Senin, 24 Mei 2010

Hari AIDS Sedunia, Perilaku Penduduk Kalimantan Barat yang Berisiko Terular HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 5/12-2008. Dalam laporan Depkes terakhir (30/6-2008) Kalimantan Barat (Kalbar) menempati peringkat keenam dengan 765 kasus AIDS, 132 di antaranya terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Kematian tercatat 196. Tanpa penanganan yang serius dengan tindakan yang konkret penyebaran HIV/AIDS di Kalbar bisa menjadi persoalan besar terhadap kesehatan masyarakat di masa yang akan datang. Perda tidak akan bisa mananggulangi penyebaran HIV. Hari ini dunia memperingati Hari AIDS Sedunia sebagai pemicu bagi kita untuk meningkatkan penanggulangan HIV/AIDS.

Saat ini epidemi HIV di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya bagaikan ‘api dalam sekam’ sehingga menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. Hal ini terjadi karena kasus-kasus infeksi HIV dan AIDS yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Mengapa kasus yang terdeteksi di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya hanya sedikit?

Antar Penduduk

Pertama, di Indonesia tidak ada sistem (cara) yang bisa mendeteksi kasus HIV di masyarakat. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi umumnya dari survailans tes HIV pada kalangan tertentu, seperti PSK, waria, dll. Sebagian lagi dari klinik tes HIV sukarela dengan konseling (VCT). Yang lain terdeteksi di rumah sakit ketika mereka berobat. Orang-orang yang mengidap HIV (HIV-positif) akan menderita berbagai macam penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TBC, dll., ketika sudah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Penyakit ini sulit disembuhkan pada diri Odha (Orang dengan HIV/AIDS) jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap HIV (HIV-negatif) sehingga dokter yang menangani akan menganjurkan tes HIV.

Berbeda dengan negara lain, seperti Malaysia, yang menerapkan survailans melalui tes HIV rutin dan sistemaits terhadap pasien PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, herpes, dll.), pengguna narkoba suntik, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TBC. Sedangka skrining khusus dilakukan terhadap pekerja seks komersial (PSK), pelajar dan mahasiswa. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Malaysia, dengan penduduk 26 juta, sudah dilaporkan lebih dari 40.000. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta kasus yang terdeteksi baru 18.963 kasus HIV/AIDS.

Kedua, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS. Tapi, para rentang waktu sejak tertular sampai pada masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV, lagi-lagi tanpa disadari, melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama, (d) cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, dan (e) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Itulah sebanya penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk menjadi salah satu pemicu kasus HIV/AIDS karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Lalu, siapa saja orang yang ‘sudah tertular HIV’, tapi tidak terdeteksi? Mereka adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.

Mereka adalah (1) orang-orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif; (2) orang-orang yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dengan bergantian, seperti pada pengguna narkoba.

Jika di Kalbar terdeteksi ada pekerja seks komersial (PSK) yang HIV-positif, maka ada dua kemungkinan terkait dengan fakta ini.

Pertama, PSK itu ditulari oleh laki-laki penduduk Kalbar atau pendatang. Jika ini yang terjadi maka sudah ada laki-laki penduduk Kalbar yang mengidap HIV. Laki-laki ini bisa sebagai suami, pacar, lajang atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengusaha, buruh, petani, nelayan, perampok, dll. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Kedua, PSK itu sudah mengidap HIV ketika mulai ‘praktek’ di Medan. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Medan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV maka mereka pun akhirnya menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

Perda Mandul

Selama ini jika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif yang ditangani hanya PSK tersebut. Padahal, penanganan harus diarahkan ke masyarakat. Indikasi penularan kepada penduduk dapat dilihat dari kasus infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan bayi, serta deteksi HIV pada darah donor di PMI.

Untuk itulah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela. Siapa yang harus memeriksakan diri ke klinik VCT? Yang dianjurkan ke klinik VCT adalah setiap orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Namun, fakta menunjukkan kunjungan ke VCT sangat rendah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Untuk itulah belakangan ini dikembangkan program baru yaitu provider initiative test and counseling (PITC). Ketika seseorang berobat ke dokter, rumah sakit, klinik, atau poliklinik dokter bisa menganjurkan mereka untuk menjalani tes HIV jika ada gejala terkait AIDS dengan latar belakang perilaku berisiko.

Sudah saatnya Pemprov Kalbar meningkatkan penyuluhan agar masyarakat memahami perilakunya dan mau menjalani tes HIV bukan membuat Perda AIDS. Sudah 13 daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang membauat Perda AIDS tidak ada dampaknya secara langsung terhadap penurunan infeksi HIV baru. Di Tanah Papua ada enam Peda AIDS, tapi perda itu tidak bisa menghentikan kasus infeksi baru di kalangan dewasa.

Semakin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta dan pengasuh rubrik ”Konsultasi HIV/AIDS” di Harian ”Pontianak Post”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar