Sabtu, 29 Mei 2010

Menyikapi Berita Kematian Penderita AIDS di Sukabumi

Oleh Syaiful W. Harahap

Berita “Di Kota Sukabumi 21 Orang Penderita AIDS Meninggal” (Harian “GALAMEDIA”, Bandung, 15 Juni 2006) membuktikan bahwa pandemi HIV sudah ada di masyarakat Sukabumi. Sayang, wartawan hanya menyampiakan data tidak ‘membawa’ fakta itu ke realitas sosial.

Satu hal yang perlu dicermati adalah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya ada di masyarakat (Sukabumi). Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Namun, ybs. sudah bisa menularkan HIV secara diam-diam tanpa disadarinya melalui (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat keseahtan dan cangkok organ tubuh, (d) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya teruatama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Kondisi di ataslah yang membuat epidemi HIV kian runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Sebaliknya, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif justru mengurangi penyebaran HIV karena mulai dari mereka mata rantai penyebaran HIV diputuskan. Bagi Odha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS) yang beristri maka dia dibujuk agar selalu memakai kondom kalau sanggama dengan istrinya. Yang tidak beristri juga dibujuk agar tidak melakukan hubungan seks dengan orang lain tanpa kondom.

Bercermin Thailand

Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak kalangan yang ‘bak kebakaran jenggot’ kalau di daerahnya terdeteksi kasus HIV/AIDS.

Banyak yang memilih ‘menyembunyikan’ kasus HIV/AIDS agar daerahnya dinilai ‘bersih’. Padahal, langkah ini jelas mencelakakan karena epidemi HIV akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.

Kalau sudah terjadi ledakan AIDS maka malapetaka yang akan datang karena penduduk yang sudah mencapai masa AIDS membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatan penyakit yang muncul, disebut infeksi oportunistik. Mereka pun sudah ada yang harus dirawat di rumah sakit sehingga mereka tidak bisa bekerja. Kalau dirawat di rumah sakit maka istri dan anak-anaknya akan bergantian mengurusnya. Selain biaya rumah sakit diperlukan pula biaya transport. Sekolah anak-anak juga akan terganggu.

Kita (sudah) terlambat menangani epidemi HIV. Tahun 2001 Direktur Eksekutif UNAIDS, Dr. Peter Piot, sudah mengingatkan Indonesia tentang percepatan peningkatan kasus HIV/AIDS. Pemerintah hanya berpangku tangan. Hal yang sama terjadi di Thailand. Dua dekade yang lalu kalangan ahli sudah mengingatkan Negeri Gajah Putih itu tentang HIV/AIDS. Tapi, petinggi negeri itu menampik dengan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang beragama dan berbudaya. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Tahun 2000 dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi HIV/AIDS hampir dua kali lipat dari devisa yang diperoleh negara itu dari pariwisata. Diperkirakan hampir 1 juta penduduk Thailand tertular HIV.

Apakah mengikuti jejak Thailand?

Kita bisa berhitung sekarang. Seandainya 21 penderita yang meninggal itu semua laki-laki dan sudah beristri maka mereka sudah menulari 21 perempuan. Kalau 21 perempuan ini hamil maka ada risiko 15-30 persen dari bayi yang mereka lahirkan tertular HIV. Kalau ada di antara mereka yang juga melakukan hubungan seks dengan perempuan lain, seperti selingkuhan, simpanan atau pekerja seks maka perempuan lain itu pun berisiko pula tertular HIV. Kegiatan ini berlangsung antara 5 – 10 tahun.

Memutus Mata Rantai

Kalau ada di antara 21 penduduk yang meninggal itu pengguna narkoba suntikan maka selama 5 - 10 tahun dia menyuntikkan narkoba secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian dengan teman-temannya. Andaikan mereka menyuntik setiap hari dengan kelompok 5 orang maka ada kemungkinan 4 temannya terular karena tingkat kemungkinan (probabilitas) penularan HIV melalui jarum suntik sangat tinggi yaitu sekitar 90 persen setiap kali suntikan. Jika empat temannya tadi juga menyuntik dengan temannya di kelompok lain maka teman-temannya pun berisiko pula tertular HIV. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal baik di kalangan sesama pengguna narkoba maupun kepada pekerja seks, istri atau pacar mereka.

Sudah saatnya digencarkan penyuluhan tentang HIV/AIDS melalui materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) yang akurat dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis (dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran). Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis maka pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang realistis yaitu menghindari perilaku berisiko tinggi.

Untuk mencegah penyebaran HIV secara horizontal perlu diputus mata rantainya dengan menganjurkan kepada orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko agar menjalani tes HIV sukarela. Tes dengan standar prosedur operasi yang baku: konseling (bimbangan) sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan serta kerahasiaan (yang berhak mengetahui hasil tes hanya ybs., konselor dan dokter yang menanganinya).

Bagi yang terdeteksi HIV-positif dianjurkan agar tidak menulari orang lain. Kalau sudah beristri maka dianjurkan agar selalu memakai kondom jika berhubungan seks. Selain itu orang-orang yang terdeteksi HIV-positif pun dapat ditangani secara medis dengan memberikan obat antiretroviral (obat untuk menghambat perkembangan HIV di dalam darah) sehingga mereka tetap bisa hidup produktif.

[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No 7/November 2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar