Sabtu, 29 Mei 2010

Tidak Ada Gambaran Ril tentang Epidemi HIV

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Medan Bisnis”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “Penderita HIV/AIDS di Aceh Meningkat 350%” di Harian “Medan Bisnis”, 29 November 2008. Berita ini sama sekali tidak memberikan gambaran yang ril mengapa terjadi peningkatan angka kasus yang terdeteksi. Tidak ada analisis yang menggambarkan realitas dari pernyataan Sekretaris KPAP Aceh yang menyebutkan kenaikan 350% dibandingkan dengan kasus tahun 2006.

Ada beberapa hal yang terkait dengan pertambahan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Peningkatan angka itu tidak semerta menunjukkan ada penularan baru.

Pertama, sebelum tahun 2006 kegiatan survailans tes HIV tidak segencar setelah tahun 2006. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir kegiatan survailans didukung pula dengan penyediaan klinik tes HIV sukarela yang gratis yaitu VCT (voluntary counseling and test). Karena kegiatan tes jarang maka penemuan kasus HIV pun kecil.

Kemungkinan besar tes HIV di Aceh sebelum tsunami tidak ada, tapi setelah tsunami banyak badan-badan dunia dan LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS sehingga mulai terdeteksi kasus HIV/AIDS.

Kedua, sebelum tahun 2006 kasus-kasus HIV yang ada di Aceh baru pada tahap infeksi HIV yang belum menunjukkan gejala-gejala terkait AIDS. Belum pula ada infeksi oportunistik pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sehingga mereka tidak berobat ke dokter, klinik, puskesmas atau rumah sakit. Masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah tertular.

Pada rentang waktu ini tidak ada keluhan terkait AIDS, tapi penularan sudah bisa terjadi antar penduduk melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (d) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Ketiga, setelah tahun 2006 kasus-kasus HIV/AIDS yang sebelumnya baru pada tahap HIV-positif mulai ada yang menunjukkan gejala AIDS karena sudah masuk ke masa AIDS. Mereka pun berobat karena infeksi oportunistik yang mereka derita, seperti diare, sariawan, TBC, dll. tidak sembuh-sembuh biar pun mereka sudah berobat. Indikasi ini dijadikan dokter sebagai rujukan untuk menjalani tes HIV.

Dalam berita disebutkan dari 25 kasus HIV/AIDS di Aceh, 21 kasus AIDS dan empat HIV. Ini menunjukkan 21 kasus AIDS itu sudah tertular jauh sebelum tahun 2006. Paling tidak mereka sudah tertular HIV antara tahun 1996-2001.

Disebutkan pula sembilan orang sudah meninggal dunia. Kalau mereka meninggal sesudah tahun 2006 maka mereka sudah tertular HIV sekitar tahun 1996-2001. Nah, pada kurun waktu antara tertular HIV sampai meninggal dunia mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari pula.

Di bagian lain disebutkan “ .... Angka ini diambil berdasarkan estimasi telah terinfeksi HIV 1.000 ...” Ini tidak benar karena tidak ada rumus yang memastikan kalau ada 1 kasus HIV/AIDS maka ada 100 atau 1.000 kasus yang tidak terdeteksi. ‘Rumus’ itu berlaku hanya untuk keperluan epidemilogis, misalnya, merancang cara-cara penanggulangan, penyediaan obat dan perawatan, dll. Itu pun kalau di daerah atau negara itu tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, kesehatan masyarakat jelek, dll.

Kalau ‘rumus’ itu berlaku di Aceh maka ini merupakan pembenaran bahwa di Aceh tingkat pelacuran tinggi. Kalau ini fakta maka memang benar harus ada pengendalian. Tapi, lagi-lagi kalau pengendalian dengan norma, moral, dan agama maka hasilnya nol besar dan kasus-kasus infeksi HIV baru akan terus terjadi tanpa terkendali. Kasus HIV ini akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar