Sabtu, 29 Mei 2010

Menyikapi Kasus AIDS pada Pejabat di Papua

Oleh Syaiful W. Harahap

Berita seputar HIV/AIDS di kalangan pejabat di Papua seakan menyentak banyak kalangan.Tapi, kasus itu hanyalah puncak dari ‘fenomena gunung es’ karena banyak orang di masyarakat yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 1.759 di Papua dan Irjabar yang terdiri atas 920 HIV+ dan 839 AIDS serta 192 kamatian menunjukkan epidemi HIV di Papua sudah menjadi masalah besar. Memang, sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV) seseorang yang sudah tertular HIV tidak ada mengalami persoalan terkait dengan kesehatan karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya.

Biar pun tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang yang sudah tertular HIV dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya melalui: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akpunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh, (d) dari seorang ibu yang HIV-positif ke anak yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu/ASI (HIV bukan penyakit turunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah).

Suami Penular

Angka kematian 192 merupakan ‘petaka’ karena sebelum meninggal mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Yang laki-laki akan menularkan HIV kepada istrinya dan istrinya pun kelak akan menularkan HIV kepada anak yang dikandungnya. Bisa pula laki-laki yang beristri menularkan ke orang lain, seperti pacar atau istri gelap serta pekerja seks. Sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya atau pekerja seks.

Karena tidak ada tanda, gejala atau ciri yang khas AIDS itulah yang menyebabkan banyak orang yang menularkan HIV tanpa disadarinya. Hal ini terjadi karena selama ini yang tumbuh subur di masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) yaitu HIV menular melalui pelacuran dan gay. Padahal, banyak laki-laki yang melakukan hubungan seks bukan dengan pelacur, tapi dengan ‘cewek’ di luar lokalisasi baik di Papua maupun di luar Papua atau di luar negeri sehingga mereka tidak menyadari bahwa hal itu juga berisiko tinggi tertular HIV. Soalnya, perilaku ‘cewek’ itu berisiko tinggi tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang mengencani ‘cewek’tadi HIV-positif sehingga ‘cewek’ itu tertular HIV.

Kalau ada ‘cewek’ di lokalisasi atau di luar lokalisasi yang HIV-positif maka laki-laki yang mengencaninya pun akan tertular HIV. Penularan terjadi tanpa disadari dan laki-laki yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Laki-laki inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya. Hal ini terbukti seperti yang disampaikan oleh Ketua KPAD Prov. Papua, drh Constant Karma (Cenderwasih Pos, 9/6-2006) “ …. ibu rumah tangga lebih banyak yang terinfeksi HIV/AIDS ketimbang pekerja seks.”

Dari mana ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV? Kemungkinan besar tentulah dari suami mereka. Hal ini terjadi karena suami mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV kalau dia pernah (1) melakukan hubungan seks penetrasi yakni penis masuk ke vagina (heteroseks), seks oral dan seks anal di dalam atau di luar nikah serta homoseks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks penetrasi, seks oral dan seks anal di dalam atau di luar nikah serta homoseks tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti dengan pekerja seks perempuan atau waria), (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran.

Tes Sukarela

Setelah mencapai masa AIDS mulailah muncul persoalan (besar). Jika yang tertular suami maka dia tidak bisa bekerja lagi. Kalau dia dirawat di rumah sakit maka istri dan anak-anak akan bergantian mengurusnya. Akibatnya, istri tidak bisa bekerja dan sekolah anak-anak pun terganggu.

Tapi, selama ini kasus HIV/AIDS di Indonesia selalu ditampik. Bahkan, di awal epidemi HIV (1980-an) banyak pejabat dan tokoh masyarakat yang sesumbar bahwa Indonesia tidak akan ‘diserang AIDS’ karena bangsa Indonesia berbudaya dan beragama. Ada anggapan (yang keliru) bahwa moral dan agama bisa melindungi diri dari risiko tertular HIV. Ini mitos (anggapan yang salah) karena sama sekali tidak ada kaitan antara agama dan moral dengan penularan HIV.

Kalau moral dan agama (dalam hal ini agama yang diakui) bisa membendung HIV tentulah orang-orang yang tidak beragama akan tertular HIV. Apakah ini benar? Ternyata tidak. Di masyarakat yang kita sebut ‘tidak beragama’ hanya karena mereka tidak menganut agama yang resmi ternyata tidak semua penduduknya tertular HIV. Sebaliknya, di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun, seperti Arab Saudi, tetap saja banyak kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, sampai awal tahun ini dilaporkan 9.000-an kasus HIV/AIDS. Bahkan, 85 anak-anak dirawat di rumah sakit karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS.

Pengaitan moral dan agama ke masalah HIV/AIDS akhirnya menyesatkan banyak orang. Untuk itulah sudah saatnya meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang akurat dengan mengedepankan fakta medis bukan moral dan agama.

Sasarannya adalah penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan perilaku berisiko agar mau menjalani tes HIV secara sukarela. Kian banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Inilah salah satu upaya untuk menekan laju penyebaran HIV.


[Sumber: Newsletter “infoAIDS” edisi No 6/Oktober 2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar