Minggu, 24 Januari 2010

Tanya Jawab tentang HIV/AIDS, Narkoba dan Seksualitas via SMS

Sampai 30 September 2009 Depkes sudah melaporkan 18.442 kasus AIDS di Indonesia. Angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Angka yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ril di masyarakat.

Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV di Indonesia adalah pemahaman terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang tidak akurat. Selama ini informasi tentang HIV/AIDS dibumbui dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, masyarakat tidak memahami fakta (medis) tentang HIV/AIDS yang akurat karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Pemahaman yang tidak akurat inilah yang mendekatkan banyak orang pada perilaku berisiko tinggi tertular HIV, seperti melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. Atau memakai narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian.

Pemahaman yang akurat terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS akan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap risiko tertular HIV. Pada gilirannya masyarakat akan melindungi dirinya secara aktif agar tidak tertular HIV.

Dalam kaitan itulah kami, Syaiful W. Harahap dan Baby Jim Aditya, meluncurkan program sosialisasi informasi “HIV/AIDS, Narkoba dan Seksualitas” serta “Tanya Jawab tentang HIV/AIDS, Narkoba dan Seksualitas” melalui fasilitas SMS.

Untuk bergabung atau mendaftar silakan ketik REG AIDS kirim ke 9910. Yang sudah mendaftar bisa mengajukan pertanyaan dengan cara mengetikkan: AIDS kirim ke 9910.

Setiap pertanyaan tentang HIV/AIDS, Narkoba dan Seksualitas akan dijawab berdasarkan fakta medis. Yang sudah bergabung secara rutin akan menerima informasi tentang HIV/AIDS, Narkoba dan Seksualitas.

Jakarta, 23 Januari 2010
Syaiful W. Harahap dan Baby Jim Aditya

Senin, 11 Januari 2010

Tanggapan terhadap Berita terkait Pernyataan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Media Massa Nasional

Oleh Syaiful W. Harahap*


Sehari menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2009 berita di media massa nasional diramaikan dengan kegiatan HTI di berbagai kota. Kegiatan dilakukan dengan berbagai cara dengan mengusung kecaman terhadap anjuran memakai kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Pernyataan yang dilontarkan HTI tidak akurat sehingga menjadi kontra produktif terhadap upaya penanggulangan HIV secara nasional yang dilakukan oleh pemerintah, LSM dan masyarakat. Sudah saatnya kita memakai nalar dengan mengedepankan fakta medis dalam menanggulangi epidemi HIV di Indonesia khususnya dan dunia umumnya.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, juru bicara Muslimah HTI, Febrianti Abassuni, mengatakan: “Program penuntasan penyakit ini tidak menyentuh akar permasalahan. Kondomisasi malah memberikan ruang untuk seks bebas yang berbuntut meningkatnya penderita AIDS.” (Harian ”FAJAR”, Makassar, 30/11-2009). Ada beberapa catatan pada pernyataan ini.

Pertama, tidak ada kegiatan kondomisasi (upaya untuk memaksa pemakaian kondom) dalam program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Indonesia. Kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, adalah anjuran untuk memakai kondom (sosialisasi).

Kedua, ’seks bebas’ adalah istilah yang ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris. Jika ’seks bebas’ dimaksudkan sebagai hubungan seks di luar nikah, seks pranikah, zina, melacur, selingkuh, ’jajan’, ’kumpul kebo’, dan homoseksual maka lagi-lagi pengaitan ’seks bebas’ dengan ’meningkatnya penderita AIDS’ tidak akurat. Soalnya, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Ketiga, Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah dan di luar nikah yaitu seks pranikah, ’seks bebas’, zina, melacur, selingkuh, ’jajan’, ’kumpul kebo’, dan homoseksual (sifat hubungan seks) bisa terjadi jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi ketika hubungan seks)

Keempat, di bagian lain berita di FAJAR Febrianti mengatakan: "Dan dominan yang menjadi perderita adalah kalangan generasi muda yang berumur antara 20-39 tahun. Kondisi ini sangat memprihatinkan.” Ada fakta yang luput dari pernyataan ini. Kasus HIV dan AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan generasi muda adalah pada remaja penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian. Mereka diwajibkan tes HIV ketika hendak masuk ke pusat rehabilitasi sehingga banyak generai muda yang menjalani tes HIV wajib. Sebaliknya, kalangan laki-laki dewasa penyalahguna narkoba dan pelaku seks berisiko (melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan) tidak ada mekanisme yang mewajibkan mereka menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS.

***
Dari Padang, Sumatera Barat, Harian ”Singgalang” (1/12-2009) mengutip press release juru bicara MHTI, Febrianti Abassuni,: “Seharusnya tidak ada perbedaan antara ODHA dengan orang sehat. Sebab itu bisa melanggar hak orang sehat untuk menghindari AIDS. Sebaiknya biarkan saja orang sehat menghindar dari kegiatan yang berpotensi menularkan AIDS dengan ODHA.”
Tidak jelas apa yang dimaksud HTI tentang ’perbedaan antara ODHA dengan orang sehat’. Yang terjadi selama ini justru anjuran agar tidak ada perbedaan antara Odha dengan ’orang sehat’ karena perbedaan merupakan tindaikan diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). ’Orang sehat’ yang dimaksud HTI tentulah orang yang (belum atau tidak) terdeteksi sudah tertular HIV (HIV-positif).
Padahal, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Orang-orang yang sudah tertualr HIV tapi tidak terdeteksi, yang disebut sebagai ’orang sehat’, justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah (ke istri) atau di luar nikah (ke pasangan selingkuh atau pekerja seks komersial/PSK).
Tanpa intervensi yang konkret ’orang-orang sehat’ tidak akan bisa melindungi dirinya dari HIV karena orang-orang yang berpotensi menularkan HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi terus-menerus menyebarkan HIV tanpa mereka sadari. Salah satu bentuk intervensi adalah anjuran agar memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.
Di bagian lain disebutkan pula: “Jika tidak ada kebijakan pemerintah yang lebih menyentuh akar persoalan, maka bencana lost generation akan menerpa Indonesia akibat penularan HIV yang makin menunjukan grafik meningkat,” sebut Febrianti. Mengapa harus menunggu pemerintah? Mencegah penularan HIV dapat dilakukan secara aktif dengan cara-cara yang konkret oleh setiap orang. Mengapa HTI tidak melakukan cara-cara yang realistis yaitu menganjurkan agar setiap orang tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV?
***
Di Bandar Lampung, Lampung, massa HTI juga melakukan aksi damai seperti diberitakan Harian ”Lampung Post” (30/11-2009). Diberitakan: Para muslimah Hizbut Tahrir tersebut mengingatkan bahwa masalah HIV/AIDS bermula dari keengganan manusia untuk tunduk pada aturan Allah, Sang Pencipta. Kemudian, menghentikan langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS yang bertentangan dengan syariah. "Misal, kondomisasi 100% yang nyata-nyata tidak melarang dilakukannya perzinahan. Seks bebas merupakan pintu masuk penyakit HIV/AIDS," kata Febri Abassani, juru bicara aksi.

Pengaitan HIV/AIDS dengan pelanggaran terhadap perintah Tuhan terjadi karena kasus pertama AIDS terdeteksi di kalangan laki-laki gay. Ketika HIV sudah ada di masyarakat tentu tidak ada lagi manfaatnya mengait-ngaitkannya dengan norma, moral dan agama karena yang diperlukan adalah upaya konkret untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan memakai kondom. Ini fakta.

Indonesia jelas melarang zina karena diatur dalam KUHP. Praktek perzinaan terjadi dalam berbagai bentuk di berbagai tempat dan setiap saat. Tidak mungkin negara mengawasi semua penduduk terkait dengan perilaku seks. Untuk itulah dianjurkan bagi yang melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di dalam dan di luar nikah gar memakai kondom.
***
Di Surabaya seperti diberitakan ANTARA News (1/12-2009) massa HTI juga menggelar aksi damai. Disebutkan: ..... massa HTI menolak dengan tegas penggunaan kondom sebagai salah satu cara penanggulangan HIV/AIDS. Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Febrianti Abassuni, di Surabaya, mengatakan, penggunaan kondom terbukti tidak bisa menghalangi virus HIV/AIDS sehingga sangat aneh jika pemakaian kondom dijadikan cara untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Secara empiris mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan memakai kondom. Ini fakta. Efektivitas kondom tergantung kepada beberapa faktor, seperti kualitas kondom, masa berlaku, dan cara pemakaiannya. Kondom dianjurkan dipakai oleh laki-laki yang melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di dalam dan di luar nikah.

"Jika ditelaah, terbukti bahwa kondomisasi atau penggunaan kondom merupakan upaya agar masyarakat bisa melakukan seks bebas tanpa khawatir sehingga tidak terjadi kehamilan atau terkena penyakit menular," katanya. Oleh karena itu, kata Febrianti, sangat aneh jika pemakaian kondom dijadikan sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Kehamilan terjadi bukan karena dilkukan di luar nikah atau ‘seks bebas’ tapi karena laki-laki tidak memakai kondom atau perempuan tidak memakai alat kontrasepsi. Sedangkan penularan penyakit melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, dll. termasuk HIV terjadi bukan karena sifat hubungan seks (‘seks bebas’), tapi kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dunya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).

Febrianti Abassuni juga mengatakan: "Program UNAIDS membagikan jarum suntik steril dan pengurangan zat berbahaya seperti narkoba dengan menggunakan metadon, justru merupakan salah satu cara untuk melanggengkan penggunaan narkoba. Padahal narkoba merupakan salah satu penyebab utama penularan HIV/AIDS.”

Pengalihan narkoba dengan metadon adalah untuk menghindari penyebaran HIV melalui jarum suntik yang dipakai pengguna narkoba secara bersama-sama dengan bergantian. Yang menjadi penyebar HIV pada pengguna narkoba bukan narkobanya tapi jarum suntik yang mereka pakai untuk menyuntikkan narkoba. Biasanya pengguna narkoba menyuntik ramai-ramai. Jarum suntik mereka pakai bergantian. Maka, kalau ada di antara mereka yang HIV-positif yang lain pun berisiko tertular HIV.

Disebutkan dalam berita: ”Bentuk penanggulangan HIV/AIDS ketiga yang ditolak tegas oleh kelompok HTI adalah program hidup sehat bersama ODHA. Ia mengatakan bahwa program hidup sehat bersama ODHA merupakan program yang menghantarkan pada terjangkitnya HIV/AIDS yaitu pezinah (pelaku seks bebas), pelacur, homo, lesbian.” Selanjutkanya disebutkan: ODHA, menurutnya, harus dirawat di sebuah rumah sakit khusus HIV/AIDS dan terpisah dari yang lain.

Anjuran HTI ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Ini justru dilarang oleh agama.

Apakah anggota HTI juga akan mengasingkan anggota keluarga, famili, sanak sauara, atau sahabat jika ada yang tertular HIV?

Aksi damai HTI di Surabaya juga diberitakan Republika Online (1/12-2009). Dalam berita disebutkan: “Kondomisasi, harm reduction dan program hidup sehat bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah penanggulangan yang menyesatkan dan melegalkan perzinaan. Bukan untuk menyelamatkan generasi, tapi berefek pada menghilangkan generasi,” kata Ketua DPD I Jawa Timur MHTI Nurul Izzati.

Tidak ada kondomisasi dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom sebagai alat mencegah penularan HIV pada hubungan seks di dalam nikah dan di luar nikah yang berisiko tertular HIV. Tidak ada satu pun negera yang melegalkan zina yang ada adalah mengatur (regulasi).

Harm reduction pada pengguna narkoba dengan jarum suntik dilakukan dengan cara memberikan zat pengganti dalam bentuk narkoba sintetis agar mereka tidak menyuntik lagi karena metadon merupakan narkoba yang diminum (oral). Dengan memakai narkoba oral mereka tidak lagi menyuntik sehingga mata rantai penyebaran HIV diputus.

Hidup bersama Odha merupakan kehidupan keseharian karena tidak ada risiko penularan HIV melalui pergaulan sosial sehari-hari, seperti bersalaman, berpelukan, minum dan makan bersama, dll. Justru penyakit menular lain, seperti panu, kurap, flu, TB, dan hepatitis B bisa menular melalui pergaulan sosial sehari-hari.

***

Di Balikpapan, Kalimantan Timur, juga ada kegiatan HTI yang diberitakan Harian ”Kaltim Post” (30/11-2009): ”Hizbut Tahrir Balikpapan meminta agar program penggunaan kondom untuk mencegah peredaran HIV/AIDS dihentikan. Pasalnya kampanye seperti itu saja dengan melegalkan perzinahan. Toh, jumlah pengidap HIV/AIDS bukannya berkurang, malah terus bertambah.”

Cara yang akurat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah dan di luar nikah adalah laki-laki atau perempuan memakai kondom. Ini fakta medis. Penyebaran HIV antar penduduk bisa terjadi melalui hubungan seks di luar nikah, tapi bisa juga di dalam nikah yaitu melalui kegiatan kawin-cerai, khususnya antara laki-laki dan perempuan yang sudah pernah mempunyai pasangan seks sebelumnya.

Tidak ada kaitan langsung antara kampanye penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah dengan ’melegalkan perzinahan’. Tanpa kondom pun tetap saja terajdi perzinaan. Bahkan, ada fakta empiris yang luput dari perhatian yaitu lelaki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Inilah yang menjadi persoalan besar karena kalau ada lelaki ’hidung belang’ yang HIV-positif maka dia akan menulari PSK. Selanjutnya lelaki ’hidung belang’ yang berkencan dengan PSK yang sudah tertular HIV berisiko pula tertular HIV. Mereka-mereka inilah, lelaki ’hidung belang’ tadi, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Jumlah kasus HIV dan AIDS dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus yang sudah ada ditambah dengan kasus yang baru. Begitu seterusnya sehingga angka kumulatif kasus HIV dan AIDS tidak akan pernah turun.

”Selamatkan Remaja Dari Bahaya HIV/AIDS dan Seks Bebas.” Ini seruan massa HTI ketika long march di Balikpapan. Ada pula spanduk “tutup industri seks dan narkoba, sama dengan cegah HIV/AIDS”, “PSK pemadat, homosek, sama dengan pengidap HIV/AIDS.” Ini slogan kosong karena tidak ada cara-cara konkret yang disampaikan. Satu hal yang luput dari perhatian adalah bahwa yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pedagang, pelajar, mahasiswa, perampok, dll. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.


Ada pula pernyataan: .... cara yang paling tepat memberantas AIDS adalah hentikan seks bebas dan penggunaan narkoba. Khusus penggunaan kondom juga sebaiknya dihentikan karena bentuk tersebut nyata-nyata tidak melarang melakukan perzinahan. Ketua DPC Hizbut Tahrir Balikpapan, Wigati Lestari, mengatakan: “Selanjutnya screening massal, yaitu di mana pengidap agar tidak dibolehkan masuk ke dalam lingkungan masyarakat.” Dan tetapkan syariat Islam karena salah satu hadist nabi mengatakan jika 2 orang bukan muhrim berduaan di tempat sepi maka orang ke 3 adalah setan. Maka akan berujung pada kemaksiatan.

Lagi-lagi pernyataan yang tidak akurat. Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas dan penggunaan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dunya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sedangkan risiko penularan HIV pada penyalahguna narkoba bisa terjadi kalau narkoba dipakai dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian.

Di Indonesia maksiat hanya dikaitkan dengan aurat bukan terhadap perbuatan yang tercela dan buruk yang akurat terjadi di tataran realitas sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan maksiat adalah perbuatan yg melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb). Penularan HIV melalui maksiat (baca: zina, pelacuran, ’seks menyimpang’, ’jajan’, selingkuh, ’seks bebas’, sodomi, homoseksual, dll.) bukan terjadi karena kemaksiatan atau perbuatan maksiat tapi karena salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom.

Sebaliknya, kalau ada sepasang manusia yang HIV-negatif yang tidak terikat pernikahan melakukan maksiat (baca: zina, pelacuran, ’seks menyimpang’, ’jajan’, selingkuh, ’seks bebas’, sodomi, homoseksual, dll.) maka tidak ada risiko penularan HIV. Maka, kalau ada dua orang yang tidak muhrim biar pun ditemani setan melakukan maksiat tidak ada risiko penularan HIV. Ini fakta.

Pernyataan: “Selanjutnya screening massal, yaitu di mana pengidap agar tidak dibolehkan masuk ke dalam lingkungan masyarakat” menyuburkan stigmatisasi dan diskriminasi. Penularan HIV bisa terjadi setiap saat ketika seseorang melakukan perilaku berisiko sehingga kalau mau melakukan screening massal harus dilakukan setiap saat. Ini ’kan pekerjaan yang sia-sia. Menggantang asap. Lagi pula tidak semua orang harus menjalani tes HIV karena ada di antara penduduk yang tidak berisiko tertular HIV. Maka, yang diperlukan adalah penyuluhan yang gencar dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang akurat dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Antara lain meningkatkan kesadaran masyarakat agar orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko mau menjalani tes HIV. Kian banyak penduduk yang terdeteksi HIV maka makin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

***
Di Bandung, Jawa Barat, ada pula unjuk rasa massa HTI seperti diberitakan Detik.Com, (29/11-2009). Dalam berita ada pernyataan: Selain itu menurutnya program kondomisasi yang dilakukan pemerintah bertentangan dengan syariah islam karena justru seakan melegalkan seks bebas. Siti Nafidah, Ketua MHTI Jabar, mengatakan: "Kondomisasi 100 persen nyata-nyata tidak melarang dilakukannya perzinahan selama menggunakan kondom."

Tidak ada program atau proyek kondomisasi di Indonesia. Yang digencarkan adalah sosialisasi pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko di dalam atau di luar nikah. Di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sudah ada pasal yang menjerat perzinahan sehingga pernyataan Ketua MHTI Jabar itu tidak akurat. Biar pun industri hiburan malam, termasuk pelacuran, dihapuskan praktek-prektek perzinahan dalam bentuk pelacuran terselubung, ‘kumpul kebo’, perselingkuhan, dll. tetap saja terjadi di mana sana dan kapan saja. Lagi pula tidak mungkin mengawasi orang per orang terkait dengan perilaku seksnya.

Liputan 6 SCTV (29/11-2009) juga melaporkan kegiatan HTI di Bandung. Disebutkan massa HTI menyerukan agar warga Kota Bandung mewaspadai bahaya Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Mereka juga mengingatkan kaum muda Indonesia untuk menghindari pergaulan bebas, termasuk narkoba yang selama ini dinilai sebagai peyebab merebaknya HIV/AIDS.

Dalam berita tidak dijelaskan arti pergaulan bebas. Tapi, kalau pergaulan bebas dikaitkan dengan hubungan seks di luar nikah, maka lagi-lagi itu hanya mitos karena tidak ada kaitan langsung antara ‘pergaulan bebas’ dengan penularan HIV. Kalau sepasang anak manusia, remaja atau dewasa, dengan status HIV-negatif melakukan pergaulan bebas maka tidak ada risiko penularan HIV.

Oke Zone (29/11-2009) juga melaporkan aksi dama HTI di Bandung. Disebutkan: “....muslimah HTI Jabar menuntut pemerintah menghentikan langkah-langkah penanggulangan AIDS yang bertentangan dengan syariah Islam. Misalnya, kondomisasi. Selain itu, mereka juga menuntut agar orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang tidak terbukti melakukan tindakan keji menurut syariah, tetap mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.”

Dalam program penanggulangan HIV di Indonesia tidak ada kondomisasi yang dilakukan adalah sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks yang berisiko di dalam dan di luar nikah.

Membedakan penanganan pasien berdasarkan penyakitnya merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Ini tentu saja dilarang agama.
***

Di Sukabumi, Jawa Barat, massa HTI juga menggelar aksi teatrikal seperti dibeitakan Liputan 6 SCTV (29/11-2009). Disebutkan aksi teatrikal yang menggabarkan bahaya penyakit AIDS. Massa meminta, agar Pemerintah Indonesia dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengubah penanganan pencegahan HIV/AIDS yang sekarang ini dianggap tidak tepat.

Tidak dijelaskan penanganan yang mana yang tidak tepat. Penanggulangan yang diterapkan dalam mencegah penularan HIV di seluruh dunia didasarkan pada fakta medis sehingga akurat dan realistis. Celakanya, banyak orang di banyak negara yang melihat epidemi HIV/AIDS dari aspek norma, moral dan agama sehingga tidk melihat HIV/AIDS sebagai fakta medis.

***

Di Cirebon, Jawa Barat, ratusan muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Cirebon, Jabar, berunjuk rasa, seperti diberitakan Republika Online (30/11-2009). Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Cirebon, Fatimah, mengatakan: "Islam adalah perisai paling ampuh untuk menangkal penyebaran penyakit mematikan seperti HIV/AIDS. Dengan menerapkan azas aturan Sang Pencipta yang melarang perjinahan, kemaksiatan dan penggunaan khamr (zat yang memabukkan) bisa dipastikan penyebaran penyakit tersebut bisa segera diatasi," katanya.

Yang menyebabkan kematian pada orang-orang yang sudah tertular HIV bukan HIV/AIDS tapi penyakit lain, disebut infeksi oportunistik seperti diare, TB, dll. HIV/AIDS tidak mematikan. Kesan HIV/AIDS mematikan merupakan pandangan orang-orang yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Tidak ada kaitan langsung antara perjinahan, kemaksiatan dan penggunaan khamr dengan penularan HIV. Di negara-negara yang menerapkan agama Islam sebagai UUD pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Ini bisa terjadi karena perilaku penduduknya. Penduduk dari negara atau daerah yang berasaskan agama tertular HIV di luar negara atau daerahnya. Ketika mereka kembali ke negara atau daerahnya maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Dikatakan Fatima pula: ” .... metode lain yang dipastikan mampu memberantas penyebaran penyakit HIV/AIDS adalah dengan menutup semua jenis industri seks bebas dan narkoba ....” Di Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD sehingga tidak ada ’’ industri seks bebas’ dan narkoba tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS di negera itu.

***


Di Semarang, Jawa Tengah, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan keprihatinannya terhadap laju penularan HIV di dunia, termasuk Indonesia yang terus meningkat, melalui melakukan aksi damai, seperti diberitakan Harian ”Suara Merdeka” (30/11-2009).

Dalam berita disebutkan: Sebagai bentuk kepedulian, Muslimah HTI mengingatkan agar semua pihak menyadari bahwa masalah HIV/AIDS bermula dari keengganan manusia tunduk pada aturan Tuhan YME. Menghentikan penanggulangan yang bertentangan dengan syariah seperti kondomisasi 100 persen yang sama dengan tidak melarang perzinahan.

Pernyataan di atas muncul karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Pengaitan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama terjadi karena kasus pertama terdeteksi di kalangan laki-laki gay di AS. Padahal, setelah tes HIV diakui WHO ada contoh darah bukan dari kalangan gay dari tahun 1959 yang kemudian dites dan terbukti terkontaminasi HIV. Penularan virus hepatitis B juga persis sama dengan penularan HIV, tapi orang tidak pernah malu mengatakan bahwa dirinya mengidap hepatitis B.

Tidak ada kondomisasi 100 persen yang ada adalah sosialisasi pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko tertular dan menularkan HIV. Program ’wajib kondom 100 persen’ diterapkan pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Juru bicara Muslimah HTI, Febrianti Abassuni, mengatakan:”Selain itu, menyadari bahwa perlakukan ”istimewa” terhadap orang dengan HIV/AIDS dapat melanggar hak orang sehat untuk terhindar dari penularan HIV, baik melalui transfusi darah, pisau cukur, jarum suntik, maupun sarana lainnya yang memungkinkan tertularnya HIV melalui darah,”

Tidak ada perlakuan istimewa terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Fakta empiris menunjukkan justru para Odha berikrar memutus rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Celakanya, pada saat yang sama banyak orang di masyarakat yang menjadi mata rantai penyebaran HIV karena tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

***

Di Palembang, Sumatera Selatan, HTI menggelar talk show seperti diberitakan Kompas.Com (29/11-2009). Kampanye penggunaan kondom (kondomisasi) yang digalakkan untuk mencegah HIV/AIDS dituding Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai pintu masuk perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Tidak ada kondomisasi dalam kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom. Tidak ada kaitan langsung antara kondom dengan perlaku ’seks bebas’ baik di kalangan remaja maupun dewasa. Tanpa kondom pun tetap saja ada orang yang melakukan ’seks bebas’. Bahkan, lekali ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Ini fakta tapi luput dari perhatian karena kondom dibicarakan dari aspek norma, moral dan agama.

Renny Kurniawati, Humas Muslimah HTI di Palembang, mengatakan: ? .... akibat upaya penanggulangan HIV/AIDS yang tidak mengacu pada akar permasalahan, menjadikan pemberantasan penyebaran virus yang antara lain timbul akibat hubungan seks di luar nikah itu tidak tuntas.” Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seks di luar nikah. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam nikah dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun mereka lakukan di luar nikah.

***
Di Yogyakarta massa HTI juga melakukan long march seperti diberitakan Harian ”Kedaulatan Rakyat” (29/11-2009)

Ketua DPD I MHTI DIY, Agustina P., dikutip wartawan mengatakan: ”Untuk masalah HIV/AIDS, ia menjelaskan langkah penanggulangan seperti kondomisasi dinilainya bertentangan dengan syariah Islam, karena akan mendukung terjadinya perzinahan. Hal ini menurutnya harus dihentikan, karena seks bebas merupakan pintu masuk HIV/AIDS.”

Sosialisasi kondom adalah menyampaikan fakta empiris terkait dengan cara yang efektif dan dan realistis untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah kepada masyarakat. Tidak ada satu pun negara di muka bumi ini yang melegalkan perzinaan dalam berbagai bentuk, termasuk (lokalisasi) pelacuran. Yang ada adalah regulasi.

” .... karena seks bebas merupakan pintu masuk HIV/AIDS,” Ini ngawur dan mitos karena tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dan penularan HIV. Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka lagi-lagi tidak ada kaitan langsung antara hubungan seks di luar nikah, dalam berbagai bentuk, dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Ketua DPD I MHTI DIY, Agustina P., juga mengatakan:"Seharusnya penyelesaiannya adalah dengan menerapkan sistem Khilafah, dimana Syariah Islam diberlakukan dengan seutuhnya. Dengan demikian yang diberlakukan adalah sistem ekonomi Islam, sehingga tidak akan ada bandar barang haram tersebut. Selain itu, ada kontrol ketat terhadap kemaksiatan,"

Kalau yang disebut sebagai ’barang haram’ adalah narkoba maka lagi-lagi pernyataan ini ngawur karena tidak ada satu pun zat yang haram di dalam narkoba. Dalam dunia medis narkoba diperlukan terutama untuk obat anestesi (dahulu dikenal sebagai obat bius) pada tindakan medis, seperti bedah. Tanpa narkoba tidak mungkin dokter melakukan pembedahan terhadap manusia.

Di Arab Saudi Alquran dijadikan sebagai UUD. Di sana tidak ada industri hiburan malam dan pelacuran. Tapi, sudah lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Di beberapa negara Islam lainnya kasus HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba tetap terjadi.

Agustina menambahkan, perlakuan istimewa terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat melanggar hak-hak orang sehat untuk terhindar dari penularan HIV/AIDS. Untuk itu, menurutnya para ODHA harus ditempatkan/dirawat di tempat khusus, tidak disatukan dengan layanan kesehatan umum. "Perlindungan terhadap ODHA akan mengancam orang yang sehat. oleh karena itu mereka harus dirawat secara terpisah dengan orang sehat, karena tetap berpotensi menularkan HIV/AIDS."

Pernyataan di atas menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakukan berbeda) terhadap Odha. Dari sudut norma, moral dan agama stigma dan diskriminasi dilarang. Dengan mengetahui status HIV seorang pasien maka tenaga kesehatan akan bisa menerapkan kewaspadaan umum sehingga mereka tidak tertular. Sebaliknya, pasien-pasien yang berobat dan dirawat tapi tidak diketahui status HIV-nya justru jauh lebih berbahaya karena tenaga kesehatan tidak hati-hati.

***
Di Medan, Sumatera Utara, anggota HTI juga menggelar aksi damai seperti diberitakan Metro TV News (29.11-2009). Disebutkan: ” Mereka hanya berorasi dan menyebarkan selebaran. Intinya, mereka mengajak pengguna jalan mewaspadai penularan AIDS. Apalagi hingga kini program penanggulangan HIV tidak efektif karena berbau kepentingan kapitalis.”

Pernyataan ini menyesatkan karena fakta empiris menunjukkan justru lebih dari 70% dana penggulangan HIV/AIDS di Indonesia didanai oleh kapitalis. Tanpa dukungan dana itu Indonesia sudah morat-marit menghadapi epidemi HIV. Saat ini obat antiretroviral (ARV) gratis karena ada dana dari kapitalis.

***

Di Solo, Jawa Tengah, muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga melakukan unjuk rasa keprihatinan terhadap lanjut penularan HIV/AIDS, seperti diberitakan Harian ”Solo Pos” (29/11-2009).

Disebutkan: ” Seks bebas dan Narkoba dinilai sebagai racun dunia pemicu penyakit Aids. Apalagi jumlah kasus Aids di dunia dan di Tanah Air belakangan semakin bertambah dan kondisinya begitu memrihatinkan.”

Tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dan narkoba dengan penularan HIV. Kalau ’seks bebas’ dimaksudkan sebagai hubungan seks di luar nikah dalam berbagai bentuk maka lagi-lagi tidak ada kaitan langsung antara hubungan seks di luar nikah dan penualran HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Kasus HIV/AIDS dilaporkan dalam bentuk kumulatif. Kasus yang sudah dilaporkan akan ditambah dengan kasus baru sehingga angkanya akan terus naik. Angka kumulatif kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun.

Lagi pula kian banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

Aksi HTI di Solo juga diberitakan Tempo Interaktif (29/11-2009). Disebutkan: “ .... meminta pemerintah menghentikan pemakaian kondom untuk mencegah penularan penyakit HIV/AIDS. Sebab, menurut mereka, hal itu sama saja dengan mengakui seks bebas. "Seks bebas adalah pintu masuk penyakit HIV/AIDS sehingga seharusnya seks bebas yang dilarang," tandas Koordinator Aksi Endah Nugraheni.

Kalau yang disebut ‘seks bebas’ adalah hubungan seks di luar nikah (zina) dalam berbagai bentuk, seperti seks pranikah, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, homoseksual, dll. maka pernyataan yang menyebutkan "Seks bebas adalah pintu masuk penyakit HIV/AIDS ....” adalah ngawur. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dan penularan HIV.

Tidak ada satu pun negara yang melegalkan ’seks bebas’. Yang dilakukan di beberapa negara adalah regulasi ’seks bebas’. Dalam KUHP ada aturan yang melarang zina. Praktek-praktek ’seks bebas’ terjadi setiap saat di mana sana di negeri ini dalam berbagai bentuk mulai dari pelacuran, perselingkuhan, ’kumpul kebo’, dll. Orang-orang yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama hanya melihat ’seks bebas’ dalam bentuk pelacuran tapi menutup mata terhadap praktek-praktek ’seks bebas’ yang justru melibatkan ’orang-orang yang bermoral’.

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”SURYA” Surabaya: Mengabaikan Laki-laki sebagai Penular HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 9 Januari 2009. Berita “Ratusan Waria di Cimahi Mengidap HIV/AIDS” di Harian Harian “Surya”, Surabaya (8 Januari 2010) lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, dalam berita disebutkan “110 waria di Kota Cimahi, Jawa Barat (Jabar), terdeteksi mengidap penyakit HIV/AIDS, dua di antaranya meninggal dunia selama tahun 2009.” Tidak ada penjelasan tentang cara yang dilakukan oleh KPA Kota Cimahi dalam mendeteksi 110 waria tersebut. Jika yang dilakukan adalah survailans tes HIV (tes HIV untuk memperoleh angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu pada kurun waktu tertentu) maka angka itu tidak akurat. Standar baku tes HIV adalah setiap tes HIV dengan hasil positif contoh darah yang sama harus dites (konfirmasi) dengan tes lain. Apakah KPA Kota Cimahi melakukan hal ini terhadap 110 waria? Tidak jelas. Ini kelemahan narasumber, dalam hal ini KPA Kota Cimahi, dan wartawan.

Kedua, disebutkan pula “Pengelola Program Sekretariat Tetap Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cimahi, Afizah, mengatakan, jumlah waria yang tercatat mengidap HIV/AIDS sama jumlahnya dengan jumlah komunitas waria yang ada di Cimahi.” Ini pun tidak ada data yang menguatkan pernyataan ini karena tidak ada penjelasan tentang tes yang dilakukan: jumlah waria yang dites, kurun waktu tes, sifat tes (survailans atau diagnosis), jenis (ELISA, rapid test, dll.), dan tes konfirmasi.

Ketiga, ada lagi pernyataan: “Angka tersebut, bisa jadi lebih banyak karena tidak semua waria tercatat memeriksaan diri kepada kami,” ujar Afizah. Ini tidak akurat karena ada waria yang menerapkan seks aman yaitu hanya meladeni laki-laki yang mau memakai kondom. Mereka ini berisiko rendah maka kemungkinan tertular HIV pun kecil.

Keempat, ada pula penjelasan: “ .... besarnya jumlah waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Cimahi maka akan berpengaruh terhadap tingkat pengidap HIV/AIDS di Jawa Barat.” Tidak ada penjelasan bagaiaman kaitan langsung antara jumlah waria yang terdeteksi HIV-positif di Cimahi dengan tingkat pengidap HIV/AIDS di Jabar. Yang terjadi adalah angka kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar bertambah dengan kasus di Cimahi.

Yang menjadi persoalan besar bukan angka kumulatif, tapi penduduk Cimahi, khususnya laki-laki, yang menjadi pelanggan waria. Ada dua kemungkinan terkait dengan kasus HIV di kalangan waria di Cimahi, yaitu (a) Ada kemungkinan waria-waria itu tertular HIV dari penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka ada penduduk Cimahi yang sudah HIV-positif tapi tidak terdeteksi. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menulari istrinya, pacarnya, waria lain atau pekerja seks komersial (PSK). Yang tidak beristri akan menulari pacarnya atau PSK. (b). Ada kemungkinan waria yang terdeteksi HIV di Cimahi sudah mengidap HIV ketika ‘praktek’ di Cimahi. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan waria.

Kelima, disebutkan pula “ .... ke 20 orang waria yang menjadi pilot project pemeriksaan IMS dan VCT tersebut tidak terjangkit virus HIV/AIDS.” Tidak jelas apa kaitan antara pemeriksaan IMS dan VCT dengan ‘terjangkit virus HIV/AIDS’. Juga tidak ada keterangan mengapa mereka ini tidak tertular HIV.

Keenam, ada lagi pernyataan: ”Karena kaum waria memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi untuk terjangkit HIV/AIDS .... ” Ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terahadap waria karena ada fakta yang luput dari perhatian. Yang menjadi persoalan adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada waria dan kemudian laki-laki yang tertular HIV dari waria yang sudah tertular HIV.

Selama kita tetap menuding PSK dan waria sebagai ’biang keladi’ penyebaran HIV maka selama itu pula penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk akan terus terjadi. Ini terjadi karena kita mengabaikan laki-laki penular dan laki-laki yang tertular sebagai mata rantai penyebaran HIV.

Fakta 110 waria terdeteksi HIV-positif akan menjadi berita yang komprehensif jika dibawa ke realitas sosial yaitu laki-laki penular dan yang tertular sebagai penyebar HIV. Laki-laki inilah yang menjadi persoalan besar bukah waria yang terdeteksi HIV-positif.

Tapi, lagi-lagi karena kita sering berlindung di balik moral maka kita selalu menuding ’yang tidak bermoral’ sebagai biang kerok. Padahal, justru ’yang bermoral’ (laki-laki penulara dan yang tertular) yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di dalam masyarakat. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.