Sabtu, 29 Mei 2010

Debat Publik dan Politik Abaikan Epidemi HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap

Sejak angin reformasi bertiup di negeri ini tidak ada lagi batasan untuk membicara politik secara terbuka. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) legislatif semua stasiun televisi nasional berlomba-lomba menyelenggarakan debat publik dan politik.

Debat calon pasangan gubernur, bupati, dan walikota di dua stasiun televisi nasional (MetroTV dan TVOne) dengan pendudukung yang ’fanatik’ berapi-api membicarakan soal politik dan ekonomi. Begitu pula dengan debat antar kandidiat anggota legislatif dan partai terus digelar di stasiun-stasiun televisi nasional.

Tapi, ada satu persoalan besar yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara ini yang luput dari debat calon pemimpin dan partai-partai itu. Fakta yang luput dari materi perdebatan adalah epidemi HIV/AIDS sebagai realias sosial yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Peringatan Dini

Data yang dipublikasikan oleh Ditjen PPM&PL, Depkes RI, sampai 31 Desember 2008, misalnya, kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sudah mencapai 22.664 yang terdiri atas 6.554 HIV dan 16.110 AIDS dengan 3.362 kematian. Angka ini merupakan puncak dari ‘fenomena gunung es’ sehingga tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000.

Pada April 2008 tercatat 8.145 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah memakai obat antiretroviral (ARV). Angka ini juga tidak nyata karena banyak orang yang tidak menyadari penyakit yang dideritanya terkait dengan HIV/AIDS. Celakanya, ada pula kemungkinan diagnosis medis tidak mendeteksi HIV sebagai pemicu penyakit yang diderita pasien. Yang lain memilih pengobatan alternatif.

Jika kelak penduduk di daerah calon gubernur, bupati atau walikota yang berdebat itu sudah banyak tertular HIV, yang pada gilirannya akan mencapai masa AIDS dan kemudian meninggal, lalu siapa yang akan mereka pimpin? Atau, mereka akan memimpin daerah yang sebagian besar penduduknya tidak berdaya lagi karena harus dirawat di rumah sakit akibat infeksi-infeksi oportunistik.

Jika hal itu terjadi maka roda perekonomian pun akan lumpuh. Bahkan, akan ada desa yang hilang karena penduduknya meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Ini sudah terjadi di Afrika. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS), sudah mengingatkan Indonesia agar serius menangani epidemi HIV, terutama di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan (Syaiful W. Harahap: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Suara Pembaruan, 6 Oktober 2001).

Tapi, peringatan itu bak ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya nyata menanggapi peringatan Peter Piot itu. Akibatnya, kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba dengan suntikan meroket. Kalau di tahun 2001 dilaporkan 415 kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba, pada 31 Desember 2008 kasus AIDS dilaporkan sudah mencapai 6.811.

Jauh sebelum peringatan Dr Peter Piot seorang psikolog, David Gordon, konsultan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) di Yakita, Bogor, mengatakan “Penyalahguna zat dengan memakai jarum suntik akan menjadi bom waktu (ledakan kasus HIV/AIDS-pen.) bagi Indonesia.” (Syaiful W. Harahap: IDU Bom Waktu bagi Indoensia, Newsletter “HindarAIDS”, Nomor 8/ 2 November 1998).

Selama ini pemeritah pusat dan pemerintah daerah bisa bernapas lega karena dana penanggulangan HIV/AIDS didukung oleh donor asing. Sekitar 70 persen dana itu berasal dari donor. Tahun 2007 dana yang tersedia hanya 50 juta dolar AS. Jumlah ini sangat rendah sehingga penanggulangan HIV/AIDS di negeri pun hanya bisa ‘jalan di tempat’, bahkan mundur.

Bahasa Dewa

Apakah calon gubernur, bupati dan walikota serta caleg DPR, DPRD, dan DPD melihat epidemi HIV dengan nalar? Ternyata tidak! Buktinya, dalam berbagai debat dan diskusi publik masalah HIV/AIDS tidak pernah disinggung.

Rupanya, mereka tidak membayangkan kalau kelak dana APBN atau APBD akan terkuras habis untuk mengobati penduduk yang mengidap infeksi-infeksi oportunistik ketika infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS. Penduduk yang anggota keluarganya Odha (orang dengan HIV/AIDS) pun tidak lagi produktif bekerja. Sawah dan ladang ditinggalkan karena mengurus anggota keluarga yang sakit. Tabungan terkuras habis. Jumlah penerima BLT membengkak karena kian banyak penduduk yang miskin.

Sedangkan pendapatan, terutama dari pajak, akan merosot tajam karena banyak penduduk sebagai subjek pajak tidak bekerja lagi sehingga penghasilannya tidak memenuhi objek pajak. Begitu pula dengan pajak perusahaan juga akan menurun karena (akan) banyak perusahaan yang tutup. Zakat harta pun tentu akan berkurang karena pemilihan harga kian menciut sehingga tidak memenuhi nisab (jumlah yang diwajibkan untuk membayar zakat).

Akankah kondisi seperti itu, yang sekarang sudah terjadi di Afrika, terjadi dulu di Indonesia baru debat politik dan publik membicarakan soal cara dan langkah konkret yang akan diambil calon menanggulangi HIV/AIDS jika mereka menang? Ya, kalau ini yang terjadi terlambat sudah, Tuan-tuan!

Calon Presiden dan Wakil Presiden, caleg DPRD, DPR dan DPD pun perlu diuji wawasannya tentang cara-cara konkret yang realistif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Soalnya, selama ini langkah yang ditempuh lebih banyak bersifat moral sehingga tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV yang merupakan fakta medis.

Hal itu tampak jelas dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ditelurkan 18 derah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota. Perda ini hasil kerja eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD). Tak satu pun pasal dalam perda-perda itu yang mengatur upaya konkret pencegahan HIV. Semua bahasa pada pasal-pasal pencegahan merupakan ‘bahasa dewa’ dengan baluatan moral.

Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.

[Sumber: Newsletter ”infoAIDS” edisi No. 4/Februari 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar