Sabtu, 29 Mei 2010

Surabaya Menuju “Kota AIDS”?

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/12-2002. Ketika masyarakat masih diselimuti mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS tiba-tiba muncul berita hasil tes terhadap pekerja seks di Dolly, salah satu lokalisasi pelacuran di Surabaya: seorang pekerja seks HIV-positif. Belakangan kasus HIV/AIDS di Kota Pahlawan ini “muncul” satu demi satu sehingga ada yang mengkhawatirkan kota ini akan menjadi “kota AIDS”. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.

“Surabaya dalam waktu dekat, dikhawatirkan bisa menjadi kota AIDS. Itu bisa terjadi, jika penderita penyakit mamatikan itu—khususnya dari pekerja seks komersial (PSK)—tetap dibiarkan dilokalisasi melayani tamunya.” Itulah lead berita di sebuah harian pagi yang terbit di Surabaya.

Pernyataan ini mitos. Tidak ada hubungan langsung antara (lokalisasi) pelacuran dengan HIV/AIDS. Buktinya, di negara-negara yang secara de facto dan de jure tidak ada (lokalisasi) pelacuran, bioskop, hiburan malam, dll. pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, sampai Agustus 2002 tercatat 1.285 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 833 HIV dan 452 AIDS (Republika, 11/8-2002).

Sebagai fakta medis, artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran, HIV yang hanya bisa hidup di dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik (khas) yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki) dengan seseorang yang HIV-positif; (2) menerima transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Perempuan Hamil

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel darah manusia yang ditumpanginya yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan (bukan keturunan) yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Seseorang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis yang khas sebelum mencapai masa AIDS antara 5-10 tahun sejak terinfeksi. Yang bersangkutan pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tetapi, biar pun belum mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif sudah dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain.

Tidak ada kaitan antara zina, pelacuran, jajan, selingkuh, seks pranikah, homoseks, dll. dengan penularan HIV. Jika kedua pasangan HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV walaupun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, kumpul kebo, dll. Sebaliknya, kalau salah satu dari sebuah pasangan HIV-positif, maka jika hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom maka ada kemungkinan terjadi penularan.

Dari 3.914 perempuan hamil yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi di Indonesia ditemukan 27 ibu rumah tangga yang HIV-positif (Media Indonesia, 6/7-2000). Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM di Jakarta, terhadap 537 perempuan hamil di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan enam di antaranya HIV-positif (Media Indonesia, 2/12-2000).

Sampai 30 September 2002 kasus HIV/AIDS di Jawa Timur tercatat 305 (dari 3.374 kasus nasional) yang terdiri atas 172 HIV dan 133 AIDS (42 meninggal). Angka ini sendiri hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang sebenarnya karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tetapi, kalau di satu daerah atau kota terdeteksi satu kasus maka tidak otomatis akan ada sekian kasus. Fenomena ini hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya, merancang program pencegahan, penanggulangan, dll.

Kasus HIV/AIDS nasional dinilai banyak kalangan tidak realistis. Dengan penduduk 200 juta lebih Indonesia baru mencatat 3.374 kasus. Estimasi kasus di Indonesia antara 80.000 - 120.000. Di Malaysia sampai Oktober 2002 sudah dilaporkan 47,634 kasus HIV-positif serta 4,994 kematian (Utusan Express,Malaysia, 8/10- 2002). Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di negeri jiran itu berkisar antara 67.734 - 112.890. Studi yang layak menyebutkan angka 100.000 kasus (The HIV/AIDS Media Guide, Malaysian AIDS Council, September 1999).

Penemuan kasus HIV/AIDS yang ‘banyak’ di Surabaya dan Jatim bukan ‘aib’ karena hal ibu bisa menjadi patokan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Artinya, kemungkinan penduduk yang HIV-positif sudah tergambar dari kasus HIV-positif pada kalangan pekerja seks dan waria karena penduduk menjadi pelanggan mereka.

Seseorang bersiko tertular HIV jika yang bersangkutan melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks yang tidak aman; (2) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks) di dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menerima transfusi darah; dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian

Mata Rantai

Probabilitas (kemungkinan) penularan HIV melalui hubungan seks penetrasi tanpa kondom 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks ada satu kali kemungkinan tertular. Tetapi, tidak ada yang dapat memastikan pada hubungan seks yang keberapa terjadi penularan: yang pertama, kedua, ketujuh, kesembilan puluh, dst. Jadi, karena hubungan seks sering dilakukan maka kemungkinan terinfeksi pun meningkat pula dan tidak diketahui kapan terjadi penularan.

Di mana pun seseorang bisa melakukan kegiatan berisiko tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks yang tidak aman, seperti di rumah, apartemen, hotel mewah, hotel melati, ladang, hutan, lapangan terbuka, dll.

Maka, kalau Surabaya ingin memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk maka cara yang realistis adalah mengajak penduduk menghindarkan kegiatan-kegiatan berisiko. Ini jauh lebih efektif daripada menutup atau menghancurkan lokalisasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan malam. Bukankan jauh lebih baik mengajak orang membuat kebaikan (dalam hal ini menghindari kegiatan berisiko) daripada merusak bangunan (yang tidak berdosa)?

Biar pun bangunan dihancurkan kegiatan berisiko tetap saja bisa dilakukan di tempat-tempat lain yang tidak berbau maksiat. Padahal, di tempat-tempat maksiat sekali pun kalau tidak ada yang HIV-positif tidak akan terjadi penularan HIV.

Persoalannya adalah status HIV seseorang tidak bisa dilihat dari fisiknya. Untuk itulah hindari kegiatan berisiko. Ini jalan terbaik dan paling aman dunia dan akhirat.

Dalam kaitan itulah KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) perlu digencarkan tetapi dengan materi yang akurat, objektif dan jujur sehingga yang dikemukakan fakta bukan mitos dan tidak perlu dibalut dengan moral dan agama.

Dengan mengemukakan fakta-fakta seputar HIV/AIDS secara objektif seseorang akan mengkaji (perilaku) dirinya: Apakah dia pernah melakukan kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV? Jika jawabannya “ya”, maka biar pun tidak ada gejala-gejala yang terkait dengan AIDS maka sudah selayaknya yang bersangkutan menjalani tes HIV.

Jika infeksi HIV diketahui lebih dini maka tindakan medis dapat meningkatkan daya hidup yang bersangkutan, misalnya dengan memberikan obat antiretroviral untuk menekan laju percepatan penggandaan HIV dalam darah. Dukungan psikologis sehingga yang bersangkutan tetap bisa hidup produktif dan layak serta tidak melakukan kegiatan-kegiatan berisiko yang dapat merugikan orang lain.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar