Sabtu, 29 Mei 2010

Mengabaikan Perilaku (Seks) Suami

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Surya”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “Di Jember, 6 Balita Positif HIV/AIDS” di Harian “Surya”, Surabaya, 1 Desember 2008. Kasus infeksi HIV pada balita (bayi di bawah usia lima tahun) menunjukkan ibunya HIV-positif. Kemungkinan besar ibunya tertular HIV dari ayahnya. Kalau ini yang terjadi maka dari fakta enam balita terdeteksi HIV-positif maka sudah ada 18 orang yang HIV-positif yaitu 6 balita + 6 ibu + 6 ayah. Kalau enam ayah ini juga menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) atau punya pasangan seks lain dan pacar tentulah jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV kian banyak.

Fakta inilah yang sering tidak muncul, termasuk dalam berita ini, sehingga masyarakat tidak memahami makna dari fakta itu terkait dengan epidemi HIV. Balita yang terdeteksi HIV-positif hanya merupakan ujung dari satu simpul mata rantai penyebaran HIV. Tapi, lagi-lagi hal ini tidak pernah dipaparkan dengan rinci.

Ketika ada perempuan hamil yang terdeteksi HIV-positif sama sekali tidak ada pembahasan yang komprehensif tentang epidemi HIV terkait dengan laki-laki yang menularkan HIV kepada perempuan itu.

Hal yang sama terjadi pada PSK. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, jejaka, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, sopir, copet, rampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Ketika ada PSK yang tertular HIV dari laki-laki pelanggannya maka laki-laki yang kemudian datang mengencaninya berisiko pula tertular HIV kalau laki-laki tersebut tidak memakai kondom sewaktu sanggama. Laki-laki ini pun kemudian akan menjadi mata rantai baru penularan HIV.

Ada anggapan kondom mendorong orang untuk berzina dan melacur. Ini salah besar karena laki-laki ‘hidung belang’ atau pezina justru enggan memakai kondom dengan berbagai alasan. Karena mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK atau pasangan lain maka ada risiko penularan HIV karena ada kemungkinan salah satu dari PSK atau pasangan seks lain ada yang HIV-positif. Untuk itulah dianjurkan kepada laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom kalau sanggama dengan istrinya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ke keluarganya.

Tapi, lagi-lagi laki-laki ‘hidung belang’ justru ‘sok suci’ sehingga tidak mau memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya. Akibatnya, istrinya tertular HIV dan anaknya pun akan terinfeksi pula dari ibunya.

Untuk itulah sudah saatnya dipikirkan untuk menerapkan survailans tes HIV kepada perempuan hamil seperti yang dilakukan di Malaysia. Dengan mengetahui status HIV seorang perempuan hamil maka bisa diambil langkah-langkah konkret untuk mencegah penularan HIV kepada janin yang dikandungnya. Jika seorang perempuan hamil ditangani secara medis maka risiko penularan HIV kepada bayinya di bawah dua persen. Tanpa penanganan medis risiko penularan di atas 30 persen.

Dalam berita ini tidak dijelaskan bagaimana kondisi ibu keenam bayi itu dan bagaimana pula penanganan terhadap suami-suami mereka. Diperlukan konseling terhadap pasangan-pasangan itu agar mata rantai penyebaran HIV bisa dihentikan mulai dari mereka. Ini akan menurunkan infeksi HIV baru.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar