Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Epidemi HIV di Bogor

Oleh Syaiful W. Harahap*

Epidemi HIV di kawasan Bogor tidak lagi sebatas ‘kabar’ karena hasil survailans tes HIV terhadap pekerja seks menunjukkan ada dua pekerja seks yang HIV-positif di kawasan Parung. Selain itu ada pula 20 narapidana di LP Paledang Bogor yang HIV-positif. Perlakuan yang tidak adil terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV.

Maka, melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap Odha karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Biar pun hanya dua pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif tapi hal itu sudah menjadi masalah besar karena sudah banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak pakai kondom) dengan kedua pekerja seks itu. Lagi pula epidemi HIV tidak bisa dibatasi dengan benteng atau batas administrasi. Epidemi HIV merupakan kasus global. Sampai 30/9-2003 di Indonesia tercatat 3.924 kasus HIV/AIDS, sedangkan kasus global sampai akhir 2001 tercatat 41 juta. Di Jawa Barat sendiri tercatat 125 kasus HIV/AIDS yang menduduki peringkat keenam secara nasional.

Gunung Es

Epidemi HIV tidak bisa hanya dilihat dari kasus HIV/AIDS di Bogor atau Jawa Barat saja karena penduduk Bogor tentu bepergian ke luar daerah atau luar negeri. Bisa pula terjadi ada pendatang yang HIV-positif masuk ke Bogor. Kalau penduduk Bogor melakukan perilaku berisiko di luar daerah atau di luar negeri, apalagi di daerah itu sudah terdeteksi kasus HIV-positif, maka penduduk tadi pun berisiko pula tertular HIV.

Kasus dua pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif itu pun tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di Bogor karena survailans tes HIV tidak dilakukan secara sistematis dan rutin. Mobilitas pekerja seks sangat tinggi maka setiap saat bisa saja terjadi perubahan kondisi HIV di kalangan pekerja seks.. Ada pekerja seks yang pergi tapi ada pula yang datang. Bisa saja status pekerja seks yang baru datang HIV-positif.

Epidemi HIV/AIDS sendiri terkait dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya merupkan puncak dari suatu gunung es. Kasus yang sebenarnya bisa jauh lebih besar tapi tidak terdeteksi karena tidak ada sistem yang dapat menjangkau orang-orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Di Malaysia survailans dijalankan dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai 30/9-2003 Depkes mencatat 3.924 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mendekati angka 40.000. Tapi, perlu diingat angka di Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Melalukan hubungan seksual yang tidak aman dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV. Andaikan setiap malam seorang pekerja seks meladeni tiga laki-laki maka dalam satu bulan kedua (20 hari kerja) pekerja seks itu sudah melayani 120 laki-laki. Semua laki-laki ini berisiko tertular HIV kalau mereka melakukan hubungan seksual yang tidak aman. Risiko tertular kian besar kalau hubungan seksual mereka lakukan berkali-kali.

Tes HIV Sukarela

Jadi, laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di kawasan Parung besar kemungkinan sudah tertular HIV. Persoalannya, orang-orang yang tertular HIV tidak merasakan sesuatu yang menjadi keluhan karena tidak ada gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala klinis berupa infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll., baru muncul setelah mencapai masa AIDS (5-10 tahun setelah tertular). Tapi, perlu diingat bahwa biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang sudah tertular HIV bisa menularkan virus ke orang lain.

Penularan HIV terjadi melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik dan semprit, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Kalau ada laki-laki yang tertular HIV tanpa disadarinya dia sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masayarakat (horizontal). Laki-laki itu akan menulari istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada pula kemungkinan anak yang dikandung istrinya tertular HIV ketika persalinan dan menyusui anaknya dengan ASI.

Narapidana yang HIV-positif pun bisa pula menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Jika mereka sudah bebas tentulah mereka melakukan hubungan seksual dengan istrinya bagi yang sudah beristri atau dengan pekerja seks bagi yang belum beristri.

Jadi, yang perlu ditanggulangi bukan pekerja seks atau narapidana yang terdeteksi HIV tapi orang-orang yang melakukan perilaku berisiko dengan pekerja seks dan napi. Mereka dianjurkan menjalani tes HIV sukarela sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku.

Dengan mengetahui status HIV lebih dini seseorang dapat merancang kehidupannya. Mereka diajak agar tidak menulari orang lain sehingga memutus mata rantai penyebaran HIV. Selain itu mereka juga bisa ditangani oleh dokter dan meminum obat antiretroviral (obat yang menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan mereka tetap terjaga.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar