Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Peningkatan Kasus AIDS di Jawa Tengah

Oleh Syaiful W. Harahap*

Kalau ditilik dari aspek epidemiologi kasus HIV/AIDS tidak bisa dipilah-pilah berdasarkan kota, kabupaten atau negara karena epidemi HIV tidak mengenal batas wilayah dan negara. Jadi, biar pun kasus HIV/AIDS baru ada di 16 kota dan kabupaten di Jateng tidak berarti bahwa di kota dan kabupaten lain tidak ada kasus HIV/AIDS.

Epidemi HIV sebaiknya dilihat secara global karena penularan HIV dapat terjadi antar penduduk dunia tanpa mengenal kebangsaan, kewarganegaraan, jenis kelamin, status sosial, agama, ras, dll. Sampai akhir tahun 1999 tercatat 34,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Di Indonesia sendiri sampai 30 Juni 2001 tercatat 2.150. Sedangkan di Jawa Tengah sampai September 2001 tercatat 69 (“16 Kabupaten/Kota di Jateng terjangkiti HIV/AIDS”, Solopos, 25/9-2001). Judul berita ini tidak objektif karena HIV tidak bisa menjangkiti atau menginfeksi kota atau kabupaten. Yang tertular adalah penduduk kota atau kabupaten.

Jadi, biar pun di Jateng hanya ada 69 kasus HIV/AIDS tetapi penularan HIV tidak hanya terjadi antar penduduk Jateng karena probabilitas (kemungkinan) tertular HIV tergantung kepada kegiatan-kegiatan berisiko penduduk Jateng. Dalam masalah HIV/AIDS dikenal kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki ke perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki ke perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Surveilans Rutin

Jumlah penduduk yang tertular HIV dipengaruhi oleh kegiatan berisiko baik di wilayah Jateng maupun di luar Jateng atau di luar negeri. Probabilitas tertular HIV kian besar jika kegiatan berisiko dilakukan di daerah atau negara yang prevalensi HIV-nya tinggi (perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu). Angka prevalensi diperoleh dari surveilans tes HIV yang sistematis dan rutin. Selain terkait dengan probabilitas angka prevalensi pun erat pula kaitannya dengan pembuatan kebijakan, seperti upaya pencegahan, tes, tenaga medis, dll.

Sayang, di Indonesia surveilans hanya dilakukan secara sporadis itu pun hanya terhadap kalangan tertentu pula (pekerja seks dan waria) sehingga tidak ada gambaran yang mendekati realitas. Dengan penduduk 200 juta sampai Juni 2001 tercatat 2.150 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Malaysia. Dengan penduduk 20-an juta sampai penghujung tahun 1999 saja di Malaysia sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal. Angka ini diperoleh Malaysia melalui surveilans tes yang sistematis dan rutin. Malaysia, sudah menjalankan surveilans tes HIV secara sistematis, seperti terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDUs), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB secara rutin sehingga angkanya pun mendekati angka yang sebenarnya.

Kalau surveilans berlangsung sistematis dan rutin di Jateng bisa jadi angka yang muncul akan berbeda dari angka yang ada sekarang. Selain itu kalau surveilans hanya ditujukan kepada pekerja seks, waria, anak buah kapal, sopir truk, pekerja panti pijat dan tempat hiburan malam saja maka angka yang diperoleh pun tidak akan menggambarkan realitas. Soalnya, tidak diketahui sejauh mana epidemi HIV di dalam populasi (masyarakat). Dengan mengetahi prevalensi di kalangan wanita hamil, misalnya, dapat dilihat gambaran kegiatan berisiko yang dilakukan suami-suami mereka.

Dari 3.914 sampel wanita yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV (Media Indonesia, 6/7-2000). Di Malaysia sejak tahun 1998 tes HIV rutin dilakukan terhadap wanita hamil yang dimulai dengan proyek percontohan di Kelantan, Johor, Perak dan Sabah antara September-Desember 1997. Sampai akhir Agustus 1999 dari 324.769 wanita yang dites terdeteksi 100 yang HIV-positif. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV (Media Indonesia, 2/12-2000).

Membendung Penularan

Dalam berita itu ada pernyataan dr. R. Wahyu Rahadi, MPH, yang menyebutkan “Besarnya angka penderita HIV Kota Semarang diduga karena adanya dua lokalisasi pelacuran cukup besar”. Pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada hubungan langsung antara lokalisasi pelacuran dengan penularan HIV. Di beberapa negara yang secara de facto dan de jure tidak ada hiburan malam dan prostitusi pun tetap ada kasus HIV/AIDS. Dalam laporan WHO/UNAIDS (Report on global HIV/AIDS epidemic, Juni, 1998), misalnya, sampai akhir tahun 1997 Arab Saudi sudah melaporkan 334 kasus AIDS, Bahrain 37, Brunei 10, Irak 104, Iran 154, Kuwait 24, Mesir 153, Qatar 85, Uni Emirat Arab 8. Hal ini bisa saja terjadi karena penduduk negara yang bersangkutan bisa saja melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV di luar negaranya.

Epidemi HIV memang erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) yaitu angka yang terdeteksi hanya merupakan bagian kecil dari angka yang tidak terdeteksi (lihat gambar). Tetapi, tidak pula otomatis ada 100, 200, 300, dst. kasus HIV karena fenomena ini hanya berlaku pada aspek epidemilogi, misalnya, untuk menyiapkan tenaga medis, obat-obatan, dll. Maka, pernyataan dalam “Makna di balik angka kasus HIV/AIDS” (Tajuk Rencana, Solopos, 27/9-2001) yang menyebutkan kasus HIV/AIDS di Jateng sudah ada 6.900 karena mengacu ke fenomena gunung es juga tidak pas karena bisa saja terjadi hal yang sebaliknya: kasus HIV/AIDS hanya 69, atau 1.000 bahkan bisa ratusan ribu. Ini semua bisa terjadi jika banyak penduduk Jateng melakukan kegiatan berisiko baik di Jateng maupun di luar Jateng atau di luar negeri.

Pada bagian laginberita tanggal 25/9 disebutkan pula survei dilakukan untuk menemukan orang yang tertular HIV. Pernyataan ini pun tidak akurat karena surveilans dilakukan untuk mendapatkan angka prevalensi. Maka, berdasarkan prevalensi itu, seperti di Jateng dengan 69 kasus HIV/AIDS tentu sudah ada angka prevalensi, penduduk diminta untuk menghindarkan kegiatan berisiko agar tidak tertular HIV. Sebagai virus yang hanya bisa hidup dalam cairan darah, cairan sperma dan cairan vagina, HIV hanya dapat menular melalui cara-cara yang sangat spesifik (khas) yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama), baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (gay), biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Setiap orang dapat melindungi dirinya secara aktif agar tidak tertular atau menularkan HIV yaitu dengan menghindarkan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi. Dengan menjalankan cara yang sangat realistis ini maka penyebaran HIV pun sudah dapat dibendung.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar