Kamis, 22 April 2010

Tanggapan untuk Berita di Harian ”Bengkulu Ekspres”

Memahami HIV/AIDS untuk Melindungi Diri

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 14/1-2009. ”Virus HIV (human immuno deficiency virus) terus mengancam warga Provinsi Bengkulu.” Ini pernyataan pada lead berita “21 dari 107 Pengidap HIV/AIDS, Meninggal” di Harian ”Bengkulu Ekspres” (2/10-2007). Ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. Dalam laporan Ditjen PPM&PL Depkes RI tanggal 14 April 2008 disebutkan ada 28 kasus AIDS di Bengkulu dengan 18 kasus pada pengguna narkoba dan 9 meninggal. Angka ini menempatkan Bengkulu pada urutan ke-24 dari 33 provinsi. Perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh ketika terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada proses menyusui.

Bertolak dari fakta di atas maka pernyataan yang menyebutkan ”Virus ini dapat menular melalui hubungan seks bebas yang bukan dengan pasangannya” adalah salah karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif) bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah). Pernyataan yang menyebutkan penularan HIV terjadi kalau ” .... melakukan hubungan seksual bukan dengan pasangannya” adalah salah karena dengan pasangan yang sah pun bisa terjadi penularan kalau salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memaki kondom setiap kali melakukan hubungan seks.

Mata Rantai

Selama ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, pranikah, seks menyimpang, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi pada ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, pranikah, seks menyimpang, waria, dan homoseksual.

Sedangkan penularan HIV melalui pengguna narkoba bisa terjadi karena pengguna narkoba dengan suntikan biasanya beramai-ramai. Mereka memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika salah satu dari mereka HIV-positif maka semua yang memakai jarum suntik akan berisiko tertular HIV. Maka pernyataan ” ..... dihimbau pada masyarakat janganlah pernah untuk mengkonsumsi Narkoba .... ” agar tidak tertular HIV tidak benar karena yang menjadi media penularan bukan narkoba tapi jarum suntik yang dipakai bergiliran. Orang-orang yang menjalani operasi (bedah) di rumah sakit memakai narkoba agar tidak merasa sakit. Kalau disebut narkoba penyebab HIV/AIDS tentulah semua orang yang pernah menjalani oprasi sudah tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula penularan HIV terjadi melalui ” .... jarum suntik yang tidak steril pada proses transfusi darah”. Ini pun tidak benar karena penularan HIV melalui transfusi darah adalah karena darah yang ditransfusikan mengandung HIV. Untuk itulah dianjurkan agar tidak menerima transfusi darah kalau darah yang akan ditransfusikan tidak diskrining HIV.

Disebutkan ” .... di Kota Bengkulu, virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 2001 yang menyerang 3 wanita di lokalisasi”. Fakta ini mengandung dua kemungkinan.

Pertama, ketiga wanita itu ditulari oleh penduduk lokal yang menjadi pelanggan wanita di lokalisasi. Laki-laki yang menularkan HIV kepada tiga wanita itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, remaja atau jejaka yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, tani, nelayan, sopir, pelajar, mahasiswa, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Persoalannya adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Maka, kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terungkap bukan karena mereka malu atau menutup-nutupi kasusnya tapi karena tidak mengetahui dirinya sudah tertular HIV. Tapi, pada rentang waktu ini sudah bisa terjadi penularan HIV lagi-lagi tanpa disadari malalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, (d) ASI.

Perilaku Berisiko

Kedua, ketiga wanita itu sudah HIV-positif (mengidap HIV) ketika mereka pertama kali datang ke lokalisasi. Kalau ini yang terjadi maka penduduk lokal yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di lokalisasi tadi berisiko tinggi tertular HIV. Kalau ada laki-laki yang tertular, lagi-lagi mereka tidak menyadarinya, maka laki-laki itulah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Bagi yang beristri akan menularkan HIV tanpa disadarinya kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandung istrinya kelak (vertikal). Perlu diingat HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks.

Hasil survai perlu dicermati karena hasil HIV-positif tes pada survailans tidak otomatis HIV-positif karena setiap hasil tes HIV harus dikonfirmasi dulu dengan tes lain. Tes HIV dengan rapid test atau ELISA bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi). Keabsahan hasil tes HIV baru bisa kuat kalau tes dilakukan minimal tiga bulan setelah tertular HIV.

Terkait dengan kasus yang kian banyak ditemukan terjadi karena kegiatan survailans tes HIV semakin gencar. Selain itu sebagian dari yang tertular HIV pun sudah mencapai masa AIDS. Pada masa AIDS sudah mulai ada penyakit, yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, jamur, TB, dll. sehingga mereka berobat. Jika penyakitnya susah disembuhkan maka dokter akan menganjurkan untuk menjalani tes HIV apalagi diketahui kalau perilaku pasien berisiko tinggi tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (c) menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan.

Untuk itulah dianjurkan kepada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Makin banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus karena mereka diajak untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. ***

* Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar