Manado, 2 Agustus 2010]