Senin, 24 Mei 2010

Penularan HIV Tidak Hanya di Lokalisasi Pelacuran

Tanggapan terhadap Reperda Pemkot Surabaya tentang Penanggulangan dan Pengelolaan HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 10/5-2004. Upaya untuk menekan penularan HIV di Indonesia, khususnya di Surabaya, tetap tidak realistis. Bahkan, kalau disimak berita “Tak Pakai Kondom, Dendanya Rp 5 Juta” yang dimuat di Harian “Jawa Pos” edisi 7 Mei 2004 semakin jelas langkah yang ditempuh Pemkot Surabaya melalui kegiatan “Penanggulangan dan Pengelolaan HIV/AIDS” tidak menyentuh akar persoalan.

Masalah yang sangat mendasar dalam penanggulangan epidemi HIV di Indonesia adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tidak akurat. Dalam banyak buku, brosur, leaflet, poster sampai ceramah HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanyalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengaitkan HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, gay, waria, homoseks, dll.

Padahal, tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran, selingkuh, jajan, gay, waria, homoseks dengan HIV/AIDS karena melalui hubungan seks HIV hanya menular jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom (tidak aman) baik di dalam mau pun di luar nikah.

Jadi, kalau dalam draft reperda itu wajib kondom 100 persen hanya di lokalisasi maka hasilnya pun tidak akan mencapai sasaran karena penularan HIV tidak hanya terjadi di lokalisasi. Kalau draft itu mencontoh Thailand maka harus ada kegiatan lain yang mendukungnya antara lain sosialisasi KIE HIV/AIDS yang akurat.

Kewajiban dan Hak

Memang insiden penularan PMS (penyakit-penyakit menular yang ditularkan melalui hubungan seks yang tidak memakai kondom, seperti sifilis, GO, dll.) dan HIV berkurang. Tapi, pengalaman Thailand juga menunjukkan terjadi ‘kegagalan’ karena insiden penularan PMS dan HIV tetap terjadi di luar lokasi wajib kondom 100 persen.

Hal itu pun akan terjadi di Surabaya karena banyak hubungan seks yang berisiko tinggi (hubungan seks yang tidak memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah serta hubungan seks yang tidak memakai kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah) justru terjadi di luar lokalisasi. Bahkan, tidak dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK) tapi dengan, maaf, ‘ayam kampus’, ‘anak sekolah’, selingkuhan, dll.

Tapi, tetap berisiko tinggi karena ‘ayam kampus’, ‘anak sekolah’, selingkuhan, dll. itu juga melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti. Bisa saja terjadi salah satu di antara pasangan mereka HIV-positif sehingga ada pula di antara mereka yang tertular HIV.

Jika ada di antara pasangan itu yang tertular HIV maka yang bersangkutan pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal kepada istrinya (bagi yang mempunyai istri) atau kepada pasangan lainnya di luar pernikahan. Sedangkan bagi yang tidak mempunyai istri maka yang bersangkutan akan menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada pasangan seksnya, seperti pacar, selingkuhan atau pekerja seks. Jika ada istri yang tertular maka akan terjadi pula penularan HIV secara vertikal kepada bayinya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Jadi, yang diperlukan adalah memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal yaitu dengan menganjurkan tes HIV sukarela kepada penduduk, laki-laki dan perempuan, yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Dengan mengetahui status HIV seseorang dapat dianjurkan agar tidak melakukan hubungan seks yang berisiko tinggi menularkan HIV. Atau melakukannya dengan menerapkan seks aman (memakai kondom). Selain itu mereka yang terdeteksi HIV-positif pun dapat ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif.



Terkait dengan reperda itu maka ‘wajib kondom 100 persen’ bukan hanya diterapkan di lokalisasi pelacuran tapi ‘wajib memakai kondom 100 persen’ merupakan kewajiban bagi laki-laki yang melakukan hubungan seks berisiko dengan siapa saja dan di mana saja. Sebaliknya, perempuan pun dianjurkan untuk menolak laki-laki yang tidak memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko. Untuk mencapai tahap ini maka reperda perlu memberdayakan perempuan agar mereka mempunyai hak tolak yang dilindungi hukum terhadap laki-laki yang tidak memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.

Mekanisme Pengawasan

Pengawasan ‘wajib kondom 100 persen’ juga bisa menimbulkan dampak buruk karena, maaf, bisa saja terjadi petugas mencari-cari keselahan. Tidak jelas apakah dalam reperda itu dirinci cara-cara pengawasannya. Selain itu apakah sanksi dalam reperda itu sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan? Soalnya, sanksi di reperda tidak boleh melebihi sanksi yang ditetapkan pada peraturan yang lebih tinggi.

Yang diperlukan dalam memutus mata rantai penyebaran HIV adalah kesadaran agar seseorang tidak mencelakai dirinya sendiri dan orang lain yaitu menghindarkan diri dari perilaku berisiko tinggi. Hal ini sudah terbukti di banyak negara di kawasan Afrika, Eropa Barat, AS dan Australia. Mulai akhir tahun 1990-an grafik penemuan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai mendatar. Hal ini terjadi bukan karena ada obat atau vaksin HIV/AIDS tapi penduduk di negara-negara itu sudah menerapkan seks aman (memakai kondom) pada hubungan seks yang berisiko tinggi.

Persoalan yang dihadapi di Indonesia adalah sikap yang menolak dan menentak sosialisasi kondom. Sosialisasi kondom ditujukan pada hubungan seks yang berisiko tinggi di dalam dan di luar nikah sehingga tidak ada kaitannya secara langsung dengan kondomisasi dan legalisasi zina. Tanpa kondom pun nun di pelosok tetap terjadi zina. Bahkan di daerah yang tidak ada lokalisasi pelacuran pun tetap ada zina. Buktinya, sering terjadi kehamilan di luar nikah dan perksoaan.

Jadi, di saat epidemi HIV sudah masuk ke populasi yang ditandai dengan infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak maka tidak ada pilihan selain menerapkan seks aman (memakai kondom) pada hubungan seks yang berisiko.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar