Senin, 24 Mei 2010

Menyikapi Temuan HIV/AIDS di Kalangan PSK Kepulauan Riau

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Sijori Mandiri”

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 26/2-2008. Berita “Tiga dari 9 PSK Positif HIV” di Harian “Sijori Mandiri” Batam edisi 26 Februari 2008 menunjukkan pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS yang belum komprehensif. Justru laki-laki penduduk lokal yang menjadi mata rantai penyebaran HIV, termasuk ke PSK. Sampai 31 Desember 2007 kasus AIDS di Kep. Riau dilaporkan 238. Angka ini semu karena tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Pernyataan di lead berita “Ini peringatan bagi para pria hidung belang yang suka jajan” serta tanggapan Kepala Bidang Pelayanan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Batam, Nur Hasni Trosna, terhadap temuan kasus HIV di kalangan PSK itu yang mengatakan “Hasil itu cukup mencengangkan kita” menunjukkan pemahaman yang rendah terhadap epidemi HIV/AIDS.

Yang mencengangkan bukan kasus HIV di kalangan PSK, tapi kasus HIV di kalangan laki-laki hidung belang (baca: masyarakat) karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari mereka itu bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pedagang, sopir, pelaut, buruh, pelajar, mahasiswa, calo, pencopet, perampok, dll.

Kasus HIV di kalangan PSK yang terdeteksi di Batam itu bisa terjadi dari dua kemungkinan.

Pertama, ketiga PSK itu tertular HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal (penduduk tempatan atau pendatang), luar daerah atau luar negeri. Kalau mereka tertular dari penduduk lokal maka sudah ada laki-laki lokal yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik serta tidak ada pula keluhan kesehatan pada orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular HIV).

Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga tanpa disadarinya pula dia menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama dengan bergantian, (d) cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV, dan (e) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya (HIV bukan penyakit keturunan tapi penyakit menular sehingga bisa dicegah) terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Hasil Tes Palsu

Laki-laki (tempatan, pendatang atau wisatawan) yang menularkan HIV kepada PSK itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya (vertical). Bisa juga dia menularkan HIV kepada istri mudanya, selingkuhannya, atau PSK. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya, atau PSK.

Kedua, ketiga PSK itu sudah mengidap HIV ketika ‘praktek’ di Batam. Jika ini yang terjadi maka laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK di sana berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang tertular dari PSK ini pun akhinya menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Semua ini terjadi tanpa disadari baik ketika tertular maupun saat menularkan HIV.

Dalam tes HIV perlu diperhatikan bahwa ada kemungkinan hasil tes positif palsu atau negative palsu. Hasil tes bisa tidak akurat kalau darah diambil di bawah tiga bulan dari terakhir kali melakukan hubungan seks tanpa kondon dengan pasangan yang berganti-ganti. Rentang waktu ini disebut masa jendela (window period). Pada masa ini tes HIV tidak bisa mendeteksi antibodi HIV sehingga hasilnya bisa HIV-negatif palsu (di darah ada HIV tapi tidak terdeteksi) atau HIV-positif palsu (di darah tidak ada HIV tapi terdeteksi positif). Itulah sebabnya dalam tes HIV hasil tes pertama harus dikonfirmasi dengan tes lain.

Di bagian lain Hasni mengatakan bahwa PSK liar susah dikontrol, berbeda 400 PSK di lokalisasi Teluk Pandan yang sudah tertib menggunakan kondom dan menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Di luar lokalisasi atau di dalam lokalisasi PSK tetap ‘liar’ artinya mobilitas mereka tinggi. Tidak dijelaskan apa indikasi bahwa PSK di Teluk Pandan selalu memaksa laki-laki memakai kondom ketika berhubungan seks dengan mereka. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah), seperti sifilis, GO, klamidia, dll. maka itu menunjukkan laki-laki yang menggauli mereka tidak memakai kondom.

Biar pun PSK di lokalisasi secara rutin kesehatannya diperiksa, tapi pemeriksaan terkait dengan HIV/AIDS mustahil karena tes HIV tidak bisa dilakukan setiap saat seperti tes IMS. Kalau darah PSK diambil pada masa jendela tentulah hasilnya tidak akurat. Walaupun tes darah PSK negatif hal itu bukan jaminan bahwa PSK akan ‘bebas AIDS’ karena setiap kali dia digauli laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom maka PSK itu berisiko tinggi tertular HIV. Biar pun seorang PSK baru tertular HIV dari laki-laki ‘hidung belang’, tapi dia sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki ‘hidung belang’ yang berikutnya. Semua terjadi tanpa disadari.

Persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es

Tes HIV Sukarela

Hal di atas terjadi karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.

Mitos yang sering muncul adalah mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks, dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakan tanpa kondom melalui zina, pelacuran, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks menyimpang’, dan homoseksual.

Untuk itulah sudah saatnya meningkatkan penyuluhan dengan materi KIE yang mengepankan fakta medis agar masyarakat benar-benar memahami cara-cara pencegahan dan penularan HIV.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki), cairan vagina dan air susu ibu (perempuan). Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui air susu ibu yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui.

Maka, mencegah penularan HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu yang mengandung HIV tidak masuk ke tubuh. Ini fakta medis. Tapi, karena selama ini fakta ini tidak muncul ke permukaan maka banyak orang yang tidak menegetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Untuk membuka mata hati orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi adalah dengan menganjurkan kepada mereka untuk menjalani tes HIV sukarela jika mereka pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko adalah: (a) laki-laki atau perempuan yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) laki-laki atau perempuan yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu pelanggannya HIV-positif.

Semakin banyak kasus HIV terdeteksi, terutama di kalangan penduduk lokal, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Jika ini terjadi maka penyebaran HIV bisa ditekan. Yang terdeteksi HIV-positif pun bisa pula ditangani secara medis, misalnya dengan pemberian obat antiretroviral/ARV (obat untuk memperlambat perkembangan HIV di dalam darah) agar mereka tetap bisa aktif menjalani hidup sehari-hari.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar