Senin, 24 Mei 2010

Hari AIDS Sedunia, Ubah Perilaku untuk Menanggulangi HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2008. “Sumut Lakukan ‘Deteksi Dini’ Atasi Penyebaran HIV/AIDS” Itulah judul berita “ANTARA” (14/11-2008). Dalam laporan Depkes terakhir (30/6-2008) Sumut menempati peringkat ketujuh dengan 426 kasus AIDS. Tanpa penanganan yang serius penyebaran HIV/AIDS di Sumut bisa menjadi persoalan besar terhadap kesehatan masyarakat di masa yang akan datang. Mumpung hari ini dunia merayakan Hari AIDS Sedunia mari kita galakkan upaya menanggulangai penyebaran HIV.

Langkah yang disampaikan Gubsu H Syamsul Arifin ini merupakan bentuk kepedulian terhadap upaya penanggulangan epidemi HIV di Sumut. Tanpa intervensi yang komprehensif kasus HIV/AIDS di Sumut dan daerah lain akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.

Thailand, misalnya, awal tahun 1990-an sudah diingatkan oleh ahli epidemiologi agar menangani penyebaran HIV. Tapi, penguasa di negeri itu tidak bergeming. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Kasus HIV/AIDS mendekati angka satu juta. Devisa dari pariwisata yang menjadi andalan negeti itu tidak cukup untuk menaggulangi epidemi HIV/AIDS. Negeri Gajah Putih itu beruntung karena para bhiksu di sana menangani penduduk yang sakit terkait AIDS di vihara mereka.

Ditulari Penduduk

Apakah pemuka-pemuka agama di Sumut khususnya dan Indonesia umumnya akan mau melakukan seperti yang dikerjakan bhiksu di Thailand?

Daripada memberikan jawaban yang berandai-andai akan lebih baik menjalankan program yang komprehensif untuk mencegah infeksi baru di kalangan dewasa. Kasus AIDS yang terdeteksi baru sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Ledakan kasus AIDS akan terjadi jika penduduk Sumut yang sekarang baru pada tahap infeksi HIV (HIV-positif) kelak mencapai masa AIDS. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah tertular.

Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala, tanda, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS. Tapi, para rentang waktu sejak tertular sampai pada masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV, lagi-lagi tanpa disadari, melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama, (d) cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, dan (e) air susu ibu (ASI) pada proses menyusui.

Dalam berita disebutkan salah satu deteksi dini adalah survai darah terhadap kelompok berisiko. Hal ini sering salah kaprah. Survai adalah upaya untuk memperoleh data perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula. Ketika ada di antara kelompok berisiko, seperti pekerja seks komersial (PSK), yang terdeteksi HIV-positif yang ditangani justru PSK itu.

Padahal, yang menjadi persoalan adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu dan kemudian laki-laki yang tertular dari PSK itu. Fakta ini sering luput dari perhatian karena HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama.

Jika ada PSK di Kota Medan yang terdeteksi HIV positif maka ada dua kemungkinan.

Pertama, PSK itu ditulari oleh laki-laki penduduk Medan atau pendatang. Jika ini yang terjadi maka sudah ada laki-laki penduduk Medan yang mengidap HIV. Laki-laki ini bisa sebagai suami, pacar, lajang atau duda. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.

Kedua, PSK itu sudah mengidap HIV ketika mulai ‘praktek’ di Medan. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Medan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV maka mereka pun akhirnya menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

Maka, jika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif maka penanganan justru harus diarahkan ke masyarakat. Indikasi penularan kepada penduduk dapat dilihat dari kasus infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela.

Tes Inisiatif

Disebutkan pula “ …. membagikan kondom kepada para pekerja seks yang berisiko tertular HIV/AIDS, ….” Persoalan yang dihadapi PSK adalah laki-laki menolak memakai kondom sehingga PSK tidak mempunyai posisi tawar yang kuat karena germo selalu memihak laki-laki ‘hidung belang’.

Thailand berhasil menekan infeksi baru di kalangan dewasa berkat program ‘wajib kondom 100 persen’. Tapi, program ini tidak bisa dijalankan di Medan atau daerah lain di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Ada salah kaprah di Indonesia. Dengan menutup lokalisasi pelacuran ada anggapan di daerah itu tidak ada lagi pelacuran. Polisi dan polisi pamong praja pun hanya bernyali merazia losmen dan hotel melati. Ini salah besar karena prektek pelacuran, hubungan seks dengan imbalan uang, bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Transaksi dilakukan melalui telepon.

Deteksi dini juga dilakukan melalui klinik tes HIV dengan konseling (VCT). Tapi, selama ini tidak ada sosialisasi kepada masyarakat, terkait dengan siapa, sih, yang dianjurkan ke klinik VCT. Ada kesan klinik VCT hanya untuk kalangan yang berisiko, seperti PSK dan pengguna narkoba suntik.

Lalu, siapa yang harus memeriksakan diri ke klinik VCT? Yang dianjurkan ke klinik VCT adalah setiap orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Namun, fakta menunjukkan kunjungan ke VCT sangat rendah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Untuk itulah belakangan ini dikembangkan program baru yaitu provider initiative test and counseling (PITC). Ketika seseorang berobat ke dokter, rumah sakit, klinik, atau poliklinik dokter bisa menganjurkan mereka untuk menjalani tes HIV jika ada gejala terkait AIDS dengan latar belakang perilaku berisiko.

Di beberapa negara, seperti Malaysia, sudah lama diterapkan survailans terhadap kalangan tertentu secara rutin. Misalnya, terhadap …..

Maka tidak mengherakan kalau kasus HIV/AIDS yang tedeteksi di Malaysia mendekat angka yang sebenarnya. Berbeda dnegan di Indonesia kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Kasus HIV/AIDS yang sudah terdeteksi 18.963 dengan jumlah penduduk 230 juta. Malaysia sudah melaporkan lebih dari 40.000 kasus dengan penduduk 26 juta.

Sudah saatnya Pemprovsu meningkatkan penyuluhan agar masyarakat memahami perilakunya dan mau menjalani tes HIV. Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar