Sabtu, 06 Februari 2010

Tanggapan terhadap Tulisan Faizatul Rosyidah tentang Kritik Islam terhadap Strategi Penanggulangan HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]
E-mail: infokespro@yahoo.com – Blog: http://lsm-infokespro.blogspot.com/

Sebuah tulisan berjudul “Kritik Isalam terhadap Strategi Penanggulangan HIV-ADS Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika HIV-AIDS” (http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas-Problematika-H) menunjukkan pemahaman penulisnya, Faizatul Rosyidah, terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah. Tulisan ini pun mengumbar mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS dan moral.

Sebagai seorang intelektual Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Kutipan ini dikutip Faizatul Rosyidah dari ‘Surat Pembaca’ di Harian “Radar Jember” (11/12-2006) yang saya kirim sebagai tanggapan terhadap sebuah berita HIV/AIDS di koran tersebut.

Faizatul Rosyidah menyimpulkan bahwa HIV/AIDS “ …. berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang” berdasarkan penemuan kasus awal yang terdeteksi di kalangan gay. Padahal, pada rentang waktu yang sama juga terdeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di bagian lain di Amerika Serikat. Bahkan, setelah WHO menetapkan HIV sebagai penyebab AIDS dan mengakui tes HIV di Norwegia ditemukan contoh darah dari tahun 1959 yang terkontaminasi HIV.

Dalam tulisannya Faizatul Rosyidah sama sekali tidak memberikan defenisi tentang ‘seks bebas’. ‘Seks bebas’ disebutkan 27 kali dalam tulisan tersebut. Istilah ini merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, dan homoseksual. Ini fakta medis.

Perilaku ’seks bebas dan menyimpang’ adalah tataran normatif yang dilihat dari sudut pandang norma, moral, dan agama. Secara perspektif dalam hubungan seks sebagai kegiatan biologis tidak ada penyimpangan (hubungan) seks. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks (melacur, zina, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks oral dan seks anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Secara global kasus HIV paling banyak terdeteksi dengan faktor risiko (penularan) melalui hubungan seks, tapi tidak semuanya melalui hubungan seks di luar nikah atau zina yang dalam bahasa Faizatul Rosyidah disebutkan sebagai ’seks bebas dan menyimpang’. Jika ’seks bebas’ dalam pemahaman Faizatul Rosyidah juga termasuk melacur maka ada fakta yang digelapkan. HIV di kalangan pelacur (baca: pekerja seks) justru ditularkan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang heteroseksual atau biseksual yang menjadi suami, duda, atau perjaka. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar manusia.

Disebutkan pula ”Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama HV/AIDS, juga terbukti di Indonesia. Kasus AIDS pertama ditemukan di Denpasar, Bali yang merupakan surga bagi penikmat seks bebas.” Ini tidak akurat karena wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) karena penyakit terkait AIDS justru tidak tertular di Bali karena kematian pada orang-orang yang tertular HIV secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular. Wisatawan tadi sudah tertular antara tahun 1972 dan tahun 1982 jauh sebelum dia piknik ke Bali.

Selanjut disebutkan pula ”Selanjutnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada kelompok perilaku seks bebas. Hingga sekarang kondisi ini terus berlangsung.” Kalalu yang dimaksud Faizatul Rosyidah ’kelompok perilaku seks bebas’ adalah pekerja seks maka konsentrasi di kalangan ini besar karena survailans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan pada waktu tertentu untuk mendapatkan angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-negatif dan HIV-positif) hanya dilakukan terhadap pekerja seks.
Sedangkan laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks luput dari target survailans tes HIV. Belakangan setelah ada donor yang mendanai klinik-klinik tes dengan konseling (dikenal sebagai Klinik VCT) mulai terdeteksi kasus-kasus HIV di berbagai kalangan di semua lapisan masyarakat. Celakanya, banyak yang terdeteksi setelah masa AIDS sehingga pada rentang waktu sejak tertular sampai terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seksnya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayinya kelak (vertikal).

Ada lagi pernyataan ”Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber pertama dan utama penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena akhir-akhir ini banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau IDU (intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan bahaya penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU akibat loss kontrol.” Hubungan seks, sekali lagi hubungan seks bukan ’seks bebas’ karena tidak semua hubungan seks terkait penularan HIV dilakukan sebagai zina, tetap merupakan faktor risiko utama dalam penularan HIV.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba, juga selalu disebutkan pada usia produktif atau remaja, terjadi karena pengguna narkoba suntik yang akan menjalani rehabilitasi diwajibkan tes HIV. Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ orang-orang yang tertular melalui hubungan seks untuk menjalani tes HIV. Inilah kelak yang akan menjadi bencana karena kasus HIV di luar kalangan ’pelaku seks bebas dan menyimpang’ (meminjam istilah Faizatul Rosyidah) akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Di beberapa negara sudah diterapkan skrining untuk ’menjaring’ kasus HIV di masyarakat melalui skrining rutin, sentinel dan khusus. Di Malaysia, misalnya, ada skrining rutin terhadap pasien IMS, pengguna narkoba, wanita hamil, pokisi, narapidana, darah donor, dan pasien TB. Maka tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril di masyarakat. Dengan penduduk 25 juga sudah dilaporkan lebih dari 40.000 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta baru melaporkan kasus 23.632 kasus HIV/AIDS.

Kondisi epidemi HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Inilah awal bencana karena banyak orang kemudian yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala tau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS.

Disebutkan pula ”Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang.” Ini menyesatkan karena dalam berbagai program penanggulangan HIV di Indonesia tidak ada program ’kondomisasi’. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom (upaya pembelajaran kepada masyarakat) sebagai alat untuk mencegah penularan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV.
Terkait dengan ’100% kondom’ ini mengacu ke program di Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko tertular HIV. Hubungan seks berisiko adalah hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Program ’100 persen kondom’ di Thailand dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Namun, program ’wajib kondom 100 persen’ Thailand hanyalah ekor dari rangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Nah, Indonesia justru mengekor ke ekor program. Inilah yang terjadi pada 30 peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Akibatnya, terjadi pemahaman yang salah dan penolakan terhadap sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko.
Ada lagi pernyataan ”Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas akan membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.” Walaupun sosialisasi kondom gencar tapi banyak orang, di semua negara, yang enggan memakai kondom pada hubungan seks berisiko dengan berbagai macam alasan. Selain itu kualitas kondom, cara pemakaian dan konsistensi pemakaian juga menjadi faktor yang mempengaruhi penyebaran HIV melalui hubungan seks yang berisiko.

Perihal kondom pun di Indonesia terjadi penyesatan karena ada informasi yang tidak akurat. Dalam tulisan Faizatul Rosyidah juga ada pernyataan: ” .... ternyata kondom sendiri terbukti tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, 26 yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.” Justru kondom yang terbuat dari lateks tidak mempunyai pori-pori. Kondom yang berpori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang yang tidak ada di Indonesia. Sebagai virus, HIV tidak bisa melepaskan diri dari cairan tempatnya hidup.

Ini juga pernyataan Faizatul Rosyidah ”Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US: CDC: United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%. Selain kondom untuk pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan kondom perempuan.” Biar pun sosialiasi kondom gencar tapi tingkat pemakaian pada hubungan seks berisiko tetap tidak bisa dikontrol karena terpulang kepada pilihan setiap orang: pakai atau tidak pakai. Tidak pula dijelaskan apa penyebab kegagalan kondom sebagai pencegah kehamilan.

Ini pernyataan Faizatul Rosyidah ”Sehingga, tidak heran setelah program kondomisasi dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian, kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.” Peningkatan angka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena kasus HIV/AIDS direkapitulasi secara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru begitu seterusnya sehingga kasus HIV/AIDS akan terus bertambah atau meningkat.

Faizatul Rosyidah ‘menawarkan’ strategi jitu Islam menghadapi HIV/AIDS melalui preventif dan kuratif. Solusi Islam sebagai preventif disebutkan al. menghindarikan pacaran, perzinaan, seks menyimpang dan khamar. Kalau ditilik dari aspek medis maka hal ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Lagi pula semua agama melarang hal-hal tersebut baik secara eksplisit maupun implisit.

Sedangkan solusi kuratif secara Islam yang ditawarkan Faizatul Rosyidah terhadap orang-orang yang terkena virus HIV/AIDS, adalah:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah dihukum rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya dikarantina.
2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk selanjutnya dikarantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
5. Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka.

Faizatul Rosyidah menyebutkan bahwa ”Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhori). “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya danapabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori,Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).”

Lagi-lagi pemahaman Faizatul Rosyidah terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Ini merupakan gambaran karena selama ini HIV/AIDS selalu dilihat dari aspek norma, moral, dan agama sehingga menggelapkan mata (hati) terhadap fakta medis tentang HIV/AIDS.
Pertama, HIV bukan wabah karena tidak menular secara massal melalui udara, air dan pergaulan sosial. Penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagian (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum akupunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) pada hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di luar nikah yang tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.

Kedua, perihal karantina yang disebutkan Faizatul Rosyidah ”Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas ....”. Biar pun orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif dikarantina perlu diingat bahwa di masyarakat jauh lebih banyak orang (laki-laki dan perempuan) yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Sejauh ini orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku (dengan konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent, anonimitas dan konfidensial) selalu menyatakan tidak akan menularkan HIV kepada orang lain.

Ada pula pernyataan ”Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan hingga saat ini ...” Bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Ada beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti darah tinggi, diabetes, thalasemia, dll. Ada pula penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa membunuh virus di dalam tubuh manusia. Selain itu penemuan obat dan vaksin beberapa penyakit memerlukan waktu puluhan sampai ratusan tahun. Sedangkan HIV baru disahkan oleh WHO tahun 1986.

Kritik yang disebut Faizatul Rosyidah dalam tulisannya sebagai ‘kritik Islam’ terhadadap penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih tepat disebut sebagai ‘kritik Faizatul Rosyidah’ sebagai pribadi. Mengatasnamakan Islam tapi tidak proporsional dan menyesatkan tentulah merugikan Islam sebagai agama. ***

Jakarta, 22 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar