Sabtu, 29 Mei 2010

Anjuran Pembuatan Perda AIDS yang Tidak Melihat Realitas Epidemi HIV

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Analisa” Medan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita ”Brilian Moktar: DPRDSU Wacanakan Perda Ibu dan Anak Serta Penanggulangan HIV/AIDS” di Harian ANALISA edisi 15 Maret 2010 lagi-lagi menunjukkan banyak yang tidak berpijak pada pengalaman empiris.

Sampai sekrang sudah ada 33 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Hasilnya? Nol besar!

Mengapa perda-perda AIDS itu tidak berhasil? Salah satu penyebabnya adalah pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan HIV dalam perda-perda itu hanya mengedepankan moral dan agama sehingga tidak menyentuh akar persoalan. HIV dan AIDS adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.

Anjuran Ketua Komisi E DPRD Sumut, Brilian Moktar, itu bertolak dari hasil kunjungan kerja mereka ke Nusa Tenggara Barat (NTB). Memang NTB sudah membuat Perda penanggulangan AIDS yaitu Perda No. 11/2008. Perda ini merupakan yang ke-27 dari 33 perda yang ada di Indonesia.

Dalam Perda Pananggulangan AIDS Prov NTB pun tidak ada cara-cara pencegahan yang realistis. Yang ada justru menyuburkan mitos. Pada pasal 4 ayat a disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat.” Ini mengesankan kehidupan orang-orang yang tertular HIV tidak bersih dan sehat. Akibatnya, pasal ini mendorong stigmatiasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Sedangkan pada pasal 11 ayat 1 disebutkan: ”Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDA dengan cara (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini pun mendorong stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Odha. Di pasal 13 ayat 2 a disebutkan: ”meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga mampu mencegah dan menanggulangi penularan HIV dan AIDS.”

Ditilik dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara ’hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Yang perlu diatur dalam perda adalah perilaku (seks) yaitu mencegah agar penduduk tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di luar negeri dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di luar negeri dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Pertanyaannya adalah apakah ketua dan anggota Komisi E DPRD Sumut itu membaca Perda AIDS NTB dan melihat realitas epidemi HIV di masyarakat NTB? Kalau ini dilakukan tentulah tidak akan muncul anjuran untuk membuat perda karena hasilnya juga akan sama dengan NTB dan daerah lain yang sudah mempunyai perda AIDS.

Alasan Komisi E mendesak Pemprov Sumut untuk membuat perda AIDS adalah karena ”Karena angka kematian akibat AIDS di Sumut sudah sangat tinggi.” Bagaimana perda bisa menurunkan angka kematian terkait AIDS? Kalau mengacu ke perda-perda yang sudah ada maka sama sekali tidak ada perda yang menawarkan cara-cara pencegahan HIV yang konkret. Itu artinya angka kematian terkait AIDS akan terus bertambah seiring dengan jumlah penduduk yang tertular HIV.

Kalau memang DPRD Sumut dan Pemprov Sumut ingin menjadikan perda sebagai ’senjata’ untuk menurunkan insiden penularan HIV maka dalam perda harus ada pasal yang berbunyi: ”Setiap penduduk wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” Selanjuta ada pula pasal yang memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu: ”Setiap penduduk yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”

Apakah DPRD Sumut dan Pemprov Sumut bernyali untuk memasukkannya ke dalam perda AIDS? Kita tunggu. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar