Senin, 24 Mei 2010

Risiko di Balik Kematian Odha

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 28/6-2008. Berita “Sepuluh Tahun 172 Orang Meninggal, Kasus HIV AIDS Memprihatinkan” di Harian “Pontianak Post” (28/6-2008) menjadi bukti terkait dengan epidemi HIV di Kalbar khususnya dan di Indonesia umumnya. Namun, yang menjadi persoalan bukan kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS), tapi penularan HIV antar penduduk secara horizontal yang terjadi tanpa disadari banyak orang.

Laporan Ditjen PPM & PL Depkes RI sampai 31 Maret 2008 kasus AIDS di Kalbar mencapai 765 dengan kematian 112. Jumlah ini hanya kasus AIDS yaitu Odha yang sudah mencapai masa AIDS. Pada masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertular HIV) mulai muncul penyakit-penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TB, dll. Penyakit-penyakit ini mudah menyerang Odha karena sistem kekebalan Odha yang sudah rapuh akibat kerusakan pada sel-sel darah putih (sistem pertahanan tubuh) yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri.

Biar pun ada perbedaan angka antara laporan Ditjen PPM & PL dengan data instansi terkait di Kalbar yang jelas angka ini menempatkan Kalbar pada peringkat keenam secara nasional. Selain dua kota dan empat kabupaten merupakan daerah yang menjadi sasaran program akselerasi dalam penanggulangan epidemi HIV yaitu Kota: Pontianak dengan kasus 232, dan Singkawang 350, serta Kabupaten: Sambas 7, Pontianak 51, Ketapang 11, dan Sintang 6.

Mata Rantai

Kalau dipakai angka 172 sebagai kematian Odha di Kalbar maka angka ini merupakan mata rantai penyabaran HIV karena sebelum terdeteksi tanpa disadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Hal ini terjadi karena sebelum terdeteksi atau sebelum masa AIDS tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Tapi, pada kurun waktu itu mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang dipakai bersama-sama denga bergiliran, dan (d) air susu ibu (ASI).

Jika separuh dari angka kematian itu laki-laki yang beristri maka ada 86 perempuan yang berisiko tertular HIV. Kalau 86 perempuan ini tertular maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang mereka kandung kelak. Kalau di antara mereka ada juga yang mempunyai pasangan seks selain istri, seperti selingkuhan atau pekerja seks, maka ada pula risiko penularan ke perempuan lain.

Dalam laporan Ditjen PPM & PL disebutkan 132 kasus AIDS terdeteksi di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ini pun merupakan mata rantai penyebaran HIV karena pengguna narkoba dengan suntikan biasanya menyuntik bersama teman-temannya. Andaikan seorang pengguna narkoba menyuntik dengan empat temannya, maka keempat temannya berisiko tertular HIV. Ini berarti ada 528 (132 x 4) pengguna narkoba di Kalbar yang berisiko tertular HIV. Kalau yang 528 ini juga menyuntik dengan teman-temannya maka pengguna narkoba yang berisiko tertular HIV bagaikan deret ukur.

Dalam kaitan inilah yang menjadi persoalan besar adalah mata rantai penyebaran HIV yang sering luput dari perhatian. Selain pengguna narkoba yang menjadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas pengguna narkoba ke masyarakat yang perlu diperhatikan adalah laki-laki pelanggan pekerja seks.

Jika di Kalbar terdeteksi pekerja seks yang HIV-positif maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pekerja seks itu tertular dari laki-laki pelanggannya yang bisa merupakan penduduk lokal atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat sudah ada laki-laki yang HIV-positif. Kemungkinan kedua, bisa jadi pekerja seks yang terdeteksi HIV-positif di Kalbar sudah mengidap HIV ketika mulai ‘beroperasi’ di Kalbar. Jika ini yang terjadi maka laki-laki pelanggan mereka berisiko tertular HIV.

Informasi Akurat

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV keapda pekerja seks atau yang tertular dari pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, duda, atau remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, nelayan, perampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Penularan terjadi tanpa disadari karena tidak ada keluhan yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS.

Hal di atas terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS yang sampai ke masyarakat tidak komprehensif. Informasi tidak utuh dan sering pula dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, selama ini penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan zina dan pelacuran. Banyak orang yang tidak merasa berisiko karena mereka tidak melalukan hubungan seks dengan pelacur, tapi dengan ‘cewek’ atau ‘perempuan baik-baik’ di luar lokalisasi. Padahal, perilaku mereka itu berisiko tinggi tertular HIV.

Orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang berisiko tinggi tertular HIV adalah: (a) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena da kemungkian salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkian salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.

Untuk itulah informasi yang akurat tentang HIV/AIDS harus digencarkan melalui penyuluhan dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penyuluhan ini diharapkan akan membuka mata orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi agar mau menjalani tes HIV secara sukarela. Semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai yang diputus.

* Penulis adalah pengasuh rubrik “Konsultasi HIV/AIDS” di Harian “Pontianak Post” dan pemerhati berita HIV/AIDS di media massa melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar