Sabtu, 29 Mei 2010

Narkotik Suntikan Memicu Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 26/1-1999 Di saat epidemi HIV menjadi salah satu ancaman terbesar bagi penduduk dunia penyebarannya justru dipicu oleh penyalahgunaan narkotik melalui suntikan (injecting drug user/IDU). Sampai akhir 1997 UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS) melaporkan 30,6 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Setiap hari diperkirakan 16.000 penduduk bumi terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus) yaitu virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) yakni cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi oportunistik.

Penyebaran HIV melalui pemakaian narkotik dengan jarum suntik dilaporkan oleh 96 negara. WHO memperkirakan saat ini 5,5 juta IDU di 128 negara. Pemakaian narkotik dengan suntikan mulai diidentifikasi awal tahun 1980-an. Di Bangkok, Thailand, misalnya, IDU ditemukan pertama kali tahun 1987 yang dengan cepat menyebar ke berbagai bagian negara itu sampai ke perbatasan dengan Malaysia. Negara-negara di Asia Timur, Tenggara dan Selatan tidak bisa lepas dari IDU karena berdekatan atau menjadi jalur dari dan ke Golden Triangle (Segitiga Emas) produksi heroin terbesar di dunia yaitu di perbatasan Thailand, Laos dan Myanmar.

Di beberapa negara penyebaran HIV melalui IDU justru lebih besar daripada melalui hubungan seksual. Di Belarus, umpamanya, 87% kasus infeksi HIV tertular melalui IDUs. Tahun 1996-1997 empat dari lima kasus HIV baru terinfeksi melalui IDUs. Dalam kurun waktu dua tahun saja prevalensi HIV di kalangan IDU di Bangkok meningkat dari 2% menjadi 40%. Sekitar 75% kasus infeksi HIV di Cina, India, Malaysia, Myanmar dan Vietnam tertular melalui IDU. Tiga tahun belakangan ini prevalensi HIV di kalangan IDU di New York, AS, naik dari 10% menjadi 50%. Sedangkan di Indonesia dalam laporan bulanan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes sampai 31 Oktober 1999 tercatat 19 kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko IDU, 10 di antaranya sudah mencapai masa AIDS.

Angka itu memang kecil, tetapi itu hanya yang dilaporkan sehingga angka yang sebenarnya jauh lebih besar karena bersifat seperti fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Angka yang terdeteksi yakni puncak gunung es sangat kecil, sedangkan di bawah permukaan laur justru jauh lebih besar tapi tidak terdeteksi. Karena sudah ada yang mencapai masa AIDS berarti mereka terinfeksi antara 5 atau 10 tahun yang lalu. Ini menunjukkan penyalahguaan narkotik dengan suntikan sudah terjadi di Indonesia antara tahun 1989 dan 1994.

Pengurangan Kerugian

Jalur IDU menjadi pemicu penyebaran HIV karena virus ini hidup di dalam darah sehingga penularan melalui darah sangat efektif mendekati 100%. Bandingkan dengan penularan melalui hubungan heteroseksual yang probabilitasnya hanya 0,1%. Berarti risiko terinfeksi melalui jalur IDU jauh lebih besar tinimbang melalui hubungan seksual yang tidak aman, khususnya dengan pasangan yang berganti-ganti baik di dalam maupun di luar nikah.

Selain terdapat pada jarum suntik darah pun bisa menempel pada ujung penyemprot di dalam tabung alat suntik. Di kalangan IDU ada kebiasaan untuk menggilir pemakaian jarum dan alat suntik sebagai salah satu bentuk kebersamaan dalam kelompok. Setelah jarum masuk ke dalam pembuluh darah (nadi) penyemprot ditarik sehingga darah masuk ke dalam tabung yang sebelumnya sudah diisi narkotik. Setelah yakin darahnya bercampur dengan narkotik penyemprot pun didorong sehingga isi tabung masuk ke nadi, tapi tetap ada yang tertinggal di dalam tabung. Pemakai berikutnya pun melakukan hal yang sama. Jika salah satu di antara mereka ada yang sudah terinfeksi HIV tentulah virus itu akan menyebar di kelompok yang memakai jarum dan tabung suntik itu secara bergantian.

Di beberapa negara ada hukum yang melarang membawa jarum dan tabung suntik sehingga mereka memilih untuk menggunakan jarum dan tabung suntik bersama. Hal inilah yang membuat 97% IDU di Manipur, India, terpaksa memakai jarum suntik bersama. Selain itu banyak pula IDU yang tidak mampu membeli jarum dan tabung suntik baru yang steril sehingga mereka memilih disuntik oleh penyuntik bayaran. Cara ini terjadi di Myanmar. Cara yang hampir sama terjadi di Vietnam. Penyalahguna narkotik suntikan mendatangi shooting booths, suatu tempat yang menyediakan penyuntikan narkotik bayaran.

Selain HIV virus Hepatitis B dan C pun akan menyebara melalui cara itu karena kedua virus itu pun teradapat dalam darah. Di salah satu pusat rehabilitasi narkotik di kawasan Jabotabek, misalnya, dari 30 IDU di sana 3 positif HIV, bahkan ada yang sekaligus terinfeksi Hepatitis B dan C. Ini artinya sekali memakai jarum suntik yang sudah tercemar sekaligus 3 virus masuk ke dalam aliran darah.

Jika HIV sudah masuk ke aliran darah tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghambat serbuannya terhadap sistem kekebalan tubuh karena virus itu akan terus merusak sel-sel darah putih yang menjadi benteng pertahahan daya tahan tubuh. Yang bisa dilakukan hanya memperlambatnya dengan obat antiretroviral. Di AS untuk membeli obat-obatan antiretroviral saja dibutuhkan biaya antara Rp 90 – Rp 120 juta per tahun. Angka ini belum termasuk biaya pemeriksaan dokter dan rumah sakit serta obat-obatan lain.

Bermula Coba-coba

Tidaklah berlebihan kalau kita mengibaratkan IDU sebagai bom waktu bagi Indonesia karena berbagai kalangan menyebutkan angka 30.000-40.000 pengguna narkotik suntikan di Indonesia. Namun, ada yang memperkirakan angka itu sebagai perkiraan yang terendah karena ada yang menyebutkan angka 100.000. Sedangkan penyalahguna narkotik keseluruhan diperkirakan 1,3 juta.

Belakangan ini dikembangkan suatu pola pengurangan kerugian (harm reduction) di kalangan IDU yaitu mencegah infeksi penyakit di kalangan mereka. Artinya, kalau pun ada yang tidak bisa mengontrol pemakaian narkotik dengan suntikan paling tidak mereka dihindarkan dari infeksi HIV serta virus Hepatitis B dan C. Program ini serupa dengan anjuran memakai helm bagi pengendara sepeda motor. Kalau terjadi kecelakaan tidak akan fatal karena kepalanya terhindar dari benturan keras. Begitu pula dengan pengemudi dan penumpang mobil yang dianjurkan memakai sabuk pengaman (safey belt) agar terhindar dari benturan dengan dashboard atau tempat duduk di depan kita.

Tidak urung cara yang diterapkan untuk mengurangi kerugian itu menimbulkan pro dan kontra. Yang kontra khawatir hal itu akan memicu penyalahgunaan narkotik. Yang kontra menyebutkan tanpa program itu pun penyalahgunaan narkotik dengan suntikan pun akan terus terjadi. Hal ini sama dengan anjuran memakai kondom untuk mencegah penularan penyakit-penyakit menular seksual (PMS), seperti GO, sifilis, virus Hepatitis B serta HIV yang disebutkan yang kontra sebagai upaya melegalisir pelacuran. Padahal, tanpa kondom pun pelacuran dan perzinaan terus berlangsung Di beberapa negara polisi seakan-akan menutup mata jika ada needle exchange. Program ini menurunkan penyebaran HIV, tetapi tidak berarti program pertukaran jarum suntik itu mengendurkan perang melawan penyalagunaan narkotik.

Cara yang ditempuh antara lain berupa penyuluhan tata cara mencucihamakan jarum suntikdan tabungnya dengan pemutih. Cara lain adalah penggantian jarum suntik (needle exchange) dengan memberikan jarum dan tabung suntik yang baru (steril) kepada IDU dengan maksud agar mereka terhindar dari infeksi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui darah, seperti HIV serta virus Hepatitis B dan C.

Penyalahgunaan zat sendiri sudah dideteksi di Indonesia sejak tahun 1969 yang ditandai dengan pemakaian opioida (opium, morfin, heroin, kodein, petidin dan metadon), kokain dan ganja. Pada tahap berikutnya muncul pemakai barbiturat (sejenis obat tidur dan obat antiepilepsi, khlorahidrat, diazepam, meprobamat, metaqualone). Kemudian dikenal pula zat-zat hipnotika, sedativa dan heroin. Berikutnya muncul amfetamin, lem, bensin, benzodiazepine, gas korek api. Belakangan ini muncul ecstasy, putauw (heroin yang dicampur dengan zat lain) dan shabu-shabu.

Penyalahguna narkotik dengan suntikan angkanya akan besar karena banyak jenis narkotik yang dapat disuntikkan, seperti kokain, amfetamin, obat penenang (tranquilizer), obat tidur (barbiturate), opium termasuk heroin yang dikemas menjadi putauw dan shabu-shabu.

Penyalahgunaan obat (drug abuse) sendiri bisa terjadi melalui suatu proses yang bermula dari coba-coba yang bisanya karena diajak teman. Tahap ini bisa berlanjut ke penggunaan sesekali karena narkotik mudah didapat. Pada tahap ini biasanya pengguna sudah terkait dengan rasa kebersamaan dengan teman. Tapi, bisa juga pengguna pribadi yang tidak terkait dengan rasa sosial persahabatan. Jika penggunaan itu terus berlanjut bisa jadi akan sampai pada tahap kecanduan.

Kalau sudah pada tahap kecanduan tentulah memerlukan biaya yang besar untuk membeli zat. Penelitian di Bali (1998) menunjukkan seorang penyalahguna narkotik mengeluarkan biaya antara Rp 100.000 – Rp 3 juta per minggu. Untuk mendapatkan inilah mereka sering bertindak kriminal, misalnya, mencuri barang di rumah. Bahkan, mereka pun menjadi pengendar untuk mendapatkan uang dan sekaligus sebagai pengguna.

Penderitaan kian pahit jika seorang penyalahguna narkotik suntikan yang terinfeksi HIV juga tertular virus Hepatitis B dan C. Hanya saja banyak orang, terutama orang tua penyalahguna narkotik, tidak menghitung infeksi HIV serta Hepatitis B dan C sebagai beban karena dampaknya belum terlihat di masa-masa awal terinfeksi sehingga mereka lebih mengutamakan program rehabilitasi ketergantungan anaknya.

Tetapi, di tahun-tahun berikutnya kepanikan akan muncul ketika infeksi-infeksi oportunistik, seperti TBC, diare, sariawan dan lain-lain mulai muncul. Seperti diketahui stigma terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) akan semakin memurukkan penyalahguna narkotik suntikan yang terinfeksi HIV.

Penulis adalah pemerhati masalah-masalah HIV/AIDS/STIs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar