Kamis, 22 April 2010

Tidak Ada Cara yang Efektif Melacak Kasus HIV dan AIDS

Tanggapan terhadap Berita ”Dinkes Aceh Terus Berupaya Lacak Kasus HIV/AIDS” (Antara, 16 April 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Dalam berita disebutkan: Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh melakukan berbagai gerakan dalam upaya melacak kasus HIV/AIDS yang dikhawatirkan jumlahnya terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir di provinsi tersebut. “Kami terus berupaya melakukan pelacakan dan pencarian kasus. Kasus HIV/AIDS di Aceh itu tidak hanya ditemukan di kota-kota besar di Aceh, tapi juga ada di beberapa kabupaten,” kata Kepala Dinkes Aceh dr M Yani, M.Kes.

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan cara yang akan dilakukan Dinkes Aceh dalam melacak dan mencari kasus HIV dan AIDS di Aceh. Sampai sekarang tidak ada cara yang ampuh dalam melacak atau mencari orang-orang yang sudah tertular HIV. Soalnya, orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV).

Pada rentang waktu antara 5 dan 15 tahun setelah tertular terjadi penyebaran HIV melalui berbagai kegiatan berisiko, seperti hubungan seks tanpa kondom, jarum suntik, transfusidarah, dll. Orang-orang yang menularkan dan yang tertular tidak menyadari ketika terjadi penularan.

Hal itu terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘kumpul kebo’, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah mengidap HIV (HIV-positif).

Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Prov Aceh menyebutkan sampai Desember 2009 sudah terdeteksi 46 kasus HIV/AIDS. Tapi, perlu diingat bahwa angka ini semu karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es sehingga kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Dari 46 kasus yang ditemukan tentulah ada laki-laki yang beristri sehingga ada risiko penularan (horizontal) pada kalangan ibu-ibu rumah tangga. Istri yang tertular akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Jika di antara kasus itu ada PSK maka laki-laki yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi pula tertular HIV.

Orang-orang yang sudah terdeteksi dan yang belum terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Mereka inilah yang perlu ’dicari”. Yang bisa dilakukan Dinkes Aceh adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS yang akurat. Antara lain mengajak orang-orang (laki-laki atau perempuan) yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung, PSK tidak langsung (pekerja hiburan malam, panti pijat, ‘ibu rumah tangga’, ‘anak SMA’. ‘mahasiswi’, dll.).

Dalam berita disebutkan: ”Pihaknya akan menyelidiki tempat-tempat yang memiliki risiko besar bagi penularan penyakit HIV/AIDS, meski di Aceh tidak ada lokalisasi bagi wanita tuna susila.” Tidak ada tempat yang bisa menularkan HIV karena HIV tidak bisa ditularkan melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari. Yang berisiko adalah perilaku seks orang per orang. Di Arab Saudi tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam tapi sampai akhir tahun lalu sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus AIDS.

Selama penanggulangan epidemi HIV dilakukan dengan cara-cara yang tidak realistis maka selama itu pula akan terjadi penyebaran HIV. Pada gilirannya epidemi HIV akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Wapres Dituntut Minta Maaf atas Pernyataannya, KOMPAS, 1 Juli 2006).

Pernyataan Wapres itu bukan lagi sekedar ‘wacana’ karena di Kampung Blok Subur, sebuah desa di kawasan Puncak, Kab. Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1980-an sudah dikenal ‘kawin kontrak’ antara perempuan desa itu dan dari daerah lain dengan turis asal Timur Tengah. Desa itu dikenal sebagai ‘Kampung Janda’. Sekarang ‘kawin kontrak’ sudah ‘merambat’ ke beberapa kampung di kawasan Puncak. Perempuan yang dikawinkan berasal dari berbagai daerah, seperti Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Indramayu yang dibawa oleh calo. Lama perkawinan bervariasi mulai dari hitungan hari, minggu, bulan dan tahunan.

Di kala epidemi HIV sudah terdeteksi di semua negara maka ada kemungkinan seorang penduduk atau turis menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk di satu negara atau antar negara.. Kalau turis, dari dalam atau luar negeri, yang melakukan pernikahan singkat di Puncak itu HIV-positif maka selain meninggalkan anak yang memiliki gen yang lebih baik juga sekaligus menularkan HIV kepada ‘istrinya’. Selanjutnya, ‘istri’ yang diceraikannya setelah ‘nikah singkat’ itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kepada anak yang dikandungnya atau kepada turis lain atau penduduk yang kelak mengawininya.

Ada salah kaprah dalam bentuk mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Disebutkan HIV menular karena zina, pelacuran, seks oral dan seks anal, serta homoseksual. Ini terjadi karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) selalu dibalut dengan moral sehingga tidak akurat. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif.

Banyak yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena mereka merasa tidak melakukan zina. Biar pun dilakukan dengan pekerja seks tapi mereka ‘menikah’dulu sehingga hubungan seks yang mereka lakukan sah. Ada lagi yang tidak merasa berisiko tertular HIV biar pun dia menikahi pekerja seks karena hubungan seks mereka lakukan di dalam ikatan pernikahan. Bahkan, dari sisi moral laki-laki yang menikahi pekerja seks tadi menjadi ‘pahlawan’, tapi dari sisi penularan HIV dia berisiko karena sebelum dinikahinya istrinya merupakan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu berganti-ganti pasangan.

Padahal, kegiatan mereka itu berisiko tinggi tertular HIV. Perempuan yang mereka ‘nikahi’ sering berganti-ganti pasangan sehingga berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah ‘menikah’ dengannya HIV-positif.

Persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penularan HIV tanpa disadari.

Laporan UNAIDS, menyebutkan sejak awal epidemi sampai Desember 2005 secara global tercatat 40,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Kematian mencapai 3,1 juta. Infeksi baru pada tahun 2005 mencapai 4,9 juta. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan Depkes 10.156, sedangkan kalangan ahli memperkirakan antara 80.000 – 120.000.

Dalam laporan terbaru UNAIDS (AIDS epidemic update December 2005) disebutkan bahwa peningkatan kasus AIDS di Afrika Utara dan Timur Tengah terus berlanjut. Penularan terjadi melalui hubungan seks dan jarum suntik pada penggunaan narkoba. Dilaporkan pula bahwa program pelayanan dan pencegahan HIV di kawasan ini berlangsung secara sporadis. Pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah. Kegiana pencegahan, termasuk di kalangan yang berisiko tinggi, jarang dilakukan.

Di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah diperkirakan 510.000 kasus HIV/AIDS dengan perkiraan tertinggi 1,4 juta. Sampai akhir 2004 di Arab Saudi dilaporkan 8.919 kasus kasus HIV/AIDS (arabnews.com - 3 September 2005). Bertolak dari fakta ini maka sangat beralasan kalau ada kekhawatiran terjadi penularan HIV kepada perempuan yang dijadikan istri pada pernikahan singkat.

Turis tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, sedangkan perempuan yang dijadikan ‘istri singkat’ pun tidak menganggap pernikahan itu berisiko karena mereka melakukannya dalam ikatan pernikahan yang sah.

Sebuah organisasi mahasiswa keagamaan pernah mengusulkan agar dilakukan nikah mut’ah di lokalisasi pelacuran (Panji Masyarakat, No. 13, Tahun I, 14 Juli 1997). Biar pun hubungan seks ‘halal’ tapi penularan HIV dan PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) tetap bisa terjadi karena penularan HIV dan PMS melalui hubungan seks tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tapi erat kaitannya dengan kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Sejak AIDS diidentifikasi pertama kali (1981) dan HIV diakui oleh WHO sebagai virus penyebab AIDS (1986) kalangan medis sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.

Tapi, karena di awal epidemi kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan gay dan pekerja seks maka AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, fakta medis HIV/AIDS pun hilang dan yang muncul hanya mitos. Mitos ini menyesatkan. Penularan HIV pun terjadi diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV biar pun perilakunya berisiko tinggi. Soalnya, perilaku berisiko itu dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah. ***


* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Mengandalkan Perda untuk Menanggulangi AIDS

Tanggapan terhadap Beritta ”KPA Banten Desak Segera Diperdakan HIV/AIDS” (Antara, 9 April 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Sampai sekarang sudah 33 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Apakah ada hasilnya? Tidak ada. Nol besar.

Perda-perda itu tidak menyentuh akar persoalan dalam penanggulangan epidemi HIV karena dirancang sebagai ’perda moral’. Artinya, penanggulangan yang dikedepankan dalam perda itu hanyalah moral.

Padahal, penularan HIV merupakan fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat pula dilakukan dengan teknologi kedokteran.

Tapi, karena sejak awal epidemi masyarakat dunia mengait-ngaitkan penularan HIV dengan moral hanya karena kasus-kasus awal terdeteksi di kalangan laki-laki gay. Akibatnya, sampai sekarang HIV/AIDS selalu dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Masyarakat pun hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV dan AIDS.

Dalam berita disebutkan ” ..... mengingat penderita HIV/AIDS di Banten setiap tahun cenderung meningkat.” Cara pelaporan kasus HIV dan AIDS yang dilakukan di Indonesia adalah bersifat kumulatif. Artinya, kasus lama akan ditambah dengan kasus baru sehingga hasil akhir akan terus meningkat. Sampai kapan pun angka kasus HIV/AIDS akan terus melonjak karena sifatnya kumulatif.

Sampai Desember 2009 kasus HIV di Banten mencapai 1.296, sedangkan kasus AIDS 333, yang meninggal dunia sebanyak 82. Angka ini tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil sehingga kasus-kasus yang belum terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.

Ketua DPRD Prov. Banten Aeng Haerudin mengomentari usulan Program Officer KPA Prov Banten, Arif Mulyawan, “Ini penting untuk mengantisipasi agar penyakit tersebut tidak berkembang ke daerah lainnya di Banten.” Komentar atau tanggapan Ketua DPRD ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif tentang epidemi HIV.

HIV tidak menular melalui air, udara dan pergaulan sosial. Penyebaran HIV terjadi karena perilaku berisiko yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Kalau Pemprov Banten dan DPRD Prov Banten tetap ingin membuat perda penanggulangan AIDS maka yang perlu diatur adalah perilaku orang per orang dengan cara-cara yang realistis.

Misalnya, ada pasal yang menyebutkan: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau diluar nikah di dalam atau di luar wilayah Prov Banten dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.”

Untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau diluar nikah di dalam atau di luar wilayah Prov Banten dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”

Kita tunggu saja, apakah perda penanggulangan AIDS yang ditelurkan Pemprov Banten kelak akan sama nasibnya dengan 33 perda yang sudah ada.


* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Mengabaikan Laki-laki sebagai Penular HIV

Tanggapan terhadap berita “Mayoritas Pengidap HIV/AIDS Pekerja Hiburan Malam”, (Harian Jurnal Nasional, 26 Maret 2010).


Oleh Syaiful W. Harahap*


Agaknya, pemahaman terhadap epidemi HIV belum merata. Kondisi ini mendorong penyebaran HIV terus terjadi karena banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Dalam berita disebutkan “Mayoritas pengidap HIV/AIDS di Kota Tangerang Selatan adalah pekerja hiburan malam.” Di sini ada fakta yang luput dari perhatian yaitu orang yang menularkan HIV kepada pekerja hiburan malam.

Sebagai virus, HIV hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik. Antara lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Maka, orang-orang yang menularkan HIV kepada pekerja malam adalah laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja hiburan malam bisa jadi seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, petani, nelayan, sopir, kondektur, rampok, dll.

Laki-laki itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antara penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan gelapnya atau pekerja seks komersial (PSK) serta pekerja hiburan malam. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada perempuan yang menjadi pasangan seksualnya atau PSK dan pekerja hiburan malam.

Fakta inilah yang sering luput dari perhatian sehingga PSK dan pekerja hiburan malam yang selalu menjadi ‘kambing hitam’ dalam penyebaran HIV. Upaya Dinas Kesehatan setempat akan melakukan razia di sejumlah tempat hiburan malam tidak banyak manfaatnya dalam menanggulangi penyebaran HIV karena laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan pekerja hiburan malam tetap leluasa menyebarkan HIV di masyarakat.

Data di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menunjukkan 97 kasus HIV/AIDS. Jumlah ini merupakan mata rantai penyebaran HIV. Sebelum seseorang terdeteksi HIV/AIDS berarti dia sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelumnya. Maka, selama kurun waktu itu pula sudah terjadi penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena tidak ada tanda atau gejala yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS.

Langkah yang perlu diambil Pemkot Tangerang Selatan adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS yang akurat. Masyarakat yang pernah melakukan hubungan seks dengan PSK atau pekerja hiburan malam tanpa menggunakan kondom dianjurkan untuk menjalani tes HIV.
Kian banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. Orang-orang yang terdeteksi HIV dan AIDS pun bisa ditangani secara medis, seperti pemberian obat antiretroviral (ARV) dan substitusi narkoba dengan metadon bagi pengguna narkoba suntikan yang terdeteksi HIV. ***


* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Tanggapan untuk Berita di Harian ”Bengkulu Ekspres”

Memahami HIV/AIDS untuk Melindungi Diri

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 14/1-2009. ”Virus HIV (human immuno deficiency virus) terus mengancam warga Provinsi Bengkulu.” Ini pernyataan pada lead berita “21 dari 107 Pengidap HIV/AIDS, Meninggal” di Harian ”Bengkulu Ekspres” (2/10-2007). Ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Dalam laporan Ditjen PPM&PL Depkes RI tanggal 14 April 2008 disebutkan ada 28 kasus AIDS di Bengkulu dengan 18 kasus pada pengguna narkoba dan 9 meninggal. Angka ini menempatkan Bengkulu pada urutan ke-24 dari 33 provinsi. Perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada proses menyusui.

Bertolak dari fakta di atas maka pernyataan yang menyebutkan ”Virus ini dapat menular melalui hubungan seks bebas yang bukan dengan pasangannya” adalah salah karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif) bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah). Pernyataan yang menyebutkan penularan HIV terjadi kalau ” .... melakukan hubungan seksual bukan dengan pasangannya” adalah salah karena dengan pasangan yang sah pun bisa terjadi penularan kalau salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memaki kondom setiap kali melakukan hubungan seks.

Mata Rantai

Selama ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, pranikah, seks menyimpang, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi pada ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, pranikah, seks menyimpang, waria, dan homoseksual.

Sedangkan penularan HIV melalui pengguna narkoba bisa terjadi karena pengguna narkoba dengan suntikan biasanya beramai-ramai. Mereka memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika salah satu dari mereka HIV-positif maka semua yang memakai jarum suntik akan berisiko tertular HIV. Maka pernyataan ” ..... dihimbau pada masyarakat janganlah pernah untuk mengkonsumsi Narkoba .... ” agar tidak tertular HIV tidak benar karena yang menjadi media penularan bukan narkoba tapi jarum suntik yang dipakai bergiliran. Orang-orang yang menjalani operasi (bedah) di rumah sakit memakai narkoba agar tidak merasa sakit. Kalau disebut narkoba penyebab HIV/AIDS tentulah semua orang yang pernah menjalani oprasi sudah tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula penularan HIV terjadi melalui ” .... jarum suntik yang tidak steril pada proses transfusi darah”. Ini pun tidak benar karena penularan HIV melalui transfusi darah adalah karena darah yang ditransfusikan mengandung HIV. Untuk itulah dianjurkan agar tidak menerima transfusi darah kalau darah yang akan ditransfusikan tidak diskrining HIV.

Disebutkan ” .... di Kota Bengkulu, virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 2001 yang menyerang 3 wanita di lokalisasi”. Fakta ini mengandung dua kemungkinan.

Pertama, ketiga wanita itu ditulari oleh penduduk lokal yang menjadi pelanggan wanita di lokalisasi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada tiga wanita itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, remaja atau jejaka yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, tani, nelayan, sopir, pelajar, mahasiswa, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Persoalannya adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Maka, kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terungkap bukan karena mereka malu atau menutup-nutupi kasusnya tapi karena tidak mengetahui dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada rentang waktu ini sudah bisa terjadi penularan HIV lagi-lagi tanpa disadari malalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, (d) ASI.

Perilaku Berisiko

Kedua, ketiga wanita itu sudah HIV-positif (mengidap HIV) ketika mereka pertama kali datang ke lokalisasi. Kalau ini yang terjadi maka penduduk lokal yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di lokalisasi tadi berisiko tinggi tertular HIV. Kalau ada laki-laki yang tertular, lagi-lagi mereka tidak menyadarinya, maka laki-laki itulah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV tanpa disadarinya kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandung istrinya kelak (vertikal). Perlu diingat HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks.

Hasil survai perlu dicermati karena hasil HIV-positif tes pada survailans tidak otomatis HIV-positif karena setiap hasil tes HIV harus dikonfirmasi dulu dengan tes lain. Tes HIV dengan rapid test atau ELISA bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi). Keabsahan hasil tes HIV baru bisa kuat kalau tes dilakukan minimal tiga bulan setelah tertular HIV.

Terkait dengan kasus yang kian banyak ditemukan terjadi karena kegiatan survailans tes HIV semakin gencar. Selain itu sebagian dari yang tertular HIV pun sudah mencapai masa AIDS. Pada masa AIDS sudah mulai ada penyakit, yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, jamur, TB, dll. sehingga mereka berobat. Jika penyakitnya susah disembuhkan maka dokter akan menganjurkan untuk menjalani tes HIV apalagi diketahui kalau perilaku pasien berisiko tinggi tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (c) menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan.

Untuk itulah dianjurkan kepada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Makin banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus karena mereka diajak untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. ***

* Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”SURYA” Surabaya

Laki-laki sebagai Penular HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 9 Januari 2009. Berita “Ratusan Waria di Cimahi Mengidap HIV/AIDS” di Harian Harian “Surya”, Surabaya (8 Januari 2010) lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, dalam berita disebutkan “110 waria di Kota Cimahi, Jawa Barat (Jabar), terdeteksi mengidap penyakit HIV/AIDS, dua di antaranya meninggal dunia selama tahun 2009.” Tidak ada penjelasan tentang cara yang dilakukan oleh KPA Kota Cimahi dalam mendeteksi 110 waria tersebut. Jika yang dilakukan adalah survailans tes HIV (tes HIV untuk memperoleh angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu pada kurun waktu tertentu) maka angka itu tidak akurat. Standar baku tes HIV adalah setiap tes HIV dengan hasil positif contoh darah yang sama harus dites (konfirmasi) dengan tes lain. Apakah KPA Kota Cimahi melakukan hal ini terhadap 110 waria? Tidak jelas. Ini kelemahan narasumber, dalam hal ini KPA Kota Cimahi, dan wartawan.

Kedua, disebutkan pula “Pengelola Program Sekretariat Tetap Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cimahi, Afizah, mengatakan, jumlah waria yang tercatat mengidap HIV/AIDS sama jumlahnya dengan jumlah komunitas waria yang ada di Cimahi.” Ini pun tidak ada data yang menguatkan pernyataan ini karena tidak ada penjelasan tentang tes yang dilakukan: jumlah waria yang dites, kurun waktu tes, sifat tes (survailans atau diagnosis), jenis (ELISA, rapid test, dll.), dan tes konfirmasi.

Ketiga, ada lagi pernyataan: “Angka tersebut, bisa jadi lebih banyak karena tidak semua waria tercatat memeriksaan diri kepada kami,” ujar Afizah. Ini tidak akurat karena ada waria yang menerapkan seks aman yaitu hanya meladeni laki-laki yang mau memakai kondom. Mereka ini berisiko rendah maka kemungkinan tertular HIV pun kecil.

Keempat, ada pula penjelasan: “ .... besarnya jumlah waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Cimahi maka akan berpengaruh terhadap tingkat pengidap HIV/AIDS di Jawa Barat.” Tidak ada penjelasan bagaiaman kaitan langsung antara jumlah waria yang terdeteksi HIV-positif di Cimahi dengan tingkat pengidap HIV/AIDS di Jabar. Yang terjadi adalah angka kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar bertambah dengan kasus di Cimahi.

Yang menjadi persoalan besar bukan angka kumulatif, tapi penduduk Cimahi, khususnya laki-laki, yang menjadi pelanggan waria. Ada dua kemungkinan terkait dengan kasus HIV di kalangan waria di Cimahi, yaitu (a) Ada kemungkinan waria-waria itu tertular HIV dari penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka ada penduduk Cimahi yang sudah HIV-positif tapi tidak terdeteksi. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang berisitri akan menulari istrinya, pacarnya, waria lain atau pekerja seks komersial (PSK). Yang tidak beristri akan menulari pacarnya atau PSK. (b). Ada kemungkinan waria yang terdeteksi HIV di Cimahi sudah mengidap HIV ketika ‘praktek’ di Cimahi. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal atau pendatang berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan waria.

Kelima, disebutkan pula “ .... ke 20 orang waria yang menjadi pilot project pemeriksaan IMS dan VCT tersebut tidak terjangkit virus HIV/AIDS.” Tidak jelas apa kaitan antara pemeriksaan IMS dan VCT dengan ‘terjangkit virus HIV/AIDS’. Juga tidak ada keterangan mengapa mereka ini tidak tertular HIV.

Keenam, ada lagi pernyataan: ”Karena kaum waria memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi untuk terjangkit HIV/AIDS .... ” Ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terahadap waria karena ada fakta yang luput dari perhatian. Yang menjadi persoalan adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada waria dan kemudian laki-laki yang tertular HIV dari waria yang sudah tertular HIV.

Selama kita tetap menuding PSK dan waria sebagai ’biang keladi’ penyebaran HIV maka selama itu pula penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk akan terus terjadi. Ini terjadi karena kita mengabaikan laki-laki penular dan laki-laki yang tertular sebagai mata rantai penyebaran HIV.

Fakta 110 waria terdeteksi HIV-positif akan menjadi berita yang komprehensif jika dibawa ke realitas sosial yaitu laki-laki penular dan yang tertular sebagai penyebar HIV. Laki-laki inilah yang menjadi persoalan besar bukah waria yang terdeteksi HIV-positif.

Tapi, lagi-lagi karena kita sering berlindung di balik moral maka kita selalu menuding ’yang tidak bermoral’ sebagai biang kerok. Padahal, justru ’yang bermoral’ (laki-laki penulara dan yang tertular) yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di dalam masyarakat. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Tidak Ada Kaitan Langsung antara Tsunami dan Penyebaran AIDS di Aceh

Tanggapan terhadap Berita “Pasca Tsunami, Aceh Rawan HIV/AIDS” (JPNN.com, 24 Maret 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 7 April 2010. Penemuan kasus HIV dan AIDS di wilayah Provinsi Aceh belakangan ini sering dikait-kaitkan dengan kedatangan banyak orang sejak Tsunami (Desember 2004). Anggapan ini terjadi karena ada pernyataan bahwa kasus-kasus HIV dan AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami daerah ini terbuka. Ini mengesankan HIV dan AIDS di Aceh dibawa orang luar (negeri). Pemahaman ini menyesatkan.

Di wilayah Aceh sudah dilaporkan 43 kasus AIDS. Angka kasus AIDS di Aceh yang kecil inilah yang membuat orang Aceh terlena. Padahal, angka itu tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, angka yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari angka yang sebenarnya.

Apakah fenomena gunung es epidemi HIV ini berlaku di Aceh? Ada beberapa faktor yang terkait dengan fenomena itu, yaitu: (a). Perilaku masyarakat terkait dengan hubungan seks berisiko, dan (b) Perilaku masyarakat dalam menyalahgunakan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).

Sebelum Tsunami

Jika ada penduduk Aceh yang pernah atau sering melakuklan perilaku seks yang berisiko tinggi tertular HIV maka fenomena itu ada di (masyarakat) Aceh. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan kondisi penis bersentuhan langsung dengan vagina dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri, dan (b) melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan kondisi penis bersentuhan langsung dengan vagina dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri, seperti pekerja seks komersial atau waria.

Fenomena gunung es itu pun akan berlaku di Aceh jika penyalahguna narkoba memakai jarum suntik secara berganti-ganti dan bergiliran. Laporan Depkes RI menunjukkan dari 40 kasus AIDS yang dilaporkan ada 11 kasus terdeteksi di kalangan penyalahguna narkoba. Penyalahguna narkoba biasanya menyuntukkan narkoba dalam kelompok antara dua sampai lima orang. Andaikan salah satu di antara mereka mengidap HIV maka teman-temannya akan berisiko pula tertular HIV. Masing-masing dari mereka inii juga mempunyai kelompok sehingga penyebaran HIV melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba sangat cepat ibarat deret ukur.

Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Aceh tidak disampaikan secara akurat. Akibatnya, banyak yang tidak memahami HIV/AIDS. Maka, tiadk mengherankan kalau kemudian masyarakat menuding pendatang sebagai biang keladi penyebaran HIV karena sebelum tsumani hanya 1 kasus yang dilaporkan.

Tapi, tunggu dulu. Mengapa kasus HIV dan AIDS sebelum tsunami hanya terdeteksi 1 kasus? Sebaliknya, mengapa setelah tsunami banyak kasus HIV dan AIDS yang tedeteksi?

Pertama, kasus HIV/AIDS hanya bisa terdeteksi melalui tes darah di laboratorium dengan reagent khusus. Upaya untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat selama ini dilakukan melalui survailans tes HIV kepada kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat, dan waria. Sebelum tsunami survailans tes HIV di Aceh hanya dilakukan satu kali di satu kabupaten saja karena suasana yang tidak memungkinkan karena ketika itu sedang terjadi konflik bersenjata.

Kedua, setelah tsunami mulai banyak kegiatan untuk melakukan survailans tes HIV karena suasana sudah aman sehingga mulai ditemukan kasus HIV dan AIDS. Klinik-klinik tes, dikenal sebagai klinik VCT (voluntary counseling and testing yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling atau bimbingan sebelum dan sesudah tes secara gratis) mulai dijalankan di beberapa rumah sakit. Selain itu ada pula pusat rehabilitasi narkoba yang juga menyaratkan tes HIV bagi penyalahguna narkoba yang akan direhabilitasi.

Setelah Tsunami

Ketiga, orang Aceh yang tertular HIV sebelum tsunami mulai menunjukkan gejala-gejala yang terkait dengan AIDS. Ini terjadi karena secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular sebelum tsunami mulai ada yang sakit sehingga mereka harus berobat ke rumah sakit. Penyakit yang mereka derita, seperti diare, sariawan, jamur, TBC, pneumonia (radang paru-paru), dll. sulit disembuhkan sehingga dokter menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV. Dari sinilah kasus-kasus AIDS banyak terdeteksi di Aceh.

Maka, anggapan yang menyebutkan HIV dan AIDS di Aceh dibawa orang asing setelah tsunami terjadi karena pemahaman terhadap HIV dan AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Selain itu pakar pun menyampaikan informasi yang menyesatkanKasus HIV dan AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami.

Tsunami di Aceh terjadi pada Desember 2004. Sejak 2005 kasus HIV dan AIDS mulai terdeteksi di Aceh. Gejala AIDS baru mulai muncul antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Maka, kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami yaitu antara tahun 1990 dan tahun 2000.
Selama ini ada mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV yaitu mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum nikah, ‘jajan’, selingkuh, waria, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau seseorang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa pelindung dengan orang yang sudah mengidap HIV. Fakta itulah yang tidak dipahami oleh masyarakat secara luas sehingga banyak orang yang tertular HIV karena ketidaktahuan. Lebih dari 90 persen orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka.

Dalam kaitan inilah untuk menekan infeksi baru di kalangan dewasa dan remaja Pemprov. Aceh melalui jajarannya menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Jika masyarakat sudah memahami HIV/AIDS dengan benar maka diharapkan penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalan tes HIV secara sukarela. Fasilitas tes gratis dengan konseling sudah disedikan di beberapa rumah sakit melalui klinik VCT.

Semakin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Mereka pun bisa ditangani secara medis melalui pemberian obat antiretroviral (ARV) agar mereka tetap produktif. Pada gilirannya, kasus-kasus infeksi baru pun akan bisa ditekan. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Selasa, 20 April 2010

…. Dan Keadilan Pun untuk Semua

Kasus Gayus ”Markus” Pajak

Oleh Syaiful W. Harahap*

Sebagai seorang pembela Arthur Kirkland masuk bui karena dakwaan menghina pengadilan. Pembela di Baltimore, AS, yang mudah marah ini melemparkan pukulan ke hakim Henry T. Fleming ketika berdebat pada sidang pengadilan dengan terdakwa Jeff McCullaugh (Thomas G. Waites). Pesakitan ini didakwa karena pelanggaran lalu lintas, tapi kemudian didakwa juga sebagai pembunuh. Dia sudah satu setengah tahun dibui. Sebagai pengacara Kirkland berupaya untuk mengajukan peninjuan kembali kasus McCullaugh karena ada bukti baru. Tapi, Hakim Fleming menolak banding Kirkland.

Kirkland menangani kasus lain. Suatu hari Kirkland kaget karena dia diminta untuk membela Hakim Fleming. Hakim ini disidang karena kasus tududuhan pemerkosaan. Padahal, selama ini mereka dikenal publik sebagai ’musuh bebuyuatan’ di persidangan. Rupanya, Hakim Fleming melihat kalau Kirkland membelanya maka masyarakat akan percaya bahwa dia memang tidak bersalah. Kirkland tidak bisa menolak karena ada ’ancaman’ pemecatan terhadap dirinya.

Walaupun Kirkland sebagai pengacara sudah diingatkan agar tidak mengkhianatii kliennya, dalam hal ini Hakim Fleming, tapi Kirkland tidak bergeming. Berdasakan bukti-bukti yang ada Kirkland justru menguatkan kesalahan kliennya. Pengacara ini ‘mengirim’ musuh bebuyutannya itu ke bui.

Tapi, tunggu dulu. Itu adegan di film …. And Justice for All. Film ini diproduksi tahun 1979. Kirkland diperankan oleh aktor Al Pacino. Hakim Fleming diperankan oleh John Forsythe.

Kenyataan itu sangat berbeda dengan pemandangan yang selama ini terjadi di ruang sidang pengadilan. Pengacara akan mati-matian membeli kliennya agar lolos dari jerat hukum.

Kita teringat kembali ke film lama ini ketika pengacara Adnan Buyung Nasution, yang akrab dipanggil Bang Buyung, menjadi pembela Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak, Kemenkeu RI, yang terkait dengan ’makelar kasus’ (Marksu) pajak. Dengan pangkat/golongan III-A yang masa kerjanya baru lima tahun pegawai Ditjen Pajak ini sudah menorehkan angka miliaran rupiah di rekening tabungannya serta memilik rumah dan mobil berharga ratusan juta rupiah.

Pertanyaannya kemudian adalah: ”Apakah Bang Buyung mau atau bisa meniru jejak Kirkland?” Inilah pertanyaan yang sangat mendasar. Soalnya, selama ini pengacara hanya burusaha untuk membebaskan klinennya dari semua dakwaan jaksa agar divonis bebas oleh hakim.

Ada ’angin sorga’ ketika Bang Buyung mengatakan bahwa dia bersedia menjadi pembela Gayus asalkan Gayus jujur. Putri Bang Buyung, Pia, yang menjadi anggota tim pengacara Gayus pun mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menjanjikan vonis bebas bagi kliennya.

Memang, apa pun keselahan seseorang dia tetap berhak mendapatkan perlakuan yang adil di depan hukum dengan asas praduga tidak bersalah. Inilah yang menjadi pintu masuk bagi Bang Buyung untuk menerima permintaan keluarga Gayus untuk membela pesakitan itu.

Tapi, di balik semua hak-hak formal Gayus dan koruptor lain ada duka yang sangat mendalam bagi negeri ini. Uang rakyat yang dikumpulkan sebagai pajak melalui Ditjen Pajak yang akan dipakai memutar roda pembangunan justru masuk ke kocek pegawai dan orang-orang lain yang terkait dengan sindikat ’mafia pajak’. Miliran rupiah uang pajak untuk dana pembangunan nasional menguap di Ditjen Pajak.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian muncul upaya menggalang ’kekuatan sosial’ melalui dunia maya untuk menolak membayar pajak. Ini pun akan membuka wacara pro dan kontra. Celakanya, lagi banyak orang yang berteriak ”Stop Pinjaman Luar Negeri” tapi dia sendiri tidak (pernah) membayar pajak.

Ada yang luput dari cara berpikir bangsa ini yaitu filosofi pajak itu sendiri. Kita patut bertanya: Apakah semua pengawai Ditjen Pajak mengetahui filosofi pajak? Kalau pegawai Ditjen Pajak memahami filososi pajak secara komprehensif tentulah ada ’rem moral’ pada diri mereka untuk tidak menyabet uang rakyat itu. Filosofi pajak ini akan membuka pradigma dalam melihat kewajiban sebagai warga negera. Pajak merupakan bakti untuk negeri, tapi sayang digarong para koruptor dan ’markus’ pajak.

Namun, kita ragu-ragu apakah alam proses pendidikan formal dan pembinaan internal pegawai Ditjen Pajak filosofi pajak dikedepankan. Pada mulanya pajak merupakan ’kesepakatan’ antara penguasa (pemerintah) dan rakyat. Ketika seseorang menghasilkan uang maka dia diminta menyisihkan sebagai penghasilannya untuk negara. Sebaliknya, jika dia tidak bisa menghasilkan lagi maka negara wajib menyantuninya. Maka, di banyak negara penduduknya akan sumringah (berseri-seri) membayar pajak karena merupakan ’tabungan’.

Taip, lain dengan Indonesia. Selain sebagai negara paling korup di kawasan Asia Pasifik pengembalian pajak pun tidak menyentuh kehidupan rakyat banyak. Bahkan, uang pajak rakyat justru ditilep oleh pegawai negara.

Di pihak lain banyak orang yang menikmati pembangunan dari uang pajak rakyat tapi tidak membayar pajak. Bahkan, banyak orang yang memiliki harta yang banyak, rumah mewah, mobil mentereng tapi tidak mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sudah saatnya pemerintah menjadikan nomor induk kependudukan (NIK) menjadi NPWP sehingga semua penduduk otomatis menjadi wajib pajak.

Selain pengawasan upaya memberatas korupsi di negeri ini juga dapat dilakukan oleh setiap individu. Seorang ayah atau mertua, misalnya, mau bertanya kepada anak atau menantunya jika melihat anak atau menantunya memiliki uang atau harta yang melebihi penghasilannya. Namun, yang terjadi di negeri ini orang tua atau mertua justru gembira jika melihat anak atau menantunya memiliki harta yang berlimpah.

Bagi pengawai negeri yang korupsi dan masyarakat yang tidak membayar pajak perlu dipikirkan hukuman kerja sosial selain hukuman penjara dan denda. Para koruptor dan ’markus’ pajak diwajibkan menyapu jalan raya di siang hari, membersihkan kaca jendela kantor pemerintah, menguras WC umum atau rumah-rumah ibadah dengan seragam khusus bertuliskan: ”Saya Narapidana Korupsi”.

Laki-laki sebagai Mata Rantai Penyebar HIV

Tanggapan terhadap berita “Penyebaran HIV/AIDS Meningkat, Dolly Bakal Ditutup”, (Jurnal Nasional, 30 Maret 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Ternyata biar pun epidemi HIV sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1987 dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah tersebar luas, tapi tetap saja ada pihak atau kalangan yang ’buta’ terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Dalam berita disebutkan “Tingginya tingkat penyebaran virus HIV/AIDS yang diidap para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur, menyebabkan wacana menutup kompleks pelacuran ….” Ada fakta yang luput atau digelapkan dalam pernyataan ini yaitu: yang menularkan HIV kepada PSK.

Alasan untuk menutup Dolly adalah karena tingkat infeksi HIV di kalangan PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, selingkuhan, lajang, remaja atau duda. Ketika ada PSK yang tertular HIV dari pelanggannya maka laki-laki yang kemudian mengencani PSK tadi berisiko pula tertular HIV.

Di negara-negara yang tidak mempunyai lokalisasi pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Di Arab Saudi, misalnya, yang menerapkan kitab suci sebagai UUD tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai akhir tahun 2009 sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus AIDS.

Biar pun Dolly ditutup tetap saja terjadi praktek pelacuran, seperti di hotel, motel, losmen, rumah kos, rumah, flat, taman, hutan, pantai, dll. Praktek-praktek pelacuran yang tidak menerapkan ‘seks aman’ (laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks penetrasi yaitu penis masuk ke dalam vagina) itulah yang mendorong penyebaran HIV. Maka, yang menjadi pemicu penyebaran HIV bukan lokalisasi dan PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ yaitu laki-laki yang sesekali atau sering melakukan hubungan seks tanpa memakai kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di lokalisasi atau di luar lokalisasi.

Jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat maka kehadiran lokalisasi adalah untuk memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, herpes, virus hepatitis B, dll.) dari PSK ke masyarakat melalui laki-laki ‘hidung belang’. PSK yang praktek di lokalisasi dicek kesehatannya secara rutin sehingga laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan PSK terhindar dari IMS.

Di bagian lain disebutkan pula “ ….. Pemerintah Provinsi Jatim mendesak Pemerintah Kota Surabaya untuk segera menutup Dolly. Apalagi, tahun 2010 ini, Jatim menduduki urutan kedua provinsi dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Indonesia ….” Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan merupakan kasus kumulatif yang akan terus bertambah karena kasus lama akan ditambah dengan kasus baru. Penemuan kasus merupakan langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Di daerah yang kasus HIV/AIDS-nya rendah bukan berarti daerah itu ’aman’ karena ada kemungkinan upaya mendeteksi kasus HIV di masyarakat rendah. Akibatnya, penemuan kasus jarang sehingga angka kecil atau rendah. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan epidemi AIDS.

Disebutkan pula ”Jika pemkot tidak segera menutup lokalisasi, maka pemkot harus bertanggung jawab atas menularnya penyakit AIDS.” Apakah bisa dibuktikan bahwa semua kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi di Surabaya atau Jawa Timur berasal dari Dolly? Ini anggapan yang sangat naif karena penduduk Surabaya dan Jawa Timur bepergian ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Bisa saja terjadi ada di antara mereka yang tertular di luar Surabaya dan Jawa Timur sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV ketika pulang ke daerahnya.

Jika Dolly ditutup bukan otomatis tidak ada praktek pelacuran di Surabaya. PSK Dolly yang dipulangkan pasca penutupan pun akan kembali ke Surabaya atau kota lain di Indonesia. Bersamaan dengan itu akan muncul pula PSK-PSK baru.

Ada lagi pernyataan ”Setelah penutupan, Pemkot Surabaya harus dapat memberi pembinaan, keterampilan, dan mengawasi para PSK yang pulang ke kampungnya masing-masing agar tidak kembali terjerumus ke perbuatan maksiat.” Apakah yang berbuat maksiat hanya PSK? Bagaimana dengan laki-laki ’hidung belang’?

Kita sering memakai kaca mata moral ketika melihat PSK dengan sudut pandang moralitas pribadi sehingga terjadi bias gender. Padahal, yang berperan dalam menyuburkan pelacuran adalah laki-laki. Yang mencari PSK adalah laki-laki. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki.

Apakah kita masih tetap akan menutup mata terhadap fakta itu? Ya, jika itu yang terjadi maka selama itu pula penyebaran HIV akan merajalela di negeri ini dan kita tinggal menunggu ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Mewujudkan Program Penanggulangan HIV dan AIDS yang Konkret

Oleh Syaiful W. Harahap*

Di awal-awal epidemi penanggulangan HIV dan AIDS hanya bertumpu pada penyuluhan secara umum. Celakanya, materi penyuluhan dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV dan AIDS. Perkembangan epidemi HIV kemudian mendorong perubahan paradigma dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara global. Di tingkat nasional dan lokal pun penanggulangan HIV dan AIDS mulai bergeser dari sekedar penyuluhan ke pendampingan sampai akhirnya kepada perlindungan hukum dan meningkatkan kehidupan Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Jika program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS tetap menyelipkan materi norma, moral, dan agama maka penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia hanya akan jalan di tempat, bahkan mundur jauh ke belakang. Soalnya, tatkala di Eropa Barat, Afrika, Amerika Serikat, dan Australia kasus infeksi baru pada kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal tahun 1990-an di Asia Pasifik justru yang terjadi sebaliknya, terutama Indonesia, kasus infeksi baru di kalangan dewasa justru meroket.

Materi KIE

Hal itu terjadi bukan karena sudah ada obat AIDS dan vaksin HIV, tapi semata-mata karena penduduk di sana sudah mengetahui cara-cara mencegah penularan HIV dengan akurat. Ini terjadi karena materi KIE tentang HIV dan AIDS diberikan kepada masyarakat sesuai dengan fakta medis. Sebaliknya, di beberapa negara di kawasan Asia Pasifik, seperti di Indonesia, materi KIE tentang HIV dan AIDS tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama.

Selama hal itu terjadi maka pemahaman HIV dan AIDS yang diterima masyarakat Indonesia hanya sebatas mitos belaka. Sampai sekarang dalam banyak materi KIE disebutkan bahwa penularan HIV terkait dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks pranikah, waria, dan homoseksual. Padalah, sebagai fakta medis penularan HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks pranikah, waria, dan homoseksual.

Tapi, karena masyarakat hanya menangkap mitos banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV. Hal ini dialami oleh seorang remaja putri yang menjalani rehabilitasi narkoba di sebuah LSM di Bogor, Jawa Barat. ”Saya kecewa karena selama ini infomrasi tentang HIV dan AIDS hanya menyebut-nyebut zina,” kata gadis manis yang tertular HIV dengan faktor risiko pengguna narkoba suntik.

Mitos-mitos seputar HIV dan AIDS itu pun kemudian menyuburkan pemberian cap buruk atau negatif (stigmatisasi) dan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) terhadap orang-orang yang tertular HIV. Untuk itulah diperlukan penanggulangan yang komprehensif dengan meningkatkan perlindungan hukum dan hak, serta pelayanan terhadap Odha.
Dalam pandangan Prof Dr DN Wirawan dari Yayasan Kerti Praja, Denpasar, Bali, upaya-upaya penanggulangan HIVdan AIDS yang dilakukan selama ini sudah lumayan terutama oleh LSM, KPAN dan Depkes. Namun, yang menjadi persoalan besar adalah sebagian besar sumber dana untuk program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia justru datang dari bantuan luar negeri.

Penanggulangan yang baik terutama penerapan harm reduction (pengurangan dampak buruk) di kalangan pengguna narkoba suntikan dan layanan obat antiretroviral (ARV). “Walaupun banyak keluhan dalam skala mikro, tapi secara umum sudah lumayan,” kata Prof Wirawan. Hal ini dibenarkan oleh Adi, bukan nama sebeanrnya, seorang Odha berusia 31 tahun asal Padang, Sumatera Barat, yang berobat di sebuah LSM di Jakarta. Biar pun dia terdeteksi HIV tapi pelayanan yang dilakukan oleh sebuah rumah sakit di Padang terhadap dirinya tidak berbeda dengan pasien lain. Bahkan, rumah sakit itu langsung merujuk Adi ke Jakarta.

Sejak Januari 2010 Adi mendapat layanan yang baik di LSM itu. ”Saya pikir penanganan pasien AIDS sudah baik,” kata Adi. Tapi, yang dialami Adi ternyata bisa terjadi karena rumah sakit yang menanganinya di Padang sudah memiliki klinik VCT. Sedangkan rumah sakit rujukan di Jakarta pun dikenal sebagai rumah sakit yang berempati terhadap Odha. Ini menandakan karyawan rumah sakit di Padang dan Jakarta itu sudah dilatih sehingga mereka tidak canggung lagi menangani pasien dengan status HIV-positif.

Penanganan yang baik terhadap pengguna narkoba melalui program harm reduction menurunkan kasus infeksi di kalangan mereka. Di Bali, misalnya, pengguna narkoba suntikan menurun tajam yang pada akhirnya menurukan infeksi HIV baru. Lima tahun yang lalu estimasi jumlah pengguna narkoba suntikan di Bali sekitar 3.000, sedangkan estimasi saat ini hanya sekitar 1.000. Ini antara lain terjadi karena sekarang banyak di antara pengguna narkoba suntikan memakai metamphetamine (extacy, shabu, dll.) yang tidak disuntikkan.

Jalur Seksual

Program harm reduction merupakan salah satu bentuk yang ’revolusioner’, tapi tetap saja ditentang segelintir orang yang tidak melihat program ini dengan perspektif kesehatan masyarakat. Yang kontra menyebut bahwa subsitusi methadon hanya memindahkan bentuk ketergantungan. Padahal, dengan subsitusi ini mereka tidak lagi memakai jarum suntik sehingga risiko penyebaran HIV bisa ditekan. Jika pengguna narkoba tetap memakai jarum suntik secara bergantian maka risiko penyebaran HIV di kalangan mereka tetap tinggi. Pada gilirannya pengguna narkoba yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Inilah yang tidak dilihat kalangan yang kontra terhadap harm reduction karena mereka melihatnya dengan sudut pandang moral.

Prof Wirawan justru melihat yang gawat sekarang adalah penularan HIV melalui jalur hubungan seksual. Tapi, penanggulangan pada jalur ini banyak sekali tantangannya, seperti aspek teknologi, lingkungan dan sosial. Tantangan aspek teknologi yaitu pencegahan penularan HIV melalui hubungan seks dengan memakai kondom. Padahal, kondom ditentang habis-habisan oleh berbagai kalangan. Berbeda dengan penanggulangan di kalangan pengguna narkoba yang tidak mendapat penolakan dari masyarakat luas. Sedangkan dari aspek lingkungan sosial penanggulangan epidemi HIV justru mendapat tantangan yang kuat, terutama terkait dengan lokalisasi pelacuran dan sosialisasi kondom.

Karena jalur seksual merupakan faktor risiko penularan yang akan mendorong penyebaran HIV secara horizontal maka diperlukan upaya yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui jalur seksual. Pencegahan melalui jalur seksual adalah penggunaan kondom pada setiap hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Ini yang disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV.

Di beberapa negara, seperti Thailand, penularan HIV di kalangan dewasa sudah menurun. Ini terjadi Thailand menerapkan ’program kondom 100 persen’. Bukan hanya sekedar program tapi ada pula penegakan hukum yang konsisten. Secara rutin pekerja seks komersial di lokalisasi dan rumah bordir menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, dll.). Jika ada pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi mengidap IMS maka pengelola (germo) akan diberikan peringatan secara bertahap sampai pada penutupan usaha.

Keberhasilan Thailand ini pun kemudian dilirik Indonesia. Beberapa daerah menelurkan peraturan daerah (Perda) yang mengharuskan pemakaian kondom. Celakanya, ada Perda lain yang justru melarang pelacuran. Ini ambiguitas yang menunjukkan kemunafikan. Karena tidak ada lokalisasi atau rumah bordir tentulah tidak bisa dilakukan tes rutin terhadap PSK. Maka, langkah yang ditempuh dalam Perda-perda itu pun bagaikan ‘menggantang asap’ (pekerjaan yang sia-sia).

Jangankan program kondom 100 persen, kegiatan membawa PSK ke klinik setiap minggu pun menohok Prof Wirawan. Seorang wartawan menuding Prof Wirawan sebagai ’pelindung PSK’. Ini terjadi karena setiap hari Jumat klinik Kerti Praja di Sesetan, Denpasar, Bali, ’dibanjiri’ PSK untuk memeriksakan kesehatan, terutama terkait dengan infeksi menular seksual (IMS), seperti GO, sifilis, klamidia, dll. Padahal, yang dilakukan Prof Wirawan adalah upaya memutus mata rantai penyebaran IMS, termasuk HIV, ke populasi melalui laki-laki yang menjadi palanggan PSK. Soalnya, laki-laki ’hidung belang’ itu bisa saja sebagai suami sehingga menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK ke masyarakat.

Kambing Hitam

Upaya yang dilakukan Prof Wirawan ini merupakan salah satu langkah konkret. Tapi, berbagai kalangan mulai dari organisasi masyarakat, agama, dan adat serta jajaran pemerintah justru tidak mengakui ada (praktek) pelacuran di daerahnya dengan alasan sudah tidak ada lokasi dan lokalisasi pelacuran. Biar pun tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran tetap saja ada praktek pelacuran sehingga cara-cara yang dilakukan Prof Wirawan merupakan salah satu cara yang efektif untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV. Tapi, adakah yang berani mengikuti jejak Prof Wirawan?
Ya, yang terjadi adalah ’perlombaan’ membuat Perda penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS. Tapi, dari 32 Perda yang sudah ada tidak satu pun yang memberikan cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV. Semua Perda bertumpu pada norma, moral, dan agama. Misalnya, menyebutkan pencegahan HIV dengan meningkatkan iman dan taqwa. Ini menyesatkan dan menyuburkan stigma serta diskriminasi terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.

Penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan dan PSK sering terbentur dengan masalah hukum yang pada gilirannya juga tersandung pada masalah hak asasi manusia (HAM). Perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dan cap buruk (stigmatisasi) sering dialami Odha. Kondisi ini memperburuk upaya penanggulangan epidemi HIV karena banyak orang yang takut menjalani tes HIV sukarela. Selain itu ada pula yang sudah terdeteksi tapi tidak melanjutkan pengobatan.

PSK selalu menjadi ’kambing hitam’ penyebaran HIV tanpa memperhitungkan laki-laki yang sudah menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK. Ini menyuburkan stigma terhadap PSK yang pada gilirannya mengaburkan fakta empiris tentang penyebaran HIV karena laki-laki penular luput dari stigma. Pekerjaan PSK yang ilegal juga membuat posisi mereka terpojok karena bisa menjadi objek hukum dalam bentuk kriminalisasi dan pemerasan.

Dengan kondisi penanggulangan seperti sekarang ini maka kalau hanya mengandalkan anjuran melalui penjangkauan dan pendidikan untuk meningkatkan pemakaian kondom hasilnya akan sia-sia. ”Saya sudah melaksanakan hal ini tanpa henti selama 20 tahun, tanpa hasil yang memadai,” ujar Prof Wirawan. Apalagi penolakan dari beberapa kalangan terhadap sosialisasi kondom yang sangat kuat membaut anjuran memakai kondom kian runyam. Celakanya, anjuran sunat yang disebut-sebut bisa menurunkan risiko tertular HIV tidak ditentang. Padahal, ini akan menjadi bumerang karena laki-laki yang sudah disunat menganggap dirinya sudah memakai kondom. Padahal, sunat bukan jaminan tidak tertular HIV pada hubungan seksual yang berisiko.

Untuk itulah dalam penanggulangan epidemi HIV diperlukan cara-cara yang lebih komprehensif. Antara lain dengan intervensi struktural seperti yang dilakukan di Thailand dan Kamboja. Namun, hal ini tidak mudah karena menyangkut norma, moral dan agama yang selama ini dibenturkan ke sosialisasi kondom. Tentu saja ini mengharapkan komitmen pemimpin di pusat dan daerah. Yang terjadi selama ini komitmen muncul kalau kasus sudah banyak yang terdeteksi. Itu pun hanya sebentar karena akan muncul lagi isu lain yang menenggelamkan isu seputar HIV dan AIDS.

Program-program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesai diharapkan bisa mengerem laju epidemi HIV, seperti halnya pada pengguna narkoba dengan suntikan. Prevalensi HIV melalui hubungan seksual akan terus naik sehingga diperlukan intervensi penanggulangan yang komprehensif. Ini tentu saja akan berhadapan dengan isu moral sehingga memerlukan komitmen yang tinggi di semua kalangan. Tapi, inilah tantangan yang harus kita hadapi. ***

* Penulis adalah pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta dan Koresponden Harian ”Swara Kita” Manado di Jakarta.