Selasa, 17 Agustus 2010

Menyibak Peran Perda AIDS Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Perda Kab. Luwu Timur No 7/2009 tanggal 10/08/2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-33 dari 38 perda penanggulangan AIDS di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur, kemudian diikuti oleh Pemprov. Sulsel yang menerbitkan Perda No. 4/2010 tanggal 13/4/2010. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi AIDS?

‘Birahi’ menerbitkan perda penanggulangan AIDS di Indonesia muncul setelah Thailand mengumbar keberhasilan mereka dalam menurunkan kasus baru infeksi HIV di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Di mulai di Kab. Nabire, Papua, tahun 2003 sampai sekarang sudah ada 37 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan perda AIDS.

Keberhasilan Thailand dilakukan melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Di beberapa perda ada pasal yang mewajibkan pemakaian kondom. Tapi, pasal ini tidak akan bisa diterapkan karena beberapa faktor, al. di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumajh bordir yang ‘resmi’ sehingga program itu tidak bisa diterapkan.

Karena tidak ada lokalisasi dan rumah bordir maka upaya untuk memantau program itu tidak bisa dilakukan. Thailand memantau program melalui survailans terhadap pekerja seks yang ada di lokalisasi dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, klamidia, dll.) maka ini bukti bahwa ada pekerja seks yang meladeni pelanggan yang tidak memakai kondom ketika sanggama. Germo atau pengelola rumah bordir diberikan sanksi secara bertingkat sampai pada penutupan usahanya.

Di Indonesia pemantauan tidak bisa dilakukan sehingga pasal yang mewajibkan pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko tidak efektif. Selain itu gelombang penolakan cari berbagai kalangan terhadap kondom sangat kuat sehingga sosialisasi kondom terhambat.

Pada pasal 4 ayat b perda ini misalnya disebutkan: Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui: peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan Sex berisiko. Tidak ada penjelasan yang rinci tentang hubungan seks berisiko. Yang mendukung pasal ini ada pasal 1 ayat 20 disebutkan: Perilaku pasangan sexsual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan sexsual tanpa menggunakan kondom. Tapi, tetap saja tidak jelas sasarannya.

Dalam epidemi HIV yang dimaksud dengan perilaku seks yang berisiko tertular dan menularkan HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti; (b) melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Persoalannya kemudian adalah banyak daerah yang menepuk dada karena di daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran. Bahkan, ada daerah yang membuat perda anti maksiat atau perda anti pelacuran yang mereka jadikan sebagai pembenaran bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran. Padahal, praktek pelacuran terjadi di mana saja dan kapan saja di setiap daerah. Praktek pelacuran yang tidak bisa dikontrol ini justru salah satu ladang persemaian epidemi HIV.

Salah satu persoalan besar dalam epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenal orang-orang yang sudah tertular melalui penampilan fisiknya. Soalnya, tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu inilah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari.

Dua pasal tadi tidak bisa dipakai sebagai alat untuk mencegah penularan dan penyebaran HIV di Kab. Luwu Timur karena tidak jelas objeknya.

Pada bab kewajiban di pasal 8 ayat 5 disebuktan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi orang lain dengan melakukan upaya pencegahan. Pada ayat 6: Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom. Sedangkan pada bab larangn di pasal 9 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenal secara kasat mata. Kita pun tidak bisa menduga-duga siapa saja yang sudah tertular HIV. Pasal ini mubazir karena tidak akurat. Jika ingin menanggulangi penyebaran HIV secara komprehensif maka harus ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Upaya penanggulangan HIV/AIDS dalam perda ini pada pasal 3 ayat a disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan penularan HIV. Orang yang sehat walafiat pun bisa tertular HIV kalau dia terpapar dengan cairan-cairan yang mengandung HIV, seperti air mani, cairan vagina, darah, dan air susu ibu (ASI). Lagu pual pasal ini mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi HIV-positif karena dianggap tidak hidup bersih dan sehat.

Penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini lagi-lagi tidak komprehensif. Pada pasal 9 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada gejala yang khas pada tubuhnya. Darah yang mengadung HIV bisa diseleksi di unit-unit transfusi darah PMI. Darah donor diskrining terhadap HIV dan penyakit lain. Yang bisa didonorkan bukan cairan mani, tapi sperma. Dalam sperma tidak ada HIV.

Pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis karena HIV/AIDS adalah fakta medis. Tapi, dalam perda ini yang ditawarkan lagi-lagi tidak faktual terkait langsung dengan epidemi HIV.

Pada pasal 11 disebutkan: Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga. Seperti apa, sih, perilaku hidup sehat yang terkait dengan penularan HIV? Begitu pula dengan ketahanan keluarga, seperti apa konkretnya ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV?

Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan tingkat ketahanan keluarga. Ya, lagi-lagi upaya penanggulangan epidemi HIV dengan perda yang tidak realistif. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar