Sabtu, 29 Mei 2010

‘Gelombang Epidemi HIV’ vs Perda AIDS Bali

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 20 Agustus 2008. Peningkatan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seks dinilai pakar akan menjadi pemicu ‘gelombang epidemi HIV/AIDS di Pulau Bali’. Yang menjadi persoalan bukan lokalisasi dan PSK, tapi penduduk (lokal) yang menjadi pelanggan PSK di Bali atau di luar Bali. Dengan 628 kasus AIDS menempatkan Bali pada peringkat kelima secara nasional. Perda Prov. Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS ternyata tidak bisa berperan dalam penanggulangan AIDS di Pulau Dewata.

Perda AIDS Bali sendiri tidak menawarkan cara-cara pencegahan HIV yang akurat karena ada muatan moral. Pada pasal 9 disebutkan ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Ini hanya pesan moral yang tidak bermakna jika dikaitkan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS.

Kalau saja pasal ini tidak dibalut moral tentulah berbunyi ”Setiap orang yang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, wajib memakai kondom.” Kalimat ini bunyi dan orang akan menangkap arti dan maknanya.

Di Bali telah terjadi peningkatan kasus penularan HIV melalui hubungan seksual. Yang dikhawatirkan ada asusmi hal itu terjadi karena pelacuran di Bali.

Praktek Pelacuran

Boleh-boleh saja ada asumsi seperti itu. Tapi, ingat ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Bali justru tertular HIV di Bali. Mereka bisa saja ditulari penduduk asli (lokal) atau wisatawan. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat lokal sudah ada penduduk yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali sudah tertular HIV sebelum ke Bali. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Bali yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.

Hal di atas bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Penularan HIV pun terjadi tanpa disadari. Yang menjadi mata rantai penularan HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, petani, nelayan, pencopet, perampok, dll.

Tidak ada kaitan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Yang menjadi persoalan adalah ‘praktek pelacuran’ yaitu hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di semua tempat karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Di Arab Saudi tidak ada hiburan malam dan tidak pula ada lokalisasi pelacuran, tapi sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Hal itu bisa terjadi karena penduduk Arab Saudi melakukan hubungan seks berisiko, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di luar negaranya.

Membuat lokalisasi di tengah kota agar pelanggan malu tidak relevan karena bisa saja orang Bali melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko di luar Bali atau di luar negeri. Jika dia tertular HIV (ini terjadi tanpa disadarinya) maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk (juga tanpa disadari).

Memupus Mitos

Sebuah yayasan di Denpasar yang menjalankan VCT (tes sukarela dengan konseling) terhadap PSK menemukan fakta yang mencengangkan. Sejak Januari sampai bulan ini dari sekitar 700 PSK yang sudah dites terdeteksi 90 PSK yang HIV+. Tujuh PSK sedang hamil ketika dites. Sekitar 30 sudah ada indikasi untuk mulai memakai ARV (ini menunjukkan 30 PSK sudah mencapai masa AIDS). Dari 90 PSK yang HIV-positif itu tentulah ada yang ditulari oleh penduduk lokal atau mereka sudah HIV-positif ketika tiba di Bali.

Yang menjadi persoalan bukan PSK tapi penduduk (lokal) karena pelanggan PSK tentulah kebanyakan penduduk lokal. PSK yang terdeteksi HIV-positif minimal mereka sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan yang sudah terdeteksi pada masa AIDS mereka sudah tertular antara 5 sampai 10 tahun sebelumnya. Pada rentang waktu itu sudah banyak laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan mereka. Katakanlah dalam tiba bulan mereka ‘praktek’ 75 hari. Jika satu malam ada 2 tamu maka sebelum mereka terdeteksi sudah 4.500 (90 x 25 x 2) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Nah, laki-laki yang 4.500 inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Yang beristri akan menulari istirnya atau perempuan lain atau PSK lain. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, pasangannya, atau PSK.

Ketika di banyak negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar (hal ini terjadi karena penduduk sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang akurat, al. dengan memakai kondom pada sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti) kita malah bertengkar soal pelacuran dan kondom. Pertambahan kasus baru infeksi HIV di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat di Asia.

Maka, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan dengan mengedepankan cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang realistis yang bertopang pada fakta medis. Penyuluhan ini juga diharapkan dapat mendorong penduduk yang perilakunya berisiko tinggi untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Mata rantai penyebaran HIV akan diputus mulai dari penduduk yang terdeteksi HIV-positif.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar