Sabtu, 29 Mei 2010

Tidak Ada Sekolah yang Rawan HIV

Surat Pembaca

Berita berjudul ''Westra Enggan Jamah PSK'' di harian ini edisi 15 Juni 2006 lagi-lagi mengandung mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Dalam berita disebutkan, ''...mempetakan sekolah yang dinilai rawan penularan HIV/AIDS...''

1. Tidak ada sekolah yang rawan HIV/AIDS karena HIV tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari. Lagi pula sebagai virus, HIV tidak terdapat di lingkungan sekolah karena HIV hanya ada dalam darah di tubuh orang yang HIV-positif. Yang rawan HIV adalah perilaku seseorang bukan kelompok atau kalangan tertentu. Seseorang berisiko tinggi tertular HIV kalau dia (a) pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dan (b) pernah memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian. Tidak ada sekolah yang bisa melakukan kedua hal ini. Maka, tidak ada sekolah yang rawan penularan HIV/AIDS.

2. ''Menjamah'' PSK dalam konteks epidemi HIV adalah untuk meningkatkan pemahaman PSK terhadap risiko tertular dan menularkan HIV. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang bisa saja seorang suami, pemuda, remaja atau duda dari berbagai kalangan dan jenis pekerjaan. PSK menjadi ''terminal'' karena laki-laki datang menularkan dan tertular HIV.

3. Kasus HIV/AIDS di kalangan remaja jelas pada usia sekolah. Karena kebanyakan mereka tertular melalui penggunaan narkoba dengan jarum suntik maka mereka dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula, apakah kalau anak sekolah yang tertular HIV langsung tidak diakui sebagai anak sekolah? Jika ini yang terjadi maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

4. Penularan HIV melalui hubungan seks sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, seks pranikah, selingkuh, jajan, wanita dan homoseksual. Penularan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah bisa terjadi karena salah satu atau kedua orang dari pasangan itu HIV-positif.

Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Syaiful W.Harahap
Direktur Eksekutif LSM InfoKespro

URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/6/26/s1.htm
[Sumber: Harian “Bali Post”, 26 Juni 2006]

Tidak Ada Kaitan Seks Bebas dengan Penularan HIV

Tanggapan terhadap Berita di ”kompas.com”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita ”Seks Bebas Marak, Kasus HIV di NTT Naik Tajam” di ”kompas.com” 20/11-2008. Jika ‘seks bebas’ merupakan terjemahan bebas dari freesex, maka kalau kita cari di kamus-kamus Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia ternyata tidak ada free sex. Yang ada adalah free love yaitu hubungan suami istri berdasarkan cinta tanpa ikatan nikah.

Istilah free sex muncul di akhir tahun 1970-an yang menggambarkan gaya hidup di kalangan remaja ketika itu. Tapi, lagi-lagi tetap berdasarkan cinta.

Nah, kalau ‘seks bebas’ yang dipakai di Indonesia mengacu kepada hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) maka istilah itu ngawur karena sanggama dengan PSK bukan berdasarkan cinta.

Penggunaan istilah ‘seks bebas’ di Indonesia mengesankan hubungan seks yang bebas tanpa aturan. Ini salah karena sanggama dengan PSK pun ada aturannya yaitu PSK harus dibayar, kamar dibayar, dll.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seks dengan PSK maka sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Dalam berita disebutkan “ .... Perkembangan virus HIV di NTT melalui hubungan seks bebas,...” Ini tidak akurat karena risiko penularan melalui hubungan seks bukan karena sifat hubugnan seks (‘seks bebas’, di luar nikah, zina, melacur, seks anal dan seks oral, serta homoseksual), tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks).

Kalau yang dimaksudkan staf Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi NTT, Gusti Brewon, ‘seks bebas’ adalah hubungan seks dengan PSK maka risiko penularan terjadi karena laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Selain itu Gusti Brewon pun lupa bahwa ada kemungkinan PSK di wilayahnya justru tertular HIV dari penduduk lokal. Jika ini yang terjadi di NTT maka sudah ada penduduk NTT yang HIV-positif. Bisa juga PSK itu sudah mengidap HIV ketika tiba di NTT. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk (horizontal). Penyebaran HIV terjadi tanpa disadari karena sebelum mencapai masa AIDS tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Tapi, pada kurun waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (d) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Sayang dalam Perda AIDS Prov NTT tidak ada pasal yang mengatur kewajiban bagi penduduk untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti psangan.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV maka dalam perda perlu pula ada pasal yang mewajibkan penduduk untuk menjalani tes HIV bagi yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak Ada Kaitan AIDS dengan Usia Muda

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Analisa”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “95 Persen Kasus HIV/AIDS Menimpa Usia Muda” di Harian “Analisa”, Medan, 17 Oktober 2008 Ketika mulai banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan remaja tidak ada penjelasan yang komprehensif mengapa hal itu terjadi. Akibatnya, muncul kesan seolah-olah HIV ‘menyerang’ remaja.

Dalam berita ini, misalnya, tidak ada penjelasan mengapa pengidap HIV/AIDS 95 persen terdeteksi di kalangan usia muda. Hal ini lagi-lagi menyudutkan remaja dan me-nempatkan me-reka pada kondisi yang tidak enak.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah mengapa banyak remaja yang terdeteksi HIV-positif? Apakah memang remaja lebih ba-nyak yang ber-perilaku berisiko daripada orang dewasa?

Yang jelas sebagian besar remaja yang HIV-positif terdeteksi di kalangan peng-guna narkoba

Lalu, mengapa hal itu terjadi? Ya, karena remaja pengguna narkoba diwajibkan menjalani tes HIV ketika hendak masuk ke pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba. Fakta ini sering luput sehingga masyarkat tidak mendapat gambaran yang nyata.

Sebaliknya, orang-orang dewasa pengguna narkoba dan yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan tidak diwajibkan menjalani tes HIV.

Penularan HIV di kalangan orang-orang dewasa, laki-laki dan perempuan, yang perilakunya berisiko itulah kelak yang akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme yang bisa ‘memaksa’ mereka untuk menjalani tes HIV secara suakrela.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak Ada Kaitan AIDS dengan Agama

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Ketika banyak negara kelabakan menghadapi epidemi HIV kita justru berpangku tangan. Banyak yang menampik kemungkinan AIDS masuk ke Indonesia karena masyarakat kita beragama. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Berita "Jihad Lawan HIV/AIDS" di Harian "Fajar Banten" (9 Juli 2008) menunjukkan sebaliknya. Agama justru dipakai untuk ‘memerangi’ AIDS dengan memakai istilah jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara agama dengan penularan HIV. Penggunaan kata jihad akan menimbulkan stigma baru terhadap HIV/AIDS karena mengesankan HIV/AIDS sebagai ‘musuh Islam’.

Pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI Oktober 2001 di Australia Direktur Eksekutif UNAIDS (badan dunia di bawah PBB yang mengurus masalah HIV/AIDS), Dr. Peter Piot, sudah mengingatkan agar Indonesia memperhatikan epidemi HIV dengan serius karena pertambahan kasus infeksi HIV baru di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Lagi-lagi peringatan itu dianggap sebagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Peringatan Piot terutama terkait dengan kasus HIV yang banyak terdeteksi di kalangan penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik.

Kalau saja pemerintah mendengarkan peringatan itu tentulah penyebaran HIV melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik tidak seperti sekarang ini. Dari data yang dikeluarkan Ditejn PPM&PL, Depkes RI, menunjukkan dari 11.868 kasus AIDS yang dilaporkan sampai 31 Maret 2008 yang terdeteksi di kalangan penyalahguna narkoba suntik mencapai 5.834 atau 49,16 persen secara nasional. Angka ini hanya yang dilaporkan. Masih ada angka yang belum terdeteksi atau yang tidak dilaporkan oleh rumah sakit, dokter, atau panti rehabilitiasi narkoba yang mendeteksi kasus AIDS.

Sebagai fakta medis HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral dan agama. Maka, dengan memakai kata jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS mengesankan hanya agama Islam yang terkait dengan HIV/AIDS karena jihad merupakan terminologi yang dipakai dalam agama Islam. Epidemi HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan agama.

Selain itu pemakaian kata jihad dalam penanggulangan HIV/AIDS pun akan menimbulkan stigma (cap buruk) pada diri Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Jika jihad dilakukan terhadap HIV/AIDS tentulah secara langsung terkait dengan Odha karena HIV/AIDS ada pada diri Odha. Tidak bisa memerangi HIV/AIDS terlepas dari diri orang yang mengidapnya. Selama ini ada kesan penularan HIV terjadi karena perilaku yang terkait dengan moral.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Dalam kaitan ini jelas tidak ada kaitannya dengan norma, moral, dan agama karena pada banyak kasus penularan terjadi tanpa disadari karena pasangan itu tidak mengetahui dirinya sudah tertular HIV. Inilah persoalan besar dalam epidemi HIV.

Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV?

Seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada masa AIDS sudah mulai ada penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, jamur, TB, dll. Penyakit ini sulit disembuhkan karena daya tahan tubuh sudah rusak yang ditandai dengan kerusakan yang besar pada sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih yang menjadi benteng dalam tubuh rusak karena dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan dirinya.

Penyebaran HIV kian tidak terkendali karena penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari. Ini terjadi karena biar pun tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV, tapi pada rentang waktu sebelum masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV.

Kondisi inilah yang tidak dipahami banyak orang karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.

Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah tertular HIV. Ini fakta medis. Hal ini sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama.

Masalah besar dalam epidemi HIV adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dengan mata telanjang karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Dalam kaitan inilah sering terjadi penularan HIV tanpa disadari karena ada yang melakukan hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya. Kegiatan ini dikenal sebagai perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV yaitu (a) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-cerai dan pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.

Kalau jihad akan tetap dipakai dalam penanggulangan HIV maka yang diperangi dengan jihad bukan HIV sebagai virus atau Odha sebagai pengidap HIV tapi perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV.

Tapi, tunggu dulu. Bagaimana caranya menerapkan jihad untuk menghentikan perilaku berisiko pada diri orang per orang? Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Yang diperlukan bukanlah jihad tapi meningkatkan penyuluhan dengan materi informasi HIV/AIDS yang akurat agar masyarakat, terutama yang perilakunya berisiko tinggi, memahami risiko yang dihadapinya akibat perilakunya. Pada gilirannya mereka diajak untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif akan diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Maka, semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV secara horisontal di masyarakat dapat diputus.

Namun, penggunaan kata jihad akan menambah ‘keangkeran’ HIV/AIDS. Padahal , sebagai virus HIV tidak berbeda dengan virus, kuman atau bakteri lain yang dapat dicegah tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan norma, moral, dan agama. ***

* Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta.

[URL: http://www.gemadepok.com/index.php?mod=article&cat=sehat&article=41]

Tidak Ada Gambaran Ril tentang Epidemi HIV

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Medan Bisnis”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “Penderita HIV/AIDS di Aceh Meningkat 350%” di Harian “Medan Bisnis”, 29 November 2008. Berita ini sama sekali tidak memberikan gambaran yang ril mengapa terjadi peningkatan angka kasus yang terdeteksi. Tidak ada analisis yang menggambarkan realitas dari pernyataan Sekretaris KPAP Aceh yang menyebutkan kenaikan 350% dibandingkan dengan kasus tahun 2006.

Ada beberapa hal yang terkait dengan pertambahan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Peningkatan angka itu tidak semerta menunjukkan ada penularan baru.

Pertama, sebelum tahun 2006 kegiatan survailans tes HIV tidak segencar setelah tahun 2006. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir kegiatan survailans didukung pula dengan penyediaan klinik tes HIV sukarela yang gratis yaitu VCT (voluntary counseling and test). Karena kegiatan tes jarang maka penemuan kasus HIV pun kecil.

Kemungkinan besar tes HIV di Aceh sebelum tsunami tidak ada, tapi setelah tsunami banyak badan-badan dunia dan LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS sehingga mulai terdeteksi kasus HIV/AIDS.

Kedua, sebelum tahun 2006 kasus-kasus HIV yang ada di Aceh baru pada tahap infeksi HIV yang belum menunjukkan gejala-gejala terkait AIDS. Belum pula ada infeksi oportunistik pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sehingga mereka tidak berobat ke dokter, klinik, puskesmas atau rumah sakit. Masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah tertular.

Pada rentang waktu ini tidak ada keluhan terkait AIDS, tapi penularan sudah bisa terjadi antar penduduk melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (d) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Ketiga, setelah tahun 2006 kasus-kasus HIV/AIDS yang sebelumnya baru pada tahap HIV-positif mulai ada yang menunjukkan gejala AIDS karena sudah masuk ke masa AIDS. Mereka pun berobat karena infeksi oportunistik yang mereka derita, seperti diare, sariawan, TBC, dll. tidak sembuh-sembuh biar pun mereka sudah berobat. Indikasi ini dijadikan dokter sebagai rujukan untuk menjalani tes HIV.

Dalam berita disebutkan dari 25 kasus HIV/AIDS di Aceh, 21 kasus AIDS dan empat HIV. Ini menunjukkan 21 kasus AIDS itu sudah tertular jauh sebelum tahun 2006. Paling tidak mereka sudah tertular HIV antara tahun 1996-2001.

Disebutkan pula sembilan orang sudah meninggal dunia. Kalau mereka meninggal sesudah tahun 2006 maka mereka sudah tertular HIV sekitar tahun 1996-2001. Nah, pada kurun waktu antara tertular HIV sampai meninggal dunia mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari pula.

Di bagian lain disebutkan “ .... Angka ini diambil berdasarkan estimasi telah terinfeksi HIV 1.000 ...” Ini tidak benar karena tidak ada rumus yang memastikan kalau ada 1 kasus HIV/AIDS maka ada 100 atau 1.000 kasus yang tidak terdeteksi. ‘Rumus’ itu berlaku hanya untuk keperluan epidemilogis, misalnya, merancang cara-cara penanggulangan, penyediaan obat dan perawatan, dll. Itu pun kalau di daerah atau negara itu tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, kesehatan masyarakat jelek, dll.

Kalau ‘rumus’ itu berlaku di Aceh maka ini merupakan pembenaran bahwa di Aceh tingkat pelacuran tinggi. Kalau ini fakta maka memang benar harus ada pengendalian. Tapi, lagi-lagi kalau pengendalian dengan norma, moral, dan agama maka hasilnya nol besar dan kasus-kasus infeksi HIV baru akan terus terjadi tanpa terkendali. Kasus HIV ini akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tes HIV sebelum Menikah yang Akan Sia-sia

Tanggapan terhadap berita di Harian ”Suara Merdeka”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 19/8-2009. Berita ”Calon Pengantin Perlu Tes Uji HIV/AIDS” di Harian ”Suara Merdeka” (16/4-2009) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Dengan pengesahan Perda AIDS Jateng ini maka sampai saat ini sudah ada 22 Perda Penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi di seluruh Indonesia. Tapi, semua perda itu hanya mengedepankan moral sebagai cara menanggulangi epidemi HIV sehingga tidak menawarkan upaya penanggulangan yang realistis.

Walaupun HIV/AIDS sudah dikenal sejak 28 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam perda-perda penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV. Pembuatan perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ oleh keberhasilan Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’.

Namun, perda hanya mengekor karena program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand merupakan urutan terakhir dari serangkaian program terpadu yang berkeseinambungan. Dimulai dari pendidikan masyarakat tentang cara-cara pencegahan HIV melalui media massa, pendidikan sebaya, sampai ke program tadi. Tapi, penanggulangan yang diterapkan di Indonesia hanya ekor dari program terpadu di Thailand.

Perilaku Berisiko

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian perda-perda AIDS yang ada di negeri ini pun tidak jalan. Lihat saja Perda AIDS Prov. Riau yang menyebutkan HIV dapat dicegah melalui peningkatan ’iman dan taqwa’. Siapa dan bagaimana mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara iman dan taqwa dengan penularan HIV. Selain itu hal ini pun akan menyuburkan stigma (cap buruk) dan diksriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena menggiring pendapat bawah mereka tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.

Pada Perda Penanggulangan HIV/AIDS Jateng, misalnya, pasal 10 ayat 6 menyebutkan tes HIV bagi calon pengantin atau pasangan yang berisiko tinggi yang akan menikah. Cara ini dikatakan sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS di Jateng.

Siapa, sih, yang disebut berisiko tinggi? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang.

Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Jateng, di luar Jateng atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Dalam berita disebutkan pula bahwa anggota Pansus Raperda HIV/AIDS, Tontowi Jauhari, untuk mendorong masyarakat bersedia melakukan VCT, politikus PAN itu menyarankan gubernur memberi contoh dengan bersedia melakukan tes HIV. ”Saya yakin hasilnya akan negative.” Ini menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap gubernur hasilnya positif (palsu)?

Masa Jendela

Dengan menyebutkan ’mendorong masyarakat untuk melakukan VCT’ mengesankan bahwa HIV menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV (lihat gambar). Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi. Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi.



Skirining HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: ”Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.

Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu ”Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.

Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Jateng khususnya dan di Indonesia dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV di Jateng, luar Jateng atau luar negeri. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Surabaya Menuju “Kota AIDS”?

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/12-2002. Ketika masyarakat masih diselimuti mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS tiba-tiba muncul berita hasil tes terhadap pekerja seks di Dolly, salah satu lokalisasi pelacuran di Surabaya: seorang pekerja seks HIV-positif. Belakangan kasus HIV/AIDS di Kota Pahlawan ini “muncul” satu demi satu sehingga ada yang mengkhawatirkan kota ini akan menjadi “kota AIDS”. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.

“Surabaya dalam waktu dekat, dikhawatirkan bisa menjadi kota AIDS. Itu bisa terjadi, jika penderita penyakit mamatikan itu—khususnya dari pekerja seks komersial (PSK)—tetap dibiarkan dilokalisasi melayani tamunya.” Itulah lead berita di sebuah harian pagi yang terbit di Surabaya.

Pernyataan ini mitos. Tidak ada hubungan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan HIV/AIDS. Buktinya, di negara-negara yang secara de facto dan de jure tidak ada (lokalisasi) pelacuran, bioskop, hiburan malam, dll. pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, sampai Agustus 2002 tercatat 1.285 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 833 HIV dan 452 AIDS (Republika, 11/8-2002).

Sebagai fakta medis, artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran, HIV yang hanya bisa hidup di dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik (khas) yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki) dengan seseorang yang HIV-positif; (2) menerima transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Perempuan Hamil

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel darah manusia yang ditumpanginya yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan (bukan keturunan) yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Seseorang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis yang khas sebelum mencapai masa AIDS antara 5-10 tahun sejak terinfeksi. Yang bersangkutan pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tetapi, biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain.

Tidak ada kaitan antara zina, pelacuran, jajan, selingkuh, seks pranikah, homoseks, dll. dengan penularan HIV. Jika kedua pasangan HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV walaupun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, kumpul kebo, dll. Sebaliknya, kalau salah satu dari sebuah pasangan HIV-positif, maka jika hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom maka ada kemungkinan terjadi penularan.

Dari 3.914 perempuan hamil yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di Indonesia ditemukan 27 ibu rumah tangga yang HIV-positif (Media Indonesia, 6/7-2000). Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM di Jakarta, terhadap 537 perempuan hamil di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan enam di antaranya HIV-positif (Media Indonesia, 2/12-2000).

Sampai 30 September 2002 kasus HIV/AIDS di Jawa Timur tercatat 305 (dari 3.374 kasus nasional) yang terdiri atas 172 HIV dan 133 AIDS (42 meninggal). Angka ini sendiri hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang sebenarnya karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tetapi, kalau di satu daerah atau kota terdeteksi satu kasus maka tidak otomatis akan ada sekian kasus. Fenomena ini hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya, merancang program pencegahan, penanggulangan, dll.

Kasus HIV/AIDS nasional dinilai banyak kalangan tidak realistis. Dengan penduduk 200 juta lebih Indonesia baru mencatat 3.374 kasus. Estimasi kasus di Indonesia antara 80.000 - 120.000. Di Malaysia sampai Oktober 2002 sudah dilaporkan 47,634 kasus HIV-positif serta 4,994 kematian (Utusan Express,Malaysia, 8/10- 2002). Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di negeri jiran itu berkisar antara 67.734 - 112.890. Studi yang layak menyebutkan angka 100.000 kasus (The HIV/AIDS Media Guide, Malaysian AIDS Council, September 1999).

Penemuan kasus HIV/AIDS yang ‘banyak’ di Surabaya dan Jatim bukan ‘aib’ karena hal ibu bisa menjadi patokan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Artinya, kemungkinan penduduk yang HIV-positif sudah tergambar dari kasus HIV-positif pada kalangan pekerja seks dan waria karena penduduk menjadi pelanggan mereka.

Seseorang bersiko tertular HIV jika yang bersangkutan melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks yang tidak aman; (2) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks) di dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menerima transfusi darah; dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian

Mata Rantai

Probabilitas (kemungkinan) penularan HIV melalui hubungan seks penetrasi tanpa kondom 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks ada satu kali kemungkinan tertular. Tetapi, tidak ada yang dapat memastikan pada hubungan seks yang keberapa terjadi penularan: yang pertama, kedua, ketujuh, kesembilan puluh, dst. Jadi, karena hubungan seks sering dilakukan maka kemungkinan terinfeksi pun meningkat pula dan tidak diketahui kapan terjadi penularan.

Di mana pun seseorang bisa melakukan kegiatan berisiko tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks yang tidak aman, seperti di rumah, apartemen, hotel mewah, hotel melati, ladang, hutan, lapangan terbuka, dll.

Maka, kalau Surabaya ingin memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk maka cara yang realistis adalah mengajak penduduk menghindarkan kegiatan-kegiatan berisiko. Ini jauh lebih efektif daripada menutup atau menghancurkan lokalisasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan malam. Bukankan jauh lebih baik mengajak orang membuat kebaikan (dalam hal ini menghindari kegiatan berisiko) daripada merusak bangunan (yang tidak berdosa)?

Biar pun bangunan dihancurkan kegiatan berisiko tetap saja bisa dilakukan di tempat-tempat lain yang tidak berbau maksiat. Padahal, di tempat-tempat maksiat sekali pun kalau tidak ada yang HIV-positif tidak akan terjadi penularan HIV.

Persoalannya adalah status HIV seseorang tidak bisa dilihat dari fisiknya. Untuk itulah hindari kegiatan berisiko. Ini jalan terbaik dan paling aman dunia dan akhirat.

Dalam kaitan itulah KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) perlu digencarkan tetapi dengan materi yang akurat, objektif dan jujur sehingga yang dikemukakan fakta bukan mitos dan tidak perlu dibalut dengan moral dan agama.

Dengan mengemukakan fakta-fakta seputar HIV/AIDS secara objektif seseorang akan mengkaji (perilaku) dirinya: Apakah dia pernah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV? Jika jawabannya “ya”, maka biar pun tidak ada gejala-gejala yang terkait dengan AIDS maka sudah selayaknya yang bersangkutan menjalani tes HIV.

Jika infeksi HIV diketahui lebih dini maka tindakan medis dapat meningkatkan daya hidup yang bersangkutan, misalnya dengan memberikan obat antiretroviral untuk menekan laju percepatan penggandaan HIV dalam darah. Dukungan psikologis sehingga yang bersangkutan tetap bisa hidup produktif dan layak serta tidak melakukan kegiatan-kegiatan berisiko yang dapat merugikan orang lain.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Sia-sia, Tes HIV sebelum Menikah

Tanggapan terhadap berita LKBN ”ANTARA”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita ”KUA Lebak dukung Surat HIV/AIDS” yang dilansir LKBN ”ANTARA” (8/6-2009) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Tes HIV bagi calon pengantin akan sia-sia karena tes bukan vaksin. Hasil tes juga bisa salah kalau dilakukan pada masa jendela. Wacana ini sudah lama muncul. Jika tetap dilakukan maka itu bagaikan ’menggantang asap’ atau pekerjaan yang sia-sia.

Dalam berita disebutkan Kepala KUA Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, Didin Baimuizin, mengatakan: ”Saya sangat setuju jika pernikahan itu dilengkapi surat bebas HIV/AIDS." Jika tes HIV diwajibkan bagi semua calon pasangan pengantin maka kita sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Cara ini pun sudah menyamaratakan perilaku semua orang yang merupakan prasangka buruk (suuzan) karena tidak semua orang berisiko tertular HIV.

Masa Jendela

Siapa, sih, yang berisiko tertular HIV? Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tinggi tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang. Yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami, lajang atau duda. Lalu, kalan ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang mengencaninya kemudian berisiko pula tertular HIV.

Untuk itulah jika tetap ingin menerapkan tes HIV sebelum menikah dilakukan dulu konseling berupa bimbingan kepada calon pengantin tentang HIV/AIDS: cara-cara penularan, pencegahan dan perilaku berisiko. Jika ada dugaan, berdasarkan konseling, ada di antara mereka yang perilakunya berisiko maka dianjurkan untuk tes HIV dengan memperhatikan masa jendela (lihat gambar).

Terkait dengan tes HIV perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibodi HIV. Tes HIV bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibbodi HIV. Maka, jika tes HIV dilakukan pada rentang waktu ini maka tes belum bisa mendeteksi antibodi. Hasilnya pun HIV negatif, tapi negatif palsu karena virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi.

Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Banten, di luar Banten atau di luar negeri, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Banten, di luar Banten atau di luar negeri, (c) memakai jarum suntik secara bergantian, (d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Tes HIV secara massal tanpa konseling menyesatkan karena tes HIV bisa menghasilkan positif palsu (darah tidak mengandung HIV tapi terdeteksi positif) atau negatif palsu (darah mengandung HIV tapi tidak terdeteksi). Apa yang akan terjadi jika tes HIV terhadap calon pengantin yang masih perjaka dan perawan hasilnya positif? Positif di sini adalah positif palsu karena mereka tidak tertular HIV. Itulah sebabnya tes HIV selalu harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, kalau tes pertama dengan ELISA maka contoh darah yang sama harus dites lagi dengan Western blot.

Langkah Konkret

Dengan mewajibkan semua calon pengantin menjalani tes HIV hal itu mengesankan bahwa HIV sudah menyebar di masyarakat. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kegiatan sosial atau pergaulan sehari-hari. Lagi-lagi ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat. Yang harus menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang didorong melakukan tes HIV bukan masyarakat, kalangan atau kelompok tertentu tapi hanya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Skirining HIV terhadap darah donor di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: ”Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.
Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu ”Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.

Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV di Banten khususnya dan di Indonesia dan dunia umumnya, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV di Banten, luar Banten atau luar negeri. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seks berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Santunan Kematian yang Diskriminatif

Oleh Syaiful W. Harahap

Berita “Sosialisasi Dana Kematian Rp 2 juta, Mati kena AIDS tak disantuni” di Harian “Monitor Depok” edisi 13 September 2007 merupakan gambaran nyata tentang pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat di banyak kalangan. Berita itu pun menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Selain itu pernyataan terkait HIV/AIDS dalam berita itu pun tidak akurat yang justru menimbulkan mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan “Warga Depok yang meninggal akibat AIDS/HIV”. Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyebab kematian. Seseorang yang tertular HIV akan sampai kepada masa AIDS (antara 5 – 10 tahun kemudian). Pada masa AIDS ini sistem kekebalan tubuh sudah rapuh sehingga mudah tertular penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Penyakit-penyakit inilah, seperti diare, TBC, dll. yang menyebabkan kematian seorang Odha.

HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, di dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi pada proses menyusui dengan seorang perempuan yang HIV-positif.

Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS. Yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena juga tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang ketika dia tertular HIV.

Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Ini mitos karena penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah atau di luar nikah (zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria) dan homoseksual bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan melalui hubungan seks biar pun mereka melakukannya dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Tidak disebutkan alasan yang masuk akal mengapa kematian terkait HIV/AIDS tidak berhak menerima santunan kematian. Inilah salah satu bentuk diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Alasan diskriminasi muncul dari penyataan Walikota Depok “Itu membantu Pemkot mencegah warga melakukan perbuatan melanggar hukum.” Tidak jelas perbuatan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tertular HIV yang disebut sebahgai ‘perbuatan melanggar hukum’.

Seseorang yang tertular HIV dari transfusi darah sangat jelas tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Secara akidah orang yang melakukan transfusi darah wajib hukumnya jika cara itu akan menyelamatkan nyawanya. Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji Alquran tertular HIV di RS Jitra di Kedah, 28 April 2000. Perempuan tadi menuntut pemerintah Malaysia membayar ganti rugi 100 juta ringgit (sekitar Rp 200 miliar). Seandainya kasus itu terjadi di Depok dan orang yang tertular HIV kemudian meninggal, mengapa dia tidak berhak mendapatkan santunan kematian?

Dalam berita disebutkan “Bagaiman jika ada anak yang mendapat AIDS karena turunan dari orang tuanya.” Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular. Seorang perempuan yang tertular HIV berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya terutama pada saat melahirkan dan menyusui dengan ASI.

Diskriminasi santunan kematian kepada Odha patut dipertanyakan kalau kematian terkait Hepatitis B, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit karena dengan pola (perilaku) diberikan santunan. Penularan virus Hepatitis B sama dengan penularan HIV.

Melihat penyebaran HIV yang kian merata di semua lapisan masyarakat di seluruh Nusantara maka tidak tertutup kemungkinan kasus HIV/AIDS juga akan menjadi persoalan (kesehatan) masayarakat di Depok. Secara nasional sudah dilaporkan 15.502 kasus kumuilatif HIV/AIDS. Tapi, angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.

Kasus yang tidak terdeteksi itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV yang pada gilirannya kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS, termasuk di Depok. Jika ini yang terjadi maka kematian terkait HIV/AIDS pun tentulah tidak sedikit.

* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

[Sumber: Harian “Monitor Depok”, 17 September 2007]

Risiko di Balik Kematian Odha

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”SIB”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “107 Penderita HIV/AIDS di Sumut Meninggal” di Harian “SIB”, Medan, 1 Desember 2008. Judul berita ini merupakan fakta yang bisa ditarik ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV. Tapi, sayang wartawan yang menulis berita ini tidak mengembangkan fakta untuk menulis berita yang komprehensif. Tanpa disadarinya berita ini hanya bersifat talking news yaitu berita murni hanya dari hasil wawancara.

Angka kematian penderita HIV/AIDS itu merupakan masalah besar terhadap epidemiologi HIV. Seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sudah tertular HIV antara 5-10 tahun sebelum dia meninggal dunia pada masa AIDS. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sebelum masa AIDS karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang kahs AIDS pada fisiknya.

Tapi, pada rentang waktu itu seorang Odha sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (d) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Nah, kalau di Sumut sudah ada 107 orang yang meninggal dunia karena penyakit yang terkait AIDS maka selama 5-10 tahun mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Bagi yang beristri menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak. Bisa juga yang beristri menularkan HIV kepada perempuan lain, seperti pasangan seks selain istrinya atau pekerja seks komersial (PSK). Sedangkan yang tidak beristri menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau PSK.

Realitas inilah yang sering tidak muncul sehingga masyarakat tidak memahami fakta terkait dengan epidemi HIV.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Wapres Dituntut Minta Maaf atas Pernyataannya, KOMPAS, 1 Juli 2006).

Pernyataan Wapres itu bukan lagi sekedar ‘wacana’ karena di Kampung Blok Subur, sebuah desa di kawasan Puncak, Kab. Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1980-an sudah dikenal ‘kawin kontrak’ antara perempuan desa itu dan dari daerah lain dengan turis asal Timur Tengah. Desa itu dikenal sebagai ‘Kampung Janda’. Sekarang ‘kawin kontrak’ sudah ‘merambat’ ke beberapa kampung di kawasan Puncak. Perempuan yang dikawinkan berasal dari berbagai daerah, seperti Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Indramayu yang dibawa oleh calo. Lama perkawinan bervariasi mulai dari hitungan hari, minggu, bulan dan tahunan.

Di kala epidemi HIV sudah terdeteksi di semua negara maka ada kemungkinan seorang penduduk atau turis menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk di satu negara atau antar negara.. Kalau turis, dari dalam atau luar negeri, yang melakukan pernikahan singkat di Puncak itu HIV-positif maka selain meninggalkan anak yang memiliki gen yang lebih baik juga sekaligus menularkan HIV kepada ‘istrinya’. Selanjutnya, ‘istri’ yang diceraikannya setelah ‘nikah singkat’ itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kepada anak yang dikandungnya atau kepada turis lain atau penduduk yang kelak mengawininya.

Ada salah kaprah dalam bentuk mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Disebutkan HIV menular karena zina, pelacuran, seks oral dan seks anal, serta homoseksual. Ini terjadi karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) selalu dibalut dengan moral sehingga tidak akurat. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif.

Banyak yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena mereka merasa tidak melakukan zina. Biar pun dilakukan dengan pekerja seks tapi mereka ‘menikah’dulu sehingga hubungan seks yang mereka lakukan sah. Ada lagi yang tidak merasa berisiko tertular HIV biar pun dia menikahi pekerja seks karena hubungan seks mereka lakukan di dalam ikatan pernikahan. Bahkan, dari sisi moral laki-laki yang menikahi pekerja seks tadi menjadi ‘pahlawan’, tapi dari sisi penularan HIV dia berisiko karena sebelum dinikahinya istrinya merupakan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu berganti-ganti pasangan.

Padahal, kegiatan mereka itu berisiko tinggi tertular HIV. Perempuan yang mereka ‘nikahi’ sering berganti-ganti pasangan sehingga berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah ‘menikah’ dengannya HIV-positif.

Persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penularan HIV tanpa disadari.

Laporan UNAIDS, menyebutkan sejak awal epidemi sampai Desember 2005 secara global tercatat 40,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Kematian mencapai 3,1 juta. Infeksi baru pada tahun 2005 mencapai 4,9 juta. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan Depkes 10.156, sedangkan kalangan ahli memperkirakan antara 80.000 – 120.000.

Dalam laporan terbaru UNAIDS (AIDS epidemic update December 2005) disebutkan bahwa peningkatan kasus AIDS di Afrika Utara dan Timur Tengah terus berlanjut. Penularan terjadi melalui hubungan seks dan jarum suntik pada penggunaan narkoba. Dilaporkan pula bahwa program pelayanan dan pencegahan HIV di kawasan ini berlangsung secara sporadis. Pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah. Kegiana pencegahan, termasuk di kalangan yang berisiko tinggi, jarang dilakukan.

Di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah diperkirakan 510.000 kasus HIV/AIDS dengan perkiraan tertinggi 1,4 juta. Sampai akhir 2004 di Arab Saudi dilaporkan 8.919 kasus kasus HIV/AIDS (arabnews.com - 3 September 2005). Bertolak dari fakta ini maka sangat beralasan kalau ada kekhawatiran terjadi penularan HIV kepada perempuan yang dijadikan istri pada pernikahan singkat.

Turis tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, sedangkan perempuan yang dijadikan ‘istri singkat’ pun tidak menganggap pernikahan itu berisiko karena mereka melakukannya dalam ikatan pernikahan yang sah.

Sebuah organisasi mahasiswa keagamaan pernah mengusulkan agar dilakukan nikah mut’ah di lokalisasi pelacuran (Panji Masyarakat, No. 13, Tahun I, 14 Juli 1997). Biar pun hubungan seks ‘halal’ tapi penularan HIV dan PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) tetap bisa terjadi karena penularan HIV dan PMS melalui hubungan seks tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tapi erat kaitannya dengan kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Sejak AIDS diidentifikasi pertama kali (1981) dan HIV diakui oleh WHO sebagai virus penyebab AIDS (1986) kalangan medis sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.

Tapi, karena di awal epidemi kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan gay dan pekerja seks maka AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, fakta medis HIV/AIDS pun hilang dan yang muncul hanya mitos. Mitos ini menyesatkan. Penularan HIV pun terjadi diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV biar pun perilakunya berisiko tinggi. Soalnya, perilaku berisiko itu dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah. ***


* Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

Perda AIDS Hanya ’Macan Kertas’

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 27/8-2009. Ada dua berita tentang kebutuhan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan: (1) Aktivis kesehatan: Medan butuh Perda AIDS (Waspada Online, 20 Agustus 2009), dan (2) Medan Butuh Perda AIDS (Harian “Berita Sore”, 19 Agustus 2009). Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sampai kota yang sudah menerbitkan perda penanggulangan AIDS. Apakan perda-perda itu (bisa) bekerja menanggulangani epidemi HIV?

Perda penanggulangan AIDS di Indonesia dimulai di Kab. Nabire, Tanah Papua, yang menelurkan perda tahun 2003, sedangkan yang terakhir adalah Prov. Kalimantan Barat yang mengesahkan perda Februari 2009. Ide pembuatan perda AIDS di Indonesia bertolak dari keberhasilan Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program pemakaian 100 persen kondom’.

’Program pemakaian 100 persen kondom’ ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi dan rumah-rumah bordir di Negeri Gajah Putih itu. Program ini merupakan promosi pemakaian kondom pada hubungan seks berisiko yang pada gilirannya pekerja seks diwajibkan menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Celakanya, program itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena beberapa faktor.

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga mekanisme pengawasan tidak bisa dilakukan. Thailand mengawasi program itu dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Germo atau mucikari pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi peringatan sampai pencabutan izin.

Kedua, di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap kondom karena selama ini kondom dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, kondom dianggap sebagai alat untuk mendorong orang melakukan hubungan seks di luar nikah.

Ketiga, pemahaman masyarakat terhadap cara-cara pencegahan dengan kondom sangat rendah sehingga banyak orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko yaitu: (a) pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Tiga alasan itu merupakan ganjalan terhadap ’program pemakaian 100 persen kondom’ pada hubungan seks berisiko. Selain itu program ini merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di Thailand. Maka, program kondom yang ditawarkan di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Ada pernyataan ” ..... Kota Medan di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) merupakan daerah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di provinsi itu.” Di beberapa ibu kota provinsi kasus HIV/AIDS tinggi karena di kota inilah tersedia layanan konseling dan tes HIV. Maka, banyak orang dari luar kota Medan yang terdeteksi di Medan sehingga kasus di Medan tinggi.

Disebutkan ” ....jumlah mereka yang terinfeksi virus HIV/AIDS yang tidak terdata jauh lebih besar. Fenomena ini, menurut Daniel, menunjukkan kemungkinan kurangnya kesadaran mereka yang berisiko tertular HIV/AIDS memeriksakan dirinya ke rumah sakit.” Kondisi ini terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul bukan fakta medis tapi mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan zina, pelacuran, seks pranikah, jajan, selingkuh, ’seks bebas’, dan homoseksual sebagai ’penyebab’ HIV/AIDS. Buktinya, dalam berita di ”Waspada” juga ada pernyataan ” Masih banyak yang menganggap HIV/AIDS hanya menulari mereka yang melakukan seks bebas ....” Istilah ’seks bebas’ adalah terminologi yang ngawur yang merupakan terjemahan besar dari free sex yang tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris.

Lagi pula kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina atau melacur maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan ’seks bebas’.

Satu hal yang luput dari perhatian pemrakarsa perda AIDS adalah program ’100 persen kondom’ di Thailand merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Akibatnya, perda-perda AIDS itu pun mengekor ke ekor program Thailand. Tentu saja hasilnya tidak bisa diharapkan seperti di Thailand.

Hal itu memang terbukti. Dari 30 perda sudah 28 yang penulis analisis. Hasilnya? Semua perda tidak menawarkan penanggulangan dan pencegahan penularan HIV yang akurat. Penanggulangan yang ditawarkan dibalut dengan norma, moral, dan agama. Perda AIDS Prov. Riau No. 4/2006, misalnya, pada pasal 5 disebutkan Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara:
a. Meningkatkan Iman dan Taqwa
b. Tidak melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang sah.
c. Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas.

Tiga cara ini normatif yang merupakan mitos bukan medis. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahan pun dalam dilakukan secara medis.

Lagi pula ayat a mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV berarti tidak beriman dan tidak bertaqwa. Ini mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (pembedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Begitu juga ayat b dan c sama sekali bukan cara yang akurat dalam mencegah penularan HIV melalai hubungan seks.

Di Sumatera Utara sudah ada daerah yang menerbitkan Perda AIDS yaitu Kab. Serdang Bedagai melalui Perda No. 11/2006. Apakah perda ini bekerja? Tentu saja tidak karena tidak menawarkan cara-cara penanggulangan dan pencegahan yang realistis. Pasal 3 ayat c, misalnya, disebutkan: Melaksanakan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat – tempat perilaku berisiko tinggi, termasuk di dalamnya keharusan penggunaan kondom 100% melalui Tikes (Tim Kesehatan) yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir tentu saja program ini tidak jalan.

Begitu pula dengan pasal 6 yang mengatur larangan bagi orang-orang yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV. Persoalan besar pada epidemi HIV adalah banyak orang yang justru tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi sampai masa AIDS yaitu antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu inilah terjadi penularan secara horizontal antar penduduk tanpa disadari.

Maka, kalau Pemkot Medan tetap akan menerbitkan perda maka pasal yang harus ada adalah: (1) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti; (2) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan; (3) Setiap perempuan wajib memaksa pasangannya memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti.

Selanjutnya ada pula pasal yang menyebutkan: (1) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti wajib menjalani tes HIV; (2) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV; (3) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak memakai kondom wajib menjalani tes HIV, (4) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom wajib menjalani tes HIV.

Hanya dengan materi HIV/AIDS yang akurat yang dapat membuka mata hati masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis. Informasi yang akurat membantu masyarakat melindungi dirinya agat tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Penyuluhan Sosial Melalui Media Cetak

Oleh Syaiful W. Harahap
Tabloid ‘ayom’ Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak

DEPARTEMEN SOSIAL, Wisma Pendawa, Ciloto, Jabar, 24 Agustus 2001

Berita (news) sudah merupakan salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjangkau khalayak secara luas dan bisa menembus semua batas ekonomi, sosial, dll. maka dipakailah media massa (media cetak dan elektronik) sebagai saluran untuk menyampaikannya. Tentu saja tidak mungkin menyebarluaskan berita melalui poster, selebaran atau pengeras suara.

Berita yang disebarluaskan itu sendiri tidak sekadar informasi (keterangan). Dalam kaidah jurnalistik tidak semua informasi layak diberitakan. Hanya informasi yang mengandung unsur-unsur layak berita yang pantas menjadi berita di media massa. Berita pasti berisi informasi tetapi tidak semua informasi layak (menjadi) berita.

Unsur-unsur Layak Berita

Pengamatan terhadap berita-berita di media cetak menunjukkan ada kecenderungan pemberitaan masalah-masalah sosial yang tidak layak berita, seperti razia atau penertiban pekerja seks, gelandangan, anak jalanan dll. Misalnya, penangkapan tamu hotel yang tinggal sekamar tanpa surat nikah atau penggarukan pekerja seks di jalananan sama sekali tidak mengandung makna yang berarti.

Seperti diketahui media massa merupakan agent of change (pembawa pembaharuan) yang pada akhirnya diharapkan dapat menjadi agent of development kareana mendorong sikap masyarakat ke arah yang lebih produktif. Tetapi, pemberitaan seputar pekerja seks, anak jalanan, gelandangan dll. justru menyuburkan stigma (cap negatif). Ada kesan seolah-olah petugas yang menggaruk dan wartawan yang mengikuti penggarukan itu merupakan orang-orang yang paling bermoral sedangkan yang digaruk merupakan ‘sampah masyarakat’. Kamera televisi dengan leluasa mengambil gambar pekerja seks. Cara ini merupakan perbuatan melanggar hukum karena pemuatan gambar di media massa harus seizin yang bersangkutan.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah petugas dan wartawan tidak mempunyai andil dalam menyuburkan pelacuran, anak jalanan, pengemis, dll? Apa iya, petugas dan wartawan lebih bermoral dari pekerja seks, pengemis, anak jalanan dll.? Berita yang tidak fair itu muncul karena wartawan memasukkan nilai moralnya ketika menulis berita. Dia memakai ukuran moralitas dirinya sendiri yang semu, yang, maaf, terkadang bertolak belakang dengan realitas moralnya sendiri. Ini pun membuat masyarakat bersikap mendua (ambiguitas) terhadap masalah sosial.

Dari segi jurnalistik berita-berita itu sama sekali tidak bernilai karena tidak mengandung unsur-unsur layak berita. Ada enam unsur layak berita yaitu (1) significance yaitu sejauh mana suatu fakta atau informasi dapat mempengaruhi kehidupan orang banyak, (2) magnitude yaitu angka-angka yang dapat mempengaruhi pembaca, (3) timeliness yaitu kejadian yang baru terjadi, (4) proximity yaitu kedekatan suatu kejadian dengan pembaca baik secara geografis maupun psikologis, (5) prominence yaitu ketenaran jika suatu fakta atau kejadian menyangkut nama yang akrab dengan pembaca, dan (6) human interest yaitu keterkaitan unsur manusia misalnya orang besar dalam keadaan biasa atau orang biasa dalam keadaan luar biasa.

Dalam berita-berita penggarukan pekerja seks, gelandangan, pengemis dan anak jalanan sama sekali tidak ada unsur-unsur layak berita. Tidak ada pekerja seks yang ternama yang menjadi public figure. Karena berita merupakan agent of change akan sangat berarti kalau berita tentang pekerja seks, gelandangan, pengemis dan anak jalanan dapat ditulis secara komprehensif agar masyarakat dapat mendukung upaya-upaya penanganan dan penanggulangan masalah sosial secara objektif dan realistis.

Di sinilah petugas sosial dapat berperan, misalnya, dengan menulis tanggapan baik melalui surat ke rubrik ‘Surat Pembaca’ terhadap suatu berita atau menulis masalah tersebut dalam bentuk ‘Opini’. Surat sangat terbatas, tetapi dalam Opini persoalan dapat dipaparkan secara sistematis, termasuk di dalamnya penyampaian pesan dan saran. Bahkan, beberapa koran menyediakan honorarium yang layak, antara Rp 50.000 – Rp 350.000 untuk tulisan yang dimuat.

Berita yang merupakan rekonstruksi ulang dari suatu kejadian merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: apa yang terjadi (what), siapa (who), mengapa (why), di mana (where), kapan (when) dan how (bagaimana). Inilah yang dikenal sebagai 5W + 1H dalam dunia jurnalistik.

Kelompok Sasaran

Setiap media mempunyai keunggulan dan kelemahan. Media cetak dibatasi ruang, radio dibatasi waktu, dan televisi dibatasi ruang dan waktu. Media cetak membutuhkan konsentrasi bagi pembacanya, sedangkan radio dan televisi dapat didengar dan dilihat sambil lalu. Namun, radio sangat efektif untuk menggerakkan emosi massa karena nada suara akan dapat merasuk pendengarnya. Sebaliknya, media cetak sangat efektif menumbuhkan sikap. Dalam bahasa jurnalistik media cetak dikaitkan dengan teori jarum suntik hipodermis yaitu penyuntikan di bawah kulit sehingga tidak terlalu sakit, tetapi obat yang disuntikkan masuk. Begitu pula berita, tanpa dirasakan yang membacanya dia sudah dipengaruhi di bawah alam sadarnya. Untuk mencapai tahap ini sangat tergantung dari pengkajian berita dan sasaran pembaca.

Karena masalah sosial perlu disampaikan kepada masyarakat secara objektif, akurat dan komprehensif maka berita-berita yang terkait dengan aspek sosial pun perlu disampaikan dengan fair. Agar berita bermakna sebagai upaya untuk menggalang kepedulian masyarakat terhadap masalah sosial maka penulisan berita perlu mempertimbangkan field of experience (ruang lingkup pengalaman) dan field of reference (ruang lingkup referensi) kelompok sasaran. Soalnya, biar pun lambang-lambang atau terminologi yang dipakai dalam berita, termasuk penggunaan bahasa baku, dapat dipahami pembaca, tetapi pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam berita itu tergantung kepada field of experience dan field of reference pembaca.

Tanpa memperhatikan dua unsur tersebut maka bisa terjadi kesalahpamahan, apalagi berita ditulis oleh wartawan dengan memasukkan moral dirinya sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak objektif yang pada gilirannya menyuburkan stigma. Jika hal ini yang terjadi maka upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar bahu-membahu dalam mengatasi masalah sosial pun akan sia-sia belaka. Masyarakat justru akan memalingkan muka dari masalah-masalah sosial, yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang kian rumit.

Penyajian berita masalah sosial yang tidak fair merupakan realitas media yang tidak menggambarkan realitas sosial. Wartawan yang memberitakan fakta tidak mengacu ke realitas sosial sehingga membuat masyarakat menilai masalah sosial dengan moral dirinya. Hal inilah yang selama ini terjadi sehingga penanganan masalah-masalah sosial kian rumit karena masyarakat menganggap mereka sebagai sampah.

Contoh yang paling akurat adalah masalah epidemi HIV dan virus hepatitis C (HCV) di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug users/IDU). Beberapa surveilans di kalangan IDU menunjukkan infeksi HIV dan HCV berkisar antara 40%-60%. Karena berita HIV/AIDS dan Narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) selama ini tidak fair maka masyarakat pun tidak peduli dan mengabaikan pencegahan penularan HIV dan HCV karena mereka menganggap jika IDU tertular HIV atau HCV maka mereka akan mati.

Sayang, pola pikir tersebut keliru karena sebelum seorang IDU yang tertular HIV atau HCV mati dia sudah menularkannya kepada orang lain, misalnya, kepada istrinya atau pasangan seksnya secara horizontal. Jika istrinya tertular maka istrinya pun kelak akan menularkan HIV ke anak yang dikandungnya secara vertikal. Maka, mata rantai penyebaran HIV dan HCV pun tidak dapat lagi diputus kalau pola pikir masyarakat sudah keliru.

Hal yang sama akan terjadi dalam masalah-masalah sosial. Jika ada berita yang tidak fair maka masyarakat pun akan mengabaikan persoalan sosial yang ada di depan matanya, sebaliknya sikap tersebut justru menyuburkan masalah-masalah sosial yang pada akhirnya menjadi beban DEPARTEMEN SOSIAL.

Menyiapkan Bahan Berita

Wartawan memperoleh bahan berita dari siaran pers, liputan, acara dan konferensi pers. Karena kegiatan DEPARTEMEN SOSIAL berkaitan dengan upaya penampakan dalam masyarakat sebagai instansi yang menangani masalah-masalah yang terkait dengan aspek sosial maka media massa pun menjadi kawan seiring. Di satu pihak wartawan membutuhkan berita, di lain pihak (kegiatan) DEPARTEMEN SOSIAL pun perlu diberitakan. Media massa dapat menjadi wadah untuk menarik perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap suatu masalah yang ditangani DEPARTEMEN SOSIAL.

Untuk itulah diperlukan pendekatan yang bersahabat dengan wartawan. Kalau berurusan dengan manajemen media semuanya dihitung berdasarkan harga. Artinya, biar pun ada kegiatan DEPARTEMEN SOSIAL yang layak berita, tetapi karena ada unsur memperkenalkan diri maka berita itu dilihat sebagai "iklan". Akibatnya, berita itu tidak akan pernah dimuat.

Bisa saja DEPARTEMEN SOSIAL "memberitakan" kegiatannya sebagai iklan. Namun, tanggapan pembaca akan miring terhadap berita yang bersifat iklan (advertorial) karena isinya yang baik-baik saja. Berbeda dengan berita yang dikemas menurut kaidah jurnalistik akan dapat mempengaruhi pembaca sehingga tujuan pun tercapai.

Karena media massa sudah dikelola secara manajemen maka adalah tidak mungkin lagi untuk ‘merangkul’ media karena bisa saja terjadi ada perbedaan yang sangat mendasar. Pengelola media melihat pasar dengan kacamata bisnis, sedangkan pihak lain, seperti DEPARTEMEN SOSIAL, melihat pasar sebagai khalayak yang patut menerima berita yang terkait dengan aspek-aspek sosial.

Untuk mencapai sasaran diperlukan bahan berita yang dapat ‘menggiring’ atau ‘merangsang’ wartawan menulis berita sesuai dengan yang diharapkan. Di sinilah diperlukan siaran pers (press release). Siara pers ditulis berdasarkan kaidah-kaidah baku jurnalistik dan disajikan dalam bentuk piramida terbalik, artinya bagian yang penting ditempatkan di bagian depan dan detail selanjut pada bagian lain. Siaran pers ini merupakan advertorial terselubung, tetapi kalau ditulis dengan akurat, objektif dan fair materi yang dimasukkan secara terselubung tidak akan kelihatan. Apalagi siaran pers ditulis dalam bentuk berita yang siap muat maka akan memudahkan wartawan untuk mengolah siaran pers tersebut menjadi berita yang sesuai untuk medianya.

Dalam kaitan inilah perlu dibina kerja sama yang baik dengan wartawan karena wartawan akan menulis berita di medianya berdasarkan bahan pada siaran pers atau wawancara dengan pejabat dan pakar yang terkait.

Ciloto, Jabar, 24 Agustus 2001

Bahan Bacaan:

Ashadi Siregar, dkk, Bagaimana Menulis Penulis Media Massa, Paket 4, Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982

Astrid S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek I, Bina Cipta, Bandung, 1974

Newsletter HindarAIDS No. 60, 1 Januari 2001 (http://www1.rad.net.id/aids/HINDAR/hindar.htm)


Bruce D. Itule dan Douglas A. Anderson, News Writing and Reporting for Today’s Media, Third Edition, McGraw-Hill, Inc., 1994

Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000

Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Hilir

Oleh Syaiful W Harahap

"HIV/AIDS, Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat." Itulah judul berita di sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Takta ini menunjukkan ada gelombang baru yang menghadang upaya penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air. Sekarang pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana dana dari donor cenderung mengutamakan pengobatan terhadap Odha. Terapi adalah penang-gula-ngan di hilir, sedangkan pencegahan merupakan penanggulangan di hulu.

Walaupun tidak menyembuhkan tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV) membawa berkah bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS). Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat meningkatkan kualitas hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan penularan karena jumlah virus kian sedikit.

Pada awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan berkat regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Sekarang obat ini gratis karena ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan muncul ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan dari APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.

Krisis ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terha-dap ARV karena pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai dengan anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus diganti. Ini berdampak pula pada harga obat.

MENGUSUNG MITOS

Jika pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk sektor HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menim-bulkan gejolak karena mengesankan pemerintah hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu dibenturkan dengan norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik).

Anggapan di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di beberapa daerah al. provinsi (Bali, Jawa Timur, dan Riau), kabupaten (Merauke, Puncak Jaya, Nabire) dan kota (Jayapura, Sorong, Palembang). Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.

Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV dengan “meningkatkan iman dan taqwa”. Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah penularan HIV melalui transfusi darah? Hal ini juga akan menyuburkan stigma dan diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks dengan yang bukan istri.

Dengan 11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat ARV, diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066 kasus HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Kalau diambil rata-rata maka ada 110.000 penduduk Indonesia yang akan memerlukan obat ARV dan perawatan serta pengobatan di rumah sakit.

Angka di atas akan terus bertambah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan: (a) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (b) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pekerja seks itu HIV-positif.

PENULARAN DIAM-DIAM

Dengan kasus AIDS yang dilaporkan saja yaitu 11.141 dana untuk membeli ARV setiap bulan mencapai Rp 8.912.800.000 dengan catatan harga Rp 800.000. Jika kasus pada angka 110.000 maka dana yang diperlukan mencapai Rp 88 miliar per bulan. Angka itu belum termasuk biaya pengobatan (obat, dokter, dan rumah sakit) untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS. Bagi yang mampu tidak ada masalah, namun bagi yang tidak mampu tentulah akan menjadi beban. Kalau kemudian pemerintah mengatasinya dengan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin maka dana yang diperkukan untuk mengobati Odha pun akan membengkak pula.

HIV/AIDS merupakan epidemi yang harus ditanggulangi karena terkait dengan kesehatan masyarakat maka semua Odha mem-peroleh ARV gratis. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan untuk menerapkan subsidi silang karena jika tidak ada lagi dana hibah dari donor tentulah pemerintah akan kelabakan menyediakan biaya untuk pembelian obat ARV.

Pemberian ARV merupakan upaya penanggulangan di sek-tor hilir. Karena penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disada-ri maka kasus penularan HIV akan terus bertambah. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik. Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Antara lain melalui hubungan seks tanpa kodom di dalam dan di luar nikah, serta melalui jarum suntik yang dipakai bergantian pada pe-nyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ada pula yang menularkan HIV kepada pekerja seks. Pekerja seks yang tertular kemudian menularkan HIV kepada laki-laki yang datang mengencaninya tanpa memakai kondom.

Banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi sudah pada masa AIDS. Ini menunjukkan sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain yaitu pada kurun waktu antara 5-10 sejak mereka tertular HIV. Inilah mata rantai penyebaran HIV yang merupakan sektor hilir pada epidemi HIV. Tapi, hal ini tidak menjadi perhatian utama dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini. Penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV

Kalau di sektor hilir tidak ada upaya yang konkret untuk mencegah penularan HIV maka kasus AIDS akan terus bertambah. Ini artinya beban pemerintah untuk menyediakan obat ARV gratis pun akan melon-jak pula. Pengeluaran masyarakat untuk berobat, khususnya keluarga Odha, pun meningkat pula karena pada masa AIDS Odha akan memerlukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Kelak kalau dana hibah dari donor asing tidak ada lagi maka APBN dan APBD pun akan digerogoti untuk membeli atau menyubsidi ARV dan memberikan dana bantuan pengobatan bagi pasien Odha yang miskin.

Akankah kita menunggu kondisi itu atau sejak hari ini kita menyingsingkan lengan baju menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS agar masyarakat bisa melindingi diri secara aktif agar tidak tertular HIV. Pilihan ada di tangan kita. (Penulis adalah Pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM media watch InfoKespro Jakarta).

[Sumber: Harian "Swara Kita", Manado, 12 Mei 2008]

Pemahaman AIDS yang Tidak Akurat

Tanggapan terhadap Berita di Harian ” Lampu Hijau”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 13 Juni 2009. Berita “Katanya Kota Bebas Pelacuran, Tangerang Kok Jadi Sarang AIDS, 3 Pelacur, 1 Bencong Positif HIV (Kumaha Atuh pak Wali …..?)” yang dimuat harian ini tanggal 12 Juni 2009 menunjukkan pemahaman yang sangat dangkal terhadap HIV/AIDS.

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara pelacuran dengan penularan HIV. Risiko penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Kedua, yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru penduduk lokal dan pendatang yang sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, remaja, atau duda. Selanjutnya kalau laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki ini pun berisiko tertular HIV. Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk adalah laki-laki bukan pekerja seks.

Ketiga, biar pun tidak ada pelacuaran, seperti di Tangerang, tapi praktek-praktek hubungan seks yang berisiko tertular HIV tetap ada. Bisa terjadi di rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, di alam terbuka, dll. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif), (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, perempuan panggilan, pelacur kelas atas, waria pekerja seks, ‘siswa atau mahasiswi’ yang menjadi pekerja seks, dll. (risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif)

Keempat, di negara-negara yang menjadikan kita suci sebagai UUD sehingga secara de facto dan de jure tidak ada pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Ini bisa terjadi karena penduduk negara itu melakukan hubungan seks berisiko dengan pendatang atau di luar negeranya. Yang tertular akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di negaranya. Hal yang sama bisa terjadi di Tangerang. Biar pun tidak ada pelacuran tapi bisa saja penduduk Tangerang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di luar Tangerang atau di luar negeri. Penduduk Tangerang yang tertular HIV di luar kota akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Tangerang melalui (a) hubungan seks tanpa kodom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, dll., (d) cangkok organ tubuh, (e) air susu ibu/ASI (perempuan).

Dalam berita disebut “ ….. ditemukan empat pengidap AIDS“. Ini tidak akurat karena tes HIV bukan menemukan penderita AIDS tapi orang-orang yang sudah tertular HIV. Patus pula dipertanyakan apa jenis tes HIV yang dilakukan terhadap pekerja seks yang tertangkap. Kalau yang dipakai hanya rapid test dengan ELISA maka hasil tes itu belum akurat karena standar prosedur operasi tes HIV yang baku mengharuskan setiap hasil tes diuji lagi dengan tes lain. Tes HIV kepada pekerja seks hanya untuk menentukan angka prevalensi dalam kaitannya dengan epidemi.

Jika informasi tertang HIV tidak akurat maka inilah yang justru akan menyuburkan epidemi HIV. Soalnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularna dan pencegahan HIV yang akurat. Jika penanganan HIV/AIDS tidak komprehensif maka kita tinggal menunggu ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Pada gilirannya kondisi itu kelak akan menguras APBD untuk biaya pengobatan dan perawatan penduduk yang sakit karena penyakit yang terkait AIDS.

Sampai saat ini sudah ada 28 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda Penanggulangan AIDS. Tapi, semuanya tidak menyentuh akar persoalan epidemi HIV karena cara-cara pencegahan yang ditawarkan hanya dari aspek norma, moral, dan agama. Akibatnya, kasus-kasus infeksi HIV baru tetap saja terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara pencegahan yang realistis. Teknologi kedokteran bisa dipakai untuk mencegah penularan HIV.

Jika ingin membuat Perda yang bisa menanggulangi penyebaran HIV maka pasal yang perlu ada adalah “Setiap penduduk, laki-laki dan perempuan, diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” Lalu pasal berikutnya berbunyk ““Setiap penduduk, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.”

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyikapi Kasus HIV/AIDS di Palu

Oleh Syaiful W. Harahap
Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro”, Jakarta

Dua berita di harian ini yaitu “Selain PSK, Polisi Pengidap AIDS Hasil Pendataan Dinkes” (11/4-2008) dan “Tangkal AIDS Tak Cukup Lewat Penyuluhan” (12/4-2008) menunjukkan pemahaman yang tidak akurat di banyak kalangan. Kondisi inilah yang memicu penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk karena banyak yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.


Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan pekerja seks komersial (PSK) ada dua fakta yang tidak dipahamai banyak orang.

Pertama, PSK yang terdeteksi HIV-positif di Palu tertular HIV dari laki-laki penduduk Palu atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka sudah ada penduduk Palu yang HIV-positif. Ini juga menunjukkan tingkat angka prevalensi HIV (perbandingan penduduk laki-laki dewasa yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kurun waktu tertentu) di Palu. Kalau fakta ini ditarik ke realitas sosial maka laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, remaja, duda, atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, sopir, maling, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Mata Rantai

Penyebaran HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai secara bergantian, dan (d) air susu ibu/ASI melalui proses menyusui.

Kedua, PSK yang terdeteksi HIV-positif di Palu itu sudah mengidap HIV ketika tiba di Palu. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang beristri maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya atau kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung istrinya kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI (vertikal).

Dua hal di ataslah yang sering luput dari perhatian sehingga penyebaran HIV terus terjadi tanpa kita sadari. Dalam berita disebutkan “ … jika faktor penyebab munculnya penyakit yang paling mematikan tersebut berada dari para Wanita Tuna Susila (WTS). Maka yang harus dilakukan adalah bagaimana menghilangkan praktik-praktik prostitusi di Kota Palu.” (12/4-2008). Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV bukan WTS atau PSK, tapi laki-laki yang mengidap HIV.

Maka, yang perlu ditangani adalah laki-laki yang perilakunya berisio tertular atau menularkan HIV yaitu: (a) laki-laki yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di Palu, di luar Palu atau di luar negeri, dan (b) laki-laki yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti WTS atau PSK di Palu, di luar Palu atau di luar negeri. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Begitu pula dengan pengguna narkoba. Tidak bisa dipastkan apakah mereka tertular melalui penggunaan jarum suntik atau seks karena mereka pun melakukan hubungan seks. Pengguna narkoba yang terdeteksi HIV-positif pun akan menjadi mata rantai pula dalam penyebaran HIV. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pacarnya atau PSK. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau PSK.

Dalam berita disebutkan terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di Palu. Disebutkan dari 2001-2007 sudah terdeteksi 32 kasus yang terdiri atas 25 AIDS dan 7 HIV. Perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang muncul ke permukaan hanya bagian kecil.
Mencegah HIV

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi tahun 2007 merupakan insiden penularan yang terjadi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Kalau seseorang terdteksi HIV maka miminal dia sudah tertular tiga bulan sebelum tes HIV. Jika seseorang terdeteksi HIV sudah pada masa AIDS maka minimal dia sudah tertular lima tahun sebelumnya.

Peningkatan jumlah kasus yang terdeteksi terjadi karena ada kegiatan survailans tes HIV (tes tanpa nama untuk mendapatkan angaka prevalensi di kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu), orang-orang yang tertular HIV sudah mencapai masa AIDS sehingga memerlukan pengobatan. Ketika berobat dokter akan melihat riwayat pasien. Dari diagnisis ada yang terdeteksi HIV-positif. Pada masa AIDS mulai muncul berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TB, dll. Infeksi ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh orang yang tertular HIV sudah sangat rendah. Kekebalan menurun karena HIV merusak sel-sel darah putih ketika HIV menggandakan diri di dalam darah.

Perihal cara mencegah HIV dalam berita disebutkan “ …. berpuasa berhubungan seks.” Ini tidak akurat karena cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah adalah jangan melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif. Ini fakta medis.

Berita polisi yang terdeteksi HIV-positif terlalu dibesar-besarkan sehingga menjadi sensasi. Padahal, di kalangan lain tidak tertutup kemungkinan ada juga kasus HIV/AIDS. Hanya saja belum terdeteksi. Yang menularkan HIV kepada WTS atau PSK di Palu tentulah penduduk Palu dari berbagai kalangan.

Dalam berita juga ada pernyataan “….sangat prihatin karena Palu yang dikenal sebagai kota religius ini dengan sarana-sarana keagamaan, justru penderita HIV terus meningkat ….” Tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV pun bisa terjadi melalui transfusi darah. Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Arab Saudi, yang memakai Alquran sebagai UUD, sudah melaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.

Banyak kepala daerah seperti ‘kebakaran jenggot’ kalau di daerahnya ditemukan kasus HIV/AIDS. Ini reaksi negatif yang sangat merugikan penanggulangan HIV/AIDS karena kemudian temuan kasus-kasus itu disembunyikan. Padahal, penemuan kasus HIV/AIDS justru baik karena mulai dari orang-orang yang terdeteksi HIVitu mata rantai penyebaran HIV diputus.

Makin banyak kasus yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai yang diputus. ***

Narkotik Suntikan Memicu Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 26/1-1999 Di saat epidemi HIV menjadi salah satu ancaman terbesar bagi penduduk dunia penyebarannya justru dipicu oleh penyalahgunaan narkotik melalui suntikan (injecting drug user/IDU). Sampai akhir 1997 UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS) melaporkan 30,6 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Setiap hari diperkirakan 16.000 penduduk bumi terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus) yaitu virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) yakni cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi oportunistik.

Penyebaran HIV melalui pemakaian narkotik dengan jarum suntik dilaporkan oleh 96 negara. WHO memperkirakan saat ini 5,5 juta IDU di 128 negara. Pemakaian narkotik dengan suntikan mulai diidentifikasi awal tahun 1980-an. Di Bangkok, Thailand, misalnya, IDU ditemukan pertama kali tahun 1987 yang dengan cepat menyebar ke berbagai bagian negara itu sampai ke perbatasan dengan Malaysia. Negara-negara di Asia Timur, Tenggara dan Selatan tidak bisa lepas dari IDU karena berdekatan atau menjadi jalur dari dan ke Golden Triangle (Segitiga Emas) produksi heroin terbesar di dunia yaitu di perbatasan Thailand, Laos dan Myanmar.

Di beberapa negara penyebaran HIV melalui IDU justru lebih besar daripada melalui hubungan seksual. Di Belarus, umpamanya, 87% kasus infeksi HIV tertular melalui IDUs. Tahun 1996-1997 empat dari lima kasus HIV baru terinfeksi melalui IDUs. Dalam kurun waktu dua tahun saja prevalensi HIV di kalangan IDU di Bangkok meningkat dari 2% menjadi 40%. Sekitar 75% kasus infeksi HIV di Cina, India, Malaysia, Myanmar dan Vietnam tertular melalui IDU. Tiga tahun belakangan ini prevalensi HIV di kalangan IDU di New York, AS, naik dari 10% menjadi 50%. Sedangkan di Indonesia dalam laporan bulanan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes sampai 31 Oktober 1999 tercatat 19 kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko IDU, 10 di antaranya sudah mencapai masa AIDS.

Angka itu memang kecil, tetapi itu hanya yang dilaporkan sehingga angka yang sebenarnya jauh lebih besar karena bersifat seperti fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Angka yang terdeteksi yakni puncak gunung es sangat kecil, sedangkan di bawah permukaan laur justru jauh lebih besar tapi tidak terdeteksi. Karena sudah ada yang mencapai masa AIDS berarti mereka terinfeksi antara 5 atau 10 tahun yang lalu. Ini menunjukkan penyalahguaan narkotik dengan suntikan sudah terjadi di Indonesia antara tahun 1989 dan 1994.

Pengurangan Kerugian

Jalur IDU menjadi pemicu penyebaran HIV karena virus ini hidup di dalam darah sehingga penularan melalui darah sangat efektif mendekati 100%. Bandingkan dengan penularan melalui hubungan heteroseksual yang probabilitasnya hanya 0,1%. Berarti risiko terinfeksi melalui jalur IDU jauh lebih besar tinimbang melalui hubungan seksual yang tidak aman, khususnya dengan pasangan yang berganti-ganti baik di dalam maupun di luar nikah.

Selain terdapat pada jarum suntik darah pun bisa menempel pada ujung penyemprot di dalam tabung alat suntik. Di kalangan IDU ada kebiasaan untuk menggilir pemakaian jarum dan alat suntik sebagai salah satu bentuk kebersamaan dalam kelompok. Setelah jarum masuk ke dalam pembuluh darah (nadi) penyemprot ditarik sehingga darah masuk ke dalam tabung yang sebelumnya sudah diisi narkotik. Setelah yakin darahnya bercampur dengan narkotik penyemprot pun didorong sehingga isi tabung masuk ke nadi, tapi tetap ada yang tertinggal di dalam tabung. Pemakai berikutnya pun melakukan hal yang sama. Jika salah satu di antara mereka ada yang sudah terinfeksi HIV tentulah virus itu akan menyebar di kelompok yang memakai jarum dan tabung suntik itu secara bergantian.

Di beberapa negara ada hukum yang melarang membawa jarum dan tabung suntik sehingga mereka memilih untuk menggunakan jarum dan tabung suntik bersama. Hal inilah yang membuat 97% IDU di Manipur, India, terpaksa memakai jarum suntik bersama. Selain itu banyak pula IDU yang tidak mampu membeli jarum dan tabung suntik baru yang steril sehingga mereka memilih disuntik oleh penyuntik bayaran. Cara ini terjadi di Myanmar. Cara yang hampir sama terjadi di Vietnam. Penyalahguna narkotik suntikan mendatangi shooting booths, suatu tempat yang menyediakan penyuntikan narkotik bayaran.

Selain HIV virus Hepatitis B dan C pun akan menyebara melalui cara itu karena kedua virus itu pun teradapat dalam darah. Di salah satu pusat rehabilitasi narkotik di kawasan Jabotabek, misalnya, dari 30 IDU di sana 3 positif HIV, bahkan ada yang sekaligus terinfeksi Hepatitis B dan C. Ini artinya sekali memakai jarum suntik yang sudah tercemar sekaligus 3 virus masuk ke dalam aliran darah.

Jika HIV sudah masuk ke aliran darah tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghambat serbuannya terhadap sistem kekebalan tubuh karena virus itu akan terus merusak sel-sel darah putih yang menjadi benteng pertahahan daya tahan tubuh. Yang bisa dilakukan hanya memperlambatnya dengan obat antiretroviral. Di AS untuk membeli obat-obatan antiretroviral saja dibutuhkan biaya antara Rp 90 – Rp 120 juta per tahun. Angka ini belum termasuk biaya pemeriksaan dokter dan rumah sakit serta obat-obatan lain.

Bermula Coba-coba

Tidaklah berlebihan kalau kita mengibaratkan IDU sebagai bom waktu bagi Indonesia karena berbagai kalangan menyebutkan angka 30.000-40.000 pengguna narkotik suntikan di Indonesia. Namun, ada yang memperkirakan angka itu sebagai perkiraan yang terendah karena ada yang menyebutkan angka 100.000. Sedangkan penyalahguna narkotik keseluruhan diperkirakan 1,3 juta.

Belakangan ini dikembangkan suatu pola pengurangan kerugian (harm reduction) di kalangan IDU yaitu mencegah infeksi penyakit di kalangan mereka. Artinya, kalau pun ada yang tidak bisa mengontrol pemakaian narkotik dengan suntikan paling tidak mereka dihindarkan dari infeksi HIV serta virus Hepatitis B dan C. Program ini serupa dengan anjuran memakai helm bagi pengendara sepeda motor. Kalau terjadi kecelakaan tidak akan fatal karena kepalanya terhindar dari benturan keras. Begitu pula dengan pengemudi dan penumpang mobil yang dianjurkan memakai sabuk pengaman (safey belt) agar terhindar dari benturan dengan dashboard atau tempat duduk di depan kita.

Tidak urung cara yang diterapkan untuk mengurangi kerugian itu menimbulkan pro dan kontra. Yang kontra khawatir hal itu akan memicu penyalahgunaan narkotik. Yang kontra menyebutkan tanpa program itu pun penyalahgunaan narkotik dengan suntikan pun akan terus terjadi. Hal ini sama dengan anjuran memakai kondom untuk mencegah penularan penyakit-penyakit menular seksual (PMS), seperti GO, sifilis, virus Hepatitis B serta HIV yang disebutkan yang kontra sebagai upaya melegalisir pelacuran. Padahal, tanpa kondom pun pelacuran dan perzinaan terus berlangsung Di beberapa negara polisi seakan-akan menutup mata jika ada needle exchange. Program ini menurunkan penyebaran HIV, tetapi tidak berarti program pertukaran jarum suntik itu mengendurkan perang melawan penyalagunaan narkotik.

Cara yang ditempuh antara lain berupa penyuluhan tata cara mencucihamakan jarum suntikdan tabungnya dengan pemutih. Cara lain adalah penggantian jarum suntik (needle exchange) dengan memberikan jarum dan tabung suntik yang baru (steril) kepada IDU dengan maksud agar mereka terhindar dari infeksi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui darah, seperti HIV serta virus Hepatitis B dan C.

Penyalahgunaan zat sendiri sudah dideteksi di Indonesia sejak tahun 1969 yang ditandai dengan pemakaian opioida (opium, morfin, heroin, kodein, petidin dan metadon), kokain dan ganja. Pada tahap berikutnya muncul pemakai barbiturat (sejenis obat tidur dan obat antiepilepsi, khlorahidrat, diazepam, meprobamat, metaqualone). Kemudian dikenal pula zat-zat hipnotika, sedativa dan heroin. Berikutnya muncul amfetamin, lem, bensin, benzodiazepine, gas korek api. Belakangan ini muncul ecstasy, putauw (heroin yang dicampur dengan zat lain) dan shabu-shabu.

Penyalahguna narkotik dengan suntikan angkanya akan besar karena banyak jenis narkotik yang dapat disuntikkan, seperti kokain, amfetamin, obat penenang (tranquilizer), obat tidur (barbiturate), opium termasuk heroin yang dikemas menjadi putauw dan shabu-shabu.

Penyalahgunaan obat (drug abuse) sendiri bisa terjadi melalui suatu proses yang bermula dari coba-coba yang bisanya karena diajak teman. Tahap ini bisa berlanjut ke penggunaan sesekali karena narkotik mudah didapat. Pada tahap ini biasanya pengguna sudah terkait dengan rasa kebersamaan dengan teman. Tapi, bisa juga pengguna pribadi yang tidak terkait dengan rasa sosial persahabatan. Jika penggunaan itu terus berlanjut bisa jadi akan sampai pada tahap kecanduan.

Kalau sudah pada tahap kecanduan tentulah memerlukan biaya yang besar untuk membeli zat. Penelitian di Bali (1998) menunjukkan seorang penyalahguna narkotik mengeluarkan biaya antara Rp 100.000 – Rp 3 juta per minggu. Untuk mendapatkan inilah mereka sering bertindak kriminal, misalnya, mencuri barang di rumah. Bahkan, mereka pun menjadi pengendar untuk mendapatkan uang dan sekaligus sebagai pengguna.

Penderitaan kian pahit jika seorang penyalahguna narkotik suntikan yang terinfeksi HIV juga tertular virus Hepatitis B dan C. Hanya saja banyak orang, terutama orang tua penyalahguna narkotik, tidak menghitung infeksi HIV serta Hepatitis B dan C sebagai beban karena dampaknya belum terlihat di masa-masa awal terinfeksi sehingga mereka lebih mengutamakan program rehabilitasi ketergantungan anaknya.

Tetapi, di tahun-tahun berikutnya kepanikan akan muncul ketika infeksi-infeksi oportunistik, seperti TBC, diare, sariawan dan lain-lain mulai muncul. Seperti diketahui stigma terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) akan semakin memurukkan penyalahguna narkotik suntikan yang terinfeksi HIV.

Penulis adalah pemerhati masalah-masalah HIV/AIDS/STIs.