Sabtu, 29 Mei 2010

Menyoal Kerawanan Banten terhadap HIV/AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap

Berita “Banten Rawan HIV/AIDS, Masuk 7 Besar Daerah Penyebaran” di Harian “Radar Banten” edisi 15/3-2008 mengesankan sensasi daripada fakta. Terkait dengan epidemi HIV/AIDS maka yang rawan adalah perilaku orang per orang bukan daerah. Tidak ada daerah atau negara yang rawan HIV/AIDS. Angka yang di-kemukakan sensasional untuk ukuran Baten sehingga bisa menim-bulkan penafsiran yang salah terhadap HIV/AIDS.

Angka kasus HIV/AIDS diperoleh dari estimasi dan prediksi yang dihitung berda-sarkan beberapa faktor yang terkait langsung dengan penularan HIV, dan yang dilaporkan (kasus HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang baku yaitu hasil tes pertama harus dikon-firmasi dengan tes lain). Maka, pertanyaan yang sangat mendasar dari angka yang di-kemukakan dalam berita (6.590 kasus HIV/AIDS) adalah: dari mana sumber angka itu?

Pertama, kalau angka itu merupakan estimasi atau prediksi maka angka itu tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang baku. Angka itu merupakan peringatan bagi penduduk Banten agar menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV terkait dengan hubungan seks adalah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Perilaku Berisiko

Kedua, kalau angka itu merupakan jumlah kasus yang dilaporkan maka itu artinya bencana besar akan dihadapi Pemprov Banten. Memang, saat ini belum ada dampak langsung karena ada kemungkinan infeksi HIV belum mencapai masa AIDS sehingga tidak ada keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Tapi, 5-10 tahun ke depan akan terjadi ‘ledakan AIDS’ karena banyak di antaranya sudah mencapai masa AIDS sehingga sudah ada keluhan kesehatan. Jika sudah pada masa AIDS maka penyakit, disebut infeksi oportunistik, akan mudah menyerang sehingga Odha (Orang dengan HIV/AIDS) akan memerlukan perawatan medis. Jika infeksi oportunistik tidak ditangani secara medis maka akan menyebabkan kematian pada Odha.

Hal itulah yang dialami Thailand. Dua dekade lalu ahli-ahli epidemilogi sudah mengingatkan Negara Gajah Putih itu terhadap epidemi HIV. Tapi, penguasa negara itu menampik peringatan ahli-ahli Barat. Rupanya, penguasa di sana melihat rakyatnya berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi kemudian? Kasus HIV/AIDS meledak sampai mendekati angka satu juta kasus.

Di sebuah provinsi yang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik terjadi kontra produktif karena ledakan AIDS. Banyak gadis dari provinsi itu yang menjadi PSK di Bangkok dan kota-kota tujuan wisata lain di Thailand. Ketika mereka bekerja sebagai PSK mereka mengirimkan uang ke kampung halamannya. Keluarganya di kampung pun memakai uang untuk usaha. Tapi, ketika mereka mulai sakit karena penyakit yang terkait dengan infeksi HIV/AIDS maka mereka pulang kampung. Harta yang dibeli dari uang kiriman pun habis untuk membiayai pengobatan.

Beruntunglah Thailand karena biksu mau menampung dan merawat korban AIDS di vihara.

Bercermin dari pengalaman Thailand itu maka Prov Banten perlu mawas diri. Ketika kasus hanya hitungan jari, kegiatan untuk pananggulangan AIDS rendah sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi yang berpotensi mendorong ledakan AIDS. Dari mana kasus HIV/AIDS itu?

Kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang melakuklan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu (a) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) orang-orang (laki-laki) yang yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang (perempuan, seperti PSK atau perempuan panggilan) yang sering berganti-ganti pasangan, (c) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (d) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian, terutama pada pengguna narkoba dengan suntikan. Orang-orang inilah yang menghasilkan angka HIV/AIDS.

Dalam berita disebukan “Sebanyak 6.590 penderita HIV/AIDS yang terdapat di Banten merupakan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dewasa. Dari jumlah estimasi itu yang baru ditemukan sekitar 1.005 penderita”. Dari pernyataan itu jelas bahwa angka 6.590 adalah angka estimasi. Tapi, disebutkan bahwa sudah terdeteksi 1.005 penderita. Ini akan menjadi beban bagi Pemprov Banten ketika mereka sudah mencapai masa AIDS.

Bom Waktu

Disebutkan pula dalam berita bahwa kasus terbanyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Di sini ada fakta yang tidak muncul sehingga mengesankan kasus HIV/AIDS lebih banyak di kalangan pengguna narkoba. Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba karena pengguna narkoba yang akan menjalani rehabilitasi (pengobatan) diwajibkan menjalani tes HIV. Tapi, sampai sekarang tidak ada mekanisme yang bisa menjaring kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki dan perempuan yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan yang perilaku seksnya berisiko tinggi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS.

Jika kelak terjadi ladakan AIDS apakah rumah sakit di Banten siap menampung Odha dengan keluhan infeksi oportunistik? Begitu pula dengan biaya: rumah sakit, dokter, obat antiretroviral, dan obat infeksi oportunistik. Bagi yang mampu tidak ada masalah, tapi kalau ledakan AIDS terjadi pada rakyat miskin apakah rumah sakit mau merawat mereka secara gratis? Apakah rumah-rumah ibadah di Banten mau menampung dan merawat mereka seperti yang dilakukan biksu di Thailand?

Jika kita tidak ingin hal itu terjadi di Banten maka mulai sekarang galakkan penyuluhan HIV/AIDS dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang akurat yang mendepankan fakta medis. Soalnya, selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama sehingga masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu ata kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks tanpa kondom dilakukan dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani, cairan vagina dan ASI. Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui air susu ibu yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui.

Mencegah penularan HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina, dan ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke tubuh. Ini fakta medis. Tapi, karena selama ini fakta ini tidak muncul ke permukaan maka banyak orang yang tidak mengetahuinya dengan akurat.

Untuk itu dianjurkan kepada orang-orang yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV agar mau menjalani tes HIV dengan sukarela. Semakin banyak orang yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

* Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa

[Sumber: Harian “Radar Banten”, Serang, 22 Maret 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar