Senin, 24 Mei 2010

’Penyakit Kelamin’ Pada Laki-laki di Medan Erat Kaitannya dengan Penularan HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 24/11-2003. “Tertinggi, Penyakit Kelamin Pria di Medan”. Itulah judul berita sebuah surat kabar di Pekan Baru, Riau (Riau Pos, 17/1-2003). Data ini diungkapkan oleh Ketua Kelompok Satudan Medis Fungsional (SMF) Penyakit Kulit dan Kelamin-RS Pirngadi Medan, dr. Arisyafrin Lubis SpKK.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS maka penularan HIV di kalangan laki-laki di Medan juga berada pada risiko tinggi karena fakta itu menunjukkan laki-laki yang tertular PMS (penyakit menular seksual, seperti GO, sifilis, dll.) sudah melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom). Jadi, risiko tertular HIV pun sudah ada karena penularan HIV juga bisa melalui hubungan seksual yang tidak aman dengan seseorang yang HIV-positif.

Gejala Klinis

HIV dapat menular melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) antara seseorang yang HIV-positif dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik yang tecemar HIV, dan (4) dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Risiko tertular HIV sangat besar pada hubungan seks yang tidak aman dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah, seperti pekerja seks, karena tidak ada gejala-gejala klinis pada yang dapat dilihat dengan mata telanjang pada orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha). Gejala klinis pada seseorang yang sudah tertular HIV baru mulai muncul setelah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biar pun belum sampai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui cara-cara di atas.

Jika laki-laki yang mengidap PMS di Medan tertular dari pekerja seks maka tingkat risiko tertular HIV sangat besar karena kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi di kalangan pekerja seks. Seseorang yang mengidap PMS akan lebih mudah sepuluh kali lipat tertular HIV pada hubungan seksual yang tidak aman karena pada alat kelaminnya terdapat luka-luka kecil (hanya dapat dilihat dengan mikroskop) yang menjadi pintu masuk bagi HIV. Secara medis HIV terdapat pada darah, air mani dan cairan vagina. Jadi, ketika terjadi hubungan seksual yang tidak aman maka penis bersentuhan dengan cairan vagina, sedangkan vagina akan menampung air mani laki-laki. Gesekan antara penis dan mulut dan dinding vagina pun bisa menyebabkan luka-luka yang kelak akan menjadi pintu masuk bagi HIV. Jika hal ini terjadi maka ada risiko penularan HIV jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif.

Sampai 30/9-2003 di Sumut tercatat 69 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 30 HIV-positif dan 39 AIDS. Jika separuh dari kasus ini terdeteksi di kalangan pekerja seks maka ada 34 pekerja seks yang HIV-positif. Kalau setiap malam seorang pekerja seks meladeni tiga laki-laki maka setiap bulan ada 102 laki-laki yang berada pada risiko tinggi tertular HIV. Biar pun kemungkinan tertular melalui hubungan seks kecil (1:100) tapi karena hubungan seksual sering dilakukan maka risiko pun besar pula. Lagi pula tidak diketahui kapan penularan terjadi.

Deteksi HIV

Kalau laki-laki yang mengidap PMS itu sudah beristri maka mereka pun sudah menular istrinya, pasangan seksnya yang lain. (horizontal). Bagi laki-laki yang belum beristri mereka pun menularkan PMS kepada pasangan seksnya atau pekerja seks di tempat lain. Laki-laki pengidap PMS menjadi mata rantai penyebaran PMS dan HIV ke kalangan masyarakat. Persoalannya, orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya HIV-positif karena tidak ada gejala klinis.

Kalau istri mereka tertular maka ada pula risiko penularan pada bayinya kelak ketika persalinan (vertikal). Biar pun laki-laki itu diobati tapi kalau istri mereka tidak diobati maka laki-laki itu akan tertular lagi dari istrinya. Karena laki-laki yang mengidap PMS dan istri mereka berada pada risiko tinggi tertular HIV maka akan lebih baik kalau mereka dianjurkan menjalani tes HIV sukarela. Di Malaysia pasien PMS dan perempuan hamil menjalani survailans tes HIV.

Deteksi HIV di kalangan laki-laki yang mengidap PMS dapat dimanfaatkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV karena mereka diminta untuk tidak menularkannya kepada orang lain. Bagi perempuan yang hamil deteksi HIV berguna untuk melindungi bayi yang dikandungnya agar tidak tertular HIV. Dengan memberikan obat antiretroviral (obat yang dapat menekan laju pertumbuhan HIV di dalam darah) dan operasi caesar pada saat persalinan risiko penularan HV dari-ibu-ke-bayi dapat ditekan sampai delapan persen (dari 100 kelahiran bayi pada ibu yang HIV-positif kemungkinan bayi yang terinfeksi hanya 8). Di Malaysia obat antiretroviral diberikan gratis kepada orang-orang yang HIV-positif. Harga obat ini di Indonesia sekitar Rp 800.000 untuk dosis satu bulan.

Angka kasus HIV/AIDS di Medan khususnya dan di Sumut umumnya seperti yang dilaporkan Depkes merupakan puncak dari fenomena gunung es. Sebagian besar angka itu hanya yang terdeteksi melalui survailans tes terhadap pekerja seks dan nelayan asing. Karena epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es maka ada kemungkinan kasus infeksi HIV di masyarakat jauh lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengidap PMS di kalangan laki-laki di Medan. Infeksi PMS menjadi salah satu indikator kasus HIV karena seseorang yang tertular PMS maka ada resiko sekaligus tertular HIV.

Sangat disayangkan SMF RS Dr Pirngadi tidak melakukan survailans tes HIV kepada pasen PMS dan istri mereka. Kalau ini dilakukan maka akan ditemukan angka kasus HIV yang realistis dan bisa pula dijadikan sebagai titik awal untuk memutus mata rantai penyebaran PMS dan HIV.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar