Senin, 13 September 2010

Menyikapi Kegagalan Perda AIDS Buleleng

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Kawasan Wajib Kondom Akan Diberlakukan.” Ini judul berita ANTARA (25/7-2010). Pernyataan ini muncul karena sudah terdeteksi 880 kasus sampai Juli 2010. Ini hanya kasus yang terdeteksi sedangkan kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan (kasus yang terdeteksi) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (kasus yang tidak terdeteksi)

Disebutkan: “Wakil Bupati Buleleng Made Arga Pinatih merekomendasikan imbauan WHO untuk menekan laju penyebaran virus HIV/AIDS yaitu dengan memberlakukan kawasan wajib kondom.” Program ‘wajib kondom 100 persen’ adalah upaya yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa.

Program itu bisa jalan karena dilakukan dengan cara-cara dan sanksi yang konkret. Program dijalankan dengan skala nasional di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Pemantauan dilakukan dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) tehadap pekerja seks komersial (PSK). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Pengelola atau germo tempat kerja PSK itu diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.

Nah, apakah di Buleleng ada germo yang mengantongi izin usaha lebal dari Pemkab? Kalau jawabannya TIDAK maka program kondom tidak akan bisa diterapkan.

Wakil Bupati mengatakan: "Sistem ini menjadi evaluasi sistem dari yang selama ini diterapkan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kabupaten Buleleng yang dinilai masih belum mencapai hasil maksimal untuk menekan laju pertumbuhan penderita HIV/AIDS." Sayang dalam berita tidak dijelaskan cara yang diterapkan KPAD Buleleng dalam menanggulangi AIDS dengan kondom.

Dalam Perda Kab. Buleleng No 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada pasal yang menyebutkan pencegahan dengan kondom. Yang ada hanya di bagian penjelasan pasal 7. Pasal 7 berbunyi: “Setiap oang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan pencegahan.” Dalam penjelasan pasal 7 disebutkan: “Upaya pencegahan antara lain dengan cara: tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia) atau dengan memakai kondom atau tidak melakukan hubungan seksual yang penetratif.”

Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Penularan HIV pun lebih dari 90 persen terjadi tanpa disadari. Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Dalam kaitan ini laki-laki menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Pertama, laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang sudah mengidap HIV menularkan HIV kepada PSK, istrinya atau pasangan seksnya yang lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kedua, PSK yang sudah tertular HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Semua terjadi tanpa disadari karena laki-laki yang sudah mengidap HIV tadi tidak menyadarinya.

Kapan, sih, seseorang berisiko tertular HIV? Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang berisiko tinggi tertular HIV jika pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sepreti PSK langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (karyawati bar, panti pijat, ’cewek anak sekolahan’, ’cewek kampus’, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai. Ini disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.“ Pasal ini normatif karena memakai kata-kata yang konotatif. Apa yang dimaksud dengan pencegahan? Sedangkan hubungan seksual berisiko dalam penjelasan disebutkan sebagai ’setiap hubungan seksual yang dilakukan antar orang dalam kelompok rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular.’

Penjelasan ini tidak akurat karena resiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada kelompok rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular. Penularan HIV bisa terjadi pada setiap orang yang melakukan perilaku berisiko kapan saja, dan di mana saja.

Wakil Bupati juga mengatakan: “ .... jika sistem lama sudah tidak maksimal, tentunya harus segera dicari sistem yang baru.“ Lagi-lagi dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaiman sistem lama dan bagaimana pula sistem baru.

Lebih lanjut Wakil Bupati menjelaskan: “ .... pihaknya akan membahas penerapan wajib kondom tersebut dengan pihak kementtrian agama yang ada di Buleleng terkait dengan pertimbangan moral dan hal lainnya.“ Ini membuktikan bahwa HIV/AIDS sebagai fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) ditanggulangi dengan moral. Ya, tidak nyambung.

Selain itu di mana dan bagaimana kelak penerapan wajib kondom kalau di Buleleng tidak ada germo yang memegang izin usaha pelacuran dan rumah bordir? Lagi-lagi pembicaraan di awang-awang sehingga hasilnya pun kelak bak ’menggantang asap’. Sia-sia.

Ada lagi pernyataan Wakil Bupati: "Namun, sistem yang lama bukan berarti tidak lagi dilakukan. Karena semuanya harus diadopsi dan disaring, mana yang paling baik untuk kondisi masyarakat Buleleng. Termasuk penekanan ceramah-ceramah keagamaan agar bisa membentengi para generasi muda kita." Ya, dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaiman sistem lama. Kalau mengacu ke Perda maka sama sekali tidak ada cara-cara pencegahan yang konkret.

Di bagian peran serta masyarakat pada pasal 20 disebutkan: ”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.” Ini juga normatif dan moralistis karena ayat a dan b justru tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Pasal ini akan mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Ini juga pernyataan Wakil Bupati: ”Masyarakat pada umumnya masih menganggap kondom sebagai sebuah hal yang tabu dan malu untuk diucapkan apalagi untuk dipraktekan penggunaannya.” Apakah betul masyarakat atau segelintir orang yang memakai moralitas dirinya sendiri yang menganggap kondom sebagai hal yang tabu? Jangan mengatasnamakan masyarakat untuk pembenaran sikap pribadi atau kelompok.

Menurut Wakil Bupati pandangan itu terjadi: “ .... dibentuk karena kuatnya adat timur selaku orang Indonesia dan Bali pada khususnya.” Ini slogan kosong yang menjadi bumerang bagi Bangsa ini. Apa yang dimaksud dengan budaya timur? Apakah Papua Niugini, Malaysia, Filipina, Australia, dll. yang berada di wilayah timur tidak mempunyak budaya (timur)? Mengapa hanya kita yang menganggap diri sebagai bangsa yang mempunyai budaya?

Budaya adalah pikiran dan akal budi. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi manusia), seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Apakah hanya (bangsa) Indonesia yang memiliki kebudayaan di muka Bumi ini?

Lagi-lagi kita berlindung di balik slogan yang tidak membumi hanya untuk menutupi realitas sosial terkait perilaku seks. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar