Senin, 24 Mei 2010

Potensi Tanaman Indonesia untuk Obat Anti-HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 1/12-2003. Kasus HIV/AIDS secara global sampai akhir 2001 sudah mencapai 40 juta. Sampai saat ini obat anti-HIV dan vaksin HIV belum ditemukan. Kalangan ahli mulai berpaling ke tanaman untuk menemukan obat anti-HIV. Salah satu jenis tanaman Indonesia menjadi tumpuan harapan banyak orang karena ada tanaman itu mengandung zat anti-HIV.

Beberapa jenis tanaman sudah lama di manfaatkan sebagai obat baik dalam bentuk jamu, racikan dan olahan pabrik. Bahkan, belakangan ini obat yang dibuat dari tanaman udah menjadi salah satu pilihan obat bagi sebagian masyarakat.

Salah satu jenis tanaman yang terdapat di hutan hujan tropik Indonesia (juga di Serawak, Malaysia) dikembangkan sebagai obat anti-HIV. Lima tahun yang lalu Dr. Djaja Soejarto dan rekan-rekannya di Universitas Illinois, AS, membawa ratusan ranting pohon dari Indonesia dan Malaysia untuk diuji di laboratorium sebagai bahan anti-HIV.

Salah satu di antara ratusan ranting itu mengandung Calanolide A. Ranting itu ternyata adalah ranting pohoh Calophillum lanigerum MIQ, di Indonesia dan Malaysia dikenal sebagai pohon betur belulang atau bintangor belulang.

Calanolide A ditemukan oleh Lembaga Kanker Nasional, AS (National Cancer Institute/NCI) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Illinois, AS, dan Arnold Arboretum. Zat ini dikembangkan oleh MediChem Research Inc. yang bekerja sama dengan Serawak MediChem Pharmaceuticals Inc. di Serawak, Malaysia. Pengembangannya didanai langsuing oleh Kerajaan Malaysia.

Penelitian secara in vitro (di dalam tabung reaksi) menunjukkan Calanolide A, yang merupakan Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) terlihat aktif terhadap HIV (human immunodeficiency virus) yaitu virus yang menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat system kekebalan tubuh dapatan karena sel-sel darah putih dirusak oleh HIV. HIV sendiri diketahui mempunyai resistansi (kekebalan) terhadap AZT, Nevirapine dan NNRTI lain (jenis-jenis obat antiretroviral yaitu obat yang hanya bisa menekan replikasi atau perkembangan HIV di dalam darah).

Sampai saat ini upaya untuk menemukan vaksin HIV baru pada tahap uji coba klinis. Jadi, kabar tentang bintangor ini membawa angin segar bagi dunia medis karena sampai sekarang upaya yang dapat dilakukan terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV barulah sebatas memberikan obat-obat antiretroviral. Selain harganya malah obat ini pun menimbulkan efek samping. Jadi, pengembangan obat anti-HIV dari sari tanaman akan jauh lebih amat jika dibandingkan dengan obat dari bahan-bahan kimia.

Beberapa tahun yang lalu MediChem melibatkan 32 relawan yang HIV-positif yang belum pernah memakai obat antiretroviral untuk percobaan klinis di enam pusat penelitian medis di AS selama enam bulan. Ujicoba pemakaian Calanolide A akan mengevaluasi aspek-apsek keanaman, farmakologis dan efek dari dosis yang dipakai. Penelitian dilakukan secara acak dan bertahap serta menerapkan cara double-blind yang dikontrol dengan plasebo. Penelitian pada uji coba ini juga akan menganalisis efek zat terhadap viral load (kadar HIV di dalam sirkulasi darah), CD4 (sel darah putih yang sudah dirusak oleh HIV, kadar CD4 mencerminkan tingkat sistem kekebalan tubuh) dan resistansinya terhadap virus (HIV).

Dalam kasus HIV/AIDS viral load dan CD4 sangat menentukan karena terkait dengan kondisi dan tingkat kekebalan tubuh seseorang yang HIV-positif. Jika zat dari bintangor ini dapat mempengaruhi viral load dan CD4 maka akan membawa harapan yang besar bagi dunia farmasi khususnya dan dunia medis pada umumnya karena obat antiretroviral yang tersedia sekarang hanya dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah.

Obat dari tanaman sudah lama dikenal dalam peradaban manusia. Di Indonesia jamu sudah dikenal sejak lama. Tidak mengherankan kalau kemudian dunia pendidikan tinggi pun menaruh perhatian yang besar terhadap obat dari tanaman. Peneliti di Universitas Nasional Singapura, misalnya, sudah sejak lama mengembangkan 75 jenis sari tanaman yang juga sudah lama dipakai sebagai obat tradisional di daratan Cina, Indonesia dan Jepang. Sari tanaman itu juga terbukti dapat menahan atau menghambat laju pertumbuhan HIV di dalam darah.

Lima di antara 75 jenis tanaman itu ternyata tanaman asli Indonesia yaitu delima (Punica granatum L.), sambilata (Andrographis paniculata, Ness.), sidawayah (Woodfordia floribunda, Salisb.), tapak liman (Elephantopus scaber L.) dan trengguli (Cassia fistula L.).

Cina sendiri rupanya sejak lama sudah jauh lebih maju dalam mengembangkan tananam sebagai obat, termasuk obat untuk HIV/AIDS. Paling tidak ada 103 jenis obat yang diolah dari rempah-rempah yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan HIV/AIDS.

Salah satu obat yang dikenal di Cina sebagai “Sing Ming Quan Gao Zi” atau FESOL (The Fluid Extract of The Spring of Life atau ‘sumber kehidupan’) yaitu sari cair tanaman dilaporkan sudah diujicoba sebagai obat anti-AIDS. Obat ini sudah diuji oleh badan penguji obat dan bahan kimia di Provinsi Yunnan, Cina,Obat tradisional ini sudah mendapat registrasi dari pemerintah Cina berdasarkan UU Pengaturan Obat dan Bahan Kimia Baru di Yunnan. Bahkan Bureau of Traditional Chinese Medicines, Cina, sudah memberikan sertifikat standar kualitas ekspor untuk obat ini tahun 1996.

Jadi, kalau kita tidak segera mengembangkan tanaman sebagai bahan baku obat maka tidak tertutup kemungkinan kita akan menjadi konsumen terbesar dari obat-obatan yang bahan bakunya justru berasal dari negeri ini.

Apalagi dikaitkan dengan kasus HIV/AIDS yang terus bertambah di Indonesia maka pada suatu saat akan diperlukan banyak obat. Sampai saat ini perkiraan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 80.000 – 120.000. Angka ini tidak bisa dianggap main-main karena epidemi HIV terkait erat dengan aspek ekonomi dan sosial.

Jika seorang anggota keluarga terinfeksi HIV maka diperlukan uang untuk membeli obat antiretroviral. Kalau sudah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi) maka biaya pengobatan bertambah karena akan muncul penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, jamur, TB, dll. Yang bersangkutan tidak dapat lagi bekerja dan anggota keluarga pun harus ada yang mengurusnya sehingga mempengaruhi penghasilan keluarga.

Maka harapan puluhan juta penduduk dunia yang sekarang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) pun antara lain berada di tangan ahli obat-obatan tradisional. Sebagai pelopor obat tradisional maka motto SidoMuncul: tradisi, ilmu dan teknologi pun amat pas dalam khasanah pengembangan obat dari bahan tanaman asli Indonesia.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar