Senin, 24 Mei 2010

Menyibak Perilaku yang Berisiko Tertular HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2003. “Transit, Sumbar Rentan HIV/AIDS”. Ini berita di Harian “Padang Ekspres” edisi 23/10-2003. Dalam berita ini dijelaskan posisi Sumatera Barat (Sumbar) sebagai daerah transit (persinggahan) dan tujuan wisata membuat Sumbar rentan terhadap penularan HIV/AIDS.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sejak HIV/AIDS dipublikasikan tahun 1981 banyak muncul mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena HIV/AIDS dibahas dari aspek moral dan agama. Misalnya, disebutkan HIV/AIDS penyakit bule, HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran, HIV/AIDS menular melalui zina, dll. Padahal, HIV/AIDS merupakan fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi medis) yang sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan bule, zina dan pelacuran.

Data yang dipublikasikan UNAIDS (badan PBB untuk urusan HIV/AIDS) menunjukkan sampai akhir 2001 tercatat 41 juta kasus HIV/AIDS di seluruh dunia. Tidak ada satu pun negara yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS di negaranya. Di Indonesia sendiri sampai 30 September 2003 tercatat 3.924 kasus HIV/AIDS.

Sebagai virus HIV hanya dapat menular melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Gejala Klinis

Jadi, biar pun Sumbar merupakan daerah persinggahan dan tujuan wisata tidak bisa disebut sebagai daerah rawan atau rentan karena HIV tidak menulari daerah. Yang menjadi persoalan adalah kalau ada penduduk Sumbar melakukan kegiatan berisiko tinggi tertular HIV baik di Sumbar maupun di luar Sumbar. Jika ada penduduk Sumbar yang tertular HIV maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Menulari istrinya bagi yang sudah beristri atau menulari pasangan seksnya bagi yang belum beristri. Kalau si istri tertular maka akan terjadi penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi.

Persoalan kian runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas HIV/AIDS. Seseorang bisa diketahui HIV-positif melalui tes HIV. Tes HIV dilakukan kepada seseorang yang mengalami gejala-gejala klinis yang tidak dapat didiagnosis atau kepada seseorang yang pernah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.

Kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah: (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Dalam berita itu juga disebutkan di Sumbar tercatat 31 kasus HIV/AIDS. Sayang, tidak dijelaskan apakah semua kasus merupakan hasil diagnosis karena bisa saja terjadi ada di antara kasus itu yang merupakan hasil survailans tes HIV. Soalnya, kalau hasil survailans maka status HIV-positif bisa saja ‘positif palsu’. Untuk memastikan status HIV-positif maka hasil tes HIV pertama, dengan dipstick atau ELISA, harus dikonfirmasi lagi dengan tes Western blot.

Namun, angka itu pun bisa tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena secara epidemiologi kasus HIV/AIDS yang terdeteksi merupakan puncak dari fenomena gunung es. Jadi, bisa saja terjadi angka yang sebenarnya yang tidak terdeteksi jauh lebih banyak daripada angka yang terdeteksi. Di beberapa negara, seperti Malaysia, ada survailans rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil sehingga angka yang diperoleh akan menggambarkan kasus yang sebenarnya. Di Indonesia survailans hanya sporadis dan hanya dilakukan terhadap pekerja seks.

Survailans HIV

Padahal, yang paling perlu diperhatikan adalah laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks karena mereka telah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. Maka, biar pun kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Sumbar bukan penduduk lokal tapi kemungkinan penduduk lokal tertular HIV sangat besar karena pendatang yang terdeteksi HIV-positif itu pekerja seks. Tentu saja pelanggannya penduduk lokal.

Kalau ada survailans terhadap kalangan tertentu di luar pekerja seks maka akan dapat dilihat situasi epidemi HIV di Sumbar. Misalnya, survailans rutin dan sistematis terhadap perempuan hamil, mahasiswa, polisi, dll. maka ada gambaran ril epidemi HIV.

Dalam berita juga disebutkan ada 10 orang yang dipantau karena terdeteksi HIV-poisitif. Jika yang dipantau itu pekerja seks maka hal itu tidak ada manfaatnya karena yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang menjadi langganan mereka. Karena pekerja seks itu sudah terdeteksi HIV-positif maka laki-laki yang melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks tadi sudah berisiko tertular HIV. Memang, probabiltas (kemungkinan) tertular di bawah satu persen. Tapi, karena hubungan seks sering dilakukan maka kemungkinan tertular pun besar pula

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Sumbar adalah dengan menganjurkan laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks menjalani tes HIV sukarela. Dengan mengetahui status HIV maka seseorang dapat diajak agar tidak melakukan perilaku berisiko. Selain itu ybs. pun dapat pula ditangani secara medis.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar