Sabtu, 29 Mei 2010

Hati Nurani Wartawan dalam Berita HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Two Days Seminar on AIDS, Law and Human Rights, Lembaga Aksi Hidup Sehat (LAHSI) – PB IDI – Departemen Kesehata, Jakarta 5-6 Desember 2001

"Ketika ditanya bagaimana awal mula Amin bisa terjangkit penyakit mematikan itu, ibunya tak mampu menjelaskannya." Ini adalah pernyataan dalam berita "Lagi, Pasien Muda AIDS Terenggut Nyawanya, Dililit Benjolan Sebesar Telur Puyuh" di Harian Jawa Pos (Surabaya, 9/4-2001). Pertanyaan ini jelas tidak etis karena dokter pun tidak bisa memastikan sumber infeksi semua penyakit pasiennya. Entah apa manfaatnya bagi wartawan menanyakan hal ini karena sema sekali tidak terkait dengan unsur-unsur layak berita.

Pertanyaan ini sejalan dengan pertanyaan wartawan terhadap pekerja seks yang mudik Lebaran: "Apakah Mbak tidak rindu kepada anaknya?" Menurut Bang Hotman (Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair. Surabaya) pertanyaan itu tidak manusiawi karena, “Binatang pun rindu kepada anaknya!” Wartawan tadi sudah memakai ukuran moralitas dirinya ketika mewawancarai pekerja seks. Wartawan menempatkan pekerja seks pada suatu posisi yang tidak layak sebagai manusia karena meninggalkan anaknya untuk alasan yang berbalut dosa.

Sebagai negara hukum tentulah setiap tindakan harus dilakukan berdasarkan hukum pula. Maka, anjuran yang menyebutkan agar donor yang darahnya terdeteksi HIV-positif di PMI Malang menyerahkan diri merupakan perbuatan yang yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) karena tidak ada UU yang menyebutkan orang-orang yang tertular HIV sebagai pelanggar hukum atau pelaku kriminalitas sehingga mereka dikategorikan sebagai buronan atau target operasi. Inilah yang muncul dalam dua berita di Harian Media Indonesia (1) “Petugas PMI masih Mencari Keberadaannya, 6 Mahasiswa Malang Terkena AIDS” (30/6-2001) dan “Korban HIV/AIDS Sebaiknya Menyerahkan Diri” (2/7-2001). Tindakan yang dilakukan oleh PMI Malang, Jawa Timur, itu jelas perbuatan yang melawan hukum dan melanggar HAM. Lagi pula PMI, dalam hal ini Unit Transfusi Darah (UTD) PMI, menerapkan unlinked anonymous terhadap donor sehingga yang diskrining darah yang didonorkan bukan donor yang menyumbangkan darah.

Jika PMI Malang mengetahui identitas donor tentulah hal ini sudah merupakan perbuatan yang melawan hukum. Apalagi kalau melacak enam mahasiswa yang disebut-sebut tertular HIV jelas merupakan perbuatan yang melanggar hukum karena tidak ada aturan yang membenarkan pelacakan terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Skrining yang dilakukan terhadap darah donor pun bersifat surveilans, artinya hasil positif itu hanya untuk keperluan transfusi. Jadi, donor-donor yang darahnya positif tidak bisa otomatis dinyatakan HIV-positif karena tes tersebut belum dikonfirmasi dengan tes lain sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku pada tes HIV. Kalau memang PMI bertujuan ingin membantu donor yang positif HIV tentulah ada prosedur yang lebih komprehensif yaitu melalui konseling sebelum mereka menyumbangkan darahnya. Tetapi, perlu diingat kalau mereka menolak mengetahui hasil tes HIV maka tidak ada kekuatan hukum bagi PMI untuk memaksa donor. Kalau ada donor yang darahnya dideteksi HIV-positif tetap mendonorkan darahnya maka PMI tidak memakai darah tersebut. Inilah langkah yang arif. Bukan membeberkan identitas dan melacak-lacak donor.

Dalam publikasi masalah HIV/AIDS sendiri pemerintah hanya menyebutkan umur, jenis kelamin dan faktor risiko penularan. Dalam kaitan ini pun PMI Malang sudah melanggar aturan baku. Apakah karena di era reformasi aparat dan institusi pemerintah boleh seenak
udelnya melakukan perbutan yang melawan hukum dan melanggar HAM?

***

“O, banyak, bayi yang tidak berdosa.” Itulah pernyataan artis Nurul ‘Ratu AIDS’ Arifin di acara Mitra Perempuan yang disiarkan MetroTV (Jakarta, 28/8-2001) tentang kasus HIV/AIDS pada anak-anak. Pernyataan itu rancu dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) seputar HIV/AIDS sehingga menguatkan stigma (cap negatif) terhadap Odha. Masyarakat pun kemudian melihat Odha sebagai pendosa dan mengucilkan mereka. Padahal, tidak ada hubungan atau kaitan langsung antara penularan HIV dengan dosa.

Pernyataan Menko Kesra dan Taskin, ketika itu dijabat Prof. Dr. Basri Hasanuddin, yang mengatakan “…. wajar bila yang tertular HIV adalah wanita yang tergolong ‘tidak baik’ “ pun dikutip wartawan Harian Media Indonesia (6/7-2000). Apa ukuran baik dan tidak baik? Hal ini sangat subjektif karena dari satu sisi pekerja seks sekalipun bisa dikategorikan baik karena mereka sudah memberikan kebahagian bagi orang lain. Di pihak lain tidak sedikit istri yang justru membuat suaminya tidak bisa mengenyam kebahagiaan.

“Kini warga Ponorogo tidak lagi perlu was-was. Ini setelah diperoleh hasil analisa terakhir soal dugaan warga yang terjangkit virus HIV." Ini pernyataan dalam berita "Negatif, Cek Darah Penderita" yang dimuat pada Harian Radar Madiun (18/4-2001). Sebagai fakta medis tidak ada istilah dugaan terhadap orang yang terinfeksi HIV karena status HIV-positif hanya dapat diketahui melalui tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi, yaitu: konseling prates dan pasca tes, pernyataan kesediaan tertulis, asas anonimitas dan konfirmasi hasil tes (jika untuk diagnosis). Kalau penduduk yang disebut HIV-positif diketahui dari PMI maka itu merupakan skrining terhadap darah donor yang bersifat surveilans. Hasil ini jelas bisa positif atau negatif palsu.

Lagi-lagi PMI Ponorogo menyebutkan identitas donor yang contoh darahnya positif karena PMI menganut asas unlinked anonimous. Jika contoh darah donor diketahui berarti PMI sudah melanggar asas tersebut dan melanggar hak asasi. Lagi pula status HIV-positif itu baru surveilans bukan diagnosis. Hal ini merupakan tindakan yang gegabah karena bisa merusak masa depan orang lain.

Biar pun sudah ada hasil tes positif petugas PMI, dokter, bupati atau pun presiden tidak berhak menyebarluaskan nama yang bersangkutan karena hal itu merupakan rahasia kesehatan yang tertuang dalam medical record. Jangankan HIV/AIDS, kudis dan flu pun termasuk medical record sehingga tidak boleh diumbar. Ini melanggar etika kedokteran. Saya khawatir petugas PMI itu ingin menunjukkan dirinya bersih dan bermoral dengan mengumbar identitas orang-orang yang terdeteksi HIV-positif. Padahal, tes yang dilakukan di PMI hanya bersifat rapid test untuk skrining HIV pada darah bukan diagnosis.

***

Karena masalah HIV/AIDS selama ini selalu dikait-kaitkan dengan agama dan moral maka muncul stigma terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV. Stigma terhadap Odha semakin besar karena sering sekali terjadi penjelasan tentang HIV/AIDS tidak akurat dan objektif. Kondisi ini menimbulkan kesan Odha harus dilindungi. Hal ini terbukti lagi dalam berita “Beber Rahasia Pasien AIDS Melanggar HAM” pada Harian Surabaya Post, edisi 9 November 2001.

Pernyataan-pernyataan yang muncul dalam berita itu pun menimbulkan kesan eksklusivisme terhadap HIV/AIDS. Kalau saja narasumber dan wartawan lebih arif maka kesan ini tidak akan muncul. Dalam etika kedokteran semua catatan medis (medical record) merupakan rahasia jabatan dokter sehingga tidak boleh dipublikasikan. Secara etis perawat pun tidak boleh membaca medical record karena langkah-langkah dan tindakan yang harus dilakukan seorang perawat ditulis oleh dokter dalam bentuk resep atau catatan lain. Jadi, tidak hanya HIV/AIDS tetapi catatan medis semua penyakit seorang pasien, seperti kudis, kurap, flu, kanker, dll. jelas merupakan medical record sehingga tidak boleh dipublikasikan tanpa izin pasien.

Yang tidak masuk di akal adalah pertanyaan dr Moh. Arifin dari Kedokteran Pemasyarakatan LP Medaeng (masih dalam berita tadi): “Apakah harus diungkap atau tidak sebab status tersebut harus diberitahukan kepada atasannya”. Pertanyaan ini pun perlu dijawab dengan pertanyaan: Apakah status HIV tahanan tersebut hasil surveilans atau diagnosis? Kalau surveilans sangat jelas tidak ada identifikasi sehingga tidak ada yang mengetahui siapa pemilik contoh darah yang positif. Selama ini hasilnya diketahui positif karena PMI tidak menerapkan asas unlinked anonymous. Artinya, yang dites hanya darah bukan donor. Cara-cara yang dilakukan PMI dengan mengabaikan asas unlinked anonymous merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar HAM. Dari etika kedokteran bukan hanya hasil tes HIV yang harus dirahasiakan tetapi semua hasil tes merupakan rahasia jabatan dokter.

Dalam berita “Polwil Tes HIV Tersangka SS” di Harian Surabaya Post (25/7-2000) lagi-lagi muncul informasi yang tidak objektif. Antara lain disebut: “ …. dicurigai mengidap HIV. Tubuhnya terdapat bintik-bintik merah cukup banyak. Terkesan seperti orang yang kena HIV.” Busyet. Apa dasar (hukum dan medis) seorang wartawan atau polisi (jika pernyataan itu merupakan kutipan dari wawancara wartawan yang menulis berita itu dengan polisi) bisa mencurigai seseorang terinfeksi HIV? Dalam masalah HIV/AIDS tidak ada curiga-mencurigai dan duga-dugaan karena semuanya harus melalui standar prosedur operasi.

“Menindaklajuti temuan itu, dia meminta Dinas Kesehatan Kota mencari waria yang positif HIV itu, untuk selanjutnya diisolasi agar tidak menulari orang lain” dalam berita “Hasil Operasi Satpol PP: 6 Waria Idap HIV, WTS Jalanan Sipilis” yang dimuat Harian Surabaya Post (26/10-2001). Tidak ada satu pun pasal dalam hukum nasional dan internasional yang menempatkan orang-orang yang tertular HIV sebagai pelaku kriminal sehingga harus masuk daftar pencaian orang (DPO). Tidak ada pula hukum yang menetapkan orang-orang yang tertular HIV harus diisolasi atau dikarantina. Hal ini sudah melanggar HAM. Pejabat Satpol PP itu sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum.

“Yang menakutkan PSK yang telah terinfeksi HIV itu masih berkeliaran bebas.” Ini pernyataan dalam berita “Awas! 6 Waria PSK terinfeksi HIV’ di Harian Surya (Surabaya, 27/10-2001). Kalau wartawan ingin mengingatkan masyarakat bukan dengan cara menakut-nakuti dan memojokkan waria dengan menyakamannya sebagai binatang karena yang berkeliaran biasanya binatang. Masih soal waria ini Kadispol Pamong Praja Kota Surabaya, Kadri Kusuma SSos MM, mengatakan “Data-datanya kami pegang semua. Makanya, begitu klir yang positif HIV, langsung kami cari. Kalau perlu blusukan ke kampung-kampung.”

“Kena AIDS, Dilepas ke Lokalisasi”. Ini judul berita di Harian Jawa Pos (Surabaya, 2/5-2001). Dalam berita itu disebutkan Ketua Komisi E DPRD Surabaya, Drs. Gatot Sudjito, meminta agar nama dan alamat Odha diumumkan agar masyarakat bisa lebih berhati-hati. Epidemi HIV tidak hanya di kalangan pekerja seks dan lokalisasi pelacuran. Di negara-negara yang secara de facto dan de jure tidak ada (lokalisasi) pelacuran pun kasus HIV/AIDS tetap ada.

***

“Diduga Kuat, Nelayan Thailand ‘Sebarkan’ HIV/AIDS ke Karimata”. Ini judul berita di Harian KOMPAS (Jakarta, 31/1-2001). Busyet. Bagaimana nelayan menyebarkan HIV? Apakah mereka menyemprotkan sperma atau darahnya ke sana ke mari? Pernyataan ini sudah menghakimi karena walaupun ada penduduk Karimata yang HIV-positif bisa saja mereka tertular secara horizontal antar penduduk.

"Penderita AIDS Menghilang". Itulah judul berita tentang empat dari 17 Odha di Balikpapan, Kaltim, yang dikatakan menghilang dalam Suara Karya (11/12-2000. Dalam konteks HIV/AIDS tidak ada alasan untuk mengawasi apalagi mengarantina Odha karena hal itu bertentangan dengan HAM. Maka, tidak ada keharusan bagi seorang Odha untuk melaporkan dirinya jika hendak bepergian. Setiap penduduk berhak bepergian ke mana saja di republik ini selama yang bersangkutan tidak dalam status tahanan. Dalam berita itu disebutkan pula "Kami (Dinas Kesehatan-pen.) masih mengupayakan mencari jejak empat wanita AIDS yang kabur itu." Cara ini merupakan tindakan yang melawan hukum karena yang bersangkutan tidak dalam status tahanan atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Tidak ada hukum yang menyebutkan Odha sebagai DPO atau buronan. Pengawasan yang dilakukan dinas kesehatan itu jelas sudah mengebiri kemerdekaan sehingga merupakan pelanggaran HAM. Tidak ada ketentuan, nasional dan internasional, yang mengharuskan dinas kesehatan mengawasi dan mengarantina Odha.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kaltim, dr H. Awang Joenani, justru mengatakan akan mencari jejak Odha yang hilang itu. Ditilik dari aspek hukum mencari jejak (contact tracing) terhadap Odha juga merupakan perbuatan melawan hukum karena
yang bersangkutan tidak terkait dengan perkara kriminalitas.

“TKI potensial membawa HIV.” Itulah pernyataan Kakanwil Kesehatan Riau Dr Zainal Abidin yang dikutip Harian Riau Pos (20/12-2000) dalam berita berjudul “Riau, Provinsi Ke tiga Terbesar Idap AIDS”. Pernyataan ini jelas tidak objektif karena sebagai virus HIV tidak hanya (bisa) dibawa TKI, tetapi penduduk Riau yang pergi ke daerah lain di Nusantara dan ke luar negeri pun akan bisa membawa HIV jika mereka berperilaku berisiko tinggi tertular HIV. Bahkan, penularan pun bisa saja terjadi antar penduduk di Riau. Begitu pula dengan berita “Pacitan Rentan terhadap HIV, Biangnya TKI dan Para Perantau” di Harian Surabaya Post (23/4-2001).

Tidak pelak lagi pernyataan itu membuat stigma dan menghukum TKI. Ini akan berdampak buruk dan negatif karena bisa saja orang akan menuding TKI sebagai biang keladi penyebaran HIV. Pemerintah sendiri, seperti yang sering dikemukakan oleh alm mantan Dirjen PPM & PLP Depkes, Dr Hadi M. Abednego, dalam kaitan kasus HIV/AIDS tidak menyebutkan pekerjaan. Yang disebutkan hanya jenis kelamin, umur dan faktor risiko. Jadi, amatlah gegabah kalau Kakanwil Kesehatan menyebutkan pekerjaan dua Odha yang meninggal yaitu pelaut dan perempuan tuna susila. Ini juga akan menyuburkan mitos dan membuat stigma terhadap pelaut. Selain itu penggunakan kata tuna susila pun amat menyakitkan karena hanya dikaitkan dengan pelacur. Saya yakin Tuhan pun akan menggolongkan koruptor sebagai orang yang tidak memiliki susila (tuna susila) karena uang lendir tidak akan dibedakan-Nya dengan uang korupsi atau pungli.

“10 PSK Digaruk”. Ini judul beria di Harian Suara Merdeka (Semarang, 26/11-2001). Pada lead berita wartawan menulis: “Gara-gara ‘gatal’ melayani tamu di malam Ramadan, 10 wanita pekerja seks komersial (PSK) lokalisasi liar Gunung Pare dijaring anggota Polsek Kartasura.” Wartawan pun kemudian menuliskan nama lengkap, umur dan daerah asal PSK yang ditangkap. Karena penangkapan berdasarkan peraturan daerah (produk hukum) tentulah asas praduga tidak bersalah harus dikedepankan sehingga identitas tidak boleh ditulis dengang lengkap.

Selain menuliskan identitas sering pula terjadi foto PSK dimuat. Bahkan, juru kamera televisi pun dengan bangga mempertontonkan PSK yang ditangkap polisi walaupun PSK sudah berusaha menutupi wajahnya. Dalam suatu razia PSK di Bogor, misalnya, juru kamera televisi ikut berlari-lari sambil berteriak-teriak seperti mengusir binatang. Secara etis ada larangan untuk menggambarkan seseorang dalam keadaan yang merendahkan martabatnya sebagai manusia. Mempertontonkan PSK yang ditangkap merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum dan melanggar HAM. Selain karena mereka ditempatkan dalam keadaan yang merendahkan martabat mereka sebagai manusia pengambilan gambar dan menyiarkannya pun harus seizin yang bersangkutan.

Masih tentang penangkapan PSK, wartawan Harian Surabaya Post (26/11-2001) menulis: “Khusus WTS akan dijerat dengan tindak pidana ringan. Setelah ditahan semalam di Mapolresta Surabaya Selatan, mereka akan disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Sementara germonya akan dijerat dengan pasal 506 dan 296 KUHP. Pasal 506 KUHP, karena para germo ini mengambil keuntungan dari kerja para WTS-nya.” Penggunaan kata jerat menunjukkan wartawan sudah menyamakan PSK dengan binatang karena jerat digunakan untuk menangkap binatang.

Jika disimak berita-berita seputar HIV/AIDS sudah terjadi kriminalisasi terhadap Odha karena wartawan memakai bahasa atau idiom polisi, seperti tersangka, diduga kuat, menghilang, kabur, diburu, diciduk, harus diwaspadai, dll. Selain itu wartawan pun memutarbalikkan makna sehingga muncul penilaian yang negatif dan kriminal. Misalnya, PSK yang terdeteksi HIV-positif pergi meninggalkan tempatnya disetubkan melarikan diri, menghilang, dll. Padahal, sebagai warga negera mereka bebas bepergian karena tidak ada ketentuan yang melarangnya dan mereka pun tidak dalam status tahanan.

Itulah contoh-contoh yang membuat masalah HIV/AIDS semakin pelik karena kesan yang muncul dari berbagai seminar, diskusi dan wawancara wartawan dengan pakar-pakar medis pun sering tidak akurat dan objektif. Bahkan, ada dokter yang membicarakan HIV/AIDS dari aspek moral dan agama. Ini menyesatkan!

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar