Kamis, 22 April 2010

Tidak Ada Kaitan Langsung antara Tsunami dan Penyebaran AIDS di Aceh

Tanggapan terhadap Berita “Pasca Tsunami, Aceh Rawan HIV/AIDS” (JPNN.com, 24 Maret 2010)

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 7 April 2010. Penemuan kasus HIV dan AIDS di wilayah Provinsi Aceh belakangan ini sering dikait-kaitkan dengan kedatangan banyak orang sejak Tsunami (Desember 2004). Anggapan ini terjadi karena ada pernyataan bahwa kasus-kasus HIV dan AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami daerah ini terbuka. Ini mengesankan HIV dan AIDS di Aceh dibawa orang luar (negeri). Pemahaman ini menyesatkan.

Di wilayah Aceh sudah dilaporkan 43 kasus AIDS. Angka kasus AIDS di Aceh yang kecil inilah yang membuat orang Aceh terlena. Padahal, angka itu tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, angka yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari angka yang sebenarnya.

Apakah fenomena gunung es epidemi HIV ini berlaku di Aceh? Ada beberapa faktor yang terkait dengan fenomena itu, yaitu: (a). Perilaku masyarakat terkait dengan hubungan seks berisiko, dan (b) Perilaku masyarakat dalam menyalahgunakan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).

Sebelum Tsunami

Jika ada penduduk Aceh yang pernah atau sering melakuklan perilaku seks yang berisiko tinggi tertular HIV maka fenomena itu ada di (masyarakat) Aceh. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan kondisi penis bersentuhan langsung dengan vagina dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri, dan (b) melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan kondisi penis bersentuhan langsung dengan vagina dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri, seperti pekerja seks komersial atau waria.

Fenomena gunung es itu pun akan berlaku di Aceh jika penyalahguna narkoba memakai jarum suntik secara berganti-ganti dan bergiliran. Laporan Depkes RI menunjukkan dari 40 kasus AIDS yang dilaporkan ada 11 kasus terdeteksi di kalangan penyalahguna narkoba. Penyalahguna narkoba biasanya menyuntukkan narkoba dalam kelompok antara dua sampai lima orang. Andaikan salah satu di antara mereka mengidap HIV maka teman-temannya akan berisiko pula tertular HIV. Masing-masing dari mereka inii juga mempunyai kelompok sehingga penyebaran HIV melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba sangat cepat ibarat deret ukur.

Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Aceh tidak disampaikan secara akurat. Akibatnya, banyak yang tidak memahami HIV/AIDS. Maka, tiadk mengherankan kalau kemudian masyarakat menuding pendatang sebagai biang keladi penyebaran HIV karena sebelum tsumani hanya 1 kasus yang dilaporkan.

Tapi, tunggu dulu. Mengapa kasus HIV dan AIDS sebelum tsunami hanya terdeteksi 1 kasus? Sebaliknya, mengapa setelah tsunami banyak kasus HIV dan AIDS yang tedeteksi?

Pertama, kasus HIV/AIDS hanya bisa terdeteksi melalui tes darah di laboratorium dengan reagent khusus. Upaya untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat selama ini dilakukan melalui survailans tes HIV kepada kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat, dan waria. Sebelum tsunami survailans tes HIV di Aceh hanya dilakukan satu kali di satu kabupaten saja karena suasana yang tidak memungkinkan karena ketika itu sedang terjadi konflik bersenjata.

Kedua, setelah tsunami mulai banyak kegiatan untuk melakukan survailans tes HIV karena suasana sudah aman sehingga mulai ditemukan kasus HIV dan AIDS. Klinik-klinik tes, dikenal sebagai klinik VCT (voluntary counseling and testing yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling atau bimbingan sebelum dan sesudah tes secara gratis) mulai dijalankan di beberapa rumah sakit. Selain itu ada pula pusat rehabilitasi narkoba yang juga menyaratkan tes HIV bagi penyalahguna narkoba yang akan direhabilitasi.

Setelah Tsunami

Ketiga, orang Aceh yang tertular HIV sebelum tsunami mulai menunjukkan gejala-gejala yang terkait dengan AIDS. Ini terjadi karena secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular sebelum tsunami mulai ada yang sakit sehingga mereka harus berobat ke rumah sakit. Penyakit yang mereka derita, seperti diare, sariawan, jamur, TBC, pneumonia (radang paru-paru), dll. sulit disembuhkan sehingga dokter menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV. Dari sinilah kasus-kasus AIDS banyak terdeteksi di Aceh.

Maka, anggapan yang menyebutkan HIV dan AIDS di Aceh dibawa orang asing setelah tsunami terjadi karena pemahaman terhadap HIV dan AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Selain itu pakar pun menyampaikan informasi yang menyesatkanKasus HIV dan AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami.

Tsunami di Aceh terjadi pada Desember 2004. Sejak 2005 kasus HIV dan AIDS mulai terdeteksi di Aceh. Gejala AIDS baru mulai muncul antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Maka, kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami yaitu antara tahun 1990 dan tahun 2000.
Selama ini ada mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV yaitu mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum nikah, ‘jajan’, selingkuh, waria, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau seseorang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa pelindung dengan orang yang sudah mengidap HIV. Fakta itulah yang tidak dipahami oleh masyarakat secara luas sehingga banyak orang yang tertular HIV karena ketidaktahuan. Lebih dari 90 persen orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka.

Dalam kaitan inilah untuk menekan infeksi baru di kalangan dewasa dan remaja Pemprov. Aceh melalui jajarannya menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Jika masyarakat sudah memahami HIV/AIDS dengan benar maka diharapkan penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalan tes HIV secara sukarela. Fasilitas tes gratis dengan konseling sudah disedikan di beberapa rumah sakit melalui klinik VCT.

Semakin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Mereka pun bisa ditangani secara medis melalui pemberian obat antiretroviral (ARV) agar mereka tetap produktif. Pada gilirannya, kasus-kasus infeksi baru pun akan bisa ditekan. ***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar