Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Pertambahan Kasus HIV/AIDS di Jawa Barat

Tanggapan terhadap Berita Harian “Suara Pembaruan”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 27/4-2004. Berita “Kasus HIV/AIDS di Jabar dalam 3 Bulan Bertambah 129 Kasus” yang dimuat di Harian “Suara Pembaruan” edisi 26 April 2004 menunjukkan penanganan epidemi HIV di Indonesia masih tetap sebatas wacana. Buktinya, dalam berita itu disebutkan untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jawa Barat pihak Pemprov “membuat Perda”. Bagaimana sebuah Perda (peraturan daerah) bisa menanggulangi epidemi HIV?

HIV/AIDS adalah epidemi yang tidak kasat mata. Orang-orang yang sudah terinfeksi HIV selama bertahun-tahun tidak menyadari dirinya sudah HIV-positif karena tidak ada gejala-gejala yang khas sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun). Tapi, pda rentang waktu itu mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain. Berbeda dengan diare, campak, cacar atau TBC yang bisa dilihat dengan mata telanjang penderitanya menunjukkan gejala-gejala secara fisik.

Kasus HIV/AIDS selama ini banyak terdeteksi di kalangan pekerja seks melalui tes survailans yang melanggar asas tes HIV. Belakangan banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba suntikan karena mereka diwajibkan menjalankan tes HIV jika akan masuk ke pusat rehabilitasi narkoba.

Angka-angka yang dilaporkan di Jawa Barat dan Indonesia tidak menggambarkan angka yang sebenarnya karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar daripada yang terdeteksi. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala yang khas.

Perilaku Berisiko

Nah, bagiamana caranya secarik kertas bisa menanggulangi (epidemi)AIDS yang tidak kasat mata?

Terkadang kita sering terlena dan ikut-ikutan dengan keberhasilan negara lain tanpa menyimak apa dan bagaimana program dijalankan. Hal ini terkait dengan “Wajib Kondom 100%” yang dicanangkan Thailand. Program itu berhasil menurunkan insiden penularan HIV dan PMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks yang tidak aman, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.).

Tapi, kalau hanya mencontoh program itu, seperti yang dilakukan di Papua, dengan mentah-mentah maka hasilnya pun akan nol besar. Soalnya, di Thailand program “Kondom 100%” sejalan dengan sosialisasi HIV/AIDS melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang komprehensif sehingga masyarakat memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Berbeda dengan di Indonesia. KIE dibalut dengan moral dan agama. Akibatnya, yang ditangkap masyarakat tentang HIV/AIDS hanyalah mitos (anggapan yang salah). Misalnya, HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan dan gay. Padahal, sebagai fakta medis tidak ada kaitan langsung antara HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan dan gay. HIV hanya menular jika salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa menggunakan kondom di dalam dan di luar nikah. Kalau satu pasangan HIV-negatif apa pun sifat dan jenis hubungan seks yang mereka lakukan tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Karena masyarakat sudah terbuai dengan mitos maka epidemi HIV bagaikan ‘bom waktu’ di negeri ini. Hal ini sudah terbukti. Belakangan ini kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi di berbagai kalangan, seperti ibu-ibu rumah tangga, anak-anak dan remaja. Ini menunjukkan HIV sudah masuk ke populasi.

Siapa yang menjadi mata rantai penyebaran HIV ke populasi? Ya, tentu saja laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu orang-orang yang sering melakukan hubungan seks yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau orang-orang yang sering melakukan hubungan seks yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-gnati pasangan (seperti pekerja seks).

Kegiatan yang berisiko ini tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran. Tapi, perda yang dibuat di Papua hanya menjerat pelanggan pekerja seks di lokalisasi. Lalu, laki-laki yang berperilaku berisiko yang tidak melakukannya di lokalisasi pun aman tenteram karena tidak bisa dijerat dengan perda. Tapi, perlu diingat mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV seacara horizontal.

Memupus Mitos

Mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena mereka sudah termakan mitos yang menyebutkan HIV/AIDS terkait dengan pelacuran. Mereka tidak melakukan hubungan seks di lokalisasi dan tidak pula dengan pekerja seks. Mereka melakukannya di rumah atau di hotel dengan ‘cewek baik-baik’, ‘anak SMA’ atau ‘mahasiswi’. Tapi, hal ini tetap sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Mitos itu pulalah mungkin yang ‘menjerat, tentara kita yang tertular HIV di Kamboja saat bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB. Kerena di benak banyak orang sudah terpatri mitos AIDS terkait dengan pelacur, maka mereka pun ‘main’ dengan ‘ibu-ibu rumah tangga’ atau perempuan di luar lokalisasi. Padahal, prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif) di kalangan ibu-ibu rumah tangga di Kamboja juga tinggi sehingga risiko tertular pun besar. Tentara Belanda tidak ada yang tertular HIV atau PMS. Mengapa? Ya, tentara kita cuma dibekali dengan wejangan sedangkan tentara Belanda selain membawa bedil juga dipersenjatai dengan kondom.

Jadi, hal yang paling mendasar dalam menanggulangi HIV/AIDS di negeri ini adalah memupus mitos yang selama ini berkembang di masyarakat. Ini pekerjaan berat karena mulai dari menteri sampai dokter pun tetap membicarakan HIV/AIDS dari aspek moral dan agama. Ironis. Dokter membahas HIV sebagai fakta medis dari sudut moral dan agama. Wartawan pun mewawancarai agamawan. Di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke WHO/UNAIDS. Padahal, di sana tidak ada industri seks, seperti bar, lokalisasi pelacuran, dll.

Salah satu cara realistis yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara vertikal di Jawa Barat adalah dengan menganjurkan tes HIV sukarela kepada orang-orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Jika ada yang HIV-positif maka mereka dapat dibimbing agar tidak menulari orang lain. Selain itu dapat pula ditangani secara medis, misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sehingga mereka tetap bisa bekeja dengan produktif seperti orang yang HIV-negatif.***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar