Selasa, 20 April 2010

Laki-laki sebagai Mata Rantai Penyebar HIV

Tanggapan terhadap berita “Penyebaran HIV/AIDS Meningkat, Dolly Bakal Ditutup”, (Jurnal Nasional, 30 Maret 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Ternyata biar pun epidemi HIV sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1987 dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah tersebar luas, tapi tetap saja ada pihak atau kalangan yang ’buta’ terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Dalam berita disebutkan “Tingginya tingkat penyebaran virus HIV/AIDS yang diidap para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur, menyebabkan wacana menutup kompleks pelacuran ….” Ada fakta yang luput atau digelapkan dalam pernyataan ini yaitu: yang menularkan HIV kepada PSK.

Alasan untuk menutup Dolly adalah karena tingkat infeksi HIV di kalangan PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, selingkuhan, lajang, remaja atau duda. Ketika ada PSK yang tertular HIV dari pelanggannya maka laki-laki yang kemudian mengencani PSK tadi berisiko pula tertular HIV.

Di negara-negara yang tidak mempunyai lokalisasi pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Di Arab Saudi, misalnya, yang menerapkan kitab suci sebagai UUD tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sampai akhir tahun 2009 sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus AIDS.

Biar pun Dolly ditutup tetap saja terjadi praktek pelacuran, seperti di hotel, motel, losmen, rumah kos, rumah, flat, taman, hutan, pantai, dll. Praktek-praktek pelacuran yang tidak menerapkan ‘seks aman’ (laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks penetrasi yaitu penis masuk ke dalam vagina) itulah yang mendorong penyebaran HIV. Maka, yang menjadi pemicu penyebaran HIV bukan lokalisasi dan PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ yaitu laki-laki yang sesekali atau sering melakukan hubungan seks tanpa memakai kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di lokalisasi atau di luar lokalisasi.

Jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat maka kehadiran lokalisasi adalah untuk memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, herpes, virus hepatitis B, dll.) dari PSK ke masyarakat melalui laki-laki ‘hidung belang’. PSK yang praktek di lokalisasi dicek kesehatannya secara rutin sehingga laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan PSK terhindar dari IMS.

Di bagian lain disebutkan pula “ ….. Pemerintah Provinsi Jatim mendesak Pemerintah Kota Surabaya untuk segera menutup Dolly. Apalagi, tahun 2010 ini, Jatim menduduki urutan kedua provinsi dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Indonesia ….” Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan merupakan kasus kumulatif yang akan terus bertambah karena kasus lama akan ditambah dengan kasus baru. Penemuan kasus merupakan langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Di daerah yang kasus HIV/AIDS-nya rendah bukan berarti daerah itu ’aman’ karena ada kemungkinan upaya mendeteksi kasus HIV di masyarakat rendah. Akibatnya, penemuan kasus jarang sehingga angka kecil atau rendah. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan epidemi AIDS.

Disebutkan pula ”Jika pemkot tidak segera menutup lokalisasi, maka pemkot harus bertanggung jawab atas menularnya penyakit AIDS.” Apakah bisa dibuktikan bahwa semua kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi di Surabaya atau Jawa Timur berasal dari Dolly? Ini anggapan yang sangat naif karena penduduk Surabaya dan Jawa Timur bepergian ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Bisa saja terjadi ada di antara mereka yang tertular di luar Surabaya dan Jawa Timur sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV ketika pulang ke daerahnya.

Jika Dolly ditutup bukan otomatis tidak ada praktek pelacuran di Surabaya. PSK Dolly yang dipulangkan pasca penutupan pun akan kembali ke Surabaya atau kota lain di Indonesia. Bersamaan dengan itu akan muncul pula PSK-PSK baru.

Ada lagi pernyataan ”Setelah penutupan, Pemkot Surabaya harus dapat memberi pembinaan, keterampilan, dan mengawasi para PSK yang pulang ke kampungnya masing-masing agar tidak kembali terjerumus ke perbuatan maksiat.” Apakah yang berbuat maksiat hanya PSK? Bagaimana dengan laki-laki ’hidung belang’?

Kita sering memakai kaca mata moral ketika melihat PSK dengan sudut pandang moralitas pribadi sehingga terjadi bias gender. Padahal, yang berperan dalam menyuburkan pelacuran adalah laki-laki. Yang mencari PSK adalah laki-laki. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki.

Apakah kita masih tetap akan menutup mata terhadap fakta itu? Ya, jika itu yang terjadi maka selama itu pula penyebaran HIV akan merajalela di negeri ini dan kita tinggal menunggu ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar