Senin, 23 Agustus 2010

Menyibak Peran Perda AIDS Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Peraturan Daerah (Perda) Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) No 4/2010 tanggal 13/04/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-38 di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur (2009. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi penyebaran HIV di Sulsel?

Perda AIDS ini tidak mencantumkan kata kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Padahal, ’perlombaan’ membuat perda AIDS di Indonesia justru berkaca ke Thailand yang dikabarkan berhasil menurunkan kasus infeksi baru HIV di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.



Risiko tertular HIV melalui hubngan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau hubungan seks penetrasi dilakukan dengan orang yang sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi penis bersentuhan dengan vagina. Soalnya, dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan vagina sehingga ada risiko penularan pada saat terjadi gesekan penis dengan vagina.

Lalu, apa yang ditawarkan perda ini sebagai cara mencegah penularan HIV? Di pasal 1 ayat 9 disebutkan: ”Pencegahan adalah upaya-upaya agar penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan terkonsentrasi di mayarakat melalui berbagai intervensi perilaku pada penjaja seks dan pelanggan dengan penggunaan alat pencegah, .....” Apa yang dimaksud alat pencegah dalam perda ini? Di pasal 1 ayat 32 disebutkan: ”Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau pada perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.”

Ketika di era Orba banyak cerita terkait penjelasan KB, misalnya, penceramah mencontohkan penggunaan kondom dengan memakai jari tangan. Ada laki-laki yang memasang kondom di jarinya ketika sanggama dengan istrinya. Begitu pula dengan sarung karet. Bisa menimbulkan berbaga macam penafsiran karena sarung karet bukan kata yang denotatif (..........). Entah apa alasan perancang perda ini sehingga ’mengharamkan’ kata kondom.

Memang, selama ini ada anggapan yang keliru tentang kondom Banyak orang yang menganggap kondom mendorong orang untuk berzina. Ini salah besar karena banyak penelitian menunjukkan laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom dengan berbagai macam alasan. Sayang, penggagas dan perancang perda itu tidak melihat realitas ini sebagai fakta dan memilih anggapan sebagai kebenaran semu.

Sampai Desember 2009 dilaporkan 3.105 kasus HIV/AIDS, 2.330 HIV-positif dan 775 AIDS. Dengan data ini tentulah sudah saatnya Pemprov Sulesl melakukan upaya penanggulangan yang konkret tidak lagi sekedar retorika, seperti pembuatan perda. Di Tanah Papua ada delapan perda AIDS, apakah perda-perda itu bisa bekerja? Tidak. Mengapa? Ya, karena yang diatur dalam perda bukan cara-cara pencegahan yang akurat.

Banyak anggapan yang salah terhadap HIV/AIDS. Misalnya, ada kesan bahwa pekerja sekslah yang menyebarkan HIV. Ini keliru karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan seorang penduduk. Dalam kehidupa sehari-hari penduduk yang menularkan HIV kepada pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, perampok, dll. Kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks yang sudah ditulari penduduk. Inilah mata rantai penyebaran HIV.

Pencegahan yang Faktual

Dalam perda ini di pasal 8 ayat e disebutkan: mendorong dan melaksanakan tes dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi kunci.” Pada pasal 1 disebutkan: “Populasi kunci adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu wanita penjaja seks komersial, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalanan.”

Pembatasan populasi kunci di atas akan membuat banyak orang berkelit karena dia bukan pelanggan (tetap) pekerja seks. Ketika mengasuh rubrik “Kosultasi HIV/AIDS” di Harian “Pare Pos’ seorang pejabat di Sulsel bertanya apakah dia berisiko tertular HIV karena dia hanya melakukan hubungan seks dengan cewek cantik dan mulus yang bukan pekerja seks di hotel berbintang di Jakarta dan Surabaya. Tentu saja berisiko karena cewek tadi sering berganti pasangan seks. Bisa saja salah seorang laki-laki yang mengencaninya HIV-positif sheingga dia tertular HIV. Laki-laki yang kemudian mengencaninya, seperti pejabat tadi, tentu saja berisiko tertular HIV.

Ada persoalan besar pada epidemi HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari. Dalam kaitan inilah pasal yang diperlukan berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Perda ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (pasal 16 ayat 1). Cara yang ditawarkan perda adalah: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Cara-cara yang ditawarkan ini pun tidak faktual karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan hidup keluarga. Cara-cara ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang sudah tertular HIV.

Untuk menanggulangi epidemi HIV di Sulsel khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada cara lain selain menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual kepada masyarakat luas. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar