Senin, 11 Januari 2010

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”SURYA” Surabaya: Mengabaikan Laki-laki sebagai Penular HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 9 Januari 2009. Berita “Ratusan Waria di Cimahi Mengidap HIV/AIDS” di Harian Harian “Surya”, Surabaya (8 Januari 2010) lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, dalam berita disebutkan “110 waria di Kota Cimahi, Jawa Barat (Jabar), terdeteksi mengidap penyakit HIV/AIDS, dua di antaranya meninggal dunia selama tahun 2009.” Tidak ada penjelasan tentang cara yang dilakukan oleh KPA Kota Cimahi dalam mendeteksi 110 waria tersebut. Jika yang dilakukan adalah survailans tes HIV (tes HIV untuk memperoleh angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu pada kurun waktu tertentu) maka angka itu tidak akurat. Standar baku tes HIV adalah setiap tes HIV dengan hasil positif contoh darah yang sama harus dites (konfirmasi) dengan tes lain. Apakah KPA Kota Cimahi melakukan hal ini terhadap 110 waria? Tidak jelas. Ini kelemahan narasumber, dalam hal ini KPA Kota Cimahi, dan wartawan.

Kedua, disebutkan pula “Pengelola Program Sekretariat Tetap Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cimahi, Afizah, mengatakan, jumlah waria yang tercatat mengidap HIV/AIDS sama jumlahnya dengan jumlah komunitas waria yang ada di Cimahi.” Ini pun tidak ada data yang menguatkan pernyataan ini karena tidak ada penjelasan tentang tes yang dilakukan: jumlah waria yang dites, kurun waktu tes, sifat tes (survailans atau diagnosis), jenis (ELISA, rapid test, dll.), dan tes konfirmasi.

Ketiga, ada lagi pernyataan: “Angka tersebut, bisa jadi lebih banyak karena tidak semua waria tercatat memeriksaan diri kepada kami,” ujar Afizah. Ini tidak akurat karena ada waria yang menerapkan seks aman yaitu hanya meladeni laki-laki yang mau memakai kondom. Mereka ini berisiko rendah maka kemungkinan tertular HIV pun kecil.

Keempat, ada pula penjelasan: “ .... besarnya jumlah waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Cimahi maka akan berpengaruh terhadap tingkat pengidap HIV/AIDS di Jawa Barat.” Tidak ada penjelasan bagaiaman kaitan langsung antara jumlah waria yang terdeteksi HIV-positif di Cimahi dengan tingkat pengidap HIV/AIDS di Jabar. Yang terjadi adalah angka kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar bertambah dengan kasus di Cimahi.

Yang menjadi persoalan besar bukan angka kumulatif, tapi penduduk Cimahi, khususnya laki-laki, yang menjadi pelanggan waria. Ada dua kemungkinan terkait dengan kasus HIV di kalangan waria di Cimahi, yaitu (a) Ada kemungkinan waria-waria itu tertular HIV dari penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka ada penduduk Cimahi yang sudah HIV-positif tapi tidak terdeteksi. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menulari istrinya, pacarnya, waria lain atau pekerja seks komersial (PSK). Yang tidak beristri akan menulari pacarnya atau PSK. (b). Ada kemungkinan waria yang terdeteksi HIV di Cimahi sudah mengidap HIV ketika ‘praktek’ di Cimahi. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan waria.

Kelima, disebutkan pula “ .... ke 20 orang waria yang menjadi pilot project pemeriksaan IMS dan VCT tersebut tidak terjangkit virus HIV/AIDS.” Tidak jelas apa kaitan antara pemeriksaan IMS dan VCT dengan ‘terjangkit virus HIV/AIDS’. Juga tidak ada keterangan mengapa mereka ini tidak tertular HIV.

Keenam, ada lagi pernyataan: ”Karena kaum waria memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi untuk terjangkit HIV/AIDS .... ” Ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terahadap waria karena ada fakta yang luput dari perhatian. Yang menjadi persoalan adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada waria dan kemudian laki-laki yang tertular HIV dari waria yang sudah tertular HIV.

Selama kita tetap menuding PSK dan waria sebagai ’biang keladi’ penyebaran HIV maka selama itu pula penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk akan terus terjadi. Ini terjadi karena kita mengabaikan laki-laki penular dan laki-laki yang tertular sebagai mata rantai penyebaran HIV.

Fakta 110 waria terdeteksi HIV-positif akan menjadi berita yang komprehensif jika dibawa ke realitas sosial yaitu laki-laki penular dan yang tertular sebagai penyebar HIV. Laki-laki inilah yang menjadi persoalan besar bukah waria yang terdeteksi HIV-positif.

Tapi, lagi-lagi karena kita sering berlindung di balik moral maka kita selalu menuding ’yang tidak bermoral’ sebagai biang kerok. Padahal, justru ’yang bermoral’ (laki-laki penulara dan yang tertular) yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di dalam masyarakat. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar