Kamis, 27 Mei 2010

Tanggapan terhadap Artikel Putri Dian Pratiwi Tangkas di Harian “Kendari Ekspres”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 25 Mei 2010. Artikel “Kondom Bukan Solusi Atasi HIV/AIDS” (Putri Dian Pratiwi Tangkas, mahasiswa Komunikasi Universitas Haluoleo, di Harian “Kendari Ekspres”, 1 Desember 2009) menunjukkan pemahan yang kacau-balau terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, mengingat jumlah kasus HIV dan AIDS dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Disebutkan: “Indonesia menjadi salah satu negara epidemi terkonsentrasi, artinya negara yang mempunyai tingkat prevalensi lebih dari 5% dalam populasi resiko tinggi yaitu penjaja seks, pengguna narkoba, pengguna jarum suntik, dan hubungan seksual dengan sesama jenis.” Informasi ini tidak komprehensif karena tidak ada pembanding dengan kalangan lain di luar kalangan itu. Tentu saja prevalensi tertinggi di kalangan itu karena survailans tes HIV hanya dilakukan di kalangan itu. Ini menyesatkan karena mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan itu.

Padahal, ada fakta yang digelapkan yaitu yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial/PSK (bukan penjaja seks karena mereka tidak menjajakan diri yang datang justru ‘laki-laki hidung belang’, penggunaan kata penjaja merendahkan harkat dan martabat manusia) justru laki-laki sebagai ‘orang baik-baik’ di masyarakat yang menjadi suami, duda, atau lajang. Tapi, mereka sebagai penular yang menjadi mata rantai penyebaran HIV luput dari perhatian sehingga PSK jadi ‘sasaran tembak’. Data kasus HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan kasus terbanyak adalah di kalangan heteroseksual bukan homoseksual.

Ada kebanggaan semu di neger ini. Seperti di Sulawesi Tenggara ini dengan kasus AIDS yang dilaporkan 21 yang menduduki peringkat 27 secara nasional tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyrakat. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS sehingga tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Mereka inilah yang menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS kelak.

Selain itu survailans tes HIV di Sulawesi Tenggara pun tidak berjalan rutin. Begitu pula dengan fasilitas tes HIV dengan konseling, dikenal dengan sebuatan Klinik VCT, juga tidak banyak sehingga kasus yang terdeteksi pun sedikit. Kasus-kasus yang dilaporkan adalah kasus yang terdeteksi di rumah sakit karena orang-orang yang tertular sudah masuk masa AIDS, sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya, sehingga sudah ada penyakit yang disebut infeksi oportunistik. Maka, pemerintah dan penduduk Sulawesi Tenggara tidak perlu membusungkan dada dengan angka yang kecil itu karena ada potensi ledakan AIDS.

Ada pula pernyataan: ” .... mengancam kalangan ibu rumah tangga yang suaminya telah terjangkit virus mematikan itu.” Ini ngawur. HIV bukan virus yang menyebabkan kematian. Virus ini menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam penyakit, disebut infeksi oportunistik, pada masa AIDS. Infeksi inilah yang menyebabkan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Ada lagi pernyataan: “ …. dengan tidak melakukan seks bebas maka otomatis tidak akan tertular, sedangkan dengan membagikan kondom gratis belum tentu menjamin untuk tidak tertular.” Lagi-lagi pernyataan yang ngawur. Istilah ’seks bebas’ sendiri adalah jargon yang ngawur karena merupakan terjemahan besar dari free sex yang justru tidak ada dalam kosa kata Bahasa Inggris. Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina maka lagi-lagi pernyataan itu tidak akurat.
Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Ini fakta medis. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun mereka melakukan hubungan seks di luar nikah, ’seks bebas’, zina, dll. Di dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua suami-istri HIV-positif dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Ada lagi pernyataan: ” .... pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebar pori-pori tersebut mencapai 10 kali.” Justru berbagai penelitian menunjukkan kondom dari getah lateks tidak mempunyai pori-pori. Yang berpori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang. Ini tidak ada di Indonesia.

Dilanjutkan dengan pernyataan: ” jelas bahwa virus HIV dapat dengan leluasa menembus pori-pori kondom.” Sebagai virus HIV tidak bisa melepaskan diri dari air mani sebagai ’rumahnya’. Ketika air mani tertampung di dalam kondom maka HIV pun akan tetap berada di dalam air mani. Efektivitas kondom dalam mencegah kehamilan dan penularan HIV ditemukan oleh banyak faktor: kualitas kondom, masa berlaku, cara pemakaian, cara penyimpanan, dll. Kondom lateks yang dijual di Indonesia sudah lolos uji laboratorium, bahkan ada yang sudaha memakai standar ISO (International Organization for Standardization) yaitu standar internasional.

Lagi-lagi disebutkan: ”Sungguh sangat ironis, jika kita menanamkan dalam benak bahwa penggunaan kondom merupakan salah satu upaya pencegahan HIV/AIDS.” Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks memang hanya bisa dilakukan dengan memakai kondom. Ini fakta medis.

Ada lagi pernyataan: ”Penggunaan kondom hanya sebagai alat kampanye seks bebas yang menjadi kendaraan HIV dalam penyebarannya.” Kalau kita tarik analogi dengan minuman beralkohol dan rokok ternyata tidak semua orang minum alkohol dan merokok walaupun keduanya merupakan barang bebas. Tidak ada bukti empiris bahwa kondom mendorong orang melakukan hbungan ’seks bebas’. Itu hanya asumsi yang berpijak pada moral semata. Lagi pula penularan HIV bukan karena sifat hubungan seks (’seks bebas’) tapi kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif).

Disebutkan: ”Sejak heboh kasus HIV/AIDS pada tahun 1981 yang pertama kali ditemukan di Afrika yang menelan korban 20 juta orang, kini HIV/AIDS tercatat sebagai penyakit paling menakutkan dimana obatnya belum pernah ada.” Ini tidak akurat. Kasus AIDS pertama dipublikasikan di Amerika Serikat. Perlu diingat bahwa ada penyakit yang tidak ada obatnya yaitu demam berdarah. Ada pula penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan yaitu darah tinggi dan diabetes. AIDS sendiri bukan penyakit sehingga tidak akan ada obatnya. Tapi, ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Obat ini gratis.

”Bukan tidak mungkin di masa akan datang nantinya rumah sakit akan dipenuhi pasien yang tertular HIV/AIDS, bisa jadi pula departemen kesehatan akan kekurangan dana untuk membiayai penyakit yang telah mewabah semakin besarnya.” Inilah yang dikhawatirkan. Tapi, lagi-lagi banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidaka da gejala-gejala yang khas pada fisiknya. Selain itu selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Ada pula pernyataan: ”Solusi yang ditawarkan berupa pendekatan internal dan eksternal. Pendekatan internal adalah menanamkan nilai-nilai agama dalam diri individu masing-masing karena agama melarang umatnya untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah.” Tidak ada kaitan langsung antara agama dan ’seks bebas’ dengan penularan HIV.

”Jangan anggap remeh HIV/AIDS! Say no to free SEX dan bentengei diri dengan agama yang kuat.” Bukan ini yang diperlukan, tapi hindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu jangan melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar