Senin, 24 Mei 2010

Menguji Kiprah Perda AIDS Kab. Malang

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 29/6-2009. Pemkab Malang akhirnya menelurkan peraturan daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda No. 14/2008 tanggal 30 Oktober 2008. Ini merupakan perda ke-25 dari 26 perda mulai dari tingkat provinsi, kota sampai kabupaten di Indonesia. Bagaimana kiprah perda-perda itu dalam penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air?

Salah satu materi utama dalam perda-perda penanggulangan AIDS itu adalah pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko. Ini mengekor ke Thailand yang berhasil menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan penduduk dewasa melalui ‘program 100 persen kondom’. Program ini merupakan ekor dari rangkaian program terpadu di Thailand. Nah, perda-perda di Indonesia pun hanya mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS di Thailand.

Pada pasal 1 ayat 22 disebutkan “Perilaku seksual berisiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.” Tidak jelas hubungan seks seperti apa yang dimaksud dengan berganti-ganti pasangan. Perilaku kawin-cerai juga merupakan kegiatan yang berganti-ganti pasangan seksual. Tapi, apakah ini termasuk perilaku seksual berisiko yang dicakup perda? Sedangkan ‘hidung belang’ umumnya mempunyai ‘pacar’, ‘kiwir-kiwir’, atau langganan di kalangan pekerja seks sehingga mereka tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan

Lokalisasi Resmi

Definisi yang tepat untuk perilaku berisiko (tertular HIV) adalah “Melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks di wilayah atau di luar Kabupaten Malang.”

Dalam berita “Seks Tanpa Kondom Didenda Rp 50 Juta” di Harian “Surya” (13/5-2009) ada pernyataan tentang kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko. Lagi-lagi ada persoalan besar di Indonesia umumnya dan Kab. Malang khususnya terkait dengan hal ini jika dibandingkan dengan Thailand.

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi atau rumah bordir yang ‘resmi’ sehingga penerapan wajib kondom tidak bisa dijalankan. Berbeda dengan Thailand yang mempunyai lokalisasi dan rumah bordir ‘resmi’. Akibatnya, tidak ada mekanisme untuk menguji tingkat pemakaian kondom di Indonesia. Sedangkan Thailand mengujinya melalui survailans rutin terkait infeksi menular seksual (IMS), seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll. terhadap pekerja seks. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan pemakaian kondom tidak 100 persen. Ada sanksi bagi pengelola lokaliasi dan rumah bordir.

Kondisinya kian runyam karena MUI Kab. Malang menuntut agar lokalisasi pelacuran ditutup. Wakil Bupati Malang menolak menutup lokalisasi karena khawatir akan muncul lokaliasi liar. Tuntutan MUI ini terkait dengan mitos (anggapan yang salah) yang selama ini berkembang di masyarakat yaitu mengait-ngaitkan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual dengan penularan HIV. Tidak ada kaitan langsung penularan HIV dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom. Kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual.

Kedua, penolakan terhadap kondom di Indonesia sangat kuat. Ada asumsi yang ngawur di kalangan orang-orang yang membalut lidahnya dengan moral yang melihat sosialisasi kondom akan mendorong orang melacur. Padahal, lelaki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Fakta ini yang tidak dilihat oleh orang-orang yang kontra terhadap sosialisasi kondom untuk kalangan yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV.

Dalam berita ada pernyataan aktivis LSM Paramitra, Tri Gozali, “Ibu rumah tangga dan TKW yang baru pulang dari luar negeri juga harus diwaspadai.” Ini mendorong stigmatisasi dan diskriminasi terutama terhadap TKW. Kalau kaitannya hanya karena (kerja) ke luar negeri mengapa hanya TKW? Pelancong, pegawai yang dinas, TKI laki-laki, diplomat dan pegawai kedutaan, serta orang-orang yang melalukan kegiatan keagamaan juga pergi ke luar negeri. Lagi-lagi ini mitos. Selalu dikesankan bahwa HIV (hanya) ada di luar negeri. Padahal, bisa saja TKW tertular HIV di Indonesia sebelum ke luar negeri.

Merendahkan Martabat

Kalau perda ini hanya mengatur perilaku penduduk Kab. Malang di wilayah Kab. Malang maka risiko penyebaran HIV tetap akan terjadi karena bisa saja terjadi penduduk Kab. Malang tertular di luar wilayah atau luar negeri. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Persoalannya adalah penduduk yang tertular HIV tidak menyadarinya. Akibatnya, tanpa mereka sadari pula mereka menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah.

Pada pasal 10 ayat 1 disebutkan “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom.” Jika mengacu kepada fakta empiris terkait penularan HIV maka bunyi pasal ini adalah “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”

Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”

Perda ini pun lagi-lagi merendahkan harkat martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Pada pasal 1 ayat 23 ada kata penjaja seks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan penjaja adalah orang yang menjajakan dengan berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangannya supaya dibeli orang.

Nah, apakah pekerja seks tidak pernah berkeliling menawarkan ‘barangnya’? Justru laki-laki yang mendatangi pekerja seks. Dan, dari aspek epidemiologis laki-lakilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Laki-laki, baik penduduk local maupun pendatang, yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada pekerja seks. Selanjutnya, laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks yang sudah tertular HIV berisiko pula tertular HIV. Tapi, fakta ini selalu ditutup-tutupi karena kita melihatnya dari sudut moral bukan dari fakta empiris.

Selama akar masalah penularan HIV tidak disentuh maka selama itu pula penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk akan terus terjadi. Ini akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Apakah kita (akan) menunggu ledakan baru bertindak dengan nalar dalam menanggulangi epidemi HIV? Semua terpulang kepada kita.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar