Tanggapan terhadap Berita Harian ”Pelita”
Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, 10/2-2000. Sebagai orang yang beragama saya yakin agama apa pun di muka bumi ini selalu menganjurkan agar ummatnya melindungi dirinya secara aktif dari berbagai bahaya, termasuk penyakit. Maka, dalam konteks ini, maaf, sebagai orang yang beragama saya kecewa membaca berita berjudul "Kampanye Kondom Cenderung Langgar Norma Agama" yang dimuat di halaman 7 dalam Harian ”Pelita” edisi 10 Februari 2000.
Pada lead disebutkan: "Kondom masih dikampanyekan sebagai alat ampuh untuk melindungi diri dari berbagai penyakit seksual menular, termasuk penularan HIV/AIDS". Saya pikir ini salah nalar karena kondom akan tetap dan terus dikampanyekan sebagai alat yang ampuh mencegah penularan penyakit-penyakit menular seksual (PMS) antara lain sifilis, GO, virus Hepatitis B serta HIV. Yang perlu dipahami kondom bukan alat ampuh untuk semua jalur penyebaran PMS dan HIV, tetapi teknologi kedokteran hanya mengenal kondom sebagai pencegahan infeksi PMS dan HIV dari faktor risiko hubungan seksual.
Jadi, saya melihat Pelita salah kaprah. Seolah-olah kondom alat ampuh sebagai alat untuk mencegah penularan PMS dan HIV dari semua faktor risiko. Maka, kalau kita bicara penularan HIV, virus Hepatitis B dan C melalui darah dengan faktor risiko transfusi darah dan pemakaian jarum suntik secara bersama, tentu saja, Bung, mencegahnya bukan (pakai) kondom.
Saya juga tidak habis pikir bagaimana wartawan Pelita bisa menyimpulkan pemasyarakatan kondom sebagai alat untuk melindungi diri dari penularan dan menularkan PMS dan HIV menimbulkan kesan legalisasi penyimpangan seksual secara bebas. Dalam kaitan ini pun, sebagai awam, saya tidak paham apa yang dimaksud Pelita sebagai penyimpangan seksual.
Kalau saja wartawan yang menulis berita itu mau sedikit memutar otak dengan mencari padanan dalam realitas masyarakat tentu tidak akan muncul kesimpulan yang ngawur. Begini. Oralit sangat ampuh untuk mencegah kematian karena diare, maka oralit pun harus mudah dijangkau. Artinya, harganya murah dan gampang diperoleh. Untuk itu tidak diperluka resep untuk membeli oralit.
Hal yang sama terjadi pada PMS, maaf, bukan cuma HIV! Saya melihat sebagian besar wartawan yang menulis berita HIV/AIDS (hal ini saya peroleh dari analisis berita-berita tentang HIV/AIDS di media cetak nasional priode 1981-1999 yang hasilnya akan diterbitkan Ford Foundation) mengaitkan HIV dengan moral. Artinya, HIV menular melalui zina. Ini adalah kesalahan besar dan merupakan mitos yang akan merugikan masyarakat luas. Disimak dari etika profesi tentulah wartawan yang menyuburkan mitos-mitos seputar HIV/AIDS harus bertanggungjawab jika ada anak manusia yang terlena sehingga dia terinfeksi PMS dan HIV/AIDS.
Maka, sebagai seorang Muslim saya sangat kecewa melihat sikap salah satu pusat rehabilitasi narkotik yang berlindung di balik Islam "meninggalkan" seorang remaja pengguna narkotik dengan suntikan (injecting drug user/IDU) hanya karena pemeriksaan darah anak yang masih perjaka itu menunjukkan dia positif HIV. Masya Allah. Di sini jelas sudah ada stigmatitasi. Remaja itu pendosa. Buktinya, dia terinfeksi HIV. Inilah, saya pikir, yang ada di benak pengurus pusat rehabilitasi tadi. Padahal, remaja tadi terinfeksi dari penggunaan jarum suntik bersama teman-temannya.
"Virus HIV/AIDS masih mampu masuk pori-pori kondom ...." Di sini wartawan juga sudah menggelapkan fakta. HIV hana hidup dalam larutan darah, cairan sperma dan vagina. Jadi, kalau kondom dapat menampung sperma, dan ini sudah terbukti dalam program KB, HIV tidak bisa lari meninggalkan larutan sperma. Saya khawatir wartawan yang menulis berita itu belum pernah memegang kondom. Soalnya, kalau ditiup kondom akan menjaid balon. Nah, kalau ada pori (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI pori bukan pori-pori adalah lubang atau liang renik pada kulit atau rongga kecil-kecil pada benda padat) tentu kondom tidak bisa ditiup seperti balon. Selain itu kondom bukan untuk menyaring tetapi menampung sperma. Maka, jika kita memakai nalar kalau sperma sudah tertampung di dalam kondom maka HIV pun ada di dalam sperma itu.
"Kebiasaan hidup berganti-ganti pasangan, homoseksual, biseksual dan lesbian menjadi faktor pemicu munculnya kuman yang memerangi sistem kekebalan tubuh manusia." Ini pun jelas kesimpulan yang ngawur karena HIV menular dari seseorang yang sudah mengidap HIV atau yang sudah mencapai masa AIDS kepada orang lain melalui hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, anal dan oral seks) tanpa kondom di dalam atau di luar nikah yang sah, melalui transfusi darah yang tidak diskirining, pemakaian jarum suntik atau jarum tindik bersama, atau dari ibu yang HIV positif kepada janin yang dikandungnya.
Jadi, PMS dan HIV tidak datang dengan sendirinya di saat terjadi kegiatan-kegiatan yang disebut wartawan tadi. Maka, biar pun hubungan seksual dilakukan di luar nikah (zina) dengan berbagai gaya yang tidak lazim penularan tidak akan terjadi kalau kedua-duanya tidak mengidap PMS dan HIV! Sebaliknya, biar pun hubungan seksual dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah dan dengan gaya yang lazim kalau salah satu sudah mengidap PMS atau HIV tetap akan terjadi penularan jika hubungan seksual dilakukan tanpa kondom.
Jadi, saya tidak melihat kaitan langsung antara kampanye kondom untuk melindungi diri dari bahaya, dalam hal ini PMS dan HIV, dengan pelanggaran terhadap norma agama. Soalnya, agama sendiri mengajarkan ummatnya untuk melindungi diri. Dalam kaitan ini, maaf, saya khawatir, wartawan Pelita sudah melihat kondom dari sisi yang negatif. Ibarat pisau kondom itu netral. Artinya, kalau dipakai untuk melindungi diri dan keluarga tentu bermanfaat. Berbagai penelitian menunjukkan kian banyak ibu-ibu rumah tangga yang terinfkesi PMS dan HIV. Ini membuktikan mereka terinfeksi dari suaminya. Maka, amatlah bertanggungjawab kalau suami yang memakai kondom untuk melindungi isterinya. Sama halnya dengan pisau. Kalau dipakai untuk mengupas mangga 'kan pas. Lain halnya kalau dipakai menikam orang. Begitu pula dengan kondom. Kalau dipakai untuk berzina, ya, itu urusan lain. Karena tanpa kondom pun zina tetap dan akan selalu ada dalam masyarakat mana pun di muka bumi ini.
Yang jelas, tanpa kondom pun pelacuran sudah ada dan akan tetap ada. Jadi, tidak ada kaitan langsung antara kampanye kondom dengan (legalisasi) pelacuran.
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar