Selasa, 09 Februari 2010

Statistik kasus AIDS di Indonesia s.d. Desember 2009

Berikut adalah laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember 2009, yang diterima dari Ditjen PP & PL, berdasarkan surat Direktur Jenderal P2PL, Prof. dr. Tjandra Y Aditama,SpP(K), DTM&H:

1. Laporan Kasus AIDS

a. Sampai dengan 31 Desember 2009 secara kumulatif jumlah kasusAIDS yang dilaporkan adalah sebagai berikut:

Kasus AIDS : 19.973

Provinsi yang melaporkan AIDS: 32 provinsi

Kabupaten/Kota yang melaporkan AIDS: 300 kab/kota

Ratio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1

b. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui
- Heteroseksual 50,3%,
- IDU 40,2%, dan
- Lelaki Seks Lelaki 3,3%.

c. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada:
kelompok umur 20-29 tahun (49,07%),
disusul kelompok umur 30-39 tahun (30,14%)
dan kelompok umur 40-49 tahun (8,82%).

d. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari :
Jawa Barat,
Jawa Timur,
DKIJakarta,
Papua,
Bali,
Kalimantan Barat,
Jawa Tengah,
SulawesiSelatan,
Sumatera Utara,
Riau,
Kepulauan Riau.

e. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Desember2009 adalah 8,66 per 100,000 penduduk (berdasarkan data BPS 2009, jumlah penduduk Indonesia 230.632.700 jiwa).

f. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari provinsi:
Papua (15,4 kali angka nasional),
Bali (5,2 kali angka nasional),
DKI Jakarta (3,7 kali angka nasional),
Kep. Riau (2,6 kali angkanasional),
Kalimantan Barat (2 kali angka nasional),
Maluku (1,6kali angka nasional).
Bangka Belitung (1,3 kali angka nasional),
Papua Barat dan Jawa Timur(1,03 kali angka nasional).

g. Proporsi kasus AIDS yag dilaporkan telah meninggal adalah 19,3%.

h. Infeksi oportunistik yang terbanyak dilaporkan adalah:
TBC: 10359
Diare kronis: 5691
Kandidiasis oro-faringeal: 5604
Dermatitis generalisata: 1448
Limfadenopati generalisata: 709

i. Pada triwulan ini penambahan kasus AIDS adalah sebanyak 1531kasus.

2. Laporan Monitoring VCT

a. Berdasarkan laporan ini didapatkan dari layanan VCT sampai dengan 31 Juli 2009, persentase kumulatif infeksi HIV tertinggidilaporkan pada kelompok umur 30-39 tahun (16,49%), disusulkelompok umur 20-29 tahun (15,41%) dan kelompok umur kurang dari1 tahun (13,61%).

b. Kumulatif infeksi HIV pada kelompok risiko dilaporkan tertinggipada kelompok IDU (52,18%), pada kelompok waria (25,89%) danpasangan risiko tinggi (15,83%).

3. Laporan Monitoring CST

a. Perawatan HIV di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005 denganjumlah yang masih dalam pengobatan ARV pada tahun 2005 sebanyak2.381 (61% dari yang pernah menerima ARV). Kemudian sampai dengan30 November 2009 terdapat 15.442 ODHA yang masih menerima ARV(60,8% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi dilaporkan dari provinsi DKIJakarta (7269), Jawa Barat (1819), Jawa Timur (1.200) , Bali(875), Papua (534), Jawa Tengah (438), Sumatera Utara (433),Kalimantan Barat (398), Kepulauan Riau (358), dan SulawesiSelatan (334).

b. Kematian ODHA menurun dari 46% pada tahun 2006 menjadi 17% padatahun 2008.

c. Sampai dengan November 2009 80% masih menggunakan rejimen linipertama, 17,7% telah substitusi (salah satu ARV nya digantidengan obat ARV lain tapi masih pada kelompok lini pertama yangoriginal) dan 2,3% switch (1 atau 2 jenis ARV nya diganti denganobat ARV lini kedua).

4. Laporan Estimasi dan ProyeksiEstimasi populasi rawan tertular HIV di Indonesia tahun 2006 sebesar193.000. Pada tahun 2014 diproyeksikan jumlah infeksi baru HIV usia15-49 tahun sebesar 79.200, dan proyeksi untuk ODHA usia 15-49 tahunsebesar 501.400 kasus.

[Catatan:1. Laporan mengenai faktor risiko tidak mencatat jumlah mutlak,melainkan hanya mencatat persentase kasus AIDS yang dilaporkanberasal dari masing-masing faktor risiko. Namun untuk TransfusiDarah/Hemofila, persentase dicatat dalam laporan adalah 0,1%, jadi saya bingung mengenai kasus ini. Pada laporan sd September 2008,persentase untuk faktor risiko ini 0,3%, atau kurang lebih samadengan 46 kasus.2. Nanti kami akan menyebarkan informasi hasil ART dari laporan ini.3. File statistik lengkap dalam format HTML, MS-Excel dan PDF sudah diupload ke bagian Statistik di situs web Spiritia http://spiritia.or.id

Tanggapan terhadap tulisan Fajar Hidayanto

Tanggapan terhadap artikel “PERDA SYARI’AH UNTUK PENANGGULAN HIV/AIDS” tulisan Fajar Hidayanto, dosen tetap FIAI UII Yogyakarta, di http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/248/243

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]


Ketika negara-negara lain banting tulang menanggulangi HIV/AIDS di awal-awal epidemi pada awal tahun 1980-an Indonesia justru ‘bersilat lidah’ dengan membusungkan dada mengatakan bahwa HIV/AIDS tidak akan masuk ke Indonesia karena masyarakatnya berbudaya, religius dan ber-Pancasila. Begitu pula ketika dalam pidato pembukaan Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI, Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS, secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia (Syaiful W. Harahap, Harian “SUARA PEMBARUAN”, 6 Oktober 2001) Tapi, tetap saja tidak ada reaksi. Ibarat ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’.

Tapi, apa yang terjadi satu dekade kemudian? Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia yang pertambahan kasus HIV/AIDS-nya paling tinggi setelah India dan Cina. Kalau saja Indonesia mau belajar dari sejarah tentulah epidemi HIV/AIDS di Indonesia bisa ditanggulangi. Soalnya, Thailand pun ketika diingatkan oleh ahli-ahli epidemiologi Barat tentang epidemi HIV/AIDS di negeri itu awal tahun 1990-an penguasa di Neger Gajah Putih itu juga menamping. Mereka mengatakan masyarakatnya berbudaya dan bergama. Apa yang terjadi satu dekade kemudian? Kasus HIV/AIDS di sana mendekati angka satu juta. Devisa yang diperoleh neger itu dari sektor pariwisata yang menjadi andalahnya hanya cukup untuk dua pertiga untuk dana penanggungalan HIV/AIDS.

Belakangan pakar-pakar epidemiologi di negeri itu putar otak. Mereka menjalankan serangkaian program yang komprehensif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Salah satu program yang dikabarkan bisa menekan insiden kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa adalah ‘pemakaian kondom 100 persen’.

Celakanya, Indonesia yang sudah berada pada posisi ‘bak kebakaran jenggot’ meniru program ‘pemakaian kondom 100 persen’ secara telanjang. Hasilnya? Penolakan besar-besaran. Mengapa hal itu terjadi?

Ternyata ‘pemakaian kondom 100 persen’ yang dijalankan Thailand merupakan ekor dari serangkaian program yang komprehensif. Maka, Indonesia pun mengekor ke ekor program.

Program penanggulangan dimulai dari pendidikan masyarakat tentang HIV/AIDS secara akurat melalui media massa secara intens. Sebaliknya di Indonesia penyebarluasan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS justru dibalut dengan noram, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Materi KIE AIDS di Indonesia hanya menonjolkan ‘aurat’ (baca: zina). Akibatnya, muncul kesan yang kuat di Indonesia bahwa penularan HIV melalui hubungan seks karena zina yaitu hubungan seks dilakukan di luar nikah, seperti melacur, seks pranikah, jajan, selingkuh, dan homoseksual.

Sebagai fakta medis HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan terdapat dalam: (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagian (perempuan), (d) air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV melalui darah (bisa) terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh.

Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina (bsia) terjadi kalau air mani dan cairan vagina masuk ke dalam tubuh ketika melakukan hubungan seks di dalam atua di luar nikah jika tidak memakai kondom.

Penularan HIV melalui ASI (bisa) terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.

***

Dalam tulisannya Fajar Hidyanto menyebutkan “Selain itu hubungan gelap berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom juga terus menjadi faktor penyebab/epidemi ini
bertambah.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, zina, jajan, dll.).

Pernyataan “hubungan gelap berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom” sebagai penyebab epidemi HIV tidak akurat karena hal ini dikenal sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Biar pun hubungan seks gelap, zina, melacur, jajan, selingkuh, homoseksual kalau kedua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV.

Di bagian lain Fajar Hidayanto menyebut “ .... namun kampanye “kondomisasi” itu sendiri akan memperburuk keadaan, karena justru mendorong langgengnya penyebab utama AIDS, yaitu kebebasan seksual”. Ini juga tidak akurat.

Pertama, tidak ada kampanye kondomisasi. Yang dilakukan pemerintah dan berbagai kalangan adalah sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks pada perilaku berisiko yaitu (1) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Kedua, tidak ada kaitan langsung antara penyebab utama AIDS dengan kebebasan seksual. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kalu melakukan hubungan seks.

Ada pula pernyataan “Tampaknya ada anggapan di sebagian kalangan, bahwa AIDS hanya masalah kalangan kedokteran. Padahal Keppres No.36 Tahun 1996, tentang Komisi Penanggulangan AIDS, menetapkan bahwa masalah penanggulangan AIDS sebenarnya bukan hanya tugas dunia kedokteran, ....”. HIV/AIDS adalah masalah kedokteran (fakta medis) karena HIV/AIDS dapat diuji secara medis di laboratorium kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahan dikenal di dunia medis.

Ada pernyataan ” .... persoalan penanganan AIDS inipun menjadi bertambah rumit ketika
berhadapan dengan budaya masyarakat.” Ini terjadi karena penanggulangan HIV/AIDS dari aspek medis dibenturkan dengan norma, moral, dan agama. Kalau saja masing-masing berjalan pada relnya dengan tujuan yang sama yaitu menyadarkan masyarakat untuk menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV maka tidak akan ‘bertambah rumit’.

Ada pula kesan yang ngawur di Indonesia yaitu (a) seolah-olah hanya masyarakat Indonesia yang berbudaya (Timur) dan beragama, (b) hanya Islam yang melarang zina. Semua negara atau bangsa di muka bumi ini mempunyai kebudayaan dan agama. Perilaku sebagian orang di Eropa Barat dan AS bukan budaya tapi merupakan perilaku individu. Namun, di Indonesia ada anggapan perilaku orang per orang di Barat yang mereka simak dari film dan televisi dikategorikan sebagai budaya Barat.

Kita sering berkoar-koar sebagai bangsa yang suka saling membantu (baca: gotong royong). Sampai ada presiden yang menamakan kabinetnya sebagai kabinet gotong royong. Tapi, mengapa sepak bola yang dilakukan secara gotong royong tidak bisa menembus dunia? Sedangkan di Barat yang kita sebut sebagai masyarakat individualis ternyata jawara di bidang olah raya gotong royong.

Ada lagi pernyataan “Di Irian Jaya misalnya, sejak tahun 1990 mempunyai kebiasaan free sex sebagai bagian ritual keagamaan. Dan perilaku seksnya cenderung violent.” Istilah free sex tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris sehingga penyebutan ini merupakan ungkapan normatif dari aspek moral yang menggambarkan perilaku, tapi perlu diingat itu perilaku orang per orang bukan budaya suatu bangsa atau negara. Di beberapa daerah di Indonesia sejak zaman dahulu sampai sekarang dikenal ‘kumpul kebo’ yaitu hidup sebagai suami-istri di luar nikah.

Keberhasilan Thailand menurunkan insiden penularan HIV baru di kalangan dewasa melalui ‘program kondom 100 persen’ pun menjadi ‘kiblat’ penanggulangan epidemi HIV/AIDS Indonesia. Padahal, perlu diingat itu hanya ekor dari serangkaian program yang komprehensif.

‘Pengekoran’ pun diwujudkan melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari provinsi, kota sempai kabupaten di Nusantara yang menelurkan Perda. Dimulai di Kab. Nabire, Tanah Papua, yang menelurkan Perda No. 18 Tahun 2003.

Apakan perda-perda AIDS itu bisa menanggulangi epidemi HIV?

Tentu saja tidak. Mengapa?

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang bisa menjadi sasaran ‘program kondom 100 persen’. Soalnya, pemantauan dilakukan terhadap pekerja seks. Jika ada yang terdeteksi mengidap infeksi menular seksual/IMS, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll. Maka itu menunjukkan ada PSK yang melakuka hubungan seks dengan laki-laki yang tidak mekakai kondom. Maka, program itu pun mustahil dijalankan di Indonesia.

Kedua, penolakan besar-besaran terhadap kondom. Banyak kalangan yang mengait-ngaitkan kondom dengan zina. Padahal, para pezina atau ‘lelaki hidung belang’ justru enggan memakai kondom.

Penolakan ini terjadi karena pemahaman masyarakat terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang tidak akurat karena selama ini informasinya dibalut dengan norma, moral, dan agama. Ini terjadi karena sosialiasi kondom dilakukan ketika masyarakat belum memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

***

Di bagian lain disebutkan “Bahwa Peraturan Daerah (Perda) bernuasa syariah bukanlah sebuah pembelengguan bagi masyarakat. Justru kehadirannya untuk memberikan koridor secara moral bagi masyarakat dalam melakukan aktivitasnya yang sarat dengan berbagai godaan dunia.” Ini lagi-lagi mengaitkan HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan norma, moral, dan agama. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seks dengan norma, moral, dan agama.

Di negara-negara yang menjadikan kitab suci sebagai UUD pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, yang menjadi Alquran sebagai UUD sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Begitu juga di negara-negara yang menerapkan agama secara ketat tetap saja terdeteksi kasus HIV/AIDS.

Disebukan pula ”Daerah yang sudah memiliki perda HIV/AIDS adalah provinsi Jawa Timur, Kabupaten Jayapura, DKI Jakarta, Banten, NTT dan Kaliamntan Barat sedang dalam proses.” Ini tidak akurat karena tulisan Fajar Hidayanto dirilis tahun 2006. Sampai akhir 2006 daerah-daerah yang sudah menelurkan Perda AIDS adalah: provinsi (Jawa Timur, Bali dan Riau), kabupaten (Nabire, Merauke, Jayapura, Puncak Jaya, Manokwari, Teluk Bintuni, dan Serdang Bedagai), dan kota (Sorong, dan Jayapura). Perda AIDS NTT disahkan tahun 2007, Perda AIDS DKI Jakarta disahkan tahun 2008. Sedangkan Banten sampai Agustus 2009 belum memiliki Perda AIDS. Kalimantan Barat disahkan Februari 2009.

Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sampai kota yang menelurkan Perda AIDS. Apakah perda-perda itu (bisa) bekerja menanggulangi penyebaran HIV?

Tentu saja tidak. Mengapa? Karena perda-perda itu mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai cara pencegahan HIV. Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan bahwa pencegahan HIV dapat dilakukan dengan ’meningkatkan iman dan taqwa’. Pertama, apa alat yang bisa mengukur iman dan taqwa? Kedua, siapa yang berhak mengukur iman dan taqwa? Ketiga, bagaimana iman dan taqwa bisa mencegah penularan HIV? Keempat, bagaimana ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?

Konsekuensi dari perda itu adalah orang-orang yang tertular HIV berarti tidak beriman dan tidak bertaqwa. Ini mendorong masyarakat untuk melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membeda-bedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Hal yang sama terjadi pada semua perda. Tidak ada satu pasal pun yang bisa membuka mata penduduk untuk menghindari perilaku-perlaku yang berisiko tinggi tetular HIV.

Karena perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke Thailand terkait dengan ’program pemakaian kondom 100 persen’ maka dalam perda-perda itu pun ada pasal penggunaan kondom. Tapi, ada yang luput dari perhatian. Program itu bisa berjalan di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga bisa dipantau. Sedangkan di Indonesia ada gerakan penutupan lokalisasi dan pebuatan perda anti pelacuran dan anti maksiat sehingga tidak memungkinkan ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, pasal yang mengatur ’penggunaan kondom 100 persen’ dalam perda itu pun ’bak menggantang asap’. Pekerjaan yang sia-sia.

Di bagian sikap agama (Islam) terhadap HIV/AIDS juga tidak jujur karena hanya HIV/AIDS yang dikaitkan dengan zina. Soalnya, penularan virus hepatitis B pun persis sama dengan penularan HIV. Maka, kalau jujur orang-orang yang terdeteksi mengidap hepatitis B pun dipandang dari agama Islam juga harus melakukan hal yang sama dengan Odha.

Ada lagi pernyataan ”Dan manakala ajal telah tiba bagi penderita AIDS yang beragama Islam hendaklah tetap dalam keimanannya, .... ” Mengapa hal ini hanya untuk penderita AIDS?

”Virus ganas ini tidak hanya menyerang pendosa, orang baik-baik pun di lalapnya.” Ini juga pernyataan dalalm tulisan Fajar Hidayanto. Ini bukan bahasa medis terkait HIV tapi bahasa moral yang bermuatan mitos. Sebagai virus HIV tidak (pernah) menyerang. Virus yang tergolong retrovirus (bisa menggandakan diri dalam sel-sel darah putih manusia) ini menular melalui cara-cara yang sangat spesifik tanpa terkait secara langsung dengan jenis kelamin, umur, suku, bangsa, ras, dan agama.

Masalah besar dalam epidemi HIV adalah justru lebih dari 90 persen penularan terjadi tanpa disadari. Ini menunjukkan lebih dari 90 persen orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Untuk itu jika ada upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui perda atau undang-undang maka pasal yang harus ada adalah: (1) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti; (2) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan; (3) Setiap perempuan wajib memaksa pasangannya memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti.

Selanjutnya ada pula pasal yang menyebutkan: (1) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti wajib menjalani tes HIV; (2) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV; (3) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak memakai kondom wajib menjalani tes HIV, (4) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom wajib menjalani tes HIV.

Hanya dengan materi HIV/AIDS yang akurat yang dapat membuka mata hati masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis. Informasi yang akurat membantu masyarakat melindungi dirinya agat tidak tertular atau menular HIV kepada orang lain. ***

Jakarta, 26 Agustus 2009

Tanggapan terhadap Kutipan Faizatul Rosyidah dari ‘Surat Pembaca’ Harian “Radar Jember”

Ketika membaca ”KRITIK ISLAM TERHADAP STRATEGI PENANGGULANGAN HIV-AIDS BERBASIS PARADIGMA SEKULER-LIBERAL DAN SOLUSI ISLAM DALAM MENANGANI KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA HIV-AIDS” yang merupakan tulisan Faizatul Rosyidah [Pusat Studi Intelektual Muslimah (PSIM) Unair Surabaya] di http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas-Problematika-H saya penasaran karena ada kutipan dari “Radar Jember”.
Dalam tulisan itu Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.”18 Sesuai dengan catatan kaki maka ini merupakan kutipan dari “Surat Pembaca” di Harian “Radar Jember” edisi 11 Desember 2006 “Info KesPro. Berita Aids yang Menyesatkan”.

Belakangan saya ingat saya pernah mengirimkan tanggapan terhadap berita ”Kondom Tak Efektif Atasi AIDS” yang dimuat di harian ”Radar Jember” edisi 11 Desember 2006 untuk “Surat Pembaca”. Karena “Surat Pembaca” tidak bisa dibaca di situs koran ini maka tanggapan itu kemudian dimuat di Newsletter ”infoAIDS”, Nomor 11/I/Januari 2008.

Faizatul Rosyidah menulis: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa ”Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Karena kutipan ini ditandai dengan tanda petik berarti kutipan langsung. Setelah saya baca ulang surat yang saya kirimkan ke redaksi Harian ”Radar Jember” di newsletter ”infoAIDS” ternyata tidak ada kalimat itu.

Karena saya tidak membaca surat pembaca yang berisi tanggapan saya maka saya tidak tahu persis bagaimana surat saya diedit oleh ”Radar Jember”. Kalau berpatokan kepada surat yang saya kirim sama sekali tidak ada pernyataan ”Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.”

Lalu, dari mana Faizatul Rosyidah mengutip pernyataan ”Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas” sebagai kutipan dari Surat Pembaca di Harian ”Radar Jember”? Soalnya, dalam ”Surat Pembaca” tidak ada pernyataan itu.

Ini copy surat pembaca yang saya kirim ke ”Radar Jember” yang kemudian dimuat di Newsletter ”infoAIDS”.

Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta

Surat Pembaca
Berita AIDS yang Menyesatkan


Berita ”Kondom Tak Efektif Atasi AIDS” yang dimuat di harian ”Radar Jember” edisi 11 Desember 2006 lagi-lagi menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam berita itu sehingga akan menyesatkan masyarakat yang pada gilirannya membuat masyarakat lengah karena tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, disebutkan ” .... kondom hanya bisa mencegah masuknya sperma saat berhubungan seks, tetapi tidak menjamin bisa menghalangi masuknya virus mematikan itu melalui kondom. ” Ini tidak akurat karena HIV tidak bisa melepaskan diri dari air mani (bukan sperma karena di sperma tidak ada HIV) sehingga kalau air mani sudah tertampung di dalam kondom maka HIV pun ada di dalam kondom. Pemakaian virus mematikan tidak pas karena HIV tidak mematikan.

Kedua, disebutkan pula ” .... yang diperlukan bukan kondomisasi, namun gerakan moral semua elemen masyarakat untuk mencegah penyimpangan seks maupun kebebasan seks di tengah-tengah masyarakat.” Tidak ada kegaitan kondomisasi. Ini pernyataan yang menyesatkan. Kemudian tidak ada kaitan langsung antara penyimpangan seks dan kebebasan seks dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki atau perempuan tidak selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-dua HIV-negatif maka tidak ada penularan HIV biar pun ’penyimpangan seks’, ’kebebasan seks’, melacur, zina, anal atau oral seks, jajan, selingkuh, atau homoseksual.

Ketiga, pemateri dr Rifa tidak fair karena tidak menyebutkan keberhasilan penggunaan kondom dalam menurunkan insiden penularan HIV melalui hubungan seks seperti yang terjadi di Afrika, Thailand, dll.

Keempat, disebutkan ” .... bahan yang digunakan kondom adalah pori-pori lateks yang hanya berdiameter 1/60 mikron. Maka, pori-pori kondom lebih besar daripada virus HIV/AIDS.” Ini tidak akurat karena kondom yang dipasarkan di Indonesia adalah yang terbuat dari getah lateks yang sama sekali tidak mempunyai pori-pori. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang dan tiadk dijual di Indonesia.

Kelima, disebutkan pencegahan penyebaran HIV/AIDS dengan ’mencegah meluasnya pergaulan seks di kalangan masyarakat.” Ini jelas mitos karena yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai UUD pun tetap ada kasus HIV. Di Arab Saudi, misalnya, sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.

Keenam, disebutkan HIV/AIDS belum ditemukan obatnya. Untuk diketahui ada penyakit yang tidak ada obatnya (demam berdarah), dan ada pula penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan (diabetes dan darah tinggi). HIV/AIDS bisa diobati karena sudah ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan.

Ketujuh, disebutkan ” .... penyebab utama penularan virus tersebut adalah seks bebas, homoseks dan lesbianisme.” Lagi-lagi ini tidak akurat dan hanya mitos. Tidak ada kaitan langsung antara seks bebas, homoseks, dan lesbianisme dengan penularan HIV. Apa, sih, yang dimaksud dengan seks bebas? Kalau seks bebas diartikan zina maka jelas tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah atau atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan tidak memakai kondom setiap hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada penularan HIV biar pun seks bebas, homoseks atau lesbianisme.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral dan agama maka yang akan ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang menyesatkan karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat dan realistis. Pada gilirannya pandemi HIV akan menjadi ’bom waktu’ bagi ledakan kasus AIDS.

[Sumber: Newsletter ”infoAIDS”, Nomor 11/I/Januari 2008]

Sabtu, 06 Februari 2010

Tanggapan terhadap Tulisan Faizatul Rosyidah tentang Kritik Islam terhadap Strategi Penanggulangan HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
E-mail: infokespro@yahoo.com – Blog: http://lsm-infokespro.blogspot.com/

Sebuah tulisan berjudul “Kritik Isalam terhadap Strategi Penanggulangan HIV-ADS Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika HIV-AIDS” (http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas-Problematika-H) menunjukkan pemahaman penulisnya, Faizatul Rosyidah, terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah. Tulisan ini pun mengumbar mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS dan moral.

Sebagai seorang intelektual Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Kutipan ini dikutip Faizatul Rosyidah dari ‘Surat Pembaca’ di Harian “Radar Jember” (11/12-2006) yang saya kirim sebagai tanggapan terhadap sebuah berita HIV/AIDS di koran tersebut.

Faizatul Rosyidah menyimpulkan bahwa HIV/AIDS “ …. berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang” berdasarkan penemuan kasus awal yang terdeteksi di kalangan gay. Padahal, pada rentang waktu yang sama juga terdeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di bagian lain di Amerika Serikat. Bahkan, setelah WHO menetapkan HIV sebagai penyebab AIDS dan mengakui tes HIV di Norwegia ditemukan contoh darah dari tahun 1959 yang terkontaminasi HIV.

Dalam tulisannya Faizatul Rosyidah sama sekali tidak memberikan defenisi tentang ‘seks bebas’. ‘Seks bebas’ disebutkan 27 kali dalam tulisan tersebut. Istilah ini merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, dan homoseksual. Ini fakta medis.

Perilaku ’seks bebas dan menyimpang’ adalah tataran normatif yang dilihat dari sudut pandang norma, moral, dan agama. Secara perspektif dalam hubungan seks sebagai kegiatan biologis tidak ada penyimpangan (hubungan) seks. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks (melacur, zina, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks oral dan seks anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Secara global kasus HIV paling banyak terdeteksi dengan faktor risiko (penularan) melalui hubungan seks, tapi tidak semuanya melalui hubungan seks di luar nikah atau zina yang dalam bahasa Faizatul Rosyidah disebutkan sebagai ’seks bebas dan menyimpang’. Jika ’seks bebas’ dalam pemahaman Faizatul Rosyidah juga termasuk melacur maka ada fakta yang digelapkan. HIV di kalangan pelacur (baca: pekerja seks) justru ditularkan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang heteroseksual atau biseksual yang menjadi suami, duda, atau perjaka. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar manusia.

Disebutkan pula ”Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama HV/AIDS, juga terbukti di Indonesia. Kasus AIDS pertama ditemukan di Denpasar, Bali yang merupakan surga bagi penikmat seks bebas.” Ini tidak akurat karena wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) karena penyakit terkait AIDS justru tidak tertular di Bali karena kematian pada orang-orang yang tertular HIV secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular. Wisatawan tadi sudah tertular antara tahun 1972 dan tahun 1982 jauh sebelum dia piknik ke Bali.

Selanjut disebutkan pula ”Selanjutnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada kelompok perilaku seks bebas. Hingga sekarang kondisi ini terus berlangsung.” Kalalu yang dimaksud Faizatul Rosyidah ’kelompok perilaku seks bebas’ adalah pekerja seks maka konsentrasi di kalangan ini besar karena survailans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan pada waktu tertentu untuk mendapatkan angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-negatif dan HIV-positif) hanya dilakukan terhadap pekerja seks.
Sedangkan laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks luput dari target survailans tes HIV. Belakangan setelah ada donor yang mendanai klinik-klinik tes dengan konseling (dikenal sebagai Klinik VCT) mulai terdeteksi kasus-kasus HIV di berbagai kalangan di semua lapisan masyarakat. Celakanya, banyak yang terdeteksi setelah masa AIDS sehingga pada rentang waktu sejak tertular sampai terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seksnya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayinya kelak (vertikal).

Ada lagi pernyataan ”Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber pertama dan utama penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena akhir-akhir ini banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau IDU (intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan bahaya penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU akibat loss kontrol.” Hubungan seks, sekali lagi hubungan seks bukan ’seks bebas’ karena tidak semua hubungan seks terkait penularan HIV dilakukan sebagai zina, tetap merupakan faktor risiko utama dalam penularan HIV.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba, juga selalu disebutkan pada usia produktif atau remaja, terjadi karena pengguna narkoba suntik yang akan menjalani rehabilitasi diwajibkan tes HIV. Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ orang-orang yang tertular melalui hubungan seks untuk menjalani tes HIV. Inilah kelak yang akan menjadi bencana karena kasus HIV di luar kalangan ’pelaku seks bebas dan menyimpang’ (meminjam istilah Faizatul Rosyidah) akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Di beberapa negara sudah diterapkan skrining untuk ’menjaring’ kasus HIV di masyarakat melalui skrining rutin, sentinel dan khusus. Di Malaysia, misalnya, ada skrining rutin terhadap pasien IMS, pengguna narkoba, wanita hamil, pokisi, narapidana, darah donor, dan pasien TB. Maka tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril di masyarakat. Dengan penduduk 25 juga sudah dilaporkan lebih dari 40.000 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta baru melaporkan kasus 23.632 kasus HIV/AIDS.

Kondisi epidemi HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Inilah awal bencana karena banyak orang kemudian yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala tau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS.

Disebutkan pula ”Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang.” Ini menyesatkan karena dalam berbagai program penanggulangan HIV di Indonesia tidak ada program ’kondomisasi’. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom (upaya pembelajaran kepada masyarakat) sebagai alat untuk mencegah penularan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV.
Terkait dengan ’100% kondom’ ini mengacu ke program di Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko tertular HIV. Hubungan seks berisiko adalah hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Program ’100 persen kondom’ di Thailand dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Namun, program ’wajib kondom 100 persen’ Thailand hanyalah ekor dari rangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Nah, Indonesia justru mengekor ke ekor program. Inilah yang terjadi pada 30 peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Akibatnya, terjadi pemahaman yang salah dan penolakan terhadap sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko.
Ada lagi pernyataan ”Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas akan membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.” Walaupun sosialisasi kondom gencar tapi banyak orang, di semua negara, yang enggan memakai kondom pada hubungan seks berisiko dengan berbagai macam alasan. Selain itu kualitas kondom, cara pemakaian dan konsistensi pemakaian juga menjadi faktor yang mempengaruhi penyebaran HIV melalui hubungan seks yang berisiko.

Perihal kondom pun di Indonesia terjadi penyesatan karena ada informasi yang tidak akurat. Dalam tulisan Faizatul Rosyidah juga ada pernyataan: ” .... ternyata kondom sendiri terbukti tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, 26 yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.” Justru kondom yang terbuat dari lateks tidak mempunyai pori-pori. Kondom yang berpori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang yang tidak ada di Indonesia. Sebagai virus, HIV tidak bisa melepaskan diri dari cairan tempatnya hidup.

Ini juga pernyataan Faizatul Rosyidah ”Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US: CDC: United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%. Selain kondom untuk pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan kondom perempuan.” Biar pun sosialiasi kondom gencar tapi tingkat pemakaian pada hubungan seks berisiko tetap tidak bisa dikontrol karena terpulang kepada pilihan setiap orang: pakai atau tidak pakai. Tidak pula dijelaskan apa penyebab kegagalan kondom sebagai pencegah kehamilan.

Ini pernyataan Faizatul Rosyidah ”Sehingga, tidak heran setelah program kondomisasi dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian, kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.” Peningkatan angka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena kasus HIV/AIDS direkapitulasi secara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru begitu seterusnya sehingga kasus HIV/AIDS akan terus bertambah atau meningkat.

Faizatul Rosyidah ‘menawarkan’ strategi jitu Islam menghadapi HIV/AIDS melalui preventif dan kuratif. Solusi Islam sebagai preventif disebutkan al. menghindarikan pacaran, perzinaan, seks menyimpang dan khamar. Kalau ditilik dari aspek medis maka hal ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Lagi pula semua agama melarang hal-hal tersebut baik secara eksplisit maupun implisit.

Sedangkan solusi kuratif secara Islam yang ditawarkan Faizatul Rosyidah terhadap orang-orang yang terkena virus HIV/AIDS, adalah:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah dihukum rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya dikarantina.
2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk selanjutnya dikarantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
5. Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka.

Faizatul Rosyidah menyebutkan bahwa ”Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhori). “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya danapabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori,Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).”

Lagi-lagi pemahaman Faizatul Rosyidah terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Ini merupakan gambaran karena selama ini HIV/AIDS selalu dilihat dari aspek norma, moral, dan agama sehingga menggelapkan mata (hati) terhadap fakta medis tentang HIV/AIDS.
Pertama, HIV bukan wabah karena tidak menular secara massal melalui udara, air dan pergaulan sosial. Penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagian (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum akupunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) pada hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di luar nikah yang tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.

Kedua, perihal karantina yang disebutkan Faizatul Rosyidah ”Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas ....”. Biar pun orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif dikarantina perlu diingat bahwa di masyarakat jauh lebih banyak orang (laki-laki dan perempuan) yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Sejauh ini orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku (dengan konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent, anonimitas dan konfidensial) selalu menyatakan tidak akan menularkan HIV kepada orang lain.

Ada pula pernyataan ”Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan hingga saat ini ...” Bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Ada beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti darah tinggi, diabetes, thalasemia, dll. Ada pula penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa membunuh virus di dalam tubuh manusia. Selain itu penemuan obat dan vaksin beberapa penyakit memerlukan waktu puluhan sampai ratusan tahun. Sedangkan HIV baru disahkan oleh WHO tahun 1986.

Kritik yang disebut Faizatul Rosyidah dalam tulisannya sebagai ‘kritik Islam’ terhadadap penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih tepat disebut sebagai ‘kritik Faizatul Rosyidah’ sebagai pribadi. Mengatasnamakan Islam tapi tidak proporsional dan menyesatkan tentulah merugikan Islam sebagai agama. ***

Jakarta, 22 Juli 2007