Senin, 24 Mei 2010

Pariwisata dan AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap

Jakarta, 26/11-2002. Kasus HIV/AIDS di Bali tercatat 194 yang terdiri atas 161 HIV dan 33 AIDS serta 10 kematian. Kasus nasional 3.374 sedangkan global 40 juta. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.

Dengan jumlah kasus tersebut Bali berada pada ‘peringkat’ kelima secara nasional. Jumlah kasus tidak bisa dilihat hanya per daerah atau negara tetapi secara global karena penularan HIV tidak bisa dibatasi dengan batas daerah, provinsi atau negara. Di negara-negara yang ‘tertutup’ karena agama, sistem politik dan ideologi pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS juga ada di negara-negara yang tidak menjadi tujuan wisata, tidak mempunyai hiburan malam dan tidak mempunyai lokalisasi pelacuran.

Jumlah kasus di Bali kian tidak realistis karena di Bali sudah dideteksi pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan suntikan (injecting drug use/IDU). Sebagian besar kasus HIV yang dideteksi di Bali justru pada kalangan IDU di lembaga pemasyarakatan (LP).

Risiko penularan HIV melalui jarum suntik dan semprit yang tercemar HIV IDU sangat besar yaitu 89,5%. Di kalangan IDU ada semacam ‘budaya’ untuk saling memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran sebagai tanda setia-kawan. Jika di antara mereka ada yang HIV-positif maka akan terjadi penularan HIV di kalangan mereka. Selanjutnya IDU yang HIV-positif akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal.

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel-sel darah manusia yang ditumpanginya (sel-sel darah putih yang menjadi benteng pertahanan diri) yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti jamur, sariawan, diare, TB, dll.

Bagi yang sudah beristri penularan terjadi kepada istrinya. Kalau istrinya tertular maka pada gilirannya anak yang dikandung istrinya akan tertular pula (mother-to-child-transmission/MTCT) terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Bagi yang belum beristri HIV akan ditularkan ke pasangannya atau pekerja seks.

Perilaku Berisiko

Kasus HIV/AIDS di dalam LP tidak bisa diketahui dengan pasti di mana mereka tertular. Bisa di luar bisa pula di dalam LP. Bisa saja terjadi mereka tertular ketika menyuntikkan narkoba sebelum tertangkap, bisa juga mereka tertular melalui hubungan seks sebelum menjadi pengguna narkoba atau ketika sudah menjadi pengguna narkoba.

Penularan HIV melalui jarum suntik dan semprit tidak hanya terjadi antar IDU lokal tetapi bisa pula dengan IDU asing yang datang ke Bali. Pada gilirannya kalau ada IDU lokal yang tertular HIV maka dia pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di kalangan IDU lokal.

Mobilitas penduduk dunia, termasuk pariwisata, dapat mendorong penyebaran HIV melalui perilaku-perilaku yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV. Perilaku berisiko adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman; (2) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, di dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menerima transfusi darah; dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di dunia tentulah Bali didatangi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Kehadiran wisatawan dalam dan luar negeri di Bali berdampak terhadap pola pergaulan, khususnya dalam masalah seks. Hubungan seks merupakan faktor risiko utama penularan HIV. Hal ini bisa terjadi karena hubungan seks sering dilakukan.

Memang, probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks kemungkinan tertular satu kali. Tetapi, tidak bisa diketahui kapan terjadi penularan. Apakah pada hubungan seks pertama, kedua, kelima, kelima puluh atau keseratus? Tidak ada yang tahu sehingga setiap hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang gemar berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, tetap berisiko tinggi tertular HIV.

Mulai awal tahun 1990-an penemuan kasus infeksi baru di kalangan dewasa di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara sudah menunjukkan grafik yang mendatar. Di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya. Kasus infeksi baru di kalangan dewasa menunjukkan peningkatan yang sangat besar. Hal ini terjadi karena penduduk di kawasan Afrika, Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindarkan perilaku-perilaku berisiko tinggi. Namun, penduduk di kawasan Asia Pasifik masih berkutat soal kondom dan mengait-ngaitkan epidemi HIV dengan moral dan agama.

Penularan HIV

Yang dikhawatirkan ada wisatawan yang tidak menyadari dirinya HIV-positif melakukan perilaku berisiko di Bali. Begitu pula sebaliknya, ada penduduk lokal yang juga tidak menyadari dirinya HIV-positif ‘meladeni’ wisatawan. Orang-orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas dan tidak ada pula keluhan yang berarti sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi). Namun, pada rentang waktu sebelum masa AIDS seseorang yang HIV-positif bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku berisiko.

Persoalan kian pelik karena tidak ada aturan yang memaksa seseorang menggunakan kondom jika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan sehingga ada risiko penularan HIV. Di Thailand penggunaan kondom pada industri seks menurunkan insiden penularan HIV.

Di saat kita masih berkutat soal kondom tanpa kita sadari epidemi HIV sudah masuk ke masyarakat yang ditandai dengan infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Dari 3.914 sampel perempuan hamil yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di Indonesia tahun 2000, misalnya, ditemukan 27 ibu rumah tangga yang positif HIV. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM di Jakarta, terhadap 537 perempuan hamil di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta tahun 2000 menunjukkan enam di antaranya positif HIV. Survailans terhadap perempuan hamil di Riau (1998/1999) menunjukkan dari 287 ibu rumah tangga yang dites ada 100 (0,35%) yang HIV-positif. Angka ini menunjukkan ibu-ibu rumah tangga itu tertular dari suami mereka.

Jadi, jika kita ingin memutus mata rantai penyebaran HIV maka informasi tentang HIV/AIDS pun harus akurat, objektif dan jujur. Selama ini KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan zina, selingkuh, jajan, pelacuran, gay, dll.

Padahal, secara medis tidak ada kaitan langsung antara zina, selingkuh, jajan, pelacuran dan gay karena penularan HIV terjadi (1) melalui hubungan seks penetrasi yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang HIV-positif; (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya.

Dari fakta di atas tampak jelas tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran dan gay dengan penularan HIV. Jadi, dengan mengedepankan fakta medis tentang HIV/AIDS maka masyarakat pun akan dapat memahami HIV/AIDS dengan benar sehingga setiap orang melindungi dirinya secara aktif agar tidak tertular HIV yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Inilah cara yang realistis.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar