Sabtu, 29 Mei 2010

Membaca Sepak Terjang Perda AIDS Kaltim

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 21/8-2009. Perda No./2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual merupakan perda ke-21 dari 30 perda serupa di seluruh Nusantara. Pembuatan perda-perda AIDS bertolak dari keberhasilan Thailand menunrunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program 100 persen kondom’. Lalu, bagaimana sepak terjang Perda AIDS Kaltim dalam ranah penanggulangan epidemi HIV di Kaltim?

’Program 100 persen kondom’ ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi dan rumah-rumah bordir di Negeri Gajah Putih itu. Celakanya, program itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena beberapa faktor.

Perilaku Berisiko

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga mekanisme pengawasan tidak bisa dilakukan. Thailand mengawasi program itu dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Germo atau mucikari pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi peringatan sampai pencabutan izin.

Pada pasal 5 ayat 3 (c) disebutkan: Dalam rangka penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi dan masyarakat Kalimantan Timur berkewajiban untuk: Melaksanakan penanggulangan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi, termasuk di dalamnya keharusan menggunakan kondom. Karena di Kaltim tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir maka penanggulangan yang ditawarkan ini pun tidak akan jelan karena tidak ada pengawasan.

Kedua, di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap kondom karena selama ini kondom dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, kondom dianggap sebagai alat untuk mendorong orang melakukan hubungan seks di luar nikah.

Ketiga, pemahaman masyarakat terhadap cara-cara pencegahan dengan kondom sangat rendah sehingga banyak orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko yaitu (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Tiga alasan itu merupakan ganjalan terhadap ’program 100 persen kondom’ pada hubungan seks berisiko. Selain itu program ini merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di Thailand. Maka, program kondom yang ditawarkan di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Materi dalam perda ini pun tetap dibalut dengan moral. Seperti pada Pasal 4 disebutkan: Penularan HIV/AIDS dan IMS dapat menular kepada orang lain dengan cara:
a. Hubungan seksual tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar kesehatan. Tidak ada penjelasan tentang pengertian ’terlindungi sesuai standar kesehatan’. Pasal ini mengambang karena tidak jelas maksudnya. Lagi pula ada salah kaprah di sini. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan orang yang sudah tertular HIV (HIV-positif).

Pada pasal 1 ayat 7 dan 8 disebutkan ’kelompok rawan’ dan ’tempat rawan’. Ini tidak akurat karena yang rawan terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks bukan kelompok atau tempat tapi perilaku orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak rawan kalau dia hanya mau meladeni laki-laki yang memakai kondom.

Sasaran dan tujuan penanggulangan dalam perda disebutkan pada pasal 2 ditujukan kepada kelompok rawan dan tempat rawan. Ini tidak pas karena yang berisiko tertular HIV bukan kelompok rawan, seperti pekerja seks atau pelanggannya saja, tapi juga setiap orang yang melakukan hubungan seks berisiko di dalam atau di luar nikah di mana saja di muka bumi ini. Bahkan, pada pasal 3 disebutkan penanggulangan HIV/AIDS untuk seluruh masyarakat dengan perhatian khusus kepada populasi masyarakat yang rentan dan berisiko tinggi untuk penularan HIV. Ini pun tidak tepat sasaran karena banyak laki-laki yang hanya sesekali melakukan hubungan seks berisiko. Selain itu kegiatan kawin-cerai yang merupakan perilaku berisiko tidak tersentuh.

Pada pasal 5 ayat 3 d disebutkan: Mendorong dan melaksanakan test dan konseling HIV/AIDS secara sukarela terutama bagi kelompok rawan. Lagi-lagi ini tidak pas karena banyak orang yang tidak merasa perilakunya rawan atau berisiko tertular HIV. Soalnya, selama ini penularan HIV dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat. Penularan HIV disebutkan karena zina, melacur, jajan, seks bebas, selingkuh, dan homoseksual.

Mata Rantai

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (zina, melacur, jajan, seks bebas, selingkuh, dan homoseksual). Di beberapa tempat di Indonesia dikenal ’kawin kontrak’ dan nikah mut’ah sehingga hubungan sah tapi tetap berisiko tertular HIV karena perempuan yang menjadi ’istri’ adalah orang yang sering berganti-ganti pasangan.

Salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah dengan mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Soalnya, kasus HIV yang terdeteksi hanya sebagaian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, yang muncul ke permukaan hanya puncak dari sebuah gunung es yang terdapat di bawah permukaan air laut.

Untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ’tersembunyi’ di masyarakat perlu dilakukan skrining yaitu tes HIV dengan konseling dan persetujuan (skrining rutin, survailans sentinel, dan survai khusus) seperti yang dijalankan di beberapa negara. Malaysia, misalnya, menjalankan skrining rutin terhadap pasien IMS (penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.), perempuan hamil, pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, darah donor, pasien TBC. Itu sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia yang mencapai lebih dari 40.000 mendekati angka ril. Sedangkan di Indonesia jumlah kasus kumulatif AIDS sampai 30 Juni 2009 baru mencapai 17.699.

Kalau saja perda-perda AIDS di Indonesia mengedepankan fakta medis tentulah ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang sudah pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV secara sukarela.

Selama penanggulangan HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula upaya tersebut tidak akan membuahkan hasil. ***

* Pemerhati masalah HIV/AIDS di LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar