Kamis, 22 April 2010

Tidak Ada Cara yang Efektif Melacak Kasus HIV dan AIDS

Tanggapan terhadap Berita ”Dinkes Aceh Terus Berupaya Lacak Kasus HIV/AIDS” (Antara, 16 April 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Dalam berita disebutkan: Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh melakukan berbagai gerakan dalam upaya melacak kasus HIV/AIDS yang dikhawatirkan jumlahnya terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir di provinsi tersebut. “Kami terus berupaya melakukan pelacakan dan pencarian kasus. Kasus HIV/AIDS di Aceh itu tidak hanya ditemukan di kota-kota besar di Aceh, tapi juga ada di beberapa kabupaten,” kata Kepala Dinkes Aceh dr M Yani, M.Kes.

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan cara yang akan dilakukan Dinkes Aceh dalam melacak dan mencari kasus HIV dan AIDS di Aceh. Sampai sekarang tidak ada cara yang ampuh dalam melacak atau mencari orang-orang yang sudah tertular HIV. Soalnya, orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV).

Pada rentang waktu antara 5 dan 15 tahun setelah tertular terjadi penyebaran HIV melalui berbagai kegiatan berisiko, seperti hubungan seks tanpa kondom, jarum suntik, transfusidarah, dll. Orang-orang yang menularkan dan yang tertular tidak menyadari ketika terjadi penularan.

Hal itu terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, ‘kumpul kebo’, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah mengidap HIV (HIV-positif).

Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Prov Aceh menyebutkan sampai Desember 2009 sudah terdeteksi 46 kasus HIV/AIDS. Tapi, perlu diingat bahwa angka ini semu karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es sehingga kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Dari 46 kasus yang ditemukan tentulah ada laki-laki yang beristri sehingga ada risiko penularan (horizontal) pada kalangan ibu-ibu rumah tangga. Istri yang tertular akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Jika di antara kasus itu ada PSK maka laki-laki yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi pula tertular HIV.

Orang-orang yang sudah terdeteksi dan yang belum terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Mereka inilah yang perlu ’dicari”. Yang bisa dilakukan Dinkes Aceh adalah meningkatkan penyuluhan dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS yang akurat. Antara lain mengajak orang-orang (laki-laki atau perempuan) yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung, PSK tidak langsung (pekerja hiburan malam, panti pijat, ‘ibu rumah tangga’, ‘anak SMA’. ‘mahasiswi’, dll.).

Dalam berita disebutkan: ”Pihaknya akan menyelidiki tempat-tempat yang memiliki risiko besar bagi penularan penyakit HIV/AIDS, meski di Aceh tidak ada lokalisasi bagi wanita tuna susila.” Tidak ada tempat yang bisa menularkan HIV karena HIV tidak bisa ditularkan melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari. Yang berisiko adalah perilaku seks orang per orang. Di Arab Saudi tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam tapi sampai akhir tahun lalu sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus AIDS.

Selama penanggulangan epidemi HIV dilakukan dengan cara-cara yang tidak realistis maka selama itu pula akan terjadi penyebaran HIV. Pada gilirannya epidemi HIV akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar