Selasa, 20 April 2010

…. Dan Keadilan Pun untuk Semua

Kasus Gayus ”Markus” Pajak

Oleh Syaiful W. Harahap*

Sebagai seorang pembela Arthur Kirkland masuk bui karena dakwaan menghina pengadilan. Pembela di Baltimore, AS, yang mudah marah ini melemparkan pukulan ke hakim Henry T. Fleming ketika berdebat pada sidang pengadilan dengan terdakwa Jeff McCullaugh (Thomas G. Waites). Pesakitan ini didakwa karena pelanggaran lalu lintas, tapi kemudian didakwa juga sebagai pembunuh. Dia sudah satu setengah tahun dibui. Sebagai pengacara Kirkland berupaya untuk mengajukan peninjuan kembali kasus McCullaugh karena ada bukti baru. Tapi, Hakim Fleming menolak banding Kirkland.

Kirkland menangani kasus lain. Suatu hari Kirkland kaget karena dia diminta untuk membela Hakim Fleming. Hakim ini disidang karena kasus tududuhan pemerkosaan. Padahal, selama ini mereka dikenal publik sebagai ’musuh bebuyuatan’ di persidangan. Rupanya, Hakim Fleming melihat kalau Kirkland membelanya maka masyarakat akan percaya bahwa dia memang tidak bersalah. Kirkland tidak bisa menolak karena ada ’ancaman’ pemecatan terhadap dirinya.

Walaupun Kirkland sebagai pengacara sudah diingatkan agar tidak mengkhianatii kliennya, dalam hal ini Hakim Fleming, tapi Kirkland tidak bergeming. Berdasakan bukti-bukti yang ada Kirkland justru menguatkan kesalahan kliennya. Pengacara ini ‘mengirim’ musuh bebuyutannya itu ke bui.

Tapi, tunggu dulu. Itu adegan di film …. And Justice for All. Film ini diproduksi tahun 1979. Kirkland diperankan oleh aktor Al Pacino. Hakim Fleming diperankan oleh John Forsythe.

Kenyataan itu sangat berbeda dengan pemandangan yang selama ini terjadi di ruang sidang pengadilan. Pengacara akan mati-matian membeli kliennya agar lolos dari jerat hukum.

Kita teringat kembali ke film lama ini ketika pengacara Adnan Buyung Nasution, yang akrab dipanggil Bang Buyung, menjadi pembela Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak, Kemenkeu RI, yang terkait dengan ’makelar kasus’ (Marksu) pajak. Dengan pangkat/golongan III-A yang masa kerjanya baru lima tahun pegawai Ditjen Pajak ini sudah menorehkan angka miliaran rupiah di rekening tabungannya serta memilik rumah dan mobil berharga ratusan juta rupiah.

Pertanyaannya kemudian adalah: ”Apakah Bang Buyung mau atau bisa meniru jejak Kirkland?” Inilah pertanyaan yang sangat mendasar. Soalnya, selama ini pengacara hanya burusaha untuk membebaskan klinennya dari semua dakwaan jaksa agar divonis bebas oleh hakim.

Ada ’angin sorga’ ketika Bang Buyung mengatakan bahwa dia bersedia menjadi pembela Gayus asalkan Gayus jujur. Putri Bang Buyung, Pia, yang menjadi anggota tim pengacara Gayus pun mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menjanjikan vonis bebas bagi kliennya.

Memang, apa pun keselahan seseorang dia tetap berhak mendapatkan perlakuan yang adil di depan hukum dengan asas praduga tidak bersalah. Inilah yang menjadi pintu masuk bagi Bang Buyung untuk menerima permintaan keluarga Gayus untuk membela pesakitan itu.

Tapi, di balik semua hak-hak formal Gayus dan koruptor lain ada duka yang sangat mendalam bagi negeri ini. Uang rakyat yang dikumpulkan sebagai pajak melalui Ditjen Pajak yang akan dipakai memutar roda pembangunan justru masuk ke kocek pegawai dan orang-orang lain yang terkait dengan sindikat ’mafia pajak’. Miliran rupiah uang pajak untuk dana pembangunan nasional menguap di Ditjen Pajak.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian muncul upaya menggalang ’kekuatan sosial’ melalui dunia maya untuk menolak membayar pajak. Ini pun akan membuka wacara pro dan kontra. Celakanya, lagi banyak orang yang berteriak ”Stop Pinjaman Luar Negeri” tapi dia sendiri tidak (pernah) membayar pajak.

Ada yang luput dari cara berpikir bangsa ini yaitu filosofi pajak itu sendiri. Kita patut bertanya: Apakah semua pengawai Ditjen Pajak mengetahui filosofi pajak? Kalau pegawai Ditjen Pajak memahami filososi pajak secara komprehensif tentulah ada ’rem moral’ pada diri mereka untuk tidak menyabet uang rakyat itu. Filosofi pajak ini akan membuka pradigma dalam melihat kewajiban sebagai warga negera. Pajak merupakan bakti untuk negeri, tapi sayang digarong para koruptor dan ’markus’ pajak.

Namun, kita ragu-ragu apakah alam proses pendidikan formal dan pembinaan internal pegawai Ditjen Pajak filosofi pajak dikedepankan. Pada mulanya pajak merupakan ’kesepakatan’ antara penguasa (pemerintah) dan rakyat. Ketika seseorang menghasilkan uang maka dia diminta menyisihkan sebagai penghasilannya untuk negara. Sebaliknya, jika dia tidak bisa menghasilkan lagi maka negara wajib menyantuninya. Maka, di banyak negara penduduknya akan sumringah (berseri-seri) membayar pajak karena merupakan ’tabungan’.

Taip, lain dengan Indonesia. Selain sebagai negara paling korup di kawasan Asia Pasifik pengembalian pajak pun tidak menyentuh kehidupan rakyat banyak. Bahkan, uang pajak rakyat justru ditilep oleh pegawai negara.

Di pihak lain banyak orang yang menikmati pembangunan dari uang pajak rakyat tapi tidak membayar pajak. Bahkan, banyak orang yang memiliki harta yang banyak, rumah mewah, mobil mentereng tapi tidak mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sudah saatnya pemerintah menjadikan nomor induk kependudukan (NIK) menjadi NPWP sehingga semua penduduk otomatis menjadi wajib pajak.

Selain pengawasan upaya memberatas korupsi di negeri ini juga dapat dilakukan oleh setiap individu. Seorang ayah atau mertua, misalnya, mau bertanya kepada anak atau menantunya jika melihat anak atau menantunya memiliki uang atau harta yang melebihi penghasilannya. Namun, yang terjadi di negeri ini orang tua atau mertua justru gembira jika melihat anak atau menantunya memiliki harta yang berlimpah.

Bagi pengawai negeri yang korupsi dan masyarakat yang tidak membayar pajak perlu dipikirkan hukuman kerja sosial selain hukuman penjara dan denda. Para koruptor dan ’markus’ pajak diwajibkan menyapu jalan raya di siang hari, membersihkan kaca jendela kantor pemerintah, menguras WC umum atau rumah-rumah ibadah dengan seragam khusus bertuliskan: ”Saya Narapidana Korupsi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar