Sabtu, 29 Mei 2010

Menanggulangi AIDS dengan Perda

Oleh Syaiful W. Harahap

Perda Penanggulangan AIDS Dibentuk. Itulah judul berita di sebuah harian di Bogor, Jawa Barat (Pakuan Raya, 24/5-06). Berita ini menggelitik karena ada kesan dengan undang-undang atau peraturan daerah (Perda) epidemi HIV/AIDS dapat ditanggulangi. Beberapa provinsi, kabupaten dan kota juga sedang menggodog Perda AIDS. Jika persoalan yang mendasar terkait epidemi HIV/AIDS tidak disentuh maka UU atau Perda akan sia-sia. Bak menggantang asap.

Di saat epidemi HIV/AIDS (mulai) menjadi persoalan baru kita kalang-kabut. Padahal, tahun 2001 Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB yang khusus menangani AIDS), sudah mengingatkan Indonesia tentang peningkatan kasus HIV/AIDS di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI di Melbourne, Australia. Tapi, sama sekali tidak ada tanggapan positif dari Indonesia.

Akibatnya, kasus demi kasus mulai terdeteksi sampai melewati angka 10.000. Perlu diingat angka ini pun hanya ‘angka semu’ karena tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Menularkan HIV

Hal itu terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Tapi, yang bersangkutan sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadari melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, (e) dari ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Kondisi di ataslah yang membuat epidemi HIV/AIDS kian pelik karena penularan secara horizontal antar penduduk terjadi secara diam-diam karena tidak disadari. Banyak penduduk yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV akhirnya menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Bertolak dari fakta ini maka UU atau Perda tidak akan bisa mencegah penularan HIV yang terjadi secara diam-diam antar penduduk karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Salah satu tujuan UU atau Perda adalah ingin menjerat orang yang menularkan HIV. Tentu saja ini sangat naïf karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga dia pun tidak menyadari dirinya menjadi mata rantai penularan HIV.

Maka, yang dibidik UU dan Perda AIDS adalah pekerja seks komersial (PSK). Ini pun, maaf, lagi-lagi naïf karena PSK justru tertular HIV dari laki-laki. Lalu, kalau ada PSK yang tertular maka laki-laki yang datang mengencaninya pun berisiko pula tertular HIV. Nah, dalam kaitan ini kalau UU atau Perda hanya menjerat PSK maka hal itu tidak ada manfaatnya karena laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK tetap bebas menularkan HIV ke orang lain sebagai mata rantai.

Aspek lain yang dibidik UU dan Perda adalah kewajiban memakai kondom di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Ini mengacu ke Thailand yang dikabarkan berhasil menekan kasus baru HIV. Tapi, belakangan ada persoalan baru di Thailand. Para ‘hidung belang’ membawa PSK ke luar dari lokasi atau lokalisasi pelacuran sehingga mereka tidak wajib lagi memakai kondom. Tentu saja hal ini bisa menambah kasus baru HIV.

Nah, kalau aturan Thailand itu dipakai sebagai acuran untuk UU dan Perda di Indonesia maka lagi-lagi pekerjaan itu ‘bak menggantang asap’ karena secara de jure tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran di Indonesia. Sedangkan dalam perda pemakaian kondom diwajibkan bagi ‘hidung belang’. Maka, di mana atau kepada siapa kewajiban memakai kondom itu mengikat secara hukum?

Mitos AIDS

Lagi pula di daerah yang sudah ada Perda AIDS, seperti Papua, Jawa Timur, Bali, dan Riau tidak menunjukkan kemajuan yang nyata dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Lagi pula, biar pun di daerah-daerah itu kegiatan ‘seks bebas’ (istilah ini ngawur tapi selalu dipakai) tidak ada secara de facto dan de jure, tapi bisa saja penduduk daerah atau kota tersebut tertular di daerah atau kota lain bahkan di luar negeri. Ketika dia kembali ke daerah atau kotanya maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Ini semua terjadi tanpa disadari.

Di negara yang menetapkan agama dan kitab suci sebagai dasar negara pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS biar pun secara de facto dan de jure tidak ada lokalisasi pelacuran. Di Arab Saudi, misalnya, sampai Maret 2006 dilaporkan lebih dari 9.000 kasus HIV/AIDS. Bahkan, 84 bayi dirawat di rumah sakit di sana karena penyakit terkait AIDS. Begitu pula dengan di Nangro Aceh Darussalam (NAD) yang sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.

Maka, yang penting adalah upaya meningkatkan pemahaman penduduk tentang cara-cara pencegahan HIV yang bernalar (logis, realistis) bukan dengan balutan moral dan agama.

Di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Afrika kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja bukan karena obat atau vaksin tapi masyarakat di sana memahami cara-cara pencegahan HIV yang realistis yang mengedepankan aspek medis.

Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik kasus infeksi baru di kalangan dewasa justru meningkat tajam. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari tiga negara yang percepatan kasus HIV-nya paling cepat setelah India dan Cina. Mengapa hal ini terjadi? Ya, karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay.

Padahal, tidak ada kaitan langsung penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, waria dan gay.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk perlu ditingkatkan penyuluhan yaitu mengajak penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang bergani-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan.

Nah, mengapa kita tetap ngotot (tidak mau mengalah) merancang perda yang menghabiskan jutaan rupiah uang rakyat tanpa hasil yang nyata bagi kesehatan masyarakat?

[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No 12/Januari 2007]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar