Sabtu, 29 Mei 2010

Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS

Oleh Syaiful W Harahap

SAMPAI Juni 2008 kasus HIV/AIDS di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan 378 kasus, 103 orang di antaranya telah meninggal dunia. Angka ini hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Pemprop NTT menelurkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda ini efektif menanggulangi epidemi HIV di NTT?

Kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) dijadikan pemerintah sebagai kasus pertama di Indonesia. Padahal, jauh sebelumnya ada kasus AIDS di Jakarta tapi pemerintah menyebutnya sebagai ARC (AIDS related complex). Selain itu tahun 1988 ada seorang penduduk Indonesia asli yang juga meninggal di Bali dengan indikasi terkait AIDS.

Penetapan kasus pertama ini mengadung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. Soalnya, sejak kasus AIDS dipublikasikan, bahkan sampai sekarang, ada anggapan bahwa HIV/AIDS penyakit orang bule. Kemudian AIDS terjadi pada kalangan homoseksual. Dua mitos inilah antara lain yang membuat banyak orang terlena sehingga kasus HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini.

Aturan Normatif

Soalnya, banyak orang merasa dirinya bukan bule dan tidak pula gay. Akibatnya, banyak orang yang merasa aman melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perilaku berisiko inilah yang memicu penyebaran HIV di Indonesia. Maka, tidak mengherankan kalau laju epidemi kasus HIV/AIDS di Indoensia tercepat di Asia.

Dalam perda di pasal 4 ayat 1 memang disebutkan salah satu upaya pencegahan melalui kegiatan promosi yang meliputi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Persoalannya, adalah: Apakah materi KIE itu benar-benar berisi fakta medis tentang HIV/AIDS? Soalnya, selama ini materi KIE banyak yang hanya mengandung mitos karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.

Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan "... dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat." Ini sangat normatif. Apa ukuran 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' yang bisa mencegah HIV? Selain itu hal ini pun mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena ada kesan Odha tertular HIV karena tidak bersikap dan berperilaku hidup bersih dan sehat.

Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' dengan penularan HIV. Sebagai virus dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Maka, penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tato, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada saat terjadi hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa terjadi kalau ASI yang mengandung HVI masuk ke dalam tubuh pada proses menyusui.
Yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan justru terjadi tanpa disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak otomatis menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.

Mata Rantai

Maka, kewajiban pada pasal 8 ayat 6 dan 7 serta larangan pada pasal 9 ayat 2 yang ditujukan kepada orang yang mengetahui dirinya sudah tertular HIV tidak efektif. Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui prosedur tes HIV yang baku menyatakan sikap bahwa mereka akan memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Yang menjadi persoalan besar justru orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau tidak terdeteksi sehingga tanpa sadar mereka menularkan HIV kepada orang lain. Inilah mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Lalu, bagaimana memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk? Pada pasal 4 ayat f sudah ada 'pintu', tapi tidak jelas siapa saja yang dianjurkan melakukan tes HIV secara sukarela (VCT).

Selama ini yang menjadi 'sasaran tembak' untuk survailans tes HIV adalah PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang, remaja, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengangguran, tani, nelayan, pedagang, perampok, dll. Fakta inilah yang tidak pernah muncul sehingga PSK dicaci-maki sebagai penyebar HIV. Yang menjadi mata rantai bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK.

Nah, yang dianjurkan ke VCT adalah laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau yang pernah melakukan melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Tapi, perda ini lagi-lagi mengedepankan moral untuk mengajak masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS. Di pasal 11, misalnya, pada ayat 1 disebutkan peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini norma dan moral. Apa yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan keluarga? Di Malaysia ada seorang ibu rumah tangga guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit pemerintah. Ibu ini menggugat pemerintah 1 juta ringgit (Rp 2,5 miliar).
HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat rasional tanpa harus dibumbui dengan norma, moral, dan agama.

Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang HIV-positif. Ini fakta. Karena kita tidak bisa mengenali orang yang sudah tertular HIV dari fisiknya maka jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya hindarkan pergesekan langsung antara penis dan vagina.
Semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. *

* Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) 'InfoKespro', Jakarta.
[Sumber: Harian “Pos Kupang”, 21 Agustus 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar